Minggu, 24 Agustus 2014

Change or Die (2) Status Quo Ke Laut Adze....








C H A N G E   O R   D I E  !
(Pelaku Organisasi yang Tidak Mau Berubah, 
“ke Laut Aje ...!”)


TUGAS AKHIR SEMESTER

Mata Kuliah :  BUDAYA ORGANISASI
Dosen :  Dr. H. AGUS ALWAFIER BY, MM

                                                                                           
Oleh :
D  I  N  O  T  O
NIM : 12008019

009
PROGRAM PASCA SARJANA
KONSENTRASI MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
SEKOLAH TINGGI EKONOMI “CIREBON”
CIREBON
2008










“Jangan takut terhadap ruang,
antara mimpi dan realitas Anda,
Jika Anda dapat mengimpikannya,
Anda juga dapat membuatnya.”
 (Balva Davis)



“Yang kita dapatkan dari hidup
  adalah sepenuhnya yang kita berikan padanya.” 
(Ralph Waldo Emerson)




“Kejatuhan kecil berarti kebangkitan yang lebih membahagiakan.”
  (William Shakespeare)



“Kehilangan milik tak begitu penting,
     kehilangan kehormatan adalah celaka,       
  tapi yang lebih celaka lagi ialah kehilangan keberanian.” 
   (Goethe)


KATA PENGANTAR

            Tak terhingga puji dan syukur kehadirat Allah subhana wa ta’ala penulis panjatkan, karena hanya berkat rahmat dan karunia-Nya sajalah penulis akhirnya dapat menyelesaikan tulisan ini tepat pada waktunya.
            “Change or Die !, Pelaku Organisasi yang Tidak Mau Berubah,’ke Laut Aje ...!’”  Judul yang kami pilih untuk memenuhi tugas akhir semester Mata Kuliah Budaya Organisasi dibawah bimbingan Bapak Dr. H. Agus Alwafier By, MM.  Oleh karena itu penulis pun tidak lupa menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada beliau.
            Atas segala kehangatan suasana ruang kuliah kita, penulis sampaikan ucapan terimaksih kepada rekan-rekan Angkatan Pertama dan para pengelola Program Pasca Sarjana STIE Cirebon.
            Peluk cium tentu hanya untuk isteri tercinta dan anak-anak yang selalu mengerti akan adanya kesibukan baru yang banyak menyita waktu, tenaga, pikiran dan tentu saja biaya.

                                                                                    Indramayu, 6 Juni 2009


                                                                                    Penulis



DAFTAR ISI





Halaman
KATA PENGANTAR
......................................................................
i




DAFTAR ISI
.........................................................................................
ii




BAB I
PENDAHULUAN
........................................................
1

1.1.
Latar Belakang
........................................................
1

1.2.
Masalah
....................................................................
2

1.3.
Tujuan Penulisan
.....................................................
3

1.4.
Sistematika Penulisan
...............................................
4





BAB II
MATERI DAN METODE
...........................................
5

2.1.
Materi
....................................................................
5

2.2.
Metode
....................................................................
5




BAB III
PEMBAHASAN

6

3.1.
Budaya Organisasi dan Pendekatan Manajeman
.....
7

3.1.1.
Pendekatan Proses
..................................................
10

3.1.2.
Pendekatan Perilaku
...............................................
12

3.1.3.
Pendekatan Kuantitatif
............................................
13

3.1.4.
Pendekatan Sistem
..................................................
14

3.1.5.
Pendekatan Contigency
............................................
15

3.2.
Peran SDM terhadap Nilai Organisasi
....................
16

3.3.
Flexibilities Gaya Kepemimpinan di Indonesia
.....
19

3.3.1.
Keanekaragaman Bangsa Indonesia
.......................
20

3.3.2.
Kepemimpinan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa
24

3.3.3.
Kepemimpinan Bangsa Indonesia di Masa yang Akan



Datang
.......................................................................
34

3.4.
Perubahan, Antara Keharusan dan Tantangannya
..
42

3.5.
Perubahan Budaya Organisasi di Lingkungan Dinas



Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu
.....
55

3.6.
Tidak Mau Berubah, Mati Saja !
.............................
73




BAB IV
PENUTUP
.........................................................................
75

4.1.
Kesimpulan
...............................................................
75

4.2.
Saran
......................................................................
75




DAFTAR PUSTAKA
.......................................................................
76


































BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kinerja masyarakat Indonesia relatif rendah.  Penggunaan kata ‘relatif” ini mengandung makna tripel, rendah atau tinggi atau sedang-sedang saja.  Tetapi tidak dapat dipungkiri kalau banyak investor asing lebih memilih bangsa mereka atau bahkan bangsa Asia lain untuk menjalankan investasinya di Indonesia.
Kalau mau menyalahkan alam, maka ciptaan Tuhan inilah yang telah meninabobokan bangsa Indonesia dalam segala kemudahan sehingga tidak pernah berpikir jauh bagaimana mempertahankan hidup sekalipun.  Atau juga pengaruh kolonial Belanda dan bangsa Eropah lainnya yang menyebabkan anak bangsa bukan hanya bermental budak tetapi juga sangat mudah diadudomba atau bahkan jadi domba tanpa pengadu sekalipun.  Berbagai alasan lain dapat dibuat sebagai bahan pembenaran yang tidak benar.
Sesungguhnya tidak ada yang salah, kesalahan satu-satunya adalah ketidakmampuan menyesuaikan dengan alam yang selalu berubah.  Terus-menerus berubah dengan laju  semakin cepat.  Sebagian bangsa kita tertinggal dan semakin ketinggalan di belakang.  Sebagian kecil mampu beradaptasi dengan perubahan, bisa bersaing dengan ekspatriat atau bahkan melebihi kinerja orang asing.
Perjalanan zaman ke arah globalisasi seiring dengan terjadinya berbagai perubahan iklim sosial-budaya di dalam negeri, membuat bangsa Indonesia semakin sulit mensejajarkan dengan bangsa lainnya.  Bahkan di kalangan bangsa-bangsa Asia Tenggara bangsa yang kaya raya ini hanya dapat sedikit lebih tinggi daripada negara miskin lainnya.
Dengan demikian, permasalahan bangsa ini sedemikian kompleksnya sehingga diperlukan berbagai upaya yang terpadu mengkombinasikan berbagai potensi yang ada dan mengkolaborasikan segala permasalahan sehingga terwujud pemecahan yang baik untuk semua rakyatnya.

1.2.            Masalah
Ketidakpecayaan pihak asing dan ketidakdapat-dipercayaan bangsa kita sudah sedemikian memprihatinkan.  Keduanya telah menjadikan paradigma baru, bangsa Indonesia tidak lagi menjadi Tuan Rumah di negeri sendiri.  Sungguh sesuatu yang memprihatinkan.
Perilaku dasar yang sulit dirubah kontradiktif dengan modal awal berbagai potensi sumber daya yang sangat besar sehingga pemanfaatannya untuk kebajikan anak bangsa sangat sulit terealisasikan.  Keadaan ini diperparah dengan sangat labilnya perubahan iklim sosial-buaya termasuk perpolitikan yang akhirnya berpengaruh terhadap perekonomian negara umumnya.
Untuk mengkolaborasikan segala potensi dan kendala yang saling bertentangan diperlukan gaya kepemimpinan yang unik sehingga kemakmuran yang diharapkan dapat terwujud. 
Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai perubahan untuk menselaraskan dengan banyaknya perubahan yang telah terjadi, baik dalam budaya berorganisasi maupun budaya kerja masyarakatnya sendiri.  Perubahan tentu tidak dapat dilakukan secara besar-besaran sekaligus.  Revolusi tanpa adanya persiapan matang hanya akan meluluh-lantakan segala tatanan yang sudah lama terbentuk.  Perubahan yang diperlukan secara terencana juga dimulai dari sesuatu yang kecil.  Perubahan paling mudah dimulai dari diri kita sendiri.
            Tanpa memulai merubah diri dari diri sendiri dan hal-hal yang kecil itu, maka ketertinggalan bangsa kita semakin jauh dan jauh.  Oleh karena itu, kalau tidak mau berubah, Ke Laut Aja !  Dengan kata lain, kalau tidak mau berubah, ya mati saja.
            .
1.3.            Tujuan Penulisan
Tulisan ini merupakan tugas akhir semester Mata Kuliah Manajemen Organisasi.  Sedangkan tujuan penulisannya adalah untuk mencoba menantang diri sendiri untuk berubah, syukur-syukur bisa membawa perubahan yang sungguh bukan hal yang mudah. 
            .



1.4.            Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini sedapat mungkin mendekati format ilmiah, yaitu :
1.                  Kata Pengantar menjelaskan dasar dan beberapa hantaran kata yang berkaitan erat dengan penulisan karya tulis ini.
2.                  Bab I Pendahuluan mengemukakan tentang latar belakang, masalah dan tujuan penulisan dikaitkan dengan judul yang dipilih, serta sistematika penulisan karya tulis itu sendiri.
3.                  Bab II Materi dan Metode menjelaskan tentang materi yang menjadi bahasan dan metode penulisannya.
4.                  Bab III Pembahasan menguraikan tentang hubungan antara budaya organisasi dengan pendekatan manajeman, peran SDM terhadap nilai sebuah organisasi, pentingnya flexibelitas gaya kepemimpinan Indonesia, keharusa melaksanakan perubahan dan tantangannya, aplikasi mengembangkan budaya organisasi dalam system manajemen di lingkungan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.
5.                  Bab IV Penutup merupakan kesimpulan dari uraian sebelumnya saran untuk perbaikan selanjutnya.
6.                  Daftar Pustaka memaparkan sumber tulisan yang dikutip pada penulisan makalah tulis ini.



BAB II
MATERI DAN METODE

2.1.Materi
            Bahan acuan dalam penulisan Karya Tulis ini adalah Bahan  Kuliah  Budaya  Organisasi  yang  ditulis Dr. H. Agus Alwafier By, MM.  Sementara pembandingnya adalah berbagai buku tentang yang berkaitan dengan Budaya Organisasi khususnya dan Ilmu Manajemen pada umumnya serta berbagai tulisan tentang keharusan untuk terjadinya perubahan sebagaimana tertera pada Daftar Pustaka.

2.2.Metode
            Berbagai bahan tulisan dikemas dan digolongkan sesuai dengan bab bahasan dalam bahasa yang mudah-mudahan bisa dimengerti tanpa harus meninggalkan kaidah ilmiah.  Setelah itu dibuat dalam rangkuman kesimpulan dan diajukan beberapa saran untuk perbaikan.



BAB III
PEMBAHASAN

            Tahun 2010 sudah di depan mata, tinggal beberapa bulan lagi.  Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, 2010 mempunyai makna tersendiri dalam manajemen.  Pada saat itulah ditetapkan awal memasuki milenium ketiga yang penuh tantangan dan harapan baru.
Tidak semua bangsa siap dalam memasuki era globalisasi yang akan dimulai tahun depan, Indonesia adalah salah satu bangsa yang masih gamang tersebut.  Bukan tidak ada upaya ke arah sana, tetapi terlalu jauh untuk dicapai dengan modal dasar seperti keadaan sekarang ini.
Keadaan sekarang baik dalam etos kerja sumberdaya manusianya maupun budaya organisasi terbentuk selama ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.  Oleh karena itu sangat sulit untuk lepas dari cengkeraman pengaruh masa lalu tersebut menuju perubahan yang semula berjalan relatif perlahan.  Ketika ilmu dan teknologi semakin maju, laju perubahan semakin cepat, bangsa Indonesia makin sulit mengejarnya.
Tetapi tidak selalu demikian, sebagian kecil anak bangsa dapat mengejar ketertinggalan bahkan melebihi rata-rata kemampuan manusia pada umumnya.  Mereka sukses dalam berbagai bidang di berbagai perusahaan asing dan lokal yang menembus pasar dunia.  Banyak organisasi lokal pun go internsional, sebagian menggunakan ekspatriat dan yang lain didorong oleh kinerja tenaga lokal yang luar biasa.
Kesuksesan yang didapat mereka bukan tanpa pengorbanan, yang paling berat dan sulit adalah mengorbankan tatanan yang selama ini menjadi panutan bahkan menyebabkan mereka sendiri hadir di dunia.  Perubahan menuju tatanan baru dalam mengejar dunia baru merupakan suatu keharusan.
“Berubah atau mati !”  Sebuah semboyan yang harus melekat dalam setiap individu agar bangsa ini terlepas dari berbagai ketertinggalan, bukan lagi cukup meneriakkan, “Merdeka atau mati !”
Bahasa gaulnya, “Kalau tidak mau berubah, ke laut aja !”
           
3.1.            Budaya Organisasi dan Pendekatan Manajemen
Untuk menyamakan persepsi maka sebelum jauh melangkah maka alangkah baiknya apabila kembali dulu ke pokok permasalahan, budaya organisasi.  Berbagai pengertian tentang budaya dan organisasi serta budaya organisasi telah banyak dikemukakan para ahli, beberapa diantaranya dikutip pada tulisan ini, antara lain :
a.             Peter F. Drucker mengartikan budaya organisasi sebagai pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas.
b.            Phiti Sithi Amnuai menggambarkan budaya organisasi sebagai seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.
            Pendapat kedua ahli manajemen itu menyuratkan secara gamblang bahwa dalam budaya organisasi terdapat 7 (tujuh) unsur penting, yaitu :
a.             Asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku.
b.            Keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi.  Keyakinan ini mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau motto, asumsi dasar, tujuan umum organisasi, filosofi usaha atau prinsi-prinsip menjelaskan usaha.
c.             Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya organisasi.
d.            Pedoman mengatasi masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.  Keduanya dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama anggota organisasi.
e.             Berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa saja yang lebih baik atau berharga bagi seseorang.
f.             Pewarisan asumsi dasar dan keyakinan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperilaku.
g.            Penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan dan norma yang berlaku dalam organisasi serta adaptasi arganisasi terhadap perubahan lingkungan.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya, ahli manajemen lain menyatakan bahwa budaya organisasi tampil dalam 10 (sepuluh) karakteristik :
a.             Inisisatif perseorangan, tampil dalam bentuk tingkatan tanggungjawab, kebebasan dan ketidakterikatan yang dimiliki seseorang.
b.            Toleransi atas resiko, tampil dalam bentuk peluang dan dorongan terhadap personil untuk bersikap agresif, inovatif dan berarti mengambil resiko.
c.             Pengarahan, yaitu tingkat kemampuan organisasi dalam menciptakan sasaran dan performance yang diharapkan secara jelas.
d.            Integrasi, yaitu tingkatan keadaan yang menunjukkan bahwa unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja secara koordinat.
e.             Dukungan manajemen, yaitu tingkat dukungan yang jelas dari para manajer terhadap bawahannya dalam hal komunikasi, bimbingan dan dukungan.
f.             Pengendalian, yaitu sejumlah ketentuan, aturan dan sejumlah supervisi langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku para pegawai.
g.            Bukti diri, ialah tanda keanggotaan suatu organisasi yang lebih menunjukkan keterikatan pada suatu organisasi secara keseluruhan, bukan pada suatu unit atau profesi tertentu.
h.            Sistem imbalan, ialah tingkat alokasi imbalan (salaris, promosi) berdasarkan kriteria kinerja personil sebagai lawan dari berdasarkan kriteria seniority, favouritism dan sebagainya.
i.              Toleransi konflik, yaitu tingkat keterbukaan bagi pegawai untuk menghembuskan konflik dan kritik.
j.              Pola komunikasi, yaitu tingkatan jaringan komunikasi organisasi terhadap hirarki otoritas formal.
            Salah satu aplikasi dari budaya organisasi adalah budaya yang diterapkan pada berbagai perusahaan atau lebih dikenal sebagai budaya perusahaan.  Pembentukan budaya perusahaan ternyata ada kaitan erat dengan manajemen yang diterapkan.  Oleh karena itu, pendekatan manajemen merupakan unsur penting yang menjadi cikal-bakal terbentuknya suatu budaya organisasi.
            Terdapat 5 (lima) pendekatan manajemen yang selama ini dikenal, yaitu pendekatan proses, pendekatan perilaku, pendekatan kuantitatif, pendekatan sistem dan pendekatan contigency dalam aplikasinya di berbagai organisasi.

3.1.1.   Pendekatan Proses
Pendekatan proses disebut juga sebagai pendekatan klasik, pendekatan fungsional, pendekatan operasional, pendekatan universal atau bahkan pendekatan tradisional.  Keunikan dalam hal keklasikannya inilah yang menyebabkan manajemen proses relatif paling luas penerapannya.
Pendekatan proses pada dasarnya adalah konsep teori manajemen yang sudah lama dicetuskan dan sampai sekarang tidak jauh bergeser.  Misalnya pendapat Henry Fayol yang menyatakan terdapat lima fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pemberian perintah, koordinasi dan pengawasan.
Terdapat banak pendapat tentang konsep dasar manajemen yang secara prinsip tidak jauh berbeda satu dengan yang lain, perbedaanya terletak pada penekanan dan perincian saja.  Sebagai contoh Luther Gullick menguraikan fungsi manajemen sebagai POSDCORB, yang merupakan kependekan dari Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Staffing (penyusunan staf), Directing (pengarahan), Coordinating (pengkoordinasian), Reporting (pelaporan) dan Budgetting (penganggaran).
Pendekatan proses sangat umum dipakai mulai dari dunia usaha sampai birokrasi pemerintahan.  Tugas dan fungsi dari masing-masing pelaku unsur manajemen yang jelas merupakan keunggulan pendekatan ini, kunci suksesnya adalah pada koordinasi.  Dalam prakteknya, koordinasi merupakan kata yang paling banyak diucapkan tetapi sangat sedikit dilaksanakan karena tingkat kesulitannya yang sanga tinggi.




3.1.2.   Pendekatan Perilaku
Terdapat perbedaan persepsi antara satu ahli manajemen dengan yang lainnya, mereka berpendapat bahwa sekalipun tatanan sudah tersususun sedemikian rupa namun keberhasilan setiap organisasi dalam mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh yang manusia menjalankannya.  Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang lebih memanusiakan manusia.
Sebagai makhluk sosial maka manusia harus dipandang dari berbagai sudut pandang, sosiologis dan psikologis.  Dengan demikian hubungan sosial harus menjadi titik sentral.  Perikehidupan manusia bukanlah eksakta yang kebenarannya saklek dan tidak dapat diganggu gugat.
Dari hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan proses yang sudah sedemikian lama bercokol ternyata tidak selalu menghasilkan efisiensi produksi.  Keharmonisan kerja terabaikan karena manusia dipandang sebagai “mesin kerja” yang harus menjalankan tatanan tanpa perlu berinteraksi satu dengan yang lainnya, kecuali yang memang sudah digariskan dalam aturan.  Pengekangan ini bukan hanya mematikan kreativitas tetapi juga menumbuhkan sifat pemberontak secara bertahap.
Ketika revolusi industri telah mencapai kejenuhannya maka diakhiri dengan penjungkirbalikan kesuksesan berbagai industri yang tetap memperlakukan para pekerjanya sebagai mesin penghasil mata uang.  Sementara itu, perusahaan lain yang bermetamorfosa menjadi lebih memanusiakan manusia semakin tumbuh dan berkembang.
Ternyata perilaku dan moral manusia sangat menentukan jalannya organisasi dalam mencapai tujuannya.  Hal ini tentu masuk akal karena tata organisasi adalah benda mati kreasi manusia, sementara manusia adalah ciptaan Tuhan.  Pembandingan penciptaan karya keduanya tentu bukanlah harus dilakukan tetapi sekedar memberi gambaran bahwa perilaku dan moral jauh lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan karya manusia yang sering diterapkan secara tidak manusiawi.

3.1.3.   Pendekatan Kuantitatif
Sebutan lain dari pendekatan kuantitatif adalah management science atau operations research.  Pendekatan ini memandang manajemen dari perspektif model matematis dan proses kuantitatif. 
Dengan demikian masalah manajemen dapat dirumuskan dan dijabarkan dalam berbagai bentuk model matematis dan kemudian dianalisa serta dipecahkan dengan menggunakan bebagai teknik dan metode kuantitatif untuk memperoleh hasil optimum.  Melalui pendekatanan masalah manajemen dianalisa secara logis dan kemudian dikembangkan berbagai alternatif pemecahannya.
Namun demikian sebagai ilmu sosial ternyata tidak semuanya dapat ditransfer secara tepat dalam rumusan matematis.  Diperlukan berbagai percobaan dari penerapan manajemen dalam waktu lama untuk menghasilkan suatu formula umum.
Dengan pendekatan kuantitatif, hasil-hasil metode kualitatif yang tidak terukur menjadi sangat jelas perpedaaanya satu dengan yang lain, sehingga keputusan segera dapat diambil dengan cara yang cepat dan hasil yang tepat.

3.1.4.   Pendekatan Sistem
Digunakan cara pandang terhadap organisasi secara menyeluruh dan juga organisasi dipandang sebagai bagian dari lingkungan eksternal secara luas.   Pendekatan sistem menekankan pada adanya saling keterkaitan dan ketergantungan bagian-bagian organisasi sebagai satu kesatuan yang utuh. 
Terdapat dua jenis pendekatan sistem, terbuka dan tertutup.  Padangan pertama mempertimbangan kekuatan faktor lingkungan eksternal dalam mempengaruhi organisasi, sebaliknya pendekatan sistem tertutup menganggap bahwa organisasi adalah sebuah kekuatan yang utuh dan dapat berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh pihak luar sama sekali.
Dalam pendekatan sistem tertutup maka pengaruh lingkungan yang sesungguhnya sedemikian besar diabaikan.  Sebaliknya perhatian dipusatkan pada hubungan dan konsistensi internal yang dicerminkan oleh prinsip-prinsip seperti kesatuan perintah, rentang kendali serta persamaan wewenang dan tanggungjawab. 
Pendekatan sistem terbuka pada dasarnya sama dengan pendekatan sistem tertutup yang memandang organisasi sebagai satu kesatuan yang utuh.  Perbedaannya hanyalah pada adanya pertimbangan pengaruh lingkungan eksternal organisasi yang sedemikian besar pengaruhnya namun tidak menghubungkan secara fungsional dengan konsep dan teknik manajemen yang mengarahkan pencapaian tujuan.
            Salah satu contoh sistem tertutup adalah sistem komando di dunia militer.  Hanya berdasar pada struktur organisasi yang sudah dibakukan, suatu bagian dapat menjad bagian integral yang tidak akan terpisahkan dari yang lain.  Kelemahan di salah satu bagian akan menjadi penghambat atau bahkan penghancur visi yang ditetapkan sebelumnya.  Derap langkah sudah diatur sedemikian rupa sehingga pada titik tertentu terjadi pertemuan yang sinergi satu dengan yang lain.
            Misalnya dalam mencapai sebuah visi, maka tujuan akhir adalah segalanya.  Faktor lingkungan dipandang sebelah mata kalau tidak dibilang diabaikan.  Pendekatan yang berorientasi tujuan ini bukan hanya mengesampingkan lingkungan tetapi juga individu anggota militer harus mengorbankan prinsip-prinsip pribadinya.
           
3.1.5.   Pendekatan Contigency
“Teori dan praktek sering berbeda,”  kata adegium lama.  Pendekatan contigency dimaksudkan untuk menjembatani adanya ketimpangan antara teori dan praktek.  Disamping itu juga dimasukan variabel lingkungan dalam analisisnya karena perbedaan kondisi lingkungan kan memerlukan aplikasi konsep dan tenik manajemen yang berbeda-beda.
Pendekatan ini muncul sebagai akibat adanya ketidak puasan atas anggapan keuniversalan dan kebutuhan untuk memasukkan berbagai variable lingkungan ke dalam teori dan praktek manajemen.
Kondisi lingkungan selalu terus berubah dan berubah merupakan perhatian tersendiri.  Oleh karena itu ketajaman mensiasati berbagai perubahan yang terjadi, menjadi faktor penting untuk dapat hidup dalam persaingan usaha yang makin ketat.    
           
3.2.Peran SDM terhadap Nilai Organisasi
Kesuksesan sebuah organisasi merupakan hasil kesuksesan kerja individu tetapi merupakan hasil kerjaama kelompok yang ada di dalamnya.  Setiap anggota organisasi, baik di tingkat bawah, tengah, maupun atas, memiliki peran dan kepentingan yang sama. 
Hubungan antar-individu tanpa melihat jabatan dan kedudukan membuat hubungan menjadi erat dan saling melengkapi satu sama lain.  Setiap tingkatan dan bagian dalam organisasi sama-sama penting.  Tidak ada pihak, termasuk pengelola yang menganggap dirinya sebagai golongan yang paling penting dalam organisasi.
Terdapat dua kubu yang perbedaan sangat jelas dalam menjalankan organisasi, antara timur dan barat, misalnya yang terjadi di negara Jepang dan Amerika Serikat.   Apa yang digambarkan di atas merupakan salah satu prinsip organisasi di Jepang pada umumnya. 
Sebaliknya organisasi di Amerika Serikat menciptakan jurang antara pengelola dan bawahan.  Kedua golongan itu dipisahkan oleh dinding yang terkadang menimbulkan masalah komunikasi yang serius.  Mereka bukan hanya dipisahkan oleh kedudukan dan status, melainkan juga oleh ruangan kantor.  Untuk bertemu dengan pengelola, ada proses birokrasi tertentu seperti janji pertemuan yang harus dilalui seorang bawahan.
Dalam organisasi di Jepang, pengelola berawal dari posisi bawahan dan naik secara perlahan.  Oleh karena itulah kebanyakan pengelola organisasi di Jepang lebih akrab dab memahami bawahannya ketimbang pengelola organisasi di Amerika Serikat. 
Sistem kenaikan pangkat seperti di atasmemeiliki banyak kelebihan karena memberikan kesempatan bagi para pengelola terhadap keseluruhan organisasi dan operasi.  Kesempatan dan pengalaman itu membantu mereka memahami dan mengendalikan jalannya organisasi. 
Disamping itu, mereka juga dapat bekerjasama dan menambah kesetiaan para bawahan kepada pengelola.  Itulah sebabnya pekerja-pekerja di Jepang lebih setia kepada pengelola dibandingkan dengan para pekerja di Amerika Serkat.
Sistem tersebut menjadikan setiap pekerja menjabat posisi yang lebih tinggi bukan berdasarkan kedudukan dan hubungan dengan pengelola, melainkan prestasi, hasil, kemampuan dan sikap terhadap pekerjaan.  Mereka yang naik jabatan melalui cara itu memiliki hubungan interpersonal yang kuat dengan para bawahannya.
Sudah menjadi hal biasa bagi pengelola organisasi di Jepang untuk mengundang bawahannya ke ruang kantor dan meminta bantuan mereka.  Sikap ini membuat para pekerja merasa selalu dihargai dan menganggap diri mereka penting bagi organisasi.  Sikap berterus-terang mengurangi konflik antara pihak pengelola dan bawahannya.
Secara tradisi, para pemimpin organisasi di Jepang telah diajarkan agar selalu mengamalkan sikap saling membantu dengan pekeja sebagai kumpulan manusia yang besar.  Mereka tidak melihat dunia mereka sebagai suatu keterasingan tetapi meltakkan diri mereka dalam hubungan berbentuk bulatan yang berlapis-lapis.
Setiap individu menempatkan dirinya bersama-sama orang lain yang dekat dengannya dalam lapisan yan terdalam.  Sikap saling bergantung tersebut mempunyai peran penting dalam tim kerja.
Tim kerja merupakan pondasi dasar dalam organisasi usaha du Jepang untuk membentuk interaksi antara anggota tim dengan pengelola.  Pemimpin tim haruslah individu yang dapat diterima para anggotanya untuk menjaga keharmonisan dan semangat diantara mereka.
Melalui tim kerja yang seperti itu, hubungan emosi dan pribadi dipupuk dan dibangun untuk meningkatkan semangat danmotivasi anggota.  Tim tersebut juga memberikan dukungan moral untuk mempertahankan kesetiaan, disiplin dan semangat kerja para anggotanya.
Tidak semua yang berlaku dalam organisasi Jepang merupakan lawan dari perilaku pelaku organisasi di Amerika Serikat.  Banyak yang menjadi etos kerja organisasi Jepang juga menjadi bagian dari organisasi Amerika Serikat. 
Masuknya pengaruh global menjadikan batas keduanya menjadi semakin tidak jelas.  Banyak para tenaga ahli Amerika Serikat  bekerja sebagai ekpatriat di negeri sakura dan mempengaruhi pola kerja di organisasi yang dimasukinya.  Demikian juga masuknya pemodal dollar berpengaruh terhadap pola kerja para karyawan berkewarganegaraan Nippon.
Di Amerika Serikat juga banyak perusahaan Jepang yang mempekerjakan tenaga lokal yang turut berpengaruh terhadap budaya organisasi yang ada.  Pemodal mata uang yen tidak bisa menutup diri menyesuaikan dengan iklim organisasi yang sudah melekat di negeri tuan rumah.
Indonesia yang merupakan bagian penting dari iklim global dunia tidak bisa lepas dari pengaruh kedua kutub tersebut.  Budaya kerja yang sering menjadi kendala kemajuan harus menyesuaikan dengan tuntutan zaman.  Berkiblat pada salah satu kutub bukan suatu keharusan, mengambil yang terbaik dan sesuai dengan kebutuhanlah yang semestinya dilakukan.  
Kesiapan setiap organisasi dalam menghadapi berbagai perubahan zaman tergantung kepada kepemimpinan di dalamnya.  Padahal kepemimpinan yang berkualitas memang masih sangat kurang dibandingkan dengan kebutuhan dunia yang makin mengglobal.
 
3.3.Flexibilities Gaya Kepemimpinan di Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara yang unik, berbeda dari negara di manapun di dunia.  Dari segi potensi alam tentu tidak ada bandingannya, sumber daya manusia pun tidak kalah dengan negara lainnya, sementara dari segi teknologi bukan hanya hasil adaptasi tetapi juga banyak inovasi yang dihasilkan sendiri.
Permasalahannya adalah, mengapa negara dengan potensi penuh ini tetap tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga?  Jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara yang lebih muda usia kemerdekaannya.  Bahkan saat ini negara kaya raya ini hanya bisa sedikit lebih baik di atas negara-negara miskin saja.
Problematika terbesar bangsa ini ternyata dari sumber daya manusianya, di balik berbagai keuunggulan yang dimiliki ternyata beraneka ragam problema muncul dari unsur utama ini.  Sifat dasar yang terbias oleh lamanya penjajahan dan kolonialisme negara asing dengan berbagai strateginya menghasilkan sikap mental tersendiri.  Demikian juga berbagai kemajuan hasil adaptasi dari berbagai pendidikan di dalam dan di luar negeri menjadikan kombinasi semakin beranekaragam.
Untuk mengelola berbagai perbedaan yang sangat beraneka itulah diperlukan gaya kepemimpinan yang mampu mengintegrasikan keseluruhan perbedaan-perbedaan tersebut menjadi kombinasi yang indah dan bermanfaat bagi kemajuan anak bangsanya.

3.3.1.      Keanekaragaman Bangsa Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau, dengan pulau-pulaunya yang besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.  Saat ini terbagi menjadi 33 propinsi.
Berdasarkan bentang alamnya, secara umum wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu dataran barat dan dataran timur yang dangkal serta cekungan tengah yang lebih dalam.  Dengan demikian bentuk penanpang melintangnya menyerupai sebuah piring yang tenggelam di air.
Hampir semua wilayah daerah Indonesia sebenarnya merupaan kelanjutan dari dua jalur pengunungan muda di dunia, yaitu jalur Sirkum Pasifik dan jalur Sirkum Mediteran.  Kedua jalur pegunungan ini melalui dua rangkaian pengunungan pula, busur luar dan bususr dalam. 
Rangkaian pegunungan bususr luar merupakan rangkaian pegunungan yang tidak vulkanis dan melalui pulau-pulau kecil di sebelah barat Sumatera ke selatan Jawa, Sumba, Sawu, Rote, Babar, Tanimbar, Kai, Seram dan Buru.  Sebaliknya rangkaian pegunungan busur dalam merupakan rangkaian pegunungan yang vulkanis melalui Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan akhirnya sampai ke Laut Banda.
   Meskipun menyuburkan daerah sekitarnya, gunung api benar-benar berbahaya karena letusannya.  Dua gunung yang letusannya pernah membunuh ratusan ribu orang adalah Gunung Tambora (1818) dan Gunung Krakatau (1883). 
Indonesia termasuk lima besar negara dengan penduduknya terbesar di dunia.  Konsentrasi penduduk lebih dari 65 % di Pulau Jawa yang luasnya kurang dari 10 % wilayah Indonesia.  Pulau Sumatera relatif lebih padat daripada pulau-pulau lainnya seperti Kalimantan dan Irian yang sangat luas itu misalnya.
Bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa yang besar dan kecil.  Selain suku Jawa, Sunda dan Madura yang hidup di Pulau Jawa dan Madura, terdapat suku bangsa Melayu, Minangkabau, Batak dan Aceh di Sumetera.  Tiga suku bangsa besar lainnya, yakni Bali, Makasar dan Bugis hidup di Indonesia bagian tengah.
Bahasa resmi di Indonesia adalah Bahasa Indonesia yang pada mulanya berasal dari bahasa Melayu pasar, yakni bahasa perdagangan yang lazim digunakan pada zaman penjajahan.  Meskipun demikian bagi sebagian besar masyarakat, bahasa nasional masih dianggap sebagai bahasa asing dan bahasa kedua karena dalam kehidupan sehari-hari masih lekat menggunakan bahasa ibu.
Terdapat ratusan bahasa lisan beserta dialkenya dapat dijumpai di negeri ini.  Bahasa dan dialeknya itu kebanyakan merupakan rumpun bahasa Melayu.  Sementara bahasa daerah yang paling besar digunakan adalah bahasa Jawa, disusul bahasa Sunda, Madura, Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Bali, Maksar dan Bugis.    
Keanekaragaman potensi sumber daya manusia ini diwarnai dengan bermacam-macam agama dan kepercayaan yang dianut.  Sekalipun agama resmi negara hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, masih banyak warga negara yang menjalankan ajaran Kong Hu Cu yang dianut nenek moyangnya.  Selain itu pada setiap agama juga terdapat beranega aliran atau sekte yang membedakan satu dengan lainnya sekalipun Tuhan mereka sama. 
Aliran kepercayaan merupakan bagian penting dari masyarakat Indonesia yang dalam hidupnya tidak pernah lepas dari pengaruh para nenek-moyangnya.  Berbagai ajaran pendekatan kepada Tuhan hasil penggalian anak bangsa ini pun subur berkembang diantara aneka kehidupan beragama masyarakat umumnya.  Bahkan banyak penganut agama yang juga menjadi bagian dari aliran kepercayaan yang tanpa sengaja ikut dianutnya.
Fanatisme penganut dan pemerhati agama dan aliran kepercayaan, atau bahkan pada sekte tertentu, sering berlebihan sehingga menjadi pemicu terjadinya berbagai permasalahan sosial yang berdampak dalam kehidupan yang lebih luas.  Dari tahun ke tahun permasalahan ini tidak pernah selesai, bahkan cenderung lebih meruncing.
Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dari sektor pertanian yang paling banyak menyerap tenaga kerja.  Sebagai hasil dari gebrakan revolusi hijau maka padi menjadi tanaman utama yang ada di seluruh negeri sebagai makanan pokok.  Selain itu terdapat berbagai tanaman perkebunan seperti karet, sawit, tebu, kopi, teh, pala, lada, cengkeh dan lainnya.  Kegiatan perkebunan juga tersebar di seluruh nusantara.
Selain itu perikanan merupakan kegiatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.  Perairan laut, danau dan sungai yang sangat luas dan kaya ikan serta usaha tambak dan kolam yang semakin berkembang.  Dari sejak kecil anak-anak sudah diajarkan untuk bangga sebagai bangsa bahari dengan menyanyikan lagu Nenek moyangku Seorang Pelaut.
Potensi pertambangan merupakan sektor yang penting dalam perekonomian.  Ladang minyak bumi tersebar luas baik di daratan ataupu lautan.  Bahan tambang lain seperti batubara, bauksit, emas dan perak, bijih mangan, belerang, timah hitam, platina dan kuningan merupakan sumber devisa yang sangat besar.
Sedangkan dari segi pendidikan, masyarakat Indonesia mengalami kemajuan yang pesat setelah merdeka.  Pada jaman penjajahan, angka buta huruf mencapai 90 prosen sementara di awal kemerdekaan menurun menjadi 80 prosen.  Saat ini anggota masyarakat buta huruf menjadi sangat kecil, kurang dari 10 prosen saja.
Sistem pandidikan nasional yang diterapkan cenderung sentralistik, baik kurikulum ataupun segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan pendidikannya.  Kegiatan penyeragaman terjadi sangat jelas sampai kepada hal-hal yang sebenarnya tidak prinsipil seperti warna cat tembok gedung sekolah misalnya.
Upaya yang berlangsung lama ini telah menjadikan produk pendidikan yang seragam, merasa salah apabila berbeda dengan yang lain.  Kreativitas sering tidak muncul, jiwa kewirausahaan diragukan, bahkan kemampuan bekerjasama dalam tim selalu menjadi pertanyaan.
Banyak masyarakat Indonesia yang menyekolahkan anaknya di negara-negara Eropah, Australia dan Amerika ataupun negara Asia lainnya, bahkan di Mesir benua Afrika.  Selain memberi warna tersendiri dalam pola pikir masyarakat bangsanya, mereka tidak sedikit yang tidak mau pulang karena tidak kuat dengan perlakuan yang diterima sesama warga negaranya.  Alasan mereka bukan terbatas pada materi semata tetapi juga ketidakmampuan memanfaatkan ilmu yang didapatnya karena peralatan yang ada di dalam negeri masih jauh dari harapan.

3.3.2.      Kepemimpinan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa
Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik dengan pemerintahan pusat yang dibantu pemerintahan daerah (propinsi dan Kabupaten/kota).  Semenjak Indonesia merdeka sampai saat ini telah terpilih 6 (enam) orang presiden sebagai penguasa pemerintahan tertinggi.  Mulai dari Sukarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Untuk memerintah negara dengan beraneka ragam potensi yang dimilikinya membutuhkan seorang pemimpin yang dapat diterima keberadaanya oleh semua pihak.  Namun hal ini bukanlah hal yang mudah karena disamping berbagai dukungan tentu akan terjadi banyak penolakan yang tidak menghendaki.
Setelah Indonesia merdeka, Sukarno merupakan presiden yang pertama didampingi oleh Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.  Dua founding fathers dengan latar belakang yang sangat berbeda ini sesungguhnya merupakan kombinasi pimpinan yang sangat mumpuni.  Dari segi asal daerah, keduanya mewakili penduduk terbesar di Jawa dan luar pulau Jawa.  Pendidikan Sukarno yang teknokrat berkolaborasi dengan politik praktis yang matang berpadu dengan ilmu ekonomi Bung Hatta dalam menyelesaikan berbagai masalah kebangsaan yang sangat pelik di awal kemerdekaan.
Namun ternyata di tengah jalan, perpadua keduanya tidak lagi indah tetapi menjadi jurang pemisah sehingga tidak lagi dapat disatuka.  Sukarno pun mempimpin negeri ini sendiri sementara Bung Hatta memilih untuk mengundurkan diri.  Satu pelajaran penting dari kedua pemimpin besar itu adalah bahwa perbedaan diantara keduanya tidak menimbulkan permusuhan yang berakibat luluh-lantaknya tatanan kenegaraan yang baru mulai berbenah tetapi masih saling berupaya membangunnya.
Kehidupan berpolitik zaman Orde Lama sungguh mengakomodir potensi bangsa yang sedemikian banyak.  Bangsa yang baru merdeka ini harus kerja keras hidup dalam berbagai perbedaan, termasuk berbeda partai politik yang diikuti.  Pemilihan Umum yang berlangsung tertib sepuluh tahun setelah merdeka diikuti oleh puluhan partai politik.  Kebebasan hidup berpolitik multi partai ini tidak lepas dari keahlian Sang Orator yang merupakan salah satu tokoh politik yang disegani dunia.
Akhir pemerintahan Sukarno sangat tragis, pemimpin revolusi yang tidak pernah selesai itu akhirnya tergilas oleh revolusi yang dijunjung-tingginya sendiri.  Terlepas dari siapapun penggagas revolusi bernama Gerakan 30 September (G 30 S) ataupun Gerakan 1 Oktober (Gestok) dan berbagai kejadian lain yang mengiringinya, kejadian itu merupakan titik balik kekuasaan seorang Sukarno.  Sekali lagi, terlepas dari benar tidaknya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) maka pemerintahan diserahkan oleh proklamator ini kepada Soeharto, seorang jenderal Angkatan Darat.
Berakhir sudah kehidupan bernegara para ABS (Asal Bapak Senang) yang membuat Bung Karno akhirnya terjerat oleh kroni-kroni yang memujanya.  Soeharto pun menjadi pemimpin negara yang cukup disegani, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjadikan Indonesia termasuk negara yang ditakuti karena merupakan macan ekonomi baru. 
Kehidupan di dalam negeri aman dan tenteram, setiap ada keributan selalu dapat diredam sampai dihabiskan ke akar-akarnya.  Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara statistik sangat mengagumkan, membawa presiden kedua ini sering bolak-balik menjemput penghargaan di berbabagi negara.
Soeharto yang semula adalah penantang presiden seumur hidup Bung Karno, akhirnya lupa daratan duduk di kursi istana.  Tidak cukup dua dekade maka dilanjutkan ke sepuluh tahun berikutnya tanpa hambatan karena memang tidak ada satu orang pun yang berani mencoba menggantikannya, sekedar opini sekalipun.
Kebijakan terpusat dan tangan besi yang dilakukan akhirnya terakumulasi menjadi beban yang semakin berat dengan bertambah uzurnya sang jenderal.  Berbagai pujian dan penghargaan yang tertumpuk selama pemerintahannya akhirnya tumpah menindih kursi istana.  Soeharto pun dipaksa lengser oleh dentuman ketidakpercayaan seperti yang pernah terjadi terhadap presiden sebelumnya.
Kehidupan berpolitik pun mengerucut, dari multi partai yang sangat ramai menjadi sebagian kecilnya dan pada akhirnya dalam kehidupan Orde Baru hanya dikenal 2 partai politik dan 1 golongan karya.  Golongan Karya adalah mesin politik pemerintah yang menjelang akhir kekuasaanya mencapai kemenangan mutlak yang mengundang decak kagum, mendekati seratus prosen.
Lagi-lagi, karma seakan berlangsung sedemikian cepat.  Reformasi meluluhlantakan kekuasaan pimpinan negara yang merevolusi pemimpin revolusinya sendiri. 
Soeharto pun sebagaimana Sukarno hidup dalam kesepian menghadapi berbagai tuntutan yang tidak pernah terpikirkan ketika masih sedang berkuasa.  Bedanya, kalau Sukarno dituntut oleh kegiatan politiknya sementar Soeharto lebih cenderung kepada tuntutan harta yang diakumulasikannya kepada anak dan cucu selama berkuasa.
Baharuddin Yusuf Habibie pun yang saat itu menjadi wakil presiden segara menduduki kursi RI 1.  Ahli ekor pesawat terbang yang menjadi General Manager di puluhan perusahaan besa di negeri ini mencoba peruntungan melanjutkan pemerintahan yang sudah keropos.  Kepiawaiannya memimpin membawa negara yang sangat genting ini menuju perbaikan dalam waktu singkat.
Tetapi iklim kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang ABS (Asal Bukan Soeharto) menyebabkan tuntutan membersihkan Istana Negara dari hasil didikan Pak Harto pun terjadi.  Seperti diketahui, Habibie merupakan teknokrat Indonesia yang sukses di Jerman saat diminta Soeharto untuk membantunya membangun tanah air.
Sebagai bagian dari masyarakat yang berpendidikan relatif rendah, maka tanpa melihat realita yang terjadi dan hanya berfokus pada pandangan ABS semata maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pun mencopot mandat yang dipercayakan kepadanya.  Habibie pun dengan penuh ketabahan mengumbar senyum di hadapan orang-orang terhormat yang menghancurkan kehormatannya.  Sebuah ledekan terhadap para wakil rakyat yang sama sekali tidak berbeda dengan rakyatnya, tidak berpendidikan.
Di zaman reformasi ini muncul anekdot yang sangat menarik bahwa disamping kehancuran perekonomian dan kehidupan berbangsanya sesungguhnya Indonesia mencapai kemajuan yang gemilang. 
Pada zaman Orde Baru, bila ditanyakn kepada orangtua tentang zaman normal, maka jawabannya adalah pada saat Belanda menjajah negeri ini.  Kehidupan kata mereka menjadi terlalu indah untuk dilupakan, jauh lebih indah daripada saat kekejaman penjajah Jepang ataupun hidup merdeka di bawah kekuasaan orde Lama.  Tetapi bila pertanyaan yang sama diajukan kepada masyarakat penikmat reformasi, maka jaman normal sesungguhnya tercapai pada zaman Orde Baru.  Jadi relatif ada kemajuan !
Presiden pilihan MPR pengganti Habibie sungguh mencengangkan, seorang Kiyai kontravesial H. Abdurrahman Wachid.  Di balik berbagai kelebihan yang dimilikinya, Kiyai yang satu ini mempunyai kelemahan di indera penglihatan.  Kelemahan inilah yang diamanfaatkan oleh para pembantunya untuk menguatkan diri dan barisan.
Berbagai kebijakan kontradiktif pun terjadi, bagi pegawai negeri yang menduduki jabatan tentu pernah diuntungkan dengan kebijakan menaikan pangkat sesuai dengan eselon yang diduduki.  Sesuatu yang tidakpernah terjadi sebelumnya dan sesungguhnya merontokan berbagai tatanan kebijakan yang sudah dilakukan sebelumnya.  Kebijakan ini hanyalah salah satu contoh kekonyolan yang diaspek legalkan, banyak produk hukum lain yang justeru sebenarnya bertentangan dengan berbagai pendapat presiden yang dikenal mencla-mencle ini.
Tidak lama berselang, dengan hanya bercelaka pendek Gus Dur digiring keluar dari Istana Negara.  MPR lagi-lagi harus mencabut mandat yang dipercayakan kepada orang kepercayaannya.  Megawati Soekarnoputri yang duduk sebagai wakil presiden pun menggantikannya.
Awal reformasi ditandai dengan munculnya berbagai perasaan terpendam yang tidak pernah dikeluarkan, dalam hal kebebasan berpartai juga demikian.  Berbagai atribut partai yang dulu pernah ada ataupun yang masih lahir prematur muncul seperti cendawan di musim hujan.  Pemilihan Umum multi partaipun digelar untuk memperoleh para wakil yang akan menggeser tempat duduk para wakil rakyat sebelumnya yang didominasi jaket kuning.
Kenangan terindah kekuasan MPR dinikmati oleh Megawati, pada saat itulah untuk terakhir kali seorang presiden dipilih oleh para wakil rakyat yang tidak pernah mengenal rakyatnya.  Undang-undang baru pun bergulir, sebuah perubahan bear terjadi.  Pemilihan presiden dan wakil presiden langsung oleh rakyat.  Demikian juga Bupati/Walikita dan Gubernur.
Kebijakan maha mahal ini ditempuh sebagai bentuk tanggungjawab para wakil rakyat terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negaranya yang sebenarnya tidak pernah melibatkan rakyat.  Milyaran rupiah dianggarkan secara resmi untuk pemilihan seorang Bupati/Walikota ataupun Gubernur, ratusan milyar lainnya melayang tanpa dampak yang jelas. 
Triliunan rupiah dihabiskan untuk memilih seorang presiden dan wakilinya yang benar-benar pilihan rakyat.  Susilo Bambang Yudhoyono pun terpilih untuk menjadi presiden pilihan rakyat yang pertama.  Muhammad Jusuf Kalla sebagai pendamping yang mewakilinya.
Kehidupan berpolitik pun masih tetap seperti sebelumnya, multi partai dan gontok-gontokan yang semakin jelas.  Mafia partai pun bermunculan, mereka mendirikan partai hanya berbekal fotocopy KTP para anggota dan pengurus perwakilannya.  Dengan modal tidak seberapa mereka memancing dana APBN milyaran rupiah untuk pembinaan partai politik.  Selain itu kehidupan multi partai juga menciptakan jabatan baru bagi para kutu loncat, mereka beralih dari satu partai ke partai lainnya hanya untuk dana pembinaan dari pengurus pusat atau pun langsung dari pemerintah baik pusat maupun daerah.     
Dua fenomena kehidupan berpolitik di atas sebenarnya merupakan cermin dari dua kubu yang berbeda.  Kubu masyarakat umum yang relatif rendah pendidikannya sehingga gampang digiring kemana pun asalkan mendapatkan imbalan atas tenaga yang dikeluarkan, dan kubu lainnya mereka yang berpendidikan atau berpengalaman sehingga mampu mengubah ketidakberdayaan masyarakat menjadi sarana untuk memberdayakan dirinya sendiri.
Pemerintahan SBY pun masih memberi iklim yang membebaskan kehidupan multi partai yang beraneka ragam ini.  Tetapi sudah kelihatan makin mengerucut.  Dari berbagai partai yang ikut Pemiluhan Umum belum lama ini dapat terlihat banyaknya partai yang muncul dari kelompok yang sama. 
Untuk kali pertama Golongan Karya tidak menduduki posisi teratas.  Golongan partai yang berasal dari Cendana lainnya pun tidak ada yang mendominasi hasil akhir Pemilu.  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan masih cukup kuat tetapi mengalami kemerosotan dari pesta demokrasi sebelumnya.  Partai Demokrat tanpa diduga menjadi kuda hitam yang menembus batas dibawa kepopuleran seorang Yudhoyono.  Partai-partai Islam seperti PKS, PKB, PAN, PBB, PPP dan lainnya sudah harus introspeksi diri lebih jauh untuk melangsungkan kehidupan berpartai mewakili ummatnya.
Fenomena lain yang muncul dengan banyaknya jenis pemilihan dan multi partai adalah maraknya politik uang yang sebanding dengan ketidakpedulian masyarakat.  Uang berhampuran dikeluarkan para calon bukan hanya dalam bentuk atribu dan bendera tetapi jelas-jelas diberikan dalam bentuk uang untuk serangan fajar.  Ironisnya, berbagai pemilihan kepala daerah justeru sebenarnya dimenangkan oleh mereka yang tidak memilih.  Seperti pada pemilihan Gubernur Jawa Barat misalnya, posi golput melebihi suara yang diperoleh oleh pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf.
Dari gambaran berbagai kejadian kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di atas maka untuk memimpin bangsa ini diperlukan gaya yang sesuai dengan keanekaragaman potensi yang ada sekaligus mampu mengakomodir berbagai perbedaan yang tidak sedikit.  Termasuk di dalamnya adalah kebiasaan masyarakat yang relatif mudah diombang-ambing oleh kepentingan sesaat tanpa memikirkan jangka panjang dan segala resiko yang akan dihadapinya.
Berbagai gaya kepemimpinan presiden sebelumnya yang cenderung berpihak pada golongan tertentu telah kandas oleh gelombang ketidak percayaan arus bawah yang semakin besar kekuatannya.  Orde Lama yang diperintah pemain politik sehingga energi bangsa dan negara terkuras untuk partai politik berbagai kegiatan politik menyebabkan kehidupan adil dan makmur menjadi jauh dari harapan.  Perut rakyat yang lapar akan mampu menggulingkan benteng kekuasaan sekuat apapun.
Senenarnya ahli strategi Soeharto setelah mempelajari kegagalan masa lalu, penggagas Orde Baru ini memperbaiki berbagai kebijakan ekonomi.  Keamanan pun diciptakan sedemikian rupa sehingga setiap gejolak yang ada diredam dan dihancurkan.  Perekonomian masyarakat pun melambung tinggi dalam suasana yang selalu kondusif.  Kemakmuran rakyat pun tercapai, dengan sebagian besar angka kemakmuran ada dalam genggaman kekuasaan dan kroni serta keluarganya.  Kepemimpinan yang demikian pun akhirnya kandas oleh para perut lapar yang dikoordinir kaum intelektual. 
Ketika reformasi baru bergulir, muncul nafas Sukarno yang patriotik.  Suasana ingin kembali Sukarnoisme pun tidak berlangsung lama dan sama sekali tidak merata, bukti yang paling nyata adalah tidak terpilihnya anak Bung Karno dalam pelilihan presiden secara langsung.  Padahal, Megawati adalah presiden yang berkuasa saat itu.  Suara rakyat di balik kepala banteng, sebuah simbol warisan yang menjadi tinggalan Bung Karno pun tidak diberikan kepada ahli warisnya ini.  Masyarakat lebih memilih Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya diusung partai kecil bernama Partai Demokrat yang tidak dikenal.
Rakyat Indonesia memang saat ini semakin berpendidikan, pendidikan formal rata-rata sudah meningkat tajam dan yang lebih penting adalah pendidikan dari arus informasi yang dapat diakses setiap saat.  Hal ini telah mendewasakan rakyat dalam menentukan untuk memilih siapa wakilnya ataupun menerima apapun yang diberikan para calon karena tidak akan ketahuan kalau dia tidak memilih.  Atau keputusan terakhir untuk sama sekali tidak peduli dengan berbagai pemilihan yang digelar.
Oleh karena itu, belajar dari berbagai kegagalan yang telah dilakukan para pemimpin bangsa sebelumnya dan seiring dengan makin terdidiknya masyarakat maka pemimpin yang diperlukan Indonesia saat ini adalah orang yang fleksibel.  Ketika seorang pemimpin mengikuti gaya salah satu golongan dengan kaku maka terbukti harus kandas di tengah jalan atau bahkan hancur dimakan oleh mesin politik yang dibuatnya sendiri. 

3.3.3.      Kepemimpinan Bangsa Indonesia di Masa yang Akan Datang
Tiga teori strategi dan kekuasaan warisan leluhur bangsa-bangsa di dunia telah menjadi pedoman dalam kepemimpinan bangsa, yaitu Sang Penguasa-nya Machiavelli, Alistair McAlpine dengan Sang Pelayan dan Seni Perang Sun Tzu.
Machiavelli berpendapat bahwa jika seorang penguasa tidak memiliki pandangan yang hebat dari dalam dirinya sendiri, berunding dengan lebih dari seorang penasehat, saran-saran yang mereka berikan tidak akan cocok satu sama lain, juga ia tak akan mampu mengakali agar mereka bersatu. 
Setiap orang akan memberi saran menurut kepentingan mereka sendiri atau berdasarkan pikiran yang muncul saat itu, dan sang penguasa tidak mampu berperan baik untuk mengarahkan maupun mengungkap sesuatu; dan para penasehat lainnya tidak akan saling melengkapi, bahwa manusia akan selalu terbukti buruk, kecuali ada keperluan tertentu mereka dipaksa untuk baik. 
Maka jelaslah bahwa saran-saran yang baik, dari siapapun juga, lebih merupakan terusan dari kebijaksanaan sang penguasa daripada saran sang penguasa yang merupakan hasil olahan dari para penasehatnya.
Sementara dalam Sang Pelayan, Alistair McAlpine mengatakan bahwa penting untuk memahani suatu fakta yang diterima kekuatannya jauh lebih besar daripada kebenaran yang sesungguhnya.  Sang pelayan bukanlah seorang pencari kebenaran, namun ia adalah seseorang yang mengambil suatu pandangan yang paling cocok dengan sang penguasa.  Kemudian sang pelayan akan menyokong pandangan itu hingga menjadi sebuah fakta yangtidak dapat disangkal. 
Dengan demikian sang pelayan memiliki bukti untuk mendasari fakta-fakta yang kemudian dibuatnya.  Walalupun bisa saja hal itu jauh dari kebenaran yang sesungguhnya, fakta tersebut, sekali dikukuhkan, secara umum akan diterima oleh semua pihak.
Sementara ahli strategi perang, Sun Tzu mengatakan bahwa bertarung dan menaklukan semua pertempuran bukanlah kesempurnaan yang utama, kesempurnaan yang utama berada pada penghancuran ketahanan musuh tanpa pertarungan.
Ketiga pelajaran kuno itu masih sangat penting untuk menengok kepemimpinan di Indonesia saat ini.  Dengan koreksi diri dan perbaikan disana-sini maka dapat disusun strategi untuk menuju kepemimpinan di masa yang akan datang yang lebih penuh dengan tantangan yang semakin cepat berubah.


Seperti dialami bersama, bahwa dari masa ke masa kepemimpinan Bangsa Indonesia selalu terjebak dalam kepemimpinan terpusat yang mengagungkan seorang pemimpin sebagai tumpuan ternyata menyebabkan mereka tidak lagi mampu mengemban segala tugas berat itu sendirian.  Seiring berjalannya usia dan makin beratnya tugas berat yang diembannya maka sang pemimpin pun harus turun tahta dengan paksa.
Ketika berkuasa seorang pemimpin dipuja seperti dewa, dikultuskan sedemikian rupa sehingga segala titahnya tidak dapat dikoreksi.  Tetapi begitu zaman berubah dan menuntut kemundurannya maka semua yang ada di sampingnya pun menjauh, bahkan ikut mendorong sangidola sampai jatuh.  Sudah jatuh ditimpa tangga, karena memang sudah tidak perlu lagi dipuja.
Di Indonesia atau bahkan dunia yang mengglobal saat ini memerlukan seorang pemimpin yang mampu mendistribusikan kepemimpinannya kepada setiap individu yang dipimpinannya, seluruh rakyat Indonesia.  Karena sesungguhnya kepemimpinan masa kini dan masa yang akan datang adalah tanggungjawab setiap orang. 
Pemimpin bangsa ini juga sudah semestinya menjadi bagian dari rakyat Indonesia yang beraneka ragam budaya dan latar belakang lainnya.  Seperti kata Druckrer, para pemimpin perlu mengetahui orang yang dipimpinnya secara komprehensif. 
Tidak mudah untuk menghasilkan pemimpin sejati bagi bangsa yang unik ini, namun suatu keharusan agar tidak lagi terus terjerumus dalam lubang kejatuhan yang sama.  Agar bangsa Indonesia tidak lagi disebut oleh ahli politik sebagai negara yang menjalankan arus politik bolak-balik, berusaha untuk menuju pembaharuan tetapi yang dituju sesungguhnya masa lalu, yang itu-itu juga.
Robert J. Thomas seorang ahli kepemimpinan di Harvard Business School mengatakan bahwa seorang pemimpin tumbuh menjadi seorang pemimpin sejati melalui pembelajaran dari pengalaman kehidupannya.  Hubungan antara pengalaman dan kepemimpinan adalah sebagai berikut :
a.                   Pengalaman memiliki dua pelajaran penting, kepemimpinan dan pembelajaran
b.                  Pembelajaran yang berkelajutan dapat membentuk kemampuan dan talenta seseorang
c.                   Strategi pembelajaran atas pengalaman yang dikemas secara pribadi dibutuhkan dalam pertumbuhan kepemiminan seseorang
d.                  Organisasi dapat berperan dalam menumbuhkan dan mengembangkan pemimpin dengan membantu mereka tumbuh melalui pengalaman.
Sementara itu William A. Cohen mengemukakan sepuluh prinsip strategi seorang pemimpin, yaitu :
1.                  Berkomitmen sepenuhnya pada satu tujuan tertentu karena siapapun tidak akan sampai ke tujuan tanpa mengetahui di mana tempat tersebut berada.
2.                  Mengambil inisiatif dan mempertahankannya karena kehidupan adalah kompetitif sehingga harus ada inisiatif untuk menaklukannya.
3.                  Menghemat sumber daya massal, jangan membuang-buang waktu atau sumber daya pada aspek-aspek yang tidak penting.
4.                  Menggunakan positioning strategis, perubahan-perubahan lingkungan atau perubahan tidak terduga.
5.                  Melakukan yang tidak terduga, buatlah hal-hal yang mengejutkan dan hal-hal yang tidak terduga.
6.                  Mempertahankan kesederhanaan, buatlah konsep dan strategi yang sederhana, yang dapat dengan mudah diimplementasikan.
7.                  Mempersiapkan banyak alternatif, karena setiap rencana mengandung kemungkinan untuk gagal maka diperlukan banyak alternatif rencana.
8.                  Mengambil rute tak langsung menuju tujuan, bergerak secara langsung untuk melakukan apa yang dipikirkan atau diusahakan bisa menimbulkan hal yang berlawanan, diperlukan strategi agarsegalanya berbeda.
9.                  Menerapkan penjadwalan dan pengurutan yang tepat, menerapkan strategi yang benar pada waktu yang salah dan urutan yang salah bisa sama tidak efektifnya dengan jika strategi itu sepenuhnya salah.
10.              Mengekploitasi kesuksesan, jangan berhenti atau bergerak lamban untuk mencapai tujuan.
Kepemimpinan pada dasarnya adalah mengenai penciptaan cara bagi orang untuk ikut berkontribusi dalam mewujudkan sesuatu yang luar biasa, kata Allan Keith.  Hal ini senada dengan Ram Charan yang mengatakan bahwa pemimpin adalah produk yang unik.  Ia memiliki kemampuan dan karakter yang berbeda dibanding dengan banyak orang. 
Oleh karena itu tidak setiap orang menjadi pemimpin karena mereka harus dicetak dengan proses yang berbeda :
a.             Banyak orang memiliki kepintaran, kemampuan tinggi dan kandidat untuk menjadi pemimpin tetapi tidak banyak yang mampu menjadi pemimpin.
b.            Keberanian dalam memberi tugas baru yang menantang dan umpan balik tepat waktu adalah kuncinya.  Bukan pada pendidikan formal, melainkanpendidikan informal ketika mereka harus berjuang sendirian di lapangan.
c.             Tugas yang diberikan sangat personal dan berbeda dari yang lain sehingga potensi sebenarnya bisa diketahui.
Dari berbagai teori kepemimpinan di atas, sesungguhnya masyarakat dan bangsa Indonesia memerlukan pemimpin yang membumi.  Lima kriteria membumi seperti yang diterapkan sebuah perusahaan kelas dunia General Electric dalam menentukan seorang pemimpin, yaitu :
a.             Memiliki fokus eksternal yang mampu membawa kesuksesan di masa yang akan datang
b.            Seorang pemiki yang mampu menyederhanakan strategi menjadi program spesifik
c.             Memiliki imajinasi dan berani mengambil resiko menjadi pada orang dan ide baru
d.            Mampu memberi semangat pada tim
e.             Memiliki kemampuan khusus di bidang spesialisasinya.
Ketika menghadapi masalah dan pengambilan keputusan, dilema merupakan makanan sehari-hari seorang pemimpin.  Seringkali dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, sementara ingin keduanya maka harus memilih salah satu atau terpaksa memilih salah satu padahal keduanya sama sekali tidak layak dipilih.  Berpikir integratif merupakan kemampuan menghadapi tekanan gagasan yang bertentangan secara konstruktif.  Daripada memilih salah satu dan mengorbankan yang lain, seorang pemimpin yang sukses harus mampu menghasilkan resolusi kreatif dalam bentuk gagasan baru yang berisi elemen dari gagasan yang bertentangan, tetapi masing-masing superior.
Para pemimpin sukses yang diharapkan ini memiliki satu sifat dasar, yaitu mereka memiliki kecenderungan dan kapasitas memegang dua gagasan yang saling bertentangan di kepala tetapi tidak mudah panik atau mengalah dengan memilih salah satu pilihan dan meninggalkan yang lainnya.  Mereka tidak memilah sebuah masalah menjadi terbagi-bagi dan mengurusnya secara terpisah tetapi menganggap semua itu sebagai satu kesatuan yang utuh dan mereka menyelesaikan masing-masing bagiannya. 
Pemimpin harus mampu dalam menghadapi dilema bukan malah lari atau memilih salah satu pilihan, melainkan menjinakkan dan merangkulnya.  Mereka juga membiarkan kompleksitas masuk dalam merancang keputusan karena merupakan tantangan kognitif karena dianggap membawa peluang resolusi yang bersifat terobosan.
Kompleksitas bangsa Indonesia antara potensi yang sangat kaya dan pemanfaatannya yang bertolak belakang dengan berbagai gejolak yang mengiringi, memerlukan pemimpin yang berpikir integratif yang berbeda dengan yang lainnya dalam empat proses berpikir dan mengambil keputusan, yaitu :
a.             Dalam menentukan apa yang dianggap penting
b.            Dalam mempersepsikan kausalitas fitur yang dianggap penting
c.             Dalam mengambil tindakan
d.            Bagaimana mengembangkan pilihan resolusi.
Pemimpin Indonesia di masa yang akan datang juga perlu menyadari bahwa berbagai sumberdaya yang selama ini merupakan kekayaan tak ternilai, suatu saat akan terbatas dan terkikis habis.  Sumber keunggulan di masa yang akan datang terletak pada kemampuan bangsa dalam berinovasi, hanya sumber daya inovasi atau pengetahuan yang tidak terbatas sifatnya.
Mantan PM Singapura, Goh Cok Tong mengatakan bahwa, inovasi dan imajinasi akan memberikan keunggulan ekstra bagi perekonomian negara, dimana saat ini kemakmuran dan kesejahteraan akan tercipta dari munculnya berbagai gagasan baru.
Inovasi akan berkembang dengan baik ketika terdapat percampuran yang harmonis antara berbagai pengetahuan, disiplin ilmu dan perspektif yang beragam.  Inovasi akan tumbuh subur dalam keberagaman.
Kepemimpinan bangsa ini harus terus berlanjut, bukan hanya sekali pemilihan presiden yang akan datang.  Untuk menjamin keberlangsungan bangsa Indonesia menuju harapan yang lebih baik maka diperlukan beberapa langkah untuk menghasilkan anak bangsa pemimpin sejati, yaitu :
a.             Pendefinisian kebutuhan talenta
b.            Penyatuan dan penyebarluasan talenta terhadap tujuan bangsa dan negara
c.             Pengukuran setiap aktivitas manajemen talenta sehingga mampu memberi umpan balik bagi setiap lini dalam organisasi.

3.4.Perubahan, Antara Perubahan dan Tantangannya
Ketika terjadi perubahan besar seperti sekarang ini, budaya organisasi mendapat perhatian khusus.  Para pemimpin menyerukan panggilan untuk melakukan perubahan budaya, menuju budaya yang lebih bersifat wirausaha atau menciptakan budaya yang bertanggungjawab.  Apabila keyakinan dasar organisasi berubah, pemikiran terus maju maka perilaku pelaku organisasi akan mengikutinya.
Namun demikian, mengubah budaya organisasi memerlukan transformasi dari organisasi itu sendiri, tujuannya, fokusnya pada pelanggan dan hasil.  Budaya tidak berubah karena diinginkan tetapi budaya akan berubah ketika ditransformasi.  Budaya merefleksikan realitas orang-orang yang bekerjasama di dalamnya.
Peter F. Drucker, Bapak Manajemen Modern dalah sosok yang memiliki keberanian dalam pikiran, tulisan dan pengajarannya yang ada kalanya seperti seorang pemberontak.  Naum pemikirannya kadang membuat para ahli yang lain mentertawakan, mengabaikan, tetapi tidak jarang yang iri kepadanya.  Salah satu sarannya yang sangat perlu dimiliki masyarakat sekarang adalah perlunya menjadi pemikir masa depan dan menciptakan perubahan termasuk masa depan kita. 
Terdapat 7 (tujuh) langkah untuk mengubah budaya organisasi, yaitu :
a.             Mengamati lingkungan sehubungan dengan dua atau tiga tren syang akan memberi pengaruh terbesar bagi organisasi di masa depan.
b.            Menentukan implikasi dari tren tersebut bagi organisasi.
c.             Melihat kembali misi organisasi dan mempelajari tujuan serta memperbaikinya sehingga menjadi pernyataan yang singkat, kuat dan menggugah mengenai alasan melakukannya.
d.            Melarang hirarki lama yang diwarisi dan membangun struktur dan sistem manajemen yang fleksibel dan cair, yang melepaskan energi dan semangat orang.
e.             Menentang pernyataan bahwa yang dilakukan hanya seperti itu-itu saja dengan mempertanyakan setiap kebijakan, praktek, prosedur dan asumsi, meninggalkan apa saja yang kurang berguna saat ini atau di masa depan, dan hanya mempertahankan apa yang merefleksikan masa depan yang diinginkanBerkomunikasi dengan beberapa pesan yang kuat dan menggerakkan, yang dapat memobilisasi orang-orang di seputar misi, tujuan dan nilai-nilai.  Bukan dengan puluhan pesan yang sukar diingat orang.
f.             Membagikan tanggungjawab kepemimpinan ke semua bagian di dalam organisasi, sehingga tidak ada pemimpin tunggal, tetapi banyak pemimpin pada setiap tingkatan organisasi.
Sementara itu organisasi yang bisa eksis dalam mengahadapi berbagai perubahan mempunyai tiga ciri yang sama, masing-masing berkaitan dengan peran tertentu pemimpinnya, yaitu :
a.             Imajinasi untuk berinovasi.  Mendorong inovasi, pemimpin yang efektif membantu mengembangkan konsep-konsep daru, ide-ide, model dan aplikasi teknologi yang memisahkan organisasi.
b.            Profesionalisme dalam berkinerja.  Pemimpin menyediakan kompetensi pribai dan organisasi yang didukung oleh pelatihan dan pengembangan tenaga kerja untuk bekerja tanpa kesalahan.
c.             Keterbukaan untuk berkolaborasi.  Pemimpin membuat koneksi dengan para mitra yang dapat memperluas jangkauan organisasi, meningkatkan penawaran atau memberi energi dalam prakteknya.
Ide-ide perubahan tidak selalu mulus tetapi sering mengalami kendala, baik eksternal ataupun internal sekalipun.  Beberapa alasan penolakan terhadap perubahan dari anggota organisasi antara lain :
a.             Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga.
Salah satu alasan utama orang menolak perubahan adalah keterkungkungan dalam kepentingan sendiri, pikiran bahwa akan kehilangan sesuatu yang berharga sebagai akibat perubahan tersebut.  Hal seperti ini bisa terjadi karena orang yang berpikiran picik hanya memusatkan pada kepentingan diri sendiri tanpa mementingkan kepentingan organisasi secara keseluruhan.  Penlakan seperti ini sering kali terjadi di bidan politik atau perilaku politik orang-orang yang takut kehilangan jabatannya.
b.            Salah pengertian terhadap perubahan serta segala implikasinya.
Orang juga menolak perubahan karena tidak memahami implikasinya dan menganggap bahwa perubahan tersebut akan lebih merugikan daripada menguntungkan mereka.  Situasi seperti ini kerap terjadi ketika tidak ada lagi saling percaya antara orang yang menggagas perubahan dengan para anggota organisasi lainnya.
c.             Keyakinan bahwa perubahan tidak akan membawa perbaikan bagi organisasinya.
Alasan lain mengapa orang umumnya menolak perubahan adalah bahwa mereka menilai situasi secara berbeda dari para penggagas perubahan.  Mereka sering kali lebih melihat sisi kerugian daripada keuntungan yang dapat diperoleh dari perubahan tersebut.  Tidak hanya bagi keuntungan mereka sendiri tetapi bagi kepentingan organisasi secara keseluruhan.
d.            Toleransi yang rendah terhadap perubahan.
Orang juga menolak perubahan karena takut mereka tidak akan mampu mengembangkan keterampilan baru serta perilaku yang akan dituntut dari mereka sebagai akibat dar perubahan itu.  Semua manusia terbatas dalam kemmpuan untuk berubah namun yang satu lebih terbatas daripada yang lainnya.  Perubahan organisasi juga kerap kali secara sembrono menuntut orang untuk berubaha terlalu banyak dan terlalu cepat.
Penggagas perubahan yang peka terhadap orang yang bereaksi terhadap perubahan yang digagasnya akan menangani segala penolakan tersebut dengan arif.  Beberapa metoda yang dapat digunakan dalam menangani penolakan antara lain :
a.             Pendidikan dan komunikasi
Salah satu cara yang paling lazim digunakan untuk mengatasi sikap penolakan terhadap perubahan adalah memberikan pendidikan kepada orang mengenai perubahan itu sebelumnya.  Penyampaian gagasan dapat membantu orang melihat kebutuhan serta alasan mengapa perubahan itu perlu.  Proses pendidikan ini biasa dilakukan lewat diskusi, presentasi kepada kelompok atau memo dan laporan.
Program pendidikan dan komunikasi bisa jadi sangat tepat jika penolakan itu didasarkan pada informasi serta analisis yang tidak akuran dan tidak memadai.  Khususnya jika para penggagas memerlukan bantuan dari pihak penolak untuk menerapkan perubahan itu.
Namun patut disadari bahwa program seperti itu menuntut adanya hubungan baik antara penggagas perubahandengan penolak perubahan.  Jika tidak, maka pihak penolak tidak akan meyakini apa yang mereka dengar.  Jemis program ini juga memerlukan waktu dan upaya, khususnya jika perubahan itu menyangkut banyak orang.
b.            Partisipasi dan keterlibatan
Jika penggagas perubahan melibatkan calon penolak dalam beberapa aspek rencana dan pelaksanaan perubahan, kerap kali dapat diramalkan akan munculya penolakan.  Dengan menggunakan upaya perubahan yang partisipatif, si penggagas bisa mendengarkan orang-orang yang terlibat dalam perubahan itu serta dapat menggunakan nasihat mereka.
Banyak pelaku organisasi yang tidak menyadari perlunya partisipasi, terkadang bersifat negatif dan terkadang positif.  Sebagian pimpinan merasa senantiasa perlu adanya partisipasi dalam menerapkan perubahan, sementara yang lain merasa hal itu sebenarnya merupakan suatu kesalahan.  Kedua sikap tersebut dapat menumbulkan masalah bagi seorang pimpian karena tidak ada diantara kedua sikap itu yang realistis.
Ketika penggagas perubahan yankin bahwa mereka memiliki segala informasi yang dibutuhkan untuk merancang serta menerapkan peribahan, atau ketika mereka memerlukan komitmen dari pihak lain untuk melaksanakannya dengan sepenuh hati, maka upaya untuk melibatkan orang lain akan sangat menguntungkan.
Banyak penelitian sosial menunjukkan bahwa partisipasi dapat menuntun komitmen orang.  Dalam beberapa hal komitmen dibutuhkan demi suksesnya perubahan.  Namun demikian, proses partisipasi tidak luput dari kekurangan.  Partisipasi tidak hanya dapat menghasilkan sebuah solusi yang kurang memadai jika prosesnya tidak ditangani secara cermat, melainkan juga dapat memboroskan banyak waktu.  Ketika terpaksa dilakukan mendadak, perubahan itu bisa makan waktu yang terlalu lama bila melibatkan pihak lain.
c.             Fasilitasi dan dukungan
Cara lain yang dapat digunakan untuk menangani kemungkinan penolakan terhadap perubahan adalah sikap pemberian dukungan.  Proses ini bisa mencakup pemberian pelatihan keterampilan baru atau memberikan dukungan emosional kepada anggota.
Fasilitasi dan dukungan bisa sangat membantu ketika para penolak perubahan dihantui ketakutan dan kecemasan.  Ada kalanya pimpinan yang keras kerap kali mengabaikan penolakan seperti ini, termasuk menolak kemanjuran cara fasilitatif untuk mengatasinya.
Kekurangan mendasar dari cara pendekatan ini adalah banyaknya waktu dan biaya yang dibutuhkan serta kemungkinan masih adanya kegagalan.  Jika waktu, uang dan kesabaran tidak memadai maka penggunaan metode pemberian dukungan tidak begitu praktis.
d.            Negosisasi dan kesepakatan
Cara lain untuk menghadapi penolakan adalah memberikan insentif kepada para penolak yangaktif ataupun calon penolak.   Caranya misalnya dengan kebijakan memberi penghasilan yang lebih tinggi sebagai imbalan atas perubahan peraturan.
Negosiasi paling tepat dilakukan apabila sudah ada kejelasan bahwa seseorang akan dirugikan akibat dari perubahan yang terjadi, sementara kekuatan penolakannya cukup signifikan.  Perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dapat saja digunakan sebagai cara yang relatif mudah untuk menghindari penolakan yang lebih besar lagi, meskipun hal ini bisa memakan biaya besar sebagaimana proses-proses lainnya.
Namun patut diingat bahwa ketika seorang pemimpin menyatakan bahwa ia akan bernegosiasi untuk menghindarkan penolakan yang penting, berarti telah membuka diri terhadap kemingkinan terjadina pemerasan.
e.             Manipulasi dan kooptasi
Dalam situasi tertentu seorang penggagas perubahan kadang-kadang terpaksa tidak membeberkan rencana atau upaya untuk mempengaruhi pihak lainnya.  Dalam hal ini, manipulasi biasanya melibatkan penggunaan informasi yang sangat selektif serta penataan kejadian secara serius.
Salah satu bentuk manipulasi yang biasa dilakukan adalah kooptasi.  Biasanya mengkooptasi seseorang disertai dengan pemberian peran yang diinginkan oleh orang tersebut dalam rencana pelaksanaan perubahan yang diinginkan. 
Mengkooptasi suatu kelompok harus melibatkan salah seorang dari pemimpinnya, atau tokoh yang dihormati oleh kelompok tersebut, dengan memberinya peran kunci dalam rencana dan pelaksanaan perubahan tersebut.  Akan tetapi hal ini bukanlah bentuk partisipasi, karena penggagas perubahan tidak memerlukan nasihat dari orang yang dikooptasi, melainkan semata-mata atas wewenangnya sendiri.
Dalam situasi tertentu, kooptasi merupakan cara yang relatif murah dan mudah untuk memeperoleh dukungan dari seorang individu atau sebuah kelompok.  Lebih murah daripada perundingan dan lebih cepat daripada partisipasi. 
Sekalipun demikian, ada juga kelemahan kooptasi.  Jika orang-orang merasa dirinya dimanipulasi agar tidak menolak perubahan itu, merasa dilecehkan atau dibohongi, maka ada kemungkinan bahwa mereka akan bereaksi sangat negatif.  Kooptasi juga bisa menimbulkan berbagai masalah jika orang yang dikooptasi menggunakan kapasitasnya untuk mempengaruhi rencana serta implementasi perubahan yang dimaksud dengan cara yang tidak menguntungkan.
Bentuk-bentuk manipulasi lainnya juga memiliki kekurangan, bahkan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.  Kebanyakan orang bisa saja menyambut hal-hal yang mereka anggap sebagai perlakuan tersembunyi atau kebohongan, tetapi bereaksi negatif.  Selanjutnya jika seorang penggagas perubahan memupuk dirinya sebagai manipulator, maka hal itu bisa merusak kemampuannya untuk menggunakan pendkatan yang diperlukan seperti pendidikan, komunikasi dan partisipasi.  Ekstrimnya, hal itu bisa merusak kariernya.
Kendati demikian, orang berhasil melakkan manipulasi terhadap orang lain, khususnya jika segala kiat lainnya tidak berhasi dan mengalami jalan bunt.  Setelah tidak ada lagi alternatif lain , dan tidak ada lagi waktu ntuk mendidik, melibatkan dan mendukung orang-orang, dan tanpa ada lagi daya untuk berunding, memaksa, mengkooptasi, maka para penggagas perubahan terpaksa mengambil jalan untuk memanipulasi jalur-jalur informasi guna menakut-nakuti orang agar berpikir bahwa ada sebuah krisis yang hanya dapat ditanggulangi dengan melakukan perubahan.
f.             Pemaksaan eksplisit dan impliisit
Para pengaggas perubahan kerapkali menghadapi penolakan dengan melakukan pemaksaan.  Dalam situasi ini mereka pada dasarnya memaksa orang untuk menerima perubahan secara eksplisit atau secara implisit yang mengancam mereka.  Bisa kemungkinan kehilangan pekerjajan, kemungkinan kenaikan pangkat dan sebagainya, termasuk memecat atau mutasi. 
Sebagaimana halnya manipulasi, penggunaan paksaan amatlah riskan karena akan menimbulkan akibat perubahan yang dipaksakan.  Namun dalan situasi dimana kecepatan merupakan hal yang esensial sementara perubahan-perubahan tidak menjadi populer, maka pemaksaan sering menjadi jurus ampuh yang dilakukan untuk terjadinya perubahan yang dikehendaki.
Dalam melakukan perubahan organisasi, para penggagas perubahan harus secara eksplisit atau implisit melakukan pilihan-pilihan strategis menyangkut kecepatan upaya, jumlah pra-perencanaan, keterlibatan pihak lain, dan penekanan relatif yang akan diberikan terhadap pendekatan yang berbeda.  Paya-upaya pendekatan bisa berhasil jika pilihan-pilihan ini secara internal konsisten dan cocok dengan beberepa variabel situasional penting, seperti :
a.             Jumlah dan jenis penolakan yang sudah diantisipasi.  Dengan estimasi bahwa semua faktor lainnya sama, maka semaikin besar penolakan yang diantisipasi, semakin sulit mengatasinya dan pengagas perubahan harus berusaha menemukan cara menguranginya.
b.            Posisi penggagas berhadapan dengan penolak perubahan, khususnya mengenai wewenang.  Semakin kecil wewenang penggagas terhadap orang lain maka relatif lemah sehingga harus mencari kekuatan pendukung.  Sementara semakin besar wewenangnya maka jalan melakukan perubahan menjadi relatif terbuka lebar.
c.             Orang yang memiliki data relevan dapat merancang perubahan serta memiliki energi untuk melaksanakannya.  Semakin besar antisipasi penggagas bahwa mereka memerlukan informasi dan komitmen dari pihak lain demi terlaksananya rancangan serta penerapan perubahan semakin baik.  Untuk memeperoleh informasi serta komitmen yang berguna diperlukan waktu dan keikutsertaan pihak lain.
d.            Besarnya pertaruhan.  Semakin besar kemungkinan jangka pendek untuk menghadapi resiko bagi kehidupan serta berlangsungnya kinerja organisasi jika situasi yang sedang dihadapi tidak dirubah maka perubahan harus bergerak cepat dan terencana dengan jelas.
Para penggagas dapat memperbaiki peluang sukss dalam upaya perubahan organisasi dengan jalan :
a.             Melakukan analisis organisasi yang dapat mengidentifikasi situasi, masalah dan kekuatan yang mungkin menjadi sebab terjadinya masalah tersebut.  Analisis tersebut hendaknya menjelaskan kepentingan aktual permasalahan, kecepatan yang diperlukan untuk mengidentifikasi permasalahan jika masalah tambahan akan dihindari dan jenis perubahan umum apa yang diperlukan.
b.            Melakukan suatu analisis atas faktor-faktor yang relevan untuk menerapkan perubahan yang dibutuhkan.  Analisis ini harus terfokus pada permasalahan tentang siapa yang kemungkinan menjadi penolak perubahan, mengapa dan seberapa banyak, siapa yang memiliki informasi yang dibutuhkan untuk merancang perubahan, dan siapa yang penting untuk diajak bekerja sama dalam menerapkan perubahan itu, dan bagaimana kedudukan dan wewenang penggagas perubahan jika dihadapkan dengan pihak-pihak relevan lainnya dipandang dari segi kekuasaan, kepercayaan, cara-cara interaksi normal dan sebagainya.
c.             Memilih strategi perubahan yang didasarkan pada analisis sebelumnya untuk menetapkan kecepatan perubahan, jumlah rencana awal, dan derajat keikutsertaan pihak lainnya.  Pilihan tersebut menentukan kiat yang akan digunakan dengan beragam individu dan kelompok serta konsistensi secara internal.
d.            Memantau proses implementasi perubahan.  Tidak peduli seberapa baik kerja seseorang pada awal ketika memilih strategi dan kiat perubahan, sesuatu yang tak terduga akhirnya akan terjadi selama proses pelaksanaan perubahan.  Hanya dengan memantau secara cermat proses tersebut, seseorang bisa mengidentifikasi hal-hal tak terduga dan bereaksi secara bijak dalam mengahadapina.
Kunci sukses perubahan sangat tergantung pada kemampuan penggagas dalam membina hubungan antar-individu.  Jangan sekali-sekali menggunakan kiat yang picik karena dalam dunia yang berkembang sangat dinamis seperti sekarang ini, implementasi yang picik lambat-laun akan berkembang dan berakumulasi menjadi masalah yang makin berat.
 
3.5.            Perubahan Budaya Organisasi di Lingkungan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu

Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Indramayu dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741). 
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 8 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Kabupaten Indramayu dibentuklah dinas yang membidangi masalah pertanian dan peternakan, yaitu Dinas Pertanian dan Pternakan Kabupaten Indramayu.
Tugas dan Fungsi Pokok Dinas Pertanian dan Peternakan menurut Peraturan Bupati Indramayu Nomor 39 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut :
a.             Dinas pretanian dan Peternakan mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang pertanian dan peternakan, berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan.
b.            Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut sebagaimana dimaksud, Dinas Pertanian dan Peternakan mempunyai fungsi :
(1)               Perumusan kebijaksanaan teknis di bidang pertanian dan peternakan.
(2)               Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pertanian dan peternakan.
(3)               Pembinaan pelaksanaan tugas di bidang pertanian dan peternakan.
(4)               Pelaksanaan pelayanan teknis administrasi ketatausahaan.
(5)               Pelaksanaan pengelolaan UPTD.
(6)               Pelksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dnegan tugas dan fungsinya.
Susunan organisasi Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu terdiri dari Kepala, Sekretris yang membawahi 3 Sub Bagian, Bidan Tanaman Pangan dengan membawahkan 3 Seksi, Bidang Hortikultura yang membawahkan 3 Seksi dan Bidang Peternakan dengan membawahi 3 Seksi.
Bidang Peternakan terdiri dari 3 seksi, yaitu :
a.             Seksi Kesehatan Hewan dan Kesmavet
b.            Seksi Perbibitan
c.             Seksi Pengembangan
Berdasarkan SK mutasi dari Bupati Indramayu yang terbaru, Penulis menduduki posisi Kasi Pengembangan dengan tugas pokok mempersiapkan bahan pelaksanaan kegiatan pengembangan peternakan dengan fungsi sebagai berikut :
a.             Penyiapan bahn pelaksanaan kegiatan pengembangan peternakan.
b.            Pelaksanaan operasional pengembangan peternakan.
c.             Penetapan peta potensi, pengembangan lahan hijauan pakan, padang pengembalaan dan kawasan industri peternakan rakyat.
d.            Pembinaan dan rekomendasi perizinan budidaya peternakan dan usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
e.             Penerapak kebijakan pembinaan dan pengembangan alat dan mesin peternakan.
f.             Penerapan kajian pengembangan teknologi tepat guna, kerjasama dengan lembaga-lembaga teknologi dan adaptasi temuan teknologi baru di bidang peternakan.
g.            Pembinaan dan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan air untuk usaha peternakan.
h.            Pembinaan pengembangan manajemen usaha agrobisnis peternakan, pemanfaatan sumber pembiayaan, pedoman kerjasama kemitraan usaha dan pembinaan mutu pengolahan hasil peternakan.
i.              Pembinaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan kebijakan operasional penyebaran dan pengembangan ternak.
j.              Pembinaan dan pelaksanaan operasional hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan.
k.            Pembinaan penerapan teknologi panen, pasca panen, pengolahan hasil, promosi dan informasi pasar produk peternakan.
l.              Pelaksanaan kebijakan penyebaran pengembangan peternakan.
m.          Fasilitasi bimbingan pemantauan dan penyebaran ternak yang dilakukan swasta.
n.            Fasilitasi bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran, registrasi dan redistribusi ternak.
o.            Fasilitasi bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi ternak.
p.            Fasilitasi bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi calon penggaduh.
q.            Fasilitasi bimbingan pelaksanaan sistem dan pola peyebaran ternak.
r.              Pelaksanaan temuan-temuan teknologi baru di bidang peternakan.
s.             Pelaksanaan kajian, pengenalan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang peternakan.
t.              Pelaksanaan tugas kedinasan lain sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Sudah menjadi kelaziman di birokrasi Indonesia bahwa berbagai peraturan dan pedoman adalah aspek teori dalam menjalankan tugas, sementara prakteknya sangat tergantung pada kebijaksanaan seorang pimpinan.  Demikian halnya di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu berlaku hal yang sama, bahkan Penulis menyebutnya sebagai Manajemen Kwalonan.
Sebagai bagian penting dari unit terbesarnya maka Bidang Peternakan juga melakukan praktek yang sama.  Penelanjangan ilmu kepemimpinan yang didapat dari berbagai pendidikan dan pelatihan para pemimpin juga terjadi.  Alokasi peerjaan tidak lagi berdasarkan berbagai pedoman yang berlaku tetapi berdasarkan mood seorang Kepala Bidang.
Selama beberapa tahun kebijaksanaan tersebut berjalan sehingga berbagai pelanggaran menjadi bagian yang tidak lagi dapat dipisahkan.  Seorang Kepala Seksi tertentu sering dijadikan boneka semata, hanya mengisi jabatan tanpa pernah diberi wewenang mengerjakan tugas pokok dan fungsinya.
Lebih parah lagi, selama 2 (dua) periode mutasi pejabat yang mengisi Seksi Pengembangan sama sekali tidak tahu tentang tugas pokok dan fungsinya.  Kehadirannya hanya menjadi pelengkap penderita.  Melengkapi keberadaan jabatan yang harus diisi tanpa pernah menjalankan hak dan kewajibannya   Sementara harus menderita karena harus menhadapi berbagai panggilan dari Kepolisian dan Kejaksaan untuk mempertanggungjawabkan berbagai pekerjaan di seksinya.  Pekerjaan warisan yang ditinggalkan pejabat terdahulu ataupu yang dilaksanakan oleh sesama seksi namun beda posisi (anak kandung pimpinan).
Seksi Pengembangan memang merupakan inti dari Bidang Peternakan itu sendiri.  Tugas pokok dan fungsinya relatif berat karena menyangkut berbagai perkembangan peternakan di Kabupaten Indramayu dari dulu, sekarang dan bagaimana merancang kemajuannya di masa yang akan datang.  Oleh karena itu tidak mengherankan apabila jabatan ini paling diicar para karyawan Bidang Peternakan.
Jabatan di Seksi Pengembangan adalah kedudukan kedua yang diduduki Penulis, sebelumnya menduduki Kasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.  Oleh karena itu, berbekal sedikit pengalaman sebelumnya maka berbagai langkah dilakukan untuk mengubah pola lama menunju sedapat mungkin peraturan yang berlaku.
Seperti dikemukakan di muka bahwa pekerjaan Seksi Pengembangan sebelumnya praktis diambil-alh oleh seksi lain yang menjadi anak kandung Kepala Bidang.  Kepala Seksi Pengembangan dianggap wayang mati yang kehadirannya hanya sebaga pelengkap penderita.  Tidak mengherankan kalau di awal tahun 2009 hampir tidak ada lagi peluang bagi Penulis untuk mengerjakan apapun, terutama keproyekan sama sekali tidak kebagian.
Menyadari hal ini tidak boleh terus berlangsung maka satu-satunya senjata adalah peraturan yang berlaku.  Saat itu baru ada Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 8 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Kabupaten Indramayu.  Oleh karena itu belum terinci tugas pokok dan fungsi dari masing-masing seksi.
Berdasarkan berbagai pedoman yang sudah ada sebelumnya, yaitu Keputusan Bupati Indramayu Nomor 10 Tahun 2003 tentang Uraian Tugas Jabatan Struktural dan Non-Struktural pada Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, maka Penulis berinisiatif menghadap Kepala Bidang dan membicarakan tugas pokok dan fungsi.  Dari situlah muncul berbagai pendapat dan kecurigaan yang berlebihan dari mereka yang hadir, seakan cukup ada satu seksi di Bidang Peternakan.  Kecurigaan mereka memang tidak salah, sebab seperti dikemukakan di muka bahwa inti dari bidang ini adalah Sekesi Pengembangan.
Seksi lain yang selama ini mengerjakan pekerjaan Seksi Pengembangan merasa terdesak dan harus menyerahkan kegiatan yang selama ini potensial untuk mengisi kantong keluarganya terancam.  Dapat dipahami bahwa kegiatan seperti penyebaran ternak yang selama puluhan tahun ditangani harus diserahkan kepada orang baru. 
Sebenarnya latar belakang Penulis sangat ngotot untuk mengembalikan segalanya pada pedoman yang berlaku adalah banyaknya ternak pemerintah yang disebarkan selama ini tidak dapat berkembang.  Bagaimana berkembang, ternaknya saja sudah tidak ada di tangan masyarakat.  Kelompok petani-ternak dan ternak pemerintah yang dipeliharanya hanya ada pada data.  Kenyataan di lapangan, bukan hanya ternaknya tidak ada, kelompok ternaknya pun sudah bubar atau sama sekali tidak pernah dibentuk.
Berbagai informasi yang didapat dari masyarakat dan berbagai pihak yang mencoba menelusuri ternak-ternak yang lenyap ini diperoleh data yang sangat mengejutkan.  Ribuan ternak pemerintah di Kabupaten Indramayu lenyap tertelan bergagai kebijaksanaan, bahkan ratusan diantaranya menjadi milik pribadi para karyawannya.  Bagi sebagian orang tenntu pendapat ini tidak amsuk akal, tetapi bagi karyawan yang menggeluti Bidang Peternakan hal ini sudah bukan rahasia lagi.
Salah satu pejabat di Bidang Peternakan sudah sangat senior, sejak berrtugas pertama kali seperempat abad yang lalu tidak pernah mutasi kemanapun.  Apapun momenklatur instansi yang membidangi peternakan ini tidak pernah menggesernya ke posisi lain.  Sebagian besar karyawan segan akan keseniorannya sehinga hanya tunduk dan patuh terhadap apa yang dilakukannya, termasuk seorang Kepala Bidang.
Setelah dicoba untuk mempelajari da menggabungkan berbagai informasi baik dari petugas lapangan maupun langsung dari para peternak yang frustasi dan yang memuji maka benang merah disulapnya ternak pemerintah menjadi milik pribadi sangatlah jelas.  Bahkan berbagai sihir yang dapat melenyapkan ribuan ternak pemerintah yang besar seperti sapi dan kerbaupun, triknya sangat mudah dipahami. 
Praktek pembentukan kelompok fiktif ataupun nama-nama anggota yang tidak pernah ada orangnya adalah praktek yang sudah menahun selapa puluhan tahun.  Berbagai ternak bantuan pemerintah yang diberikan kepada kelompok pada dasranya untuk para pemberi itu sendiri.  Ada yang secara terang-terangan langsung meminta bagian, bisa dengan cara titip dahulu kepada anggota yang ada atau cara lainnya.  Salah satu praktek yang paling sering terjadi adalah menarik kembali ternak yang sudah dibagikan beberapa bulan sebelumnya.  Alasan klasik adalah sudah waktunya digulirkan, sekalipun menurut perjanjian awal belum waktunya.
Perlu dipahami bersama bahwa tentang perjanjian, maka peternak tidak pernah memahaminya.  Bukan karena pendidikan mereka yang rendah semata tetapi karena perjanjian tidak pernah dengan gamblang dibacakan.  Bahkan praktek yang selama ini berlangsung adalah peternak tidak pernah mengetahui isi perjanjian, tingal tandatangan.  Modal dasarnya adalah saling kepercayaan karena tugas pemerintah adalah memberdayakan rakyatnya, sekalipun di baling itu ada upaya individu untuk memperdayakan masyarakat.
Praktek yang dilakukan senior tentu sangat menarik bagi yunior karena memang dapat menghasilkan uang dalam waktu singkat dan sementara ini aman-aman saja.  Itulah sebabnya beberapa karyawan baru pun melakukan praktek yang sama, atau lebih cerdas lagi dengan berani menjual nama seniornya sebagai agunan menjualkan ternak dari anggota kelompok.  Kalau sudah demikian maka clash pun terjadi, dan dari pertikaian seperti ini informasi penyelewengan ternak pemerintah menguak dengan jelas dan terbuka.
Tidak mengherankan kalau sekalipun sudah jutaan itik dan ayam diberikan, ratusan ribu domba dan kambing dibagikan serta puluhan ribu sapi dan kerbau dicoba untuk dikembangkan pemerintah dalam memberdayakan masyarakat Kabupaten Indramayu, hasilnya tidak pernah dirasakan masyarakat.  Ternak bukannya berkembang tetapi malah menghilang.
Lebih menyedihkan lagi, praktek ini telah menjadikan masyarakat yang seharusnya diberdayakan sebagai korban.  Ternak bantuan pemerintah yang diterimanya menjadi beban, karena ketika menerima mereka memberikan jaminan sementara akibat ternak ditarik sebelum waktunya maka harga jualnya jauh dibawah yang dikehendaki.  Kerugian semakin besar diakibatkan ternak yang diterima jauh dari standar yang tertulis di perjanjian sehingga menyebabkan berbagai resiko lainnya.
Carut-marutnya pekerjaan bidang peternakan yang digambarkan di atas adalah tugas pokok dari Seksi Pengembangan.  Oleh karena itu Penulis merasa perlu untuk mengajak semua personil peternakan untuk kembali kepada khithah, peraturan yang berlaku.
Jelas-jelas upaya ini mendapat tantangan dari semua pihak yang selama ini menikmati pesta ternak gratis.  Namun ketika ditanyakan tentang tanggungjawab masing-masing maka tidak ada satupun yang menyatakan siap bertanggungjawab, bahkan mengakui adanya praktek yang sangat merugikan masyarakat dan negara sekalipun.
Tidak lama setelah perdebatan yang berlangsung sengit itu, muncul sebuah draft Surat Keputusan Bupati tentang  Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.  Isi draft tersebut menguatkan posisi Seksi Pengembangan sebagai tulang punggung Bidang Peternakan.  Semua kegiatan yang selama ini dikerjakan seksi lain pun jelas-jelas harus dikembalikan dengan data dan fakta yang lengkap, termasuk arsip-arsip kegiatan tahun sebelumnya.
Lagi-lagi secara teori, Keputusan Bupati tentu sangat tinggi kedudukannya di tingkat kabupaten sehingga merupakan pedoman yang harus dipatuhi pelaksanannya.  Di balik itu, sebagai sumber hukum yang mengikat tentu isinya sudah dikaji sedemikian rupa sehingga bukan hanya tidak menyimpang dari aturan yang berlaku di atasnya. 
Dalam prakteknya, Keputusan Bupati Indramayu Nomor  10 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu sungguh tidak dapat dimengerti.  Produk hukum ini mengatur tentang tugas pokok dan fungsi Seksi Pengembangan yang sama sekali jauh dari draft yang disusun sebelumnya.  Berbagai tugas pokok dan fungsi hilang dan mengkamuflasekan diri dari tugas pokok menjadi sekedar fasilitasi.
Tentu hal ini mengundang tandatanya besar, apabali ternyata berbagai tugas pokok dan fungsi Seksi Pengembanagan yang berpindah kursi adalah sangat vitas dan merupakan nyawa dari seksi itu sendiri.  Momenklatur seksi pun berubah total sehingga memudahkan transfer tugas pokok dann fungsi tersebut.
Praktek penggundulan produk hukum ini jelas-jelas mengarah kepada senior yang menghendaki segala kegiatan yang sudah dilakukannya selama puluhan tahun tidak pindah ke seksi lain.  Namun demikian, ketika klarifikasi dilakukan ternyata tidak ada satupun pihak yang mengajui telah mengubah draft sebelumnya menjadi sangat melenceng.  Keputusan Bupati ternyata bisa dengan mudah dijadikan dasar untuk mencapai tujuan pribadi.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan ini maka Seksi Pengembangan hanya menjalankan beberapa tugas yang sifatnya fasilitasi atas tugasnya sendiri.  Namun, apapun resikonya, Keputusan Bupati harus menjadi pedoman yang dijunjung tinggi.  Oleh karena itu Penulis patuh dan berjanji akan mematuhinya sekalipun bertentangan dengan hati nurani.
Belajar dari beberapa teori perubahan yang telah dibahas sebelumnya maka penggagas perubahan pun harus menyadari tentang kedudukannya, terutama dalam birokrasi.  Jika tidak, maka hanya akan menjadi frustasi.  Keberanian mengantar perubahan yang dilakukan ternyata harus berujung di aturan yang berlaku, yang dikeluarkan oleh pucuk pimpinan tertinggi.
Namun perubahan harus terus dilakukan, dengan tugas pokok dan fungsi yang sangat terbatas sekalipun sesungguhnya bukanlah kendala yang serius.  Banyak peluang perubahan yang masih harus dilakukan.
Salah satunya adalah rasa kebersamaan yang telah sedemikian jauh dari perasaan sesama karyawan peternakan.  Lebih dari sewindu iklim kerja di institusi peternakan seakan tanpa kebersamaan.  Ada yang asyik dengan berbagai ternak koleksinya yang semakin banyak dan beraneka ragam.  Sebagian yang lain hanya bisa mengurut dada karena tidak pernah kebagian, bahkan tahu ada ternak bantuan sekalipun.  Lebih banyak lagi yang menjadi saksi berbagai transaksi jual-beli ternak pemerintah oleh karyawan peternakan.
Pihak-pihak tertentu, yang termasuk anak kandung, mendapat penghasilan berlebih sementara anak tiri hanya gigit jari.  Bukan hanya rezeki dari penjualan ternak menera tidak mendapatkannya, bahka berbagai kuitansi yang mencantumkan nilai uang pun tidak pernah diterimanya.  Karyawan menjadi bahan perasan untuk mendapat uang instan.
Salus populi suprema lex.  Kesejahteraan untuk bersama.  Itulah semboyan yang sampai sekarang Penulis terapkan.  Didalam kesedikitan kegiatan yang dilakukan tentu beriring rezeki yang juga tidak terlalu banyak.  Namun patut dan harus selalu disyukuri.  Itulah salah satu modal awal kebersamaan Seksi Pngembangan saat ini, penuh keterbatasan.
Ketika sumber penghasilan relatif terbatas jadi penghambat maka tahap awal yang dilakukan adalah mengubah pola pikir bahwa keterbatasan sumber dana yang berasal dari kegiatan sesungguhnya adalah potensi yang menantang untuk mencari sumber penghasilan bersama lainnya.  Oleh karena itu, dibuat kesepakatan tentang penyisihan biaya perjalanan dinas yang diperoleh setiap kali berkesempatan dinas luar. 
Sedikit demi sedikit dana terkumpul dan dapat digunakan untuk pinjaman sementara apabila ada yang membutuhkan secara mendadak.  Kepentingan lain-lain seperti menengok rekan yang sakit, sumbangan duka sampai makan bersama dilakukan dengan dana yang terkumpul.  Dari sini dipetik pelajarah bahwa ktika dalam keterbatasan maka diperlukan kreativitas mengubah keterbatasan menjadi potensi besar.
Selain keterbatasan sumber dana, Seksi Pengembangan juga dilengkapi dengan pelaksana yang relatif berumur lima puluhan tahun, bahkan salah satunya sudah Masa Persiapan Pensiun.  Keterbatasan yang satu ini bukanlah sesuatu yang harus dijadikan beban.  Memang, makin berumurnya pelaksana akan menghambat gerak langkahnya melaksanakan tugas.  Tetapi berpikir positif tentu lebih bermanfaat, sesungguhnya kesenioran mereka penuh dengan pengalaman yang sangat bermanfaat menjalankan tugasnya.
Oleh karena itu, pemberdayaan tidak dilihat dari umur.  Semua mendapat kesempatan yang sama apabila ada kesempatan.  Melatih diri meningkatkan kemampuan tetap diperlukan dan merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan.  Dengan cara pandang positif maka para senior pun bisa bekerja dengan baik.  Sementara yang masih muda penuh penghargaan kepada mereka.
Pada mulanya kegiatan yang satu ini hanya untuk mengatahui penyebaran terna-ternak bantuan pemerintah yang selama ini dialokasikan ke seluruh Kabupaten Indramayu.  Tujuan awalnya adalah untuk mendapatkan data dasar, sebab selama ini pembangunan peternakan yang dilakukan sama sekali tidak berdasarkan data yang ril.  Tetapi di tengah perjalanan, banyak sekali kejanggalan yang mengindikasikan banyaknya penyimpangan dalam penyebaran ternak pemerintah selama ini.
Banyak kelompok tani yang menurut data yang ada masih memelihara ternak pemerintah ternyata sudah tidak ada.  Bahkan beberapa kelompok memang tidak dikenal keberadaannya oleh pamong desa.  Tidak sedikit kelompok ternak yang bukan hanya kehilangan sapi yang dipeliharanya tetapi juga sertifikat tanah dan bangunannya dibawa pihak dinas sebagai jaminan, karena sampai sekarang masih tertunggak hutang akibat kerugian memelohara ternak pemerintah tersebut.
Anggota kelompok tani yang terdaftar dalam catatan dan surat perjanjian banyak yang sama sekali tidak tahun dengan adanya perjanjian antara pemerintah dan yang bersangkutan.  Mereka menandatangan tanpa penjelasan atau hanya sekedar blanko kosong.  Jarang yang masih memelihara ternak pemerintah, tidak sedikit yang justeru merasa dirugikan oleh bantuan yang tujuan manisnya memeberdayakan perekonomian masyarakat.
Dari ekses penggalian data yang tidak disengaja diperoleh berbagai informasi tentang kepemilikian ternak pemerintah saat ini.  Terjawab sudah berbagai teka-teki mengapa kegiatan yang satu ini sedapat-mungkin dengan berbagai cara hanya ditangani oleh satu orang saja, seorang senior dari semua senior.  Rupanya, upaya perubahan menuju peraturan yang berlaku yang pernah Penulis pun kandas karena kepentingan pribadi beberapa orang diantara insan peternakan merasa terusik terlalu jauh.
Dalam mencari data yang benar juga pada akhirnya Penulis dan tim menemukan beberapa kejanggalan penggunaan dana dari Departemen Pertanian yang dilakukan para Kiyai di pesantren.  Sejak tahun 2006 sampai 2008 sudah 8 (delapan) pesantren di Kabupaten Indramayu mendapat kucuran dana pusat secara langsung untuk kegiatan agribisnis peternakan.  Jumlah yang diperoleh tidak sedikit, antara 50 juta sampai 250 juta rupiah per-pesantrennya.  Total dana yang diterima sudah mendekati Rp. 1 miyar.
Kegiatan peternakan yang berlangsung tinggal di 3 pesantren dengan populasi sapi seluruhnya hanya 23 ekor saja.  Kalau rata-rata harga sapi bibit Rp. 7 juta maka nilai total aset peternakan itu hanya Rp. 161 juta atau 16 % dari dana yang diterima.  Keadaan ini sungguh memprihatinkan mengingat mereka yang mengajukan dana adalah para tokoh agama atau Kiyai yang menjadi panutan masyarakat.
Alasan para Kiyai kadang-kadang masuk akal, bagi mereka bantuan adalah bantuan.  Oleh karena itu dana hibah ini dapat digunakan untuk apa saja sekalipun pada awalnya diajukan untuk budidaya peternakan.  Tidak ada juga kewajiban untuk mempertanggungjawabkan, apalagi mengembalikan dana ini.  Memang dana tersebut tidak perlu dikembalikan tetapi harus berdayaguna ekonomis melalui budidaya peternakan sebagaimana proposal yang mereka usulkan.
Kasus lain adalah banyaknya makelar proposal dari Departemen Pertanian sendiri yang datang ke berbagai pesantren untuk mengajukan dana bantuan.  Mereka membuatkan proposal sekaligus mengusahakan agar permintaan dananya direalisasikan.  Kompensasi yang ditergetkan tidak sedikit, 30 % dari dana yang direalisasikan.
Ada juga yang sangat memprihatinkan, seorang Kiyai tidak mau mempertanggungjawabkan dana yang diterimanya sejumlah seperempat milyar rupiah.  Alasannya sungguh masuk akal, takut dosa.  Kiyai tersebut memang benar, tidak mau berbohong.  Tetapi kalau tidak bohong maka salah, kalau bohong takut kepada Yang Maha Tahu.
Kiyai yang satu ini menjelaskan bahwa awalnya kedatangan seorang profesor dari pusat, menawarkan untuk meminta dana dari Departemen Pertanian.  Kebetulan pesanrennya sedang dibangun, maka dibuatlah porposal permohonan dana untuk membangun beberapa lokal tempat beljar dan asrama santri.  Tidak lama kemudian, sang profesor pun datang lagi dengan membawa proposal yang diperbaharui, bukan untuk pembangunan pesantren tetapi untuk budidaya sapi potong penggemukan.  Karena merasa perlu bantuan dana, Kiyai pun setuju saja.  Apalagi diyakinkan oleh beliau bahwa dananya dapat digunakan untuk kegiatan apa saja.
Dana pun masuk ke rekening pesantren, langsung dan lengkap Rp. 250 juta.  Pada saat pencairan, utusan profesor menyertai Kiyai dan meminta separuh dari dana itu untuk jasa pengajuan proposal sampai akhirnya goal mencapai tujuan.  Kontan Kiyai tersontak karena sadar sekalipun dana yang diterima hanya Rp. 125 juta tetapi harus mempertanggungjawabkan dana secara keseluruhan, Rp. 250 juta.
Dari gambaran di atas ternyata bahwa carut-marut pembangunan peternakan di Kabupaten Indramayu bukan hanya disebabkan tingkah polah sebagian pegawai institusi yang membidangi peternakan di kabupaten tetapi juga menjadi santapan empuk makelar proposal dari pusat.
 Sekalipun kegagalan sudah sangat nyata namun tidak menyurutkan para Kiyai lain untuk meminta dana dengan jumlah yang makin membengkak.  Mereka pun umumnya menggunakan jasa makelar proposal dengan perjanjian jasa mencapai 30 %.  Tentu saja hal ini menjadi fenomena keprihatinan baru, dimana seorang tokoh agama rela menjual nama pesantrennya untuk mendapatkan dana yang tidak pernah mau mereka pertanggungjawabkan.
Melakukan perubahan memang tidak harus langsung dalam kapasitas yang besar sebab akan bisa menghancurkan rencana perubahan itu sendiri.  Oleh karena iu, Penulis memulai dari perubahan diri sendiri dahulu.  Kemudian melangkah ke perubahan dalam tingkat seksi yang meudah-mudahan akan mewarnai adanya perubahan di tingkat yang lebih tinggi.
Menggagas perubahan di Dinas Pertanian dan Peternakan tidak tanpa resiko, kebencian yang ditanamkan rekan kerja sampai pimpinan ataupun tindakan premanisme pun merupakan resiko yang harus ditanggung.  Di institusi birokrasi yang memberlakukan manajemen Kwalonan soal pemojokan individu yang menggagas perubahan adalah soal biasa.  Apalagi kalau bertentangan dengan anak kandung pimpinan.  Sebab bagi mereka, tidak ada perkataan anak tiri yang benar dan anak kandung tidak pernah berlaku salah.
Tindakan premanisme pernah Penulis alami ketika harus menjadi pemimin kegiatan yang tidak mau mencairkan dana karena kontrak kerja sama pun belum ada.  Lima orang preman datang dengan berbagai ancaman, tetapi tetap tidak digubris.  Selanjutnya dalang segerombolan orang-orang bertubuh besar dan sangar dalam jumlah lebih banyak.  Apa boleh buat, tanpa kontrak yang jelas Penulis tetap tidak mau menandatangan.
Namun pada akhirnya dana sejumlah Rp. 360 juta pun mengalir ke rekening mereka sekalipun tanpa tandatangan Penulis.  Resiko dari kepatuhan kepada aturan ini adalah semakin dijauhkan oleh pimpinan.
Perubahan memang selalu mengandung resiko atau bahkan korban.  Pada kasus di atas resiko sepenuhnya ditanggung Penulis.  Beruntung tidak jadi korban akibat babak belur dihajar preman.  Tetapi, ada korban lain.  Tidak sedikit, 3 orang, masing-masing dikenai penurunan pangkat satu tingkat sampai pencopotan dari jabatan yang diemban.
Resiko dari menggagas perubahan selalu ada, apalagi saat ini di lingkungan birokrasi Kabupaten Indramayu tidak pernah jauh dari upaya premanisme.  Satu-satunya kekuatan yang membuat Penulis tetap ingin melakukan perubahan adalah karena memang saat ini kita semua harus berubah, kalau masih tetap pada prinsip lama maka akan tergilas oleh perubahan yang makin cepat berlangsung ini.



3.6.Tidak Mau Berubah, Mati Saja !
Lamban atau bahkan gagalnya sutau perubahan lebih sering disebabkan oleh kurangnya rasa terdesak untuk melakukan perubahan itu sendiri.  Rasa puas diri dan kesombongan luar biasa, yang berakardari pengalaman sukses pribadi dan organisasi di masa lalu, orang cenderung mempertahankan status quo dan mengabaikan peluang besar ataupun ancaman menakutkan di depan mata.  Semua melakukan tugas dan tanggungjawabnya seperti biasa, seperti tidak ada masalah.
Langkah awal untuk membangun kemendasakan untuk berubah yang sejati adalah dengan memahami secara mendalam lawannya, yaitu rasa puas diri dan rasa terdesak yang palsu.  Empat langkah untuk terciptanya rasa kemendasakan adalah :
a.             Menghadirkan kenyataan yang ada di luar masuk ke organisasi
b.            Setiap hari bertindak secara mendesak
c.             Mencari peluang-peluang menjadikan krisis sebagai pendukung untuk menghancurkan rasa puas diri
d.            Menghilangkan atau menetralkan pembunuh kemendesakan.
Dalam menggagas perubahan akan selalu dijumpai berbagai sikap, ada yang mendukung, banyak yang menolak ada yang hanya diam.  Penggagas perubahan pun akan selalu menjumpai individu yang selalu menolak, apapun alasannya, dari jelas sampai yang sama sekali tidak kentara. 
John P. Kotter menciptakan sebuah tokoh yang selalu berkata tidak terhadap perubahan, seekor pinguin itu diberi nama NoNo, karena selalu berkata, “No! No!” terhadap gagasan apapun.
Dalam setiap organisasi, orang-orang tipe NoNo ini merupakan sosok skeptis yang siap dengan 10 alasan bahwa situasi dan kondisi saat ini baik-baik saja, karena itu tidak perlu berubah.  Tidak ada gunanya melakukan kooptasi pada tokoh NoNo ini, mengisolasi atau mengacuhkannya. 
Setelah sosok NoNo ini teridentifikasi, tiga cara yang cukup efektif untuk mengatasinya adalah :
a.             Mencegah jangan sampai mereka membuat kekacauan dengan cara mengalihkan perhatian mereka
b.            Mengirim mereka sejauh mungkin dari organisasi
c.             Membatasi perilaku kontraproduktif mereka sedemikian rupa sehingga publik yang akan bekerja menekan  pengaruh mereka
Dunia dan umat manusia saat ini mengahadapi berbagai tantangan yang luar biasa.  Dari masalah kemiskinan, perubahan iklim, lingkungan yang rusak ataupun wabah penyakit.  Kalau hanya mengandalkan cara-cara biasa dan linier, persoalan tadi akan sulit diselesaikan.  Sementara itu, sistem yang ada sekarang banyak yang disfungsional. 
Dunia membutuhkan orang-orang ‘edan” untuk menjadi agen perubahan yang menggunakan cara baru dan mempercepat perubahan sosial.  Sementara bagi mereka yang tidak mau menyesuaikan dengan perubahan, sebaiknya siap-siap tergilas oleh arus perubahan yang makin kencang.
Dua pilihan mengahadapi perubahan, jadi agen perubahan yang bisa disebut orang “edan” atau mati hanyut ke laut ...!

BAB IV
P E N U T U P

4.1.    Kesimpulan
Anggapan bahwa etos kerja bangsa Indonesia relatif rendah memang bukan suatu rahasia lagi.  Sebaliknya Indonesia sangat kaya dengan berbagai potensi sumberdaya alam dan aneka sumber daya sosial lainnya.  Untuk dapat mengkombinasikan kedua kutub negatif dan positif itu diperlukan kepemimpinan yang membumi.  Sanggup menjadi penghubung keduanya menjadi kekayaan yang dapat memakmurkan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu diperlukan suatu perubahan yang mendasar.  Perubahan memang suatu keharusan dan kesalahan masyarakat kita selama ini adalah tidak dapat menyadari dengan cerdas serta menyiasati segala perubahan yang terjadi, termasuk perubahan dalam dirinya sendiri sekalipun.

4.2.    Saran
Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan, karena satu-satunya yang tidak pernah berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri.  Oleh karena itu berubahlah sebelum digilas sampai mati oleh perubahan !




DAFTAR PUSTAKA
Anonim.  2007.  Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741).

Anonim.  2008.  Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 7 Tahun 2008 tentang Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kabupaten Indramayu.

Anonim.  2008.  Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 8 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Kabupaten Indramayu.

Anonim.  2008.  Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 9 Tahun 2008 tentang Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja.

Anonim.  2008.  Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 10 Tahun 2008 tentang Kecamatan dan Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Indramayu.

Anonim.  2008.  Peraturan Bupati Indramayu Nomor 39 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.

Anonim.  2003.  Keputusan Bupati Indramayu Nomor 10 Tahun 2003 tentang Uraian Tugas Jabatan Strutural dan Non-Struktural pada Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.

Beer, M dan Spector, B. A.  1988.  Memimpin Aset Manusia, Sudah Waktunya Ada Pemikiran Baru dalam Memimpin Manusia (Editor : Timpe, A. D).  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Charan, R.  2007.  Leaders at All Levels, Deepening Your Talent Poll. (Peresensi : Bambang, P).  Jossey-Bass.  Majalah SWA Edisi 14/XXIV/7-16 Juli 2008.

Cheese, P, Thomas, R. J. and Craig, E.  2008.  The Tallet-Powered Organization. (Peresensi : Rinny).  Kogan Page.  Majalah SWA Edisi 17/XXIV/7-20 Agustus 2008.

Cohen, W. A.  2008.  A Class with Drucker (Pelajaran Berharga dari Guru Manajemen #1 Dunia, alih bahasa :  Bazry S).  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Covey, S. R.  1997.  The 7 Habbitas of Highly Effective People  (7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, alih bahasa :  Budijanto).  Binarupa Aksara.  Jakarta.

Day, C. R.  1988.  Apakah Para Manajer Anda Betul-Betul Memimpin ? dalam Memimpin Manusia (Editor : Timpe, A. D).  Media Elex Komputindo.  Jakarta.



Djatmiko, Y. H. 2004.  Perilaku Organisasi.  Alfabeta.  Yogyakarta.

Drucker, P. F. Dan Maciariello, J. A.  2008.  The Daily Drucker.  (Terjemahan : Srihandrini, N. R.).  Elex Media Komputindo.  Jakarta.

Elkington, J and Hartigan, P.  2008.  The Power of Unreasonable People. (Peresensi : Amir, M. T.).  Harvard Business School Press.  Majalah SWA Edisi 03/XXIV/5-18 Februari 2009.

Habsari, A. R.  2008.  Terobosan Kepemimpinan, Panduan Palatihan Kepemimpinan.  MedPress.  Yogyakarta.

Harsono, G.  1981.  Mengemban Amanat Penderitaan Rakyat dalam 80 Tahun Bung Karno.  Pustaka Sinar Harapan.  Jakarta.

Ibrahim, A.  2008.  Pokok-pokok Administrasi Publik dan Implementasinya.  Refika Aditama.  Bandung.

James, R. W.  2004.  Personal Leadership  A Practical Approach for Achieving Individual and Organizational Freedom  (Terjemahan :  Suryo, K. I.).  PPM.  Jakarta.

Jennings, J.  dan Haughton, L.  it's not the BIG that eat the SMALL, it’s the FAST that eat the SLOW (Bagaimana Memanfaatkan Kecepatan sebagai Alat Bersaing dalam Dunia Bisnis, alih bahasa : Widjanarko, E).  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Johnson, M.  1995.  Managing in the Next Millenium  (Terjemahan : Nurmawan, I).  Erlangga  Jakarta.

Johnston, R and Hesselbein, F (Editors).  2005.  On Leading Change (Terjemahan :  Kadaroesman, M).  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Johnston, R and Hesselbein, F (Editors).  2005.  On Mission and Leadership (Terjemahan :  Shandrini, N. R.).  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Kasali, R.  2007.  Re-Code Your Change DNA, Membebaskan Belenggu-Belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam Pembaharuan.  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Kao, J.  2007.  Innovation Nation. (Peresensi : Widodo, E).  Free Press.  Majalah SWA Edisi 10/XXIV/15-28 Mei 2008.

Koentjaraningrat.  1969.  Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia.  Bhratara.  Djakarta.

Kotter, J. P.  2008.  A Sense of Urgency (Peresensi : Munir, N).  Harvard Business School Press.  Majalah SWA Edisi 24/XXIV/13-23 November 2008.









Kotter, J. P.  1999.  What Leaders Really Do (Terjemahan : Mulyadi, J. A).  Erlangga.  Jakarta.

Kouzes, J. M. and Posner, B. Z.  2004.  The Leadership Callenge (Terjemahan : Sjahrial, R).  Erlangga.  Jakarta.

Mangkunegara, A.P.  2006.  Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.  Refika Aditama.  Bandung.

Mangkunegara, A.P.  2007.  Evaluasi Kinerja SDM.  Refika Aditama.  Bandung.

Martin, R.  2007.  The Opposable Mind. (Peresensi : Amir, T. M.).  Harvard Business School Press.  Majalah SWA Edisi 20/XXIV/18 September – 8 Oktober 2008.

McAlpine, A.  2003.  The Ruthless Leader, Three Classics of Strategy and Power (Terjemahan : Sartika, D).  Erlangga.  Jakarta.

McSweeney, E.  1985.  Managing the Managers.  Pustaka Binaman Pressindo dan IPPM.  Jakarta.

Moeljono, Dj.  2004.  Reinvensi BUMN, Empat Strategi Membangun BUMN Kelas Dunia.  Elex Media Komputindo.  Jakarta.

Moeljono, Dj.  2006.  Lead!  Galang Gagas Tantangan SDM, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.  Elex Media Komputindo.  Jakarta.

Moeljono, Dj.  2006.  Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi.  Elex Media Komputindo.  Jakarta.

Napier, N. K. dan Peterson, R. B.  1988.  Meletakkan Manajemen Sumberdaya Manusia pada Tingkat Manajer Lini dalam Memimpin Manusia (Editor : Timpe, A. D).  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Nugroho, A. A. Dan Cahayani, A.  2003.  Multikulturalisma dalam Bisnis.  Gramedia Widiasarana Indonesia.  Jakarta.

Osborn, D dan Gaebler, T.  2005.  Reinventing Government, How the Entepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector (Terjemahan : Rosyid, A)  Penerbit PPM.  Jakarta.

Price, A.  2006.  Ready to Lead ?  (Terjemahan :  Harthantho, A).  Bhuana Ilmu Populer.  Jakarta.

Robbins, A.  2004.  Giant Steps (Terjemahan : Saputra, A).  Interaksara.  Batam Centre.

Seng, A. W.  2007.  Rahsia Bisnes Orang Jepun (Terjemahan : Widyawati, O).  Hikmah.  Jakarta.






Setiyono, B dan Triyana, B (Penyunting).  2005.  Revolusi Belum Selesai, Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 – Pelengkap Nawaksara.  Ombak dan Mesiass.  Yogyakarta.

Siagian, S. P.  2002.  Kia Meningkatkan Produktivitas Kerja.  Rineka Cipta.  Jakarta.

Sinungan, M.  2008.  Produktivitas, Apa dan Bagaimana.  Bumi Aksara.  Jakarta.

Stauffer, D.  2009.  Innovative Leadership.  (Terjemahan :  Sihandrini, N. R).  Bhuana Ilmu Populer.  Jakarta.

Sumodiningrat, G dan Dwidjowijoto, R. N.  2005.  Membangun Indonesia Emas, Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-negara yang Unggul dalam Persaingan Global.  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Suseno, Dj dan Suyatna, H.  2006.  Quo Vadis Petani Indonesia!  Terhempasnya Anak Bangsa dari Sektor Pertanian.  Aditya Media.  Yogyakarta.

Sutton, G.  2005.  How to Buy and Sell a Business (Terjemahan : Sutrisno, D. H.).  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Rai, M et. al.  2004.  The State of Panchayats (Terjemahan :  Suprayitno, K).  Yayasan Kendi.  Yogyakarta.

Randall, C. B.  The Folklore of Management.  (Terjemahan :  Binawan, A. L.).  Gramedia.  Jakarta.

Tampubolon, R.  2006.  Risk Management.  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Thoha, M.  2009.  Kepemimpinan dalam Manajemen.  RajaGrafindo Persada.  Jakarta.

Thomas, R. J.  2008.  Crucibles of Leadership. (Peresensi : Rinny).  Harvard Business Press.  Majalah SWA Edisi 25/XXIV/24 November – 3 Desember 2008.

Tika, M. P.  2008.  Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan.  Bina Aksara.  Jakarta.

Waringin, T. D.  2005.  Financial Revolution.  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Waringin, T. D.  2008.  Marketing Revolution.  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Welch, J and Byrne, J. A.  2006.  Jack, Straight from the Gut (Terjemahan : Utomo, T. W.).  Baca!  Yogyakarta – Surabaya.

Whiteley, R.  2004.  The Corporate Shaman  (Terjemahan :  Sudarsono, A).  Jakarta.

Yustika, A. E.  (Editor).  2005.  Menjinakkan Liberalisme, Revitalisasi Sektor Pertanian dan Kehutanan.  Pustaka Pelajar.  Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar