C H A N G E O R
D I E !
(Pelaku
Organisasi yang Tidak Mau Berubah,
“ke Laut Aje ...!”)
TUGAS AKHIR SEMESTER
Mata
Kuliah : BUDAYA
ORGANISASI
Dosen
: Dr.
H. AGUS ALWAFIER BY, MM
Oleh :
D
I N O
T O
NIM : 12008019
009
PROGRAM PASCA SARJANA
KONSENTRASI MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
SEKOLAH TINGGI EKONOMI “CIREBON”
CIREBON
2008
|
||
“Jangan takut terhadap ruang,
antara mimpi dan realitas Anda,
Jika Anda dapat mengimpikannya,
Anda juga dapat membuatnya.”
(Balva Davis)
“Yang kita dapatkan dari hidup
adalah sepenuhnya yang kita berikan padanya.”
(Ralph Waldo Emerson)
“Kejatuhan kecil berarti kebangkitan yang
lebih membahagiakan.”
(William Shakespeare)
“Kehilangan milik tak begitu
penting,
kehilangan kehormatan adalah celaka,
tapi yang lebih celaka lagi ialah kehilangan
keberanian.”
(Goethe)
KATA PENGANTAR
Tak terhingga puji dan syukur
kehadirat Allah subhana wa ta’ala penulis panjatkan, karena hanya berkat rahmat
dan karunia-Nya sajalah penulis akhirnya dapat menyelesaikan tulisan ini tepat
pada waktunya.
“Change
or Die !, Pelaku Organisasi yang Tidak Mau Berubah,’ke Laut Aje ...!’” Judul yang kami pilih untuk memenuhi tugas akhir semester Mata Kuliah Budaya
Organisasi dibawah bimbingan Bapak Dr. H. Agus
Alwafier By, MM. Oleh karena itu penulis
pun tidak lupa menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada beliau.
Atas segala kehangatan suasana ruang
kuliah kita, penulis sampaikan ucapan terimaksih kepada rekan-rekan Angkatan
Pertama dan para pengelola Program Pasca Sarjana STIE Cirebon.
Peluk cium tentu hanya untuk isteri
tercinta dan anak-anak yang selalu mengerti akan adanya kesibukan baru yang banyak
menyita waktu, tenaga, pikiran dan tentu saja biaya.
Indramayu,
6 Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI
|
||||||||||||||||||||||||||||
Halaman
|
||||||||||||||||||||||||||||
KATA PENGANTAR
|
......................................................................
|
i
|
||||||||||||||||||||||||||
DAFTAR ISI
|
.........................................................................................
|
ii
|
||||||||||||||||||||||||||
BAB I
|
PENDAHULUAN
|
........................................................
|
1
|
|||||||||||||||||||||||||
1.1.
|
Latar Belakang
|
........................................................
|
1
|
|||||||||||||||||||||||||
1.2.
|
Masalah
|
....................................................................
|
2
|
|||||||||||||||||||||||||
1.3.
|
Tujuan Penulisan
|
.....................................................
|
3
|
|||||||||||||||||||||||||
1.4.
|
Sistematika Penulisan
|
...............................................
|
4
|
|||||||||||||||||||||||||
BAB II
|
MATERI DAN METODE
|
...........................................
|
5
|
|||||||||||||||||||||||||
2.1.
|
Materi
|
....................................................................
|
5
|
|||||||||||||||||||||||||
2.2.
|
Metode
|
....................................................................
|
5
|
|||||||||||||||||||||||||
BAB III
|
PEMBAHASAN
|
6
|
||||||||||||||||||||||||||
3.1.
|
Budaya Organisasi dan Pendekatan Manajeman
|
.....
|
7
|
|||||||||||||||||||||||||
3.1.1.
|
Pendekatan Proses
|
..................................................
|
10
|
|||||||||||||||||||||||||
3.1.2.
|
Pendekatan Perilaku
|
...............................................
|
12
|
|||||||||||||||||||||||||
3.1.3.
|
Pendekatan Kuantitatif
|
............................................
|
13
|
|||||||||||||||||||||||||
3.1.4.
|
Pendekatan Sistem
|
..................................................
|
14
|
|||||||||||||||||||||||||
3.1.5.
|
Pendekatan Contigency
|
............................................
|
15
|
|||||||||||||||||||||||||
3.2.
|
Peran SDM terhadap Nilai Organisasi
|
....................
|
16
|
|||||||||||||||||||||||||
3.3.
|
Flexibilities Gaya Kepemimpinan di Indonesia
|
.....
|
19
|
|||||||||||||||||||||||||
3.3.1.
|
Keanekaragaman Bangsa Indonesia
|
.......................
|
20
|
|||||||||||||||||||||||||
3.3.2.
|
Kepemimpinan Bangsa Indonesia dari Masa ke Masa
|
24
|
||||||||||||||||||||||||||
3.3.3.
|
Kepemimpinan Bangsa Indonesia di Masa yang Akan
|
|||||||||||||||||||||||||||
Datang
|
.......................................................................
|
34
|
||||||||||||||||||||||||||
3.4.
|
Perubahan, Antara Keharusan dan Tantangannya
|
..
|
42
|
|||||||||||||||||||||||||
3.5.
|
Perubahan Budaya Organisasi di
Lingkungan Dinas
|
|||||||||||||||||||||||||||
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu
|
.....
|
55
|
||||||||||||||||||||||||||
3.6.
|
Tidak Mau Berubah, Mati Saja !
|
.............................
|
73
|
|||||||||||||||||||||||||
BAB IV
|
PENUTUP
|
.........................................................................
|
75
|
|||||||||||||||||||||||||
4.1.
|
Kesimpulan
|
...............................................................
|
75
|
|||||||||||||||||||||||||
4.2.
|
Saran
|
......................................................................
|
75
|
|||||||||||||||||||||||||
DAFTAR PUSTAKA
|
.......................................................................
|
76
|
||||||||||||||||||||||||||
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sudah menjadi
rahasia umum bahwa kinerja masyarakat Indonesia relatif rendah. Penggunaan kata ‘relatif” ini mengandung
makna tripel, rendah atau tinggi atau sedang-sedang saja. Tetapi tidak dapat dipungkiri kalau banyak
investor asing lebih memilih bangsa mereka atau bahkan bangsa Asia lain untuk
menjalankan investasinya di Indonesia.
Kalau mau
menyalahkan alam, maka ciptaan Tuhan inilah yang telah meninabobokan bangsa
Indonesia dalam segala kemudahan sehingga tidak pernah berpikir jauh bagaimana
mempertahankan hidup sekalipun. Atau juga
pengaruh kolonial Belanda dan bangsa Eropah lainnya yang menyebabkan anak
bangsa bukan hanya bermental budak tetapi juga sangat mudah diadudomba atau
bahkan jadi domba tanpa pengadu sekalipun.
Berbagai alasan lain dapat dibuat sebagai bahan pembenaran yang tidak
benar.
Sesungguhnya
tidak ada yang salah, kesalahan satu-satunya adalah ketidakmampuan menyesuaikan
dengan alam yang selalu berubah.
Terus-menerus berubah dengan laju
semakin cepat. Sebagian bangsa
kita tertinggal dan semakin ketinggalan di belakang. Sebagian kecil mampu beradaptasi dengan
perubahan, bisa bersaing dengan ekspatriat atau bahkan melebihi kinerja orang
asing.
Perjalanan
zaman ke arah globalisasi seiring dengan terjadinya berbagai perubahan iklim
sosial-budaya di dalam negeri, membuat bangsa Indonesia semakin sulit
mensejajarkan dengan bangsa lainnya.
Bahkan di kalangan bangsa-bangsa Asia Tenggara bangsa yang kaya raya ini
hanya dapat sedikit lebih tinggi daripada negara miskin lainnya.
Dengan
demikian, permasalahan bangsa ini sedemikian kompleksnya sehingga diperlukan
berbagai upaya yang terpadu mengkombinasikan berbagai potensi yang ada dan
mengkolaborasikan segala permasalahan sehingga terwujud pemecahan yang baik
untuk semua rakyatnya.
1.2.
Masalah
Ketidakpecayaan
pihak asing dan ketidakdapat-dipercayaan bangsa kita sudah sedemikian
memprihatinkan. Keduanya telah
menjadikan paradigma baru, bangsa Indonesia tidak lagi menjadi Tuan Rumah di
negeri sendiri. Sungguh sesuatu yang
memprihatinkan.
Perilaku dasar
yang sulit dirubah kontradiktif dengan modal awal berbagai potensi sumber daya
yang sangat besar sehingga pemanfaatannya untuk kebajikan anak bangsa sangat
sulit terealisasikan. Keadaan ini
diperparah dengan sangat labilnya perubahan iklim sosial-buaya termasuk
perpolitikan yang akhirnya berpengaruh terhadap perekonomian negara umumnya.
Untuk
mengkolaborasikan segala potensi dan kendala yang saling bertentangan
diperlukan gaya kepemimpinan yang unik sehingga kemakmuran yang diharapkan
dapat terwujud.
Oleh karena
itu perlu dilakukan berbagai perubahan untuk menselaraskan dengan banyaknya
perubahan yang telah terjadi, baik dalam budaya berorganisasi maupun budaya
kerja masyarakatnya sendiri. Perubahan
tentu tidak dapat dilakukan secara besar-besaran sekaligus. Revolusi tanpa adanya persiapan matang hanya
akan meluluh-lantakan segala tatanan yang sudah lama terbentuk. Perubahan yang diperlukan secara terencana
juga dimulai dari sesuatu yang kecil.
Perubahan paling mudah dimulai dari diri kita sendiri.
Tanpa
memulai merubah diri dari diri sendiri dan hal-hal yang kecil itu, maka
ketertinggalan bangsa kita semakin jauh dan jauh. Oleh karena itu, kalau tidak mau berubah, Ke
Laut Aja ! Dengan kata lain, kalau tidak
mau berubah, ya mati saja.
.
1.3.
Tujuan
Penulisan
Tulisan ini
merupakan tugas akhir semester Mata Kuliah Manajemen Organisasi. Sedangkan tujuan penulisannya adalah untuk
mencoba menantang diri sendiri untuk berubah, syukur-syukur bisa membawa
perubahan yang sungguh bukan hal yang mudah.
.
1.4.
Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan makalah ini sedapat mungkin mendekati format ilmiah, yaitu :
1.
Kata Pengantar menjelaskan dasar dan beberapa hantaran
kata yang berkaitan erat dengan penulisan karya tulis ini.
2.
Bab I Pendahuluan mengemukakan tentang latar belakang,
masalah dan tujuan penulisan dikaitkan dengan judul yang dipilih, serta
sistematika penulisan karya tulis itu sendiri.
3.
Bab II Materi dan Metode menjelaskan tentang materi
yang menjadi bahasan dan metode penulisannya.
4.
Bab III Pembahasan menguraikan tentang hubungan antara
budaya organisasi dengan pendekatan manajeman, peran SDM terhadap nilai sebuah
organisasi, pentingnya flexibelitas gaya kepemimpinan Indonesia, keharusa
melaksanakan perubahan dan tantangannya, aplikasi mengembangkan budaya
organisasi dalam system manajemen di lingkungan Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Indramayu.
5.
Bab IV Penutup merupakan kesimpulan dari uraian
sebelumnya saran untuk perbaikan selanjutnya.
6.
Daftar Pustaka memaparkan sumber tulisan yang dikutip
pada penulisan makalah tulis ini.
BAB II
MATERI DAN METODE
2.1.Materi
Bahan
acuan dalam penulisan Karya Tulis ini adalah Bahan Kuliah
Budaya Organisasi yang
ditulis Dr. H. Agus Alwafier By, MM.
Sementara pembandingnya adalah berbagai buku tentang yang berkaitan
dengan Budaya Organisasi khususnya dan Ilmu Manajemen pada umumnya serta
berbagai tulisan tentang keharusan untuk terjadinya perubahan sebagaimana
tertera pada Daftar Pustaka.
2.2.Metode
Berbagai bahan
tulisan dikemas dan digolongkan sesuai dengan bab bahasan dalam bahasa yang mudah-mudahan
bisa dimengerti tanpa harus meninggalkan kaidah ilmiah. Setelah itu dibuat dalam rangkuman kesimpulan
dan diajukan beberapa saran untuk perbaikan.
BAB III
PEMBAHASAN
Tahun
2010 sudah di depan mata, tinggal beberapa bulan lagi. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, 2010
mempunyai makna tersendiri dalam manajemen.
Pada saat itulah ditetapkan awal memasuki milenium ketiga yang penuh
tantangan dan harapan baru.
Tidak semua
bangsa siap dalam memasuki era globalisasi yang akan dimulai tahun depan,
Indonesia adalah salah satu bangsa yang masih gamang tersebut. Bukan tidak ada upaya ke arah sana, tetapi
terlalu jauh untuk dicapai dengan modal dasar seperti keadaan sekarang ini.
Keadaan
sekarang baik dalam etos kerja sumberdaya manusianya maupun budaya organisasi
terbentuk selama ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Oleh karena itu sangat sulit untuk lepas dari
cengkeraman pengaruh masa lalu tersebut menuju perubahan yang semula berjalan
relatif perlahan. Ketika ilmu dan
teknologi semakin maju, laju perubahan semakin cepat, bangsa Indonesia makin
sulit mengejarnya.
Tetapi tidak
selalu demikian, sebagian kecil anak bangsa dapat mengejar ketertinggalan
bahkan melebihi rata-rata kemampuan manusia pada umumnya. Mereka sukses dalam berbagai bidang di
berbagai perusahaan asing dan lokal yang menembus pasar dunia. Banyak organisasi lokal pun go internsional,
sebagian menggunakan ekspatriat dan yang lain didorong oleh kinerja tenaga
lokal yang luar biasa.
Kesuksesan
yang didapat mereka bukan tanpa pengorbanan, yang paling berat dan sulit adalah
mengorbankan tatanan yang selama ini menjadi panutan bahkan menyebabkan mereka
sendiri hadir di dunia. Perubahan menuju
tatanan baru dalam mengejar dunia baru merupakan suatu keharusan.
“Berubah atau
mati !” Sebuah semboyan yang harus
melekat dalam setiap individu agar bangsa ini terlepas dari berbagai
ketertinggalan, bukan lagi cukup meneriakkan, “Merdeka atau mati !”
Bahasa
gaulnya, “Kalau tidak mau berubah, ke laut aja !”
3.1.
Budaya
Organisasi dan Pendekatan Manajemen
Untuk
menyamakan persepsi maka sebelum jauh melangkah maka alangkah baiknya apabila
kembali dulu ke pokok permasalahan, budaya organisasi. Berbagai pengertian tentang budaya dan
organisasi serta budaya organisasi telah banyak dikemukakan para ahli, beberapa
diantaranya dikutip pada tulisan ini, antara lain :
a.
Peter F. Drucker mengartikan budaya organisasi sebagai
pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya
dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian diwariskan kepada
anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan,
merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas.
b.
Phiti Sithi Amnuai menggambarkan budaya organisasi
sebagai seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-anggota
organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah
adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.
Pendapat
kedua ahli manajemen itu menyuratkan secara gamblang bahwa dalam budaya
organisasi terdapat 7 (tujuh) unsur penting, yaitu :
a.
Asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai pedoman bagi
anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku.
b.
Keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para
anggota organisasi. Keyakinan ini
mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau motto, asumsi dasar,
tujuan umum organisasi, filosofi usaha atau prinsi-prinsip menjelaskan usaha.
c.
Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya
organisasi.
d.
Pedoman mengatasi masalah adaptasi eksternal dan masalah
integrasi internal. Keduanya dapat
diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama anggota
organisasi.
e.
Berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau
apa saja yang lebih baik atau berharga bagi seseorang.
f.
Pewarisan asumsi dasar dan keyakinan kepada
anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan
berperilaku.
g.
Penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan dan
norma yang berlaku dalam organisasi serta adaptasi arganisasi terhadap
perubahan lingkungan.
Tidak jauh
berbeda dengan pendapat sebelumnya, ahli manajemen lain menyatakan bahwa budaya
organisasi tampil dalam 10 (sepuluh) karakteristik :
a.
Inisisatif perseorangan, tampil dalam bentuk tingkatan
tanggungjawab, kebebasan dan ketidakterikatan yang dimiliki seseorang.
b.
Toleransi atas resiko, tampil dalam bentuk peluang dan
dorongan terhadap personil untuk bersikap agresif, inovatif dan berarti
mengambil resiko.
c.
Pengarahan, yaitu tingkat kemampuan organisasi dalam
menciptakan sasaran dan performance yang diharapkan secara jelas.
d.
Integrasi, yaitu tingkatan keadaan yang menunjukkan
bahwa unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja secara koordinat.
e.
Dukungan manajemen, yaitu tingkat dukungan yang jelas
dari para manajer terhadap bawahannya dalam hal komunikasi, bimbingan dan
dukungan.
f.
Pengendalian, yaitu sejumlah ketentuan, aturan dan
sejumlah supervisi langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan
perilaku para pegawai.
g.
Bukti diri, ialah tanda keanggotaan suatu organisasi
yang lebih menunjukkan keterikatan pada suatu organisasi secara keseluruhan,
bukan pada suatu unit atau profesi tertentu.
h.
Sistem imbalan, ialah tingkat alokasi imbalan (salaris,
promosi) berdasarkan kriteria kinerja personil sebagai lawan dari berdasarkan
kriteria seniority, favouritism dan sebagainya.
i.
Toleransi konflik, yaitu tingkat keterbukaan bagi
pegawai untuk menghembuskan konflik dan kritik.
j.
Pola komunikasi, yaitu tingkatan jaringan komunikasi
organisasi terhadap hirarki otoritas formal.
Salah
satu aplikasi dari budaya organisasi adalah budaya yang diterapkan pada
berbagai perusahaan atau lebih dikenal sebagai budaya perusahaan. Pembentukan budaya perusahaan ternyata ada
kaitan erat dengan manajemen yang diterapkan.
Oleh karena itu, pendekatan manajemen merupakan unsur penting yang
menjadi cikal-bakal terbentuknya suatu budaya organisasi.
Terdapat
5 (lima) pendekatan manajemen yang selama ini dikenal, yaitu pendekatan proses,
pendekatan perilaku, pendekatan kuantitatif, pendekatan sistem dan pendekatan
contigency dalam aplikasinya di berbagai organisasi.
3.1.1. Pendekatan Proses
Pendekatan
proses disebut juga sebagai pendekatan klasik, pendekatan fungsional,
pendekatan operasional, pendekatan universal atau bahkan pendekatan
tradisional. Keunikan dalam hal keklasikannya
inilah yang menyebabkan manajemen proses relatif paling luas penerapannya.
Pendekatan
proses pada dasarnya adalah konsep teori manajemen yang sudah lama dicetuskan
dan sampai sekarang tidak jauh bergeser.
Misalnya pendapat Henry Fayol yang menyatakan terdapat lima fungsi
manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pemberian perintah, koordinasi
dan pengawasan.
Terdapat banak
pendapat tentang konsep dasar manajemen yang secara prinsip tidak jauh berbeda
satu dengan yang lain, perbedaanya terletak pada penekanan dan perincian
saja. Sebagai contoh Luther Gullick
menguraikan fungsi manajemen sebagai POSDCORB, yang merupakan kependekan dari Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Staffing (penyusunan staf), Directing (pengarahan), Coordinating (pengkoordinasian), Reporting (pelaporan) dan Budgetting (penganggaran).
Pendekatan
proses sangat umum dipakai mulai dari dunia usaha sampai birokrasi
pemerintahan. Tugas dan fungsi dari
masing-masing pelaku unsur manajemen yang jelas merupakan keunggulan pendekatan
ini, kunci suksesnya adalah pada koordinasi.
Dalam prakteknya, koordinasi merupakan kata yang paling banyak diucapkan
tetapi sangat sedikit dilaksanakan karena tingkat kesulitannya yang sanga
tinggi.
3.1.2. Pendekatan Perilaku
Terdapat
perbedaan persepsi antara satu ahli manajemen dengan yang lainnya, mereka
berpendapat bahwa sekalipun tatanan sudah tersususun sedemikian rupa namun
keberhasilan setiap organisasi dalam mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh
yang manusia menjalankannya. Oleh karena
itu diperlukan pendekatan yang lebih memanusiakan manusia.
Sebagai
makhluk sosial maka manusia harus dipandang dari berbagai sudut pandang, sosiologis
dan psikologis. Dengan demikian hubungan
sosial harus menjadi titik sentral.
Perikehidupan manusia bukanlah eksakta yang kebenarannya saklek dan
tidak dapat diganggu gugat.
Dari hasil berbagai
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan proses yang sudah
sedemikian lama bercokol ternyata tidak selalu menghasilkan efisiensi produksi. Keharmonisan kerja terabaikan karena manusia
dipandang sebagai “mesin kerja” yang harus menjalankan tatanan tanpa perlu
berinteraksi satu dengan yang lainnya, kecuali yang memang sudah digariskan
dalam aturan. Pengekangan ini bukan
hanya mematikan kreativitas tetapi juga menumbuhkan sifat pemberontak secara
bertahap.
Ketika
revolusi industri telah mencapai kejenuhannya maka diakhiri dengan
penjungkirbalikan kesuksesan berbagai industri yang tetap memperlakukan para
pekerjanya sebagai mesin penghasil mata uang.
Sementara itu, perusahaan lain yang bermetamorfosa menjadi lebih
memanusiakan manusia semakin tumbuh dan berkembang.
Ternyata perilaku
dan moral manusia sangat menentukan jalannya organisasi dalam mencapai
tujuannya. Hal ini tentu masuk akal
karena tata organisasi adalah benda mati kreasi manusia, sementara manusia
adalah ciptaan Tuhan. Pembandingan
penciptaan karya keduanya tentu bukanlah harus dilakukan tetapi sekedar memberi
gambaran bahwa perilaku dan moral jauh lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
dengan karya manusia yang sering diterapkan secara tidak manusiawi.
3.1.3. Pendekatan Kuantitatif
Sebutan lain
dari pendekatan kuantitatif adalah management
science atau operations research. Pendekatan ini memandang manajemen dari
perspektif model matematis dan proses kuantitatif.
Dengan
demikian masalah manajemen dapat dirumuskan dan dijabarkan dalam berbagai
bentuk model matematis dan kemudian dianalisa serta dipecahkan dengan
menggunakan bebagai teknik dan metode kuantitatif untuk memperoleh hasil
optimum. Melalui pendekatanan masalah
manajemen dianalisa secara logis dan kemudian dikembangkan berbagai alternatif
pemecahannya.
Namun demikian
sebagai ilmu sosial ternyata tidak semuanya dapat ditransfer secara tepat dalam
rumusan matematis. Diperlukan berbagai
percobaan dari penerapan manajemen dalam waktu lama untuk menghasilkan suatu
formula umum.
Dengan pendekatan
kuantitatif, hasil-hasil metode kualitatif yang tidak terukur menjadi sangat
jelas perpedaaanya satu dengan yang lain, sehingga keputusan segera dapat
diambil dengan cara yang cepat dan hasil yang tepat.
3.1.4. Pendekatan Sistem
Digunakan cara
pandang terhadap organisasi secara menyeluruh dan juga organisasi dipandang sebagai
bagian dari lingkungan eksternal secara luas. Pendekatan sistem menekankan pada adanya
saling keterkaitan dan ketergantungan bagian-bagian organisasi sebagai satu
kesatuan yang utuh.
Terdapat dua
jenis pendekatan sistem, terbuka dan tertutup.
Padangan pertama mempertimbangan kekuatan faktor lingkungan eksternal
dalam mempengaruhi organisasi, sebaliknya pendekatan sistem tertutup menganggap
bahwa organisasi adalah sebuah kekuatan yang utuh dan dapat berdiri sendiri
tanpa dipengaruhi oleh pihak luar sama sekali.
Dalam pendekatan
sistem tertutup maka pengaruh lingkungan yang sesungguhnya sedemikian besar
diabaikan. Sebaliknya perhatian
dipusatkan pada hubungan dan konsistensi internal yang dicerminkan oleh
prinsip-prinsip seperti kesatuan perintah, rentang kendali serta persamaan
wewenang dan tanggungjawab.
Pendekatan
sistem terbuka pada dasarnya sama dengan pendekatan sistem tertutup yang
memandang organisasi sebagai satu kesatuan yang utuh. Perbedaannya hanyalah pada adanya
pertimbangan pengaruh lingkungan eksternal organisasi yang sedemikian besar
pengaruhnya namun tidak menghubungkan secara fungsional dengan konsep dan
teknik manajemen yang mengarahkan pencapaian tujuan.
Salah
satu contoh sistem tertutup adalah sistem komando di dunia militer. Hanya berdasar pada struktur organisasi yang
sudah dibakukan, suatu bagian dapat menjad bagian integral yang tidak akan
terpisahkan dari yang lain. Kelemahan di
salah satu bagian akan menjadi penghambat atau bahkan penghancur visi yang
ditetapkan sebelumnya. Derap langkah
sudah diatur sedemikian rupa sehingga pada titik tertentu terjadi pertemuan
yang sinergi satu dengan yang lain.
Misalnya
dalam mencapai sebuah visi, maka tujuan akhir adalah segalanya. Faktor lingkungan dipandang sebelah mata
kalau tidak dibilang diabaikan.
Pendekatan yang berorientasi tujuan ini bukan hanya mengesampingkan
lingkungan tetapi juga individu anggota militer harus mengorbankan
prinsip-prinsip pribadinya.
3.1.5. Pendekatan Contigency
“Teori dan
praktek sering berbeda,” kata adegium
lama. Pendekatan contigency dimaksudkan
untuk menjembatani adanya ketimpangan antara teori dan praktek. Disamping itu juga dimasukan variabel
lingkungan dalam analisisnya karena perbedaan kondisi lingkungan kan memerlukan
aplikasi konsep dan tenik manajemen yang berbeda-beda.
Pendekatan ini
muncul sebagai akibat adanya ketidak puasan atas anggapan keuniversalan dan
kebutuhan untuk memasukkan berbagai variable lingkungan ke dalam teori dan
praktek manajemen.
Kondisi
lingkungan selalu terus berubah dan berubah merupakan perhatian tersendiri. Oleh karena itu ketajaman mensiasati berbagai
perubahan yang terjadi, menjadi faktor penting untuk dapat hidup dalam
persaingan usaha yang makin ketat.
3.2.Peran SDM terhadap Nilai Organisasi
Kesuksesan
sebuah organisasi merupakan hasil kesuksesan kerja individu tetapi merupakan
hasil kerjaama kelompok yang ada di dalamnya.
Setiap anggota organisasi, baik di tingkat bawah, tengah, maupun atas,
memiliki peran dan kepentingan yang sama.
Hubungan
antar-individu tanpa melihat jabatan dan kedudukan membuat hubungan menjadi
erat dan saling melengkapi satu sama lain.
Setiap tingkatan dan bagian dalam organisasi sama-sama penting. Tidak ada pihak, termasuk pengelola yang
menganggap dirinya sebagai golongan yang paling penting dalam organisasi.
Terdapat dua
kubu yang perbedaan sangat jelas dalam menjalankan organisasi, antara timur dan
barat, misalnya yang terjadi di negara Jepang dan Amerika Serikat. Apa yang digambarkan di atas merupakan salah
satu prinsip organisasi di Jepang pada umumnya.
Sebaliknya organisasi
di Amerika Serikat menciptakan jurang antara pengelola dan bawahan. Kedua golongan itu dipisahkan oleh dinding
yang terkadang menimbulkan masalah komunikasi yang serius. Mereka bukan hanya dipisahkan oleh kedudukan
dan status, melainkan juga oleh ruangan kantor.
Untuk bertemu dengan pengelola, ada proses birokrasi tertentu seperti
janji pertemuan yang harus dilalui seorang bawahan.
Dalam
organisasi di Jepang, pengelola berawal dari posisi bawahan dan naik secara
perlahan. Oleh karena itulah kebanyakan
pengelola organisasi di Jepang lebih akrab dab memahami bawahannya ketimbang
pengelola organisasi di Amerika Serikat.
Sistem
kenaikan pangkat seperti di atasmemeiliki banyak kelebihan karena memberikan
kesempatan bagi para pengelola terhadap keseluruhan organisasi dan
operasi. Kesempatan dan pengalaman itu
membantu mereka memahami dan mengendalikan jalannya organisasi.
Disamping itu,
mereka juga dapat bekerjasama dan menambah kesetiaan para bawahan kepada
pengelola. Itulah sebabnya pekerja-pekerja
di Jepang lebih setia kepada pengelola dibandingkan dengan para pekerja di
Amerika Serkat.
Sistem tersebut
menjadikan setiap pekerja menjabat posisi yang lebih tinggi bukan berdasarkan
kedudukan dan hubungan dengan pengelola, melainkan prestasi, hasil, kemampuan
dan sikap terhadap pekerjaan. Mereka
yang naik jabatan melalui cara itu memiliki hubungan interpersonal yang kuat
dengan para bawahannya.
Sudah menjadi
hal biasa bagi pengelola organisasi di Jepang untuk mengundang bawahannya ke
ruang kantor dan meminta bantuan mereka.
Sikap ini membuat para pekerja merasa selalu dihargai dan menganggap
diri mereka penting bagi organisasi.
Sikap berterus-terang mengurangi konflik antara pihak pengelola dan
bawahannya.
Secara
tradisi, para pemimpin organisasi di Jepang telah diajarkan agar selalu
mengamalkan sikap saling membantu dengan pekeja sebagai kumpulan manusia yang
besar. Mereka tidak melihat dunia mereka
sebagai suatu keterasingan tetapi meltakkan diri mereka dalam hubungan
berbentuk bulatan yang berlapis-lapis.
Setiap
individu menempatkan dirinya bersama-sama orang lain yang dekat dengannya dalam
lapisan yan terdalam. Sikap saling
bergantung tersebut mempunyai peran penting dalam tim kerja.
Tim kerja
merupakan pondasi dasar dalam organisasi usaha du Jepang untuk membentuk
interaksi antara anggota tim dengan pengelola.
Pemimpin tim haruslah individu yang dapat diterima para anggotanya untuk
menjaga keharmonisan dan semangat diantara mereka.
Melalui tim
kerja yang seperti itu, hubungan emosi dan pribadi dipupuk dan dibangun untuk
meningkatkan semangat danmotivasi anggota.
Tim tersebut juga memberikan dukungan moral untuk mempertahankan
kesetiaan, disiplin dan semangat kerja para anggotanya.
Tidak semua
yang berlaku dalam organisasi Jepang merupakan lawan dari perilaku pelaku
organisasi di Amerika Serikat. Banyak
yang menjadi etos kerja organisasi Jepang juga menjadi bagian dari organisasi
Amerika Serikat.
Masuknya
pengaruh global menjadikan batas keduanya menjadi semakin tidak jelas. Banyak para tenaga ahli Amerika Serikat bekerja sebagai ekpatriat di negeri sakura dan
mempengaruhi pola kerja di organisasi yang dimasukinya. Demikian juga masuknya pemodal dollar
berpengaruh terhadap pola kerja para karyawan berkewarganegaraan Nippon.
Di Amerika
Serikat juga banyak perusahaan Jepang yang mempekerjakan tenaga lokal yang
turut berpengaruh terhadap budaya organisasi yang ada. Pemodal mata uang yen tidak bisa menutup diri
menyesuaikan dengan iklim organisasi yang sudah melekat di negeri tuan rumah.
Indonesia yang
merupakan bagian penting dari iklim global dunia tidak bisa lepas dari pengaruh
kedua kutub tersebut. Budaya kerja yang
sering menjadi kendala kemajuan harus menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Berkiblat pada salah satu kutub bukan suatu
keharusan, mengambil yang terbaik dan sesuai dengan kebutuhanlah yang
semestinya dilakukan.
Kesiapan
setiap organisasi dalam menghadapi berbagai perubahan zaman tergantung kepada
kepemimpinan di dalamnya. Padahal
kepemimpinan yang berkualitas memang masih sangat kurang dibandingkan dengan
kebutuhan dunia yang makin mengglobal.
3.3.Flexibilities Gaya Kepemimpinan di
Indonesia
Indonesia
adalah sebuah negara yang unik, berbeda dari negara di manapun di dunia. Dari segi potensi alam tentu tidak ada
bandingannya, sumber daya manusia pun tidak kalah dengan negara lainnya,
sementara dari segi teknologi bukan hanya hasil adaptasi tetapi juga banyak
inovasi yang dihasilkan sendiri.
Permasalahannya
adalah, mengapa negara dengan potensi penuh ini tetap tertinggal dibandingkan
dengan negara tetangga? Jauh ketinggalan
dibandingkan dengan negara-negara yang lebih muda usia kemerdekaannya. Bahkan saat ini negara kaya raya ini hanya
bisa sedikit lebih baik di atas negara-negara miskin saja.
Problematika
terbesar bangsa ini ternyata dari sumber daya manusianya, di balik berbagai
keuunggulan yang dimiliki ternyata beraneka ragam problema muncul dari unsur
utama ini. Sifat dasar yang terbias oleh
lamanya penjajahan dan kolonialisme negara asing dengan berbagai strateginya
menghasilkan sikap mental tersendiri.
Demikian juga berbagai kemajuan hasil adaptasi dari berbagai pendidikan
di dalam dan di luar negeri menjadikan kombinasi semakin beranekaragam.
Untuk
mengelola berbagai perbedaan yang sangat beraneka itulah diperlukan gaya kepemimpinan
yang mampu mengintegrasikan keseluruhan perbedaan-perbedaan tersebut menjadi
kombinasi yang indah dan bermanfaat bagi kemajuan anak bangsanya.
3.3.1. Keanekaragaman Bangsa Indonesia
Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667
pulau, dengan pulau-pulaunya yang besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Saat ini terbagi
menjadi 33 propinsi.
Berdasarkan
bentang alamnya, secara umum wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu dataran barat dan dataran timur yang dangkal serta cekungan
tengah yang lebih dalam. Dengan demikian
bentuk penanpang melintangnya menyerupai sebuah piring yang tenggelam di air.
Hampir semua
wilayah daerah Indonesia sebenarnya merupaan kelanjutan dari dua jalur
pengunungan muda di dunia, yaitu jalur Sirkum Pasifik dan jalur Sirkum
Mediteran. Kedua jalur pegunungan ini
melalui dua rangkaian pengunungan pula, busur luar dan bususr dalam.
Rangkaian
pegunungan bususr luar merupakan rangkaian pegunungan yang tidak vulkanis dan
melalui pulau-pulau kecil di sebelah barat Sumatera ke selatan Jawa, Sumba,
Sawu, Rote, Babar, Tanimbar, Kai, Seram dan Buru. Sebaliknya rangkaian pegunungan busur dalam
merupakan rangkaian pegunungan yang vulkanis melalui Sumatera, Jawa, Nusa
Tenggara dan akhirnya sampai ke Laut Banda.
Meskipun
menyuburkan daerah sekitarnya, gunung api benar-benar berbahaya karena
letusannya. Dua gunung yang letusannya
pernah membunuh ratusan ribu orang adalah Gunung Tambora (1818) dan Gunung
Krakatau (1883).
Indonesia
termasuk lima besar negara dengan penduduknya terbesar di dunia. Konsentrasi penduduk lebih dari 65 % di Pulau
Jawa yang luasnya kurang dari 10 % wilayah Indonesia. Pulau Sumatera relatif lebih padat daripada
pulau-pulau lainnya seperti Kalimantan dan Irian yang sangat luas itu misalnya.
Bangsa
Indonesia terdiri dari suku-suku bangsa yang besar dan kecil. Selain suku Jawa, Sunda dan Madura yang hidup
di Pulau Jawa dan Madura, terdapat suku bangsa Melayu, Minangkabau, Batak dan
Aceh di Sumetera. Tiga suku bangsa besar
lainnya, yakni Bali, Makasar dan Bugis hidup di Indonesia bagian tengah.
Bahasa resmi
di Indonesia adalah Bahasa Indonesia yang pada mulanya berasal dari bahasa
Melayu pasar, yakni bahasa perdagangan yang lazim digunakan pada zaman
penjajahan. Meskipun demikian bagi
sebagian besar masyarakat, bahasa nasional masih dianggap sebagai bahasa asing
dan bahasa kedua karena dalam kehidupan sehari-hari masih lekat menggunakan
bahasa ibu.
Terdapat
ratusan bahasa lisan beserta dialkenya dapat dijumpai di negeri ini. Bahasa dan dialeknya itu kebanyakan merupakan
rumpun bahasa Melayu. Sementara bahasa
daerah yang paling besar digunakan adalah bahasa Jawa, disusul bahasa Sunda,
Madura, Melayu, Aceh, Batak, Minangkabau, Bali, Maksar dan Bugis.
Keanekaragaman
potensi sumber daya manusia ini diwarnai dengan bermacam-macam agama dan
kepercayaan yang dianut. Sekalipun agama
resmi negara hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, masih banyak
warga negara yang menjalankan ajaran Kong Hu Cu yang dianut nenek
moyangnya. Selain itu pada setiap agama
juga terdapat beranega aliran atau sekte yang membedakan satu dengan lainnya
sekalipun Tuhan mereka sama.
Aliran
kepercayaan merupakan bagian penting dari masyarakat Indonesia yang dalam
hidupnya tidak pernah lepas dari pengaruh para nenek-moyangnya. Berbagai ajaran pendekatan kepada Tuhan hasil
penggalian anak bangsa ini pun subur berkembang diantara aneka kehidupan
beragama masyarakat umumnya. Bahkan
banyak penganut agama yang juga menjadi bagian dari aliran kepercayaan yang
tanpa sengaja ikut dianutnya.
Fanatisme
penganut dan pemerhati agama dan aliran kepercayaan, atau bahkan pada sekte
tertentu, sering berlebihan sehingga menjadi pemicu terjadinya berbagai
permasalahan sosial yang berdampak dalam kehidupan yang lebih luas. Dari tahun ke tahun permasalahan ini tidak
pernah selesai, bahkan cenderung lebih meruncing.
Sebagian besar
masyarakat Indonesia hidup dari sektor pertanian yang paling banyak menyerap
tenaga kerja. Sebagai hasil dari
gebrakan revolusi hijau maka padi menjadi tanaman utama yang ada di seluruh
negeri sebagai makanan pokok. Selain itu
terdapat berbagai tanaman perkebunan seperti karet, sawit, tebu, kopi, teh,
pala, lada, cengkeh dan lainnya.
Kegiatan perkebunan juga tersebar di seluruh nusantara.
Selain itu
perikanan merupakan kegiatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Perairan laut, danau dan sungai yang sangat
luas dan kaya ikan serta usaha tambak dan kolam yang semakin berkembang. Dari sejak kecil anak-anak sudah diajarkan
untuk bangga sebagai bangsa bahari dengan menyanyikan lagu Nenek moyangku
Seorang Pelaut.
Potensi
pertambangan merupakan sektor yang penting dalam perekonomian. Ladang minyak bumi tersebar luas baik di
daratan ataupu lautan. Bahan tambang
lain seperti batubara, bauksit, emas dan perak, bijih mangan, belerang, timah
hitam, platina dan kuningan merupakan sumber devisa yang sangat besar.
Sedangkan dari
segi pendidikan, masyarakat Indonesia mengalami kemajuan yang pesat setelah
merdeka. Pada jaman penjajahan, angka
buta huruf mencapai 90 prosen sementara di awal kemerdekaan menurun menjadi 80
prosen. Saat ini anggota masyarakat buta
huruf menjadi sangat kecil, kurang dari 10 prosen saja.
Sistem
pandidikan nasional yang diterapkan cenderung sentralistik, baik kurikulum
ataupun segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan
pendidikannya. Kegiatan penyeragaman
terjadi sangat jelas sampai kepada hal-hal yang sebenarnya tidak prinsipil seperti
warna cat tembok gedung sekolah misalnya.
Upaya yang
berlangsung lama ini telah menjadikan produk pendidikan yang seragam, merasa
salah apabila berbeda dengan yang lain.
Kreativitas sering tidak muncul, jiwa kewirausahaan diragukan, bahkan
kemampuan bekerjasama dalam tim selalu menjadi pertanyaan.
Banyak
masyarakat Indonesia yang menyekolahkan anaknya di negara-negara Eropah,
Australia dan Amerika ataupun negara Asia lainnya, bahkan di Mesir benua Afrika. Selain memberi warna tersendiri dalam pola
pikir masyarakat bangsanya, mereka tidak sedikit yang tidak mau pulang karena
tidak kuat dengan perlakuan yang diterima sesama warga negaranya. Alasan mereka bukan terbatas pada materi
semata tetapi juga ketidakmampuan memanfaatkan ilmu yang didapatnya karena
peralatan yang ada di dalam negeri masih jauh dari harapan.
3.3.2. Kepemimpinan Bangsa Indonesia dari Masa ke
Masa
Bentuk
pemerintahan Indonesia adalah republik dengan pemerintahan pusat yang dibantu
pemerintahan daerah (propinsi dan Kabupaten/kota). Semenjak Indonesia merdeka sampai saat ini telah
terpilih 6 (enam) orang presiden sebagai penguasa pemerintahan tertinggi. Mulai dari Sukarno, Soeharto, Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Untuk
memerintah negara dengan beraneka ragam potensi yang dimilikinya membutuhkan
seorang pemimpin yang dapat diterima keberadaanya oleh semua pihak. Namun hal ini bukanlah hal yang mudah karena
disamping berbagai dukungan tentu akan terjadi banyak penolakan yang tidak
menghendaki.
Setelah
Indonesia merdeka, Sukarno merupakan presiden yang pertama didampingi oleh
Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.
Dua founding fathers dengan
latar belakang yang sangat berbeda ini sesungguhnya merupakan kombinasi
pimpinan yang sangat mumpuni. Dari segi
asal daerah, keduanya mewakili penduduk terbesar di Jawa dan luar pulau
Jawa. Pendidikan Sukarno yang teknokrat
berkolaborasi dengan politik praktis yang matang berpadu dengan ilmu ekonomi
Bung Hatta dalam menyelesaikan berbagai masalah kebangsaan yang sangat pelik di
awal kemerdekaan.
Namun ternyata
di tengah jalan, perpadua keduanya tidak lagi indah tetapi menjadi jurang
pemisah sehingga tidak lagi dapat disatuka.
Sukarno pun mempimpin negeri ini sendiri sementara Bung Hatta memilih
untuk mengundurkan diri. Satu pelajaran
penting dari kedua pemimpin besar itu adalah bahwa perbedaan diantara keduanya
tidak menimbulkan permusuhan yang berakibat luluh-lantaknya tatanan kenegaraan
yang baru mulai berbenah tetapi masih saling berupaya membangunnya.
Kehidupan
berpolitik zaman Orde Lama sungguh mengakomodir potensi bangsa yang sedemikian
banyak. Bangsa yang baru merdeka ini
harus kerja keras hidup dalam berbagai perbedaan, termasuk berbeda partai
politik yang diikuti. Pemilihan Umum
yang berlangsung tertib sepuluh tahun setelah merdeka diikuti oleh puluhan
partai politik. Kebebasan hidup
berpolitik multi partai ini tidak lepas dari keahlian Sang Orator yang
merupakan salah satu tokoh politik yang disegani dunia.
Akhir
pemerintahan Sukarno sangat tragis, pemimpin revolusi yang tidak pernah selesai
itu akhirnya tergilas oleh revolusi yang dijunjung-tingginya sendiri. Terlepas dari siapapun penggagas revolusi
bernama Gerakan 30 September (G 30 S) ataupun Gerakan 1 Oktober (Gestok) dan
berbagai kejadian lain yang mengiringinya, kejadian itu merupakan titik balik
kekuasaan seorang Sukarno. Sekali lagi,
terlepas dari benar tidaknya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) maka
pemerintahan diserahkan oleh proklamator ini kepada Soeharto, seorang jenderal
Angkatan Darat.
Berakhir sudah
kehidupan bernegara para ABS (Asal Bapak Senang) yang membuat Bung Karno
akhirnya terjerat oleh kroni-kroni yang memujanya. Soeharto pun menjadi pemimpin negara yang
cukup disegani, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga menjadikan Indonesia
termasuk negara yang ditakuti karena merupakan macan ekonomi baru.
Kehidupan di
dalam negeri aman dan tenteram, setiap ada keributan selalu dapat diredam
sampai dihabiskan ke akar-akarnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara statistik sangat mengagumkan,
membawa presiden kedua ini sering bolak-balik menjemput penghargaan di
berbabagi negara.
Soeharto yang
semula adalah penantang presiden seumur hidup Bung Karno, akhirnya lupa daratan
duduk di kursi istana. Tidak cukup dua
dekade maka dilanjutkan ke sepuluh tahun berikutnya tanpa hambatan karena
memang tidak ada satu orang pun yang berani mencoba menggantikannya, sekedar
opini sekalipun.
Kebijakan
terpusat dan tangan besi yang dilakukan akhirnya terakumulasi menjadi beban
yang semakin berat dengan bertambah uzurnya sang jenderal. Berbagai pujian dan penghargaan yang
tertumpuk selama pemerintahannya akhirnya tumpah menindih kursi istana. Soeharto pun dipaksa lengser oleh dentuman
ketidakpercayaan seperti yang pernah terjadi terhadap presiden sebelumnya.
Kehidupan
berpolitik pun mengerucut, dari multi partai yang sangat ramai menjadi sebagian
kecilnya dan pada akhirnya dalam kehidupan Orde Baru hanya dikenal 2 partai
politik dan 1 golongan karya. Golongan
Karya adalah mesin politik pemerintah yang menjelang akhir kekuasaanya mencapai
kemenangan mutlak yang mengundang decak kagum, mendekati seratus prosen.
Lagi-lagi,
karma seakan berlangsung sedemikian cepat.
Reformasi meluluhlantakan kekuasaan pimpinan negara yang merevolusi
pemimpin revolusinya sendiri.
Soeharto pun
sebagaimana Sukarno hidup dalam kesepian menghadapi berbagai tuntutan yang
tidak pernah terpikirkan ketika masih sedang berkuasa. Bedanya, kalau Sukarno dituntut oleh kegiatan
politiknya sementar Soeharto lebih cenderung kepada tuntutan harta yang
diakumulasikannya kepada anak dan cucu selama berkuasa.
Baharuddin
Yusuf Habibie pun yang saat itu menjadi wakil presiden segara menduduki kursi
RI 1. Ahli ekor pesawat terbang yang
menjadi General Manager di puluhan perusahaan besa di negeri ini mencoba
peruntungan melanjutkan pemerintahan yang sudah keropos. Kepiawaiannya memimpin membawa negara yang
sangat genting ini menuju perbaikan dalam waktu singkat.
Tetapi iklim
kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang ABS (Asal Bukan Soeharto)
menyebabkan tuntutan membersihkan Istana Negara dari hasil didikan Pak Harto
pun terjadi. Seperti diketahui, Habibie
merupakan teknokrat Indonesia yang sukses di Jerman saat diminta Soeharto untuk
membantunya membangun tanah air.
Sebagai bagian
dari masyarakat yang berpendidikan relatif rendah, maka tanpa melihat realita
yang terjadi dan hanya berfokus pada pandangan ABS semata maka Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pun mencopot mandat yang dipercayakan
kepadanya. Habibie pun dengan penuh
ketabahan mengumbar senyum di hadapan orang-orang terhormat yang menghancurkan
kehormatannya. Sebuah ledekan terhadap
para wakil rakyat yang sama sekali tidak berbeda dengan rakyatnya, tidak
berpendidikan.
Di zaman
reformasi ini muncul anekdot yang sangat menarik bahwa disamping kehancuran
perekonomian dan kehidupan berbangsanya sesungguhnya Indonesia mencapai
kemajuan yang gemilang.
Pada zaman
Orde Baru, bila ditanyakn kepada orangtua tentang zaman normal, maka jawabannya
adalah pada saat Belanda menjajah negeri ini.
Kehidupan kata mereka menjadi terlalu indah untuk dilupakan, jauh lebih
indah daripada saat kekejaman penjajah Jepang ataupun hidup merdeka di bawah
kekuasaan orde Lama. Tetapi bila
pertanyaan yang sama diajukan kepada masyarakat penikmat reformasi, maka jaman
normal sesungguhnya tercapai pada zaman Orde Baru. Jadi relatif ada kemajuan !
Presiden
pilihan MPR pengganti Habibie sungguh mencengangkan, seorang Kiyai kontravesial
H. Abdurrahman Wachid. Di balik berbagai
kelebihan yang dimilikinya, Kiyai yang satu ini mempunyai kelemahan di indera
penglihatan. Kelemahan inilah yang diamanfaatkan
oleh para pembantunya untuk menguatkan diri dan barisan.
Berbagai
kebijakan kontradiktif pun terjadi, bagi pegawai negeri yang menduduki jabatan
tentu pernah diuntungkan dengan kebijakan menaikan pangkat sesuai dengan eselon
yang diduduki. Sesuatu yang tidakpernah
terjadi sebelumnya dan sesungguhnya merontokan berbagai tatanan kebijakan yang
sudah dilakukan sebelumnya. Kebijakan
ini hanyalah salah satu contoh kekonyolan yang diaspek legalkan, banyak produk
hukum lain yang justeru sebenarnya bertentangan dengan berbagai pendapat
presiden yang dikenal mencla-mencle
ini.
Tidak lama
berselang, dengan hanya bercelaka pendek Gus Dur digiring keluar dari Istana
Negara. MPR lagi-lagi harus mencabut
mandat yang dipercayakan kepada orang kepercayaannya. Megawati Soekarnoputri yang duduk sebagai
wakil presiden pun menggantikannya.
Awal reformasi
ditandai dengan munculnya berbagai perasaan terpendam yang tidak pernah
dikeluarkan, dalam hal kebebasan berpartai juga demikian. Berbagai atribut partai yang dulu pernah ada
ataupun yang masih lahir prematur muncul seperti cendawan di musim hujan. Pemilihan Umum multi partaipun digelar untuk
memperoleh para wakil yang akan menggeser tempat duduk para wakil rakyat sebelumnya
yang didominasi jaket kuning.
Kenangan
terindah kekuasan MPR dinikmati oleh Megawati, pada saat itulah untuk terakhir
kali seorang presiden dipilih oleh para wakil rakyat yang tidak pernah mengenal
rakyatnya. Undang-undang baru pun
bergulir, sebuah perubahan bear terjadi.
Pemilihan presiden dan wakil presiden langsung oleh rakyat. Demikian juga Bupati/Walikita dan Gubernur.
Kebijakan maha
mahal ini ditempuh sebagai bentuk tanggungjawab para wakil rakyat terhadap
kelangsungan hidup bangsa dan negaranya yang sebenarnya tidak pernah melibatkan
rakyat. Milyaran rupiah dianggarkan
secara resmi untuk pemilihan seorang Bupati/Walikota ataupun Gubernur, ratusan
milyar lainnya melayang tanpa dampak yang jelas.
Triliunan
rupiah dihabiskan untuk memilih seorang presiden dan wakilinya yang benar-benar
pilihan rakyat. Susilo Bambang Yudhoyono
pun terpilih untuk menjadi presiden pilihan rakyat yang pertama. Muhammad Jusuf Kalla sebagai pendamping yang
mewakilinya.
Kehidupan
berpolitik pun masih tetap seperti sebelumnya, multi partai dan gontok-gontokan
yang semakin jelas. Mafia partai pun
bermunculan, mereka mendirikan partai hanya berbekal fotocopy KTP para anggota
dan pengurus perwakilannya. Dengan modal
tidak seberapa mereka memancing dana APBN milyaran rupiah untuk pembinaan
partai politik. Selain itu kehidupan
multi partai juga menciptakan jabatan baru bagi para kutu loncat, mereka
beralih dari satu partai ke partai lainnya hanya untuk dana pembinaan dari
pengurus pusat atau pun langsung dari pemerintah baik pusat maupun daerah.
Dua fenomena
kehidupan berpolitik di atas sebenarnya merupakan cermin dari dua kubu yang
berbeda. Kubu masyarakat umum yang
relatif rendah pendidikannya sehingga gampang digiring kemana pun asalkan
mendapatkan imbalan atas tenaga yang dikeluarkan, dan kubu lainnya mereka yang
berpendidikan atau berpengalaman sehingga mampu mengubah ketidakberdayaan
masyarakat menjadi sarana untuk memberdayakan dirinya sendiri.
Pemerintahan
SBY pun masih memberi iklim yang membebaskan kehidupan multi partai yang
beraneka ragam ini. Tetapi sudah
kelihatan makin mengerucut. Dari
berbagai partai yang ikut Pemiluhan Umum belum lama ini dapat terlihat
banyaknya partai yang muncul dari kelompok yang sama.
Untuk kali
pertama Golongan Karya tidak menduduki posisi teratas. Golongan partai yang berasal dari Cendana lainnya
pun tidak ada yang mendominasi hasil akhir Pemilu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan masih
cukup kuat tetapi mengalami kemerosotan dari pesta demokrasi sebelumnya. Partai Demokrat tanpa diduga menjadi kuda
hitam yang menembus batas dibawa kepopuleran seorang Yudhoyono. Partai-partai Islam seperti PKS, PKB, PAN,
PBB, PPP dan lainnya sudah harus introspeksi diri lebih jauh untuk melangsungkan
kehidupan berpartai mewakili ummatnya.
Fenomena lain
yang muncul dengan banyaknya jenis pemilihan dan multi partai adalah maraknya
politik uang yang sebanding dengan ketidakpedulian masyarakat. Uang berhampuran dikeluarkan para calon bukan
hanya dalam bentuk atribu dan bendera tetapi jelas-jelas diberikan dalam bentuk
uang untuk serangan fajar. Ironisnya,
berbagai pemilihan kepala daerah justeru sebenarnya dimenangkan oleh mereka
yang tidak memilih. Seperti pada
pemilihan Gubernur Jawa Barat misalnya, posi golput melebihi suara yang diperoleh
oleh pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf.
Dari gambaran
berbagai kejadian kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di atas maka untuk
memimpin bangsa ini diperlukan gaya yang sesuai dengan keanekaragaman potensi
yang ada sekaligus mampu mengakomodir berbagai perbedaan yang tidak
sedikit. Termasuk di dalamnya adalah
kebiasaan masyarakat yang relatif mudah diombang-ambing oleh kepentingan sesaat
tanpa memikirkan jangka panjang dan segala resiko yang akan dihadapinya.
Berbagai gaya
kepemimpinan presiden sebelumnya yang cenderung berpihak pada golongan tertentu
telah kandas oleh gelombang ketidak percayaan arus bawah yang semakin besar
kekuatannya. Orde Lama yang diperintah
pemain politik sehingga energi bangsa dan negara terkuras untuk partai politik
berbagai kegiatan politik menyebabkan kehidupan adil dan makmur menjadi jauh
dari harapan. Perut rakyat yang lapar
akan mampu menggulingkan benteng kekuasaan sekuat apapun.
Senenarnya
ahli strategi Soeharto setelah mempelajari kegagalan masa lalu, penggagas Orde
Baru ini memperbaiki berbagai kebijakan ekonomi. Keamanan pun diciptakan sedemikian rupa
sehingga setiap gejolak yang ada diredam dan dihancurkan. Perekonomian masyarakat pun melambung tinggi
dalam suasana yang selalu kondusif.
Kemakmuran rakyat pun tercapai, dengan sebagian besar angka kemakmuran
ada dalam genggaman kekuasaan dan kroni serta keluarganya. Kepemimpinan yang demikian pun akhirnya
kandas oleh para perut lapar yang dikoordinir kaum intelektual.
Ketika
reformasi baru bergulir, muncul nafas Sukarno yang patriotik. Suasana ingin kembali Sukarnoisme pun tidak
berlangsung lama dan sama sekali tidak merata, bukti yang paling nyata adalah
tidak terpilihnya anak Bung Karno dalam pelilihan presiden secara
langsung. Padahal, Megawati adalah
presiden yang berkuasa saat itu. Suara
rakyat di balik kepala banteng, sebuah simbol warisan yang menjadi tinggalan
Bung Karno pun tidak diberikan kepada ahli warisnya ini. Masyarakat lebih memilih Susilo Bambang
Yudhoyono yang hanya diusung partai kecil bernama Partai Demokrat yang tidak
dikenal.
Rakyat
Indonesia memang saat ini semakin berpendidikan, pendidikan formal rata-rata
sudah meningkat tajam dan yang lebih penting adalah pendidikan dari arus
informasi yang dapat diakses setiap saat.
Hal ini telah mendewasakan rakyat dalam menentukan untuk memilih siapa
wakilnya ataupun menerima apapun yang diberikan para calon karena tidak akan
ketahuan kalau dia tidak memilih. Atau
keputusan terakhir untuk sama sekali tidak peduli dengan berbagai pemilihan
yang digelar.
Oleh karena
itu, belajar dari berbagai kegagalan yang telah dilakukan para pemimpin bangsa
sebelumnya dan seiring dengan makin terdidiknya masyarakat maka pemimpin yang
diperlukan Indonesia saat ini adalah orang yang fleksibel. Ketika seorang pemimpin mengikuti gaya salah
satu golongan dengan kaku maka terbukti harus kandas di tengah jalan atau
bahkan hancur dimakan oleh mesin politik yang dibuatnya sendiri.
3.3.3. Kepemimpinan Bangsa Indonesia di Masa yang
Akan Datang
Tiga teori
strategi dan kekuasaan warisan leluhur bangsa-bangsa di dunia telah menjadi
pedoman dalam kepemimpinan bangsa, yaitu Sang Penguasa-nya Machiavelli, Alistair
McAlpine dengan Sang Pelayan dan Seni Perang Sun Tzu.
Machiavelli
berpendapat bahwa jika seorang penguasa tidak memiliki pandangan yang hebat
dari dalam dirinya sendiri, berunding dengan lebih dari seorang penasehat,
saran-saran yang mereka berikan tidak akan cocok satu sama lain, juga ia tak
akan mampu mengakali agar mereka bersatu.
Setiap orang
akan memberi saran menurut kepentingan mereka sendiri atau berdasarkan pikiran
yang muncul saat itu, dan sang penguasa tidak mampu berperan baik untuk
mengarahkan maupun mengungkap sesuatu; dan para penasehat lainnya tidak akan
saling melengkapi, bahwa manusia akan selalu terbukti buruk, kecuali ada
keperluan tertentu mereka dipaksa untuk baik.
Maka jelaslah
bahwa saran-saran yang baik, dari siapapun juga, lebih merupakan terusan dari
kebijaksanaan sang penguasa daripada saran sang penguasa yang merupakan hasil
olahan dari para penasehatnya.
Sementara
dalam Sang Pelayan, Alistair McAlpine mengatakan bahwa penting untuk memahani
suatu fakta yang diterima kekuatannya jauh lebih besar daripada kebenaran yang
sesungguhnya. Sang pelayan bukanlah
seorang pencari kebenaran, namun ia adalah seseorang yang mengambil suatu
pandangan yang paling cocok dengan sang penguasa. Kemudian sang pelayan akan menyokong
pandangan itu hingga menjadi sebuah fakta yangtidak dapat disangkal.
Dengan
demikian sang pelayan memiliki bukti untuk mendasari fakta-fakta yang kemudian
dibuatnya. Walalupun bisa saja hal itu
jauh dari kebenaran yang sesungguhnya, fakta tersebut, sekali dikukuhkan,
secara umum akan diterima oleh semua pihak.
Sementara ahli
strategi perang, Sun Tzu mengatakan bahwa bertarung dan menaklukan semua
pertempuran bukanlah kesempurnaan yang utama, kesempurnaan yang utama berada
pada penghancuran ketahanan musuh tanpa pertarungan.
Ketiga
pelajaran kuno itu masih sangat penting untuk menengok kepemimpinan di
Indonesia saat ini. Dengan koreksi diri dan
perbaikan disana-sini maka dapat disusun strategi untuk menuju kepemimpinan di
masa yang akan datang yang lebih penuh dengan tantangan yang semakin cepat
berubah.
Seperti
dialami bersama, bahwa dari masa ke masa kepemimpinan Bangsa Indonesia selalu
terjebak dalam kepemimpinan terpusat yang mengagungkan seorang pemimpin sebagai
tumpuan ternyata menyebabkan mereka tidak lagi mampu mengemban segala tugas
berat itu sendirian. Seiring berjalannya
usia dan makin beratnya tugas berat yang diembannya maka sang pemimpin pun
harus turun tahta dengan paksa.
Ketika
berkuasa seorang pemimpin dipuja seperti dewa, dikultuskan sedemikian rupa
sehingga segala titahnya tidak dapat dikoreksi.
Tetapi begitu zaman berubah dan menuntut kemundurannya maka semua yang
ada di sampingnya pun menjauh, bahkan ikut mendorong sangidola sampai
jatuh. Sudah jatuh ditimpa tangga,
karena memang sudah tidak perlu lagi dipuja.
Di Indonesia
atau bahkan dunia yang mengglobal saat ini memerlukan seorang pemimpin yang
mampu mendistribusikan kepemimpinannya kepada setiap individu yang
dipimpinannya, seluruh rakyat Indonesia.
Karena sesungguhnya kepemimpinan masa kini dan masa yang akan datang
adalah tanggungjawab setiap orang.
Pemimpin
bangsa ini juga sudah semestinya menjadi bagian dari rakyat Indonesia yang
beraneka ragam budaya dan latar belakang lainnya. Seperti kata Druckrer, para pemimpin perlu
mengetahui orang yang dipimpinnya secara komprehensif.
Tidak mudah
untuk menghasilkan pemimpin sejati bagi bangsa yang unik ini, namun suatu
keharusan agar tidak lagi terus terjerumus dalam lubang kejatuhan yang
sama. Agar bangsa Indonesia tidak lagi
disebut oleh ahli politik sebagai negara yang menjalankan arus politik
bolak-balik, berusaha untuk menuju pembaharuan tetapi yang dituju sesungguhnya
masa lalu, yang itu-itu juga.
Robert J.
Thomas seorang ahli kepemimpinan di Harvard Business School mengatakan bahwa
seorang pemimpin tumbuh menjadi seorang pemimpin sejati melalui pembelajaran
dari pengalaman kehidupannya. Hubungan
antara pengalaman dan kepemimpinan adalah sebagai berikut :
a.
Pengalaman memiliki dua pelajaran penting, kepemimpinan
dan pembelajaran
b.
Pembelajaran yang berkelajutan dapat membentuk
kemampuan dan talenta seseorang
c.
Strategi pembelajaran atas pengalaman yang dikemas
secara pribadi dibutuhkan dalam pertumbuhan kepemiminan seseorang
d.
Organisasi dapat berperan dalam menumbuhkan dan
mengembangkan pemimpin dengan membantu mereka tumbuh melalui pengalaman.
Sementara itu William
A. Cohen mengemukakan sepuluh prinsip strategi seorang pemimpin, yaitu :
1.
Berkomitmen sepenuhnya pada satu tujuan tertentu karena
siapapun tidak akan sampai ke tujuan tanpa mengetahui di mana tempat tersebut
berada.
2.
Mengambil inisiatif dan mempertahankannya karena
kehidupan adalah kompetitif sehingga harus ada inisiatif untuk menaklukannya.
3.
Menghemat sumber daya massal, jangan membuang-buang
waktu atau sumber daya pada aspek-aspek yang tidak penting.
4.
Menggunakan positioning strategis, perubahan-perubahan
lingkungan atau perubahan tidak terduga.
5.
Melakukan yang tidak terduga, buatlah hal-hal yang
mengejutkan dan hal-hal yang tidak terduga.
6.
Mempertahankan kesederhanaan, buatlah konsep dan
strategi yang sederhana, yang dapat dengan mudah diimplementasikan.
7.
Mempersiapkan banyak alternatif, karena setiap rencana
mengandung kemungkinan untuk gagal maka diperlukan banyak alternatif rencana.
8.
Mengambil rute tak langsung menuju tujuan, bergerak
secara langsung untuk melakukan apa yang dipikirkan atau diusahakan bisa
menimbulkan hal yang berlawanan, diperlukan strategi agarsegalanya berbeda.
9.
Menerapkan penjadwalan dan pengurutan yang tepat,
menerapkan strategi yang benar pada waktu yang salah dan urutan yang salah bisa
sama tidak efektifnya dengan jika strategi itu sepenuhnya salah.
10.
Mengekploitasi kesuksesan, jangan berhenti atau
bergerak lamban untuk mencapai tujuan.
Kepemimpinan
pada dasarnya adalah mengenai penciptaan cara bagi orang untuk ikut
berkontribusi dalam mewujudkan sesuatu yang luar biasa, kata Allan Keith. Hal ini senada dengan Ram Charan yang mengatakan
bahwa pemimpin adalah produk yang unik.
Ia memiliki kemampuan dan karakter yang berbeda dibanding dengan banyak
orang.
Oleh karena
itu tidak setiap orang menjadi pemimpin karena mereka harus dicetak dengan
proses yang berbeda :
a.
Banyak orang memiliki kepintaran, kemampuan tinggi dan
kandidat untuk menjadi pemimpin tetapi tidak banyak yang mampu menjadi
pemimpin.
b.
Keberanian dalam memberi tugas baru yang menantang dan
umpan balik tepat waktu adalah kuncinya.
Bukan pada pendidikan formal, melainkanpendidikan informal ketika mereka
harus berjuang sendirian di lapangan.
c.
Tugas yang diberikan sangat personal dan berbeda dari
yang lain sehingga potensi sebenarnya bisa diketahui.
Dari berbagai
teori kepemimpinan di atas, sesungguhnya masyarakat dan bangsa Indonesia
memerlukan pemimpin yang membumi. Lima
kriteria membumi seperti yang diterapkan sebuah perusahaan kelas dunia General
Electric dalam menentukan seorang pemimpin, yaitu :
a.
Memiliki fokus eksternal yang mampu membawa kesuksesan
di masa yang akan datang
b.
Seorang pemiki yang mampu menyederhanakan strategi
menjadi program spesifik
c.
Memiliki imajinasi dan berani mengambil resiko menjadi
pada orang dan ide baru
d.
Mampu memberi semangat pada tim
e.
Memiliki kemampuan khusus di bidang spesialisasinya.
Ketika menghadapi
masalah dan pengambilan keputusan, dilema merupakan makanan sehari-hari seorang
pemimpin. Seringkali dihadapkan pada dua
pilihan yang sulit, sementara ingin keduanya maka harus memilih salah satu atau
terpaksa memilih salah satu padahal keduanya sama sekali tidak layak
dipilih. Berpikir integratif merupakan
kemampuan menghadapi tekanan gagasan yang bertentangan secara konstruktif. Daripada memilih salah satu dan mengorbankan
yang lain, seorang pemimpin yang sukses harus mampu menghasilkan resolusi
kreatif dalam bentuk gagasan baru yang berisi elemen dari gagasan yang
bertentangan, tetapi masing-masing superior.
Para pemimpin
sukses yang diharapkan ini memiliki satu sifat dasar, yaitu mereka memiliki
kecenderungan dan kapasitas memegang dua gagasan yang saling bertentangan di
kepala tetapi tidak mudah panik atau mengalah dengan memilih salah satu pilihan
dan meninggalkan yang lainnya. Mereka
tidak memilah sebuah masalah menjadi terbagi-bagi dan mengurusnya secara
terpisah tetapi menganggap semua itu sebagai satu kesatuan yang utuh dan mereka
menyelesaikan masing-masing bagiannya.
Pemimpin harus
mampu dalam menghadapi dilema bukan malah lari atau memilih salah satu pilihan,
melainkan menjinakkan dan merangkulnya.
Mereka juga membiarkan kompleksitas masuk dalam merancang keputusan
karena merupakan tantangan kognitif karena dianggap membawa peluang resolusi
yang bersifat terobosan.
Kompleksitas
bangsa Indonesia antara potensi yang sangat kaya dan pemanfaatannya yang
bertolak belakang dengan berbagai gejolak yang mengiringi, memerlukan pemimpin
yang berpikir integratif yang berbeda dengan yang lainnya dalam empat proses berpikir
dan mengambil keputusan, yaitu :
a.
Dalam menentukan apa yang dianggap penting
b.
Dalam mempersepsikan kausalitas fitur yang dianggap
penting
c.
Dalam mengambil tindakan
d.
Bagaimana mengembangkan pilihan resolusi.
Pemimpin
Indonesia di masa yang akan datang juga perlu menyadari bahwa berbagai
sumberdaya yang selama ini merupakan kekayaan tak ternilai, suatu saat akan
terbatas dan terkikis habis. Sumber
keunggulan di masa yang akan datang terletak pada kemampuan bangsa dalam
berinovasi, hanya sumber daya inovasi atau pengetahuan yang tidak terbatas
sifatnya.
Mantan PM
Singapura, Goh Cok Tong mengatakan bahwa, inovasi dan imajinasi akan memberikan
keunggulan ekstra bagi perekonomian negara, dimana saat ini kemakmuran dan
kesejahteraan akan tercipta dari munculnya berbagai gagasan baru.
Inovasi akan
berkembang dengan baik ketika terdapat percampuran yang harmonis antara
berbagai pengetahuan, disiplin ilmu dan perspektif yang beragam. Inovasi akan tumbuh subur dalam keberagaman.
Kepemimpinan
bangsa ini harus terus berlanjut, bukan hanya sekali pemilihan presiden yang
akan datang. Untuk menjamin
keberlangsungan bangsa Indonesia menuju harapan yang lebih baik maka diperlukan
beberapa langkah untuk menghasilkan anak bangsa pemimpin sejati, yaitu :
a.
Pendefinisian kebutuhan talenta
b.
Penyatuan dan penyebarluasan talenta terhadap tujuan
bangsa dan negara
c.
Pengukuran setiap aktivitas manajemen talenta sehingga
mampu memberi umpan balik bagi setiap lini dalam organisasi.
3.4.Perubahan, Antara Perubahan dan
Tantangannya
Ketika terjadi
perubahan besar seperti sekarang ini, budaya organisasi mendapat perhatian
khusus. Para pemimpin menyerukan
panggilan untuk melakukan perubahan budaya, menuju budaya yang lebih bersifat
wirausaha atau menciptakan budaya yang bertanggungjawab. Apabila keyakinan dasar organisasi berubah,
pemikiran terus maju maka perilaku pelaku organisasi akan mengikutinya.
Namun
demikian, mengubah budaya organisasi memerlukan transformasi dari organisasi
itu sendiri, tujuannya, fokusnya pada pelanggan dan hasil. Budaya tidak berubah karena diinginkan tetapi
budaya akan berubah ketika ditransformasi.
Budaya merefleksikan realitas orang-orang yang bekerjasama di dalamnya.
Peter F.
Drucker, Bapak Manajemen Modern dalah sosok yang memiliki keberanian dalam
pikiran, tulisan dan pengajarannya yang ada kalanya seperti seorang
pemberontak. Naum pemikirannya kadang
membuat para ahli yang lain mentertawakan, mengabaikan, tetapi tidak jarang
yang iri kepadanya. Salah satu sarannya
yang sangat perlu dimiliki masyarakat sekarang adalah perlunya menjadi pemikir
masa depan dan menciptakan perubahan termasuk masa depan kita.
Terdapat 7
(tujuh) langkah untuk mengubah budaya organisasi, yaitu :
a.
Mengamati lingkungan sehubungan dengan dua atau tiga
tren syang akan memberi pengaruh terbesar bagi organisasi di masa depan.
b.
Menentukan implikasi dari tren tersebut bagi
organisasi.
c.
Melihat kembali misi organisasi dan mempelajari tujuan
serta memperbaikinya sehingga menjadi pernyataan yang singkat, kuat dan
menggugah mengenai alasan melakukannya.
d.
Melarang hirarki lama yang diwarisi dan membangun
struktur dan sistem manajemen yang fleksibel dan cair, yang melepaskan energi
dan semangat orang.
e.
Menentang pernyataan bahwa yang dilakukan hanya seperti
itu-itu saja dengan mempertanyakan setiap kebijakan, praktek, prosedur dan
asumsi, meninggalkan apa saja yang kurang berguna saat ini atau di masa depan,
dan hanya mempertahankan apa yang merefleksikan masa depan yang diinginkanBerkomunikasi
dengan beberapa pesan yang kuat dan menggerakkan, yang dapat memobilisasi
orang-orang di seputar misi, tujuan dan nilai-nilai. Bukan dengan puluhan pesan yang sukar diingat
orang.
f.
Membagikan tanggungjawab kepemimpinan ke semua bagian
di dalam organisasi, sehingga tidak ada pemimpin tunggal, tetapi banyak
pemimpin pada setiap tingkatan organisasi.
Sementara itu
organisasi yang bisa eksis dalam mengahadapi berbagai perubahan mempunyai tiga
ciri yang sama, masing-masing berkaitan dengan peran tertentu pemimpinnya,
yaitu :
a.
Imajinasi untuk berinovasi. Mendorong inovasi, pemimpin yang efektif
membantu mengembangkan konsep-konsep daru, ide-ide, model dan aplikasi
teknologi yang memisahkan organisasi.
b.
Profesionalisme dalam berkinerja. Pemimpin menyediakan kompetensi pribai dan
organisasi yang didukung oleh pelatihan dan pengembangan tenaga kerja untuk
bekerja tanpa kesalahan.
c.
Keterbukaan untuk berkolaborasi. Pemimpin membuat koneksi dengan para mitra
yang dapat memperluas jangkauan organisasi, meningkatkan penawaran atau memberi
energi dalam prakteknya.
Ide-ide
perubahan tidak selalu mulus tetapi sering mengalami kendala, baik eksternal
ataupun internal sekalipun. Beberapa
alasan penolakan terhadap perubahan dari anggota organisasi antara lain :
a.
Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang berharga.
Salah satu
alasan utama orang menolak perubahan adalah keterkungkungan dalam kepentingan
sendiri, pikiran bahwa akan kehilangan sesuatu yang berharga sebagai akibat
perubahan tersebut. Hal seperti ini bisa
terjadi karena orang yang berpikiran picik hanya memusatkan pada kepentingan
diri sendiri tanpa mementingkan kepentingan organisasi secara keseluruhan. Penlakan seperti ini sering kali terjadi di
bidan politik atau perilaku politik orang-orang yang takut kehilangan
jabatannya.
b.
Salah pengertian terhadap perubahan serta segala
implikasinya.
Orang juga
menolak perubahan karena tidak memahami implikasinya dan menganggap bahwa
perubahan tersebut akan lebih merugikan daripada menguntungkan mereka. Situasi seperti ini kerap terjadi ketika
tidak ada lagi saling percaya antara orang yang menggagas perubahan dengan para
anggota organisasi lainnya.
c.
Keyakinan bahwa perubahan tidak akan membawa perbaikan
bagi organisasinya.
Alasan lain
mengapa orang umumnya menolak perubahan adalah bahwa mereka menilai situasi
secara berbeda dari para penggagas perubahan.
Mereka sering kali lebih melihat sisi kerugian daripada keuntungan yang
dapat diperoleh dari perubahan tersebut.
Tidak hanya bagi keuntungan mereka sendiri tetapi bagi kepentingan
organisasi secara keseluruhan.
d.
Toleransi yang rendah terhadap perubahan.
Orang juga
menolak perubahan karena takut mereka tidak akan mampu mengembangkan
keterampilan baru serta perilaku yang akan dituntut dari mereka sebagai akibat
dar perubahan itu. Semua manusia
terbatas dalam kemmpuan untuk berubah namun yang satu lebih terbatas daripada
yang lainnya. Perubahan organisasi juga
kerap kali secara sembrono menuntut orang untuk berubaha terlalu banyak dan
terlalu cepat.
Penggagas
perubahan yang peka terhadap orang yang bereaksi terhadap perubahan yang
digagasnya akan menangani segala penolakan tersebut dengan arif. Beberapa metoda yang dapat digunakan dalam
menangani penolakan antara lain :
a.
Pendidikan dan komunikasi
Salah satu
cara yang paling lazim digunakan untuk mengatasi sikap penolakan terhadap
perubahan adalah memberikan pendidikan kepada orang mengenai perubahan itu
sebelumnya. Penyampaian gagasan dapat
membantu orang melihat kebutuhan serta alasan mengapa perubahan itu perlu. Proses pendidikan ini biasa dilakukan lewat
diskusi, presentasi kepada kelompok atau memo dan laporan.
Program
pendidikan dan komunikasi bisa jadi sangat tepat jika penolakan itu didasarkan
pada informasi serta analisis yang tidak akuran dan tidak memadai. Khususnya jika para penggagas memerlukan
bantuan dari pihak penolak untuk menerapkan perubahan itu.
Namun patut
disadari bahwa program seperti itu menuntut adanya hubungan baik antara
penggagas perubahandengan penolak perubahan.
Jika tidak, maka pihak penolak tidak akan meyakini apa yang mereka
dengar. Jemis program ini juga
memerlukan waktu dan upaya, khususnya jika perubahan itu menyangkut banyak
orang.
b.
Partisipasi dan keterlibatan
Jika penggagas
perubahan melibatkan calon penolak dalam beberapa aspek rencana dan pelaksanaan
perubahan, kerap kali dapat diramalkan akan munculya penolakan. Dengan menggunakan upaya perubahan yang
partisipatif, si penggagas bisa mendengarkan orang-orang yang terlibat dalam
perubahan itu serta dapat menggunakan nasihat mereka.
Banyak pelaku
organisasi yang tidak menyadari perlunya partisipasi, terkadang bersifat
negatif dan terkadang positif. Sebagian
pimpinan merasa senantiasa perlu adanya partisipasi dalam menerapkan perubahan,
sementara yang lain merasa hal itu sebenarnya merupakan suatu kesalahan. Kedua sikap tersebut dapat menumbulkan
masalah bagi seorang pimpian karena tidak ada diantara kedua sikap itu yang
realistis.
Ketika
penggagas perubahan yankin bahwa mereka memiliki segala informasi yang
dibutuhkan untuk merancang serta menerapkan peribahan, atau ketika mereka
memerlukan komitmen dari pihak lain untuk melaksanakannya dengan sepenuh hati,
maka upaya untuk melibatkan orang lain akan sangat menguntungkan.
Banyak
penelitian sosial menunjukkan bahwa partisipasi dapat menuntun komitmen
orang. Dalam beberapa hal komitmen
dibutuhkan demi suksesnya perubahan.
Namun demikian, proses partisipasi tidak luput dari kekurangan. Partisipasi tidak hanya dapat menghasilkan
sebuah solusi yang kurang memadai jika prosesnya tidak ditangani secara cermat,
melainkan juga dapat memboroskan banyak waktu.
Ketika terpaksa dilakukan mendadak, perubahan itu bisa makan waktu yang
terlalu lama bila melibatkan pihak lain.
c.
Fasilitasi dan dukungan
Cara lain yang
dapat digunakan untuk menangani kemungkinan penolakan terhadap perubahan adalah
sikap pemberian dukungan. Proses ini
bisa mencakup pemberian pelatihan keterampilan baru atau memberikan dukungan
emosional kepada anggota.
Fasilitasi dan
dukungan bisa sangat membantu ketika para penolak perubahan dihantui ketakutan
dan kecemasan. Ada kalanya pimpinan yang
keras kerap kali mengabaikan penolakan seperti ini, termasuk menolak kemanjuran
cara fasilitatif untuk mengatasinya.
Kekurangan
mendasar dari cara pendekatan ini adalah banyaknya waktu dan biaya yang
dibutuhkan serta kemungkinan masih adanya kegagalan. Jika waktu, uang dan kesabaran tidak memadai
maka penggunaan metode pemberian dukungan tidak begitu praktis.
d.
Negosisasi dan kesepakatan
Cara lain
untuk menghadapi penolakan adalah memberikan insentif kepada para penolak
yangaktif ataupun calon penolak. Caranya misalnya dengan kebijakan memberi
penghasilan yang lebih tinggi sebagai imbalan atas perubahan peraturan.
Negosiasi
paling tepat dilakukan apabila sudah ada kejelasan bahwa seseorang akan
dirugikan akibat dari perubahan yang terjadi, sementara kekuatan penolakannya
cukup signifikan. Perjanjian yang telah
disepakati sebelumnya dapat saja digunakan sebagai cara yang relatif mudah
untuk menghindari penolakan yang lebih besar lagi, meskipun hal ini bisa
memakan biaya besar sebagaimana proses-proses lainnya.
Namun patut
diingat bahwa ketika seorang pemimpin menyatakan bahwa ia akan bernegosiasi
untuk menghindarkan penolakan yang penting, berarti telah membuka diri terhadap
kemingkinan terjadina pemerasan.
e.
Manipulasi dan kooptasi
Dalam situasi
tertentu seorang penggagas perubahan kadang-kadang terpaksa tidak membeberkan
rencana atau upaya untuk mempengaruhi pihak lainnya. Dalam hal ini, manipulasi biasanya melibatkan
penggunaan informasi yang sangat selektif serta penataan kejadian secara
serius.
Salah satu
bentuk manipulasi yang biasa dilakukan adalah kooptasi. Biasanya mengkooptasi seseorang disertai
dengan pemberian peran yang diinginkan oleh orang tersebut dalam rencana
pelaksanaan perubahan yang diinginkan.
Mengkooptasi
suatu kelompok harus melibatkan salah seorang dari pemimpinnya, atau tokoh yang
dihormati oleh kelompok tersebut, dengan memberinya peran kunci dalam rencana
dan pelaksanaan perubahan tersebut. Akan
tetapi hal ini bukanlah bentuk partisipasi, karena penggagas perubahan tidak
memerlukan nasihat dari orang yang dikooptasi, melainkan semata-mata atas
wewenangnya sendiri.
Dalam situasi
tertentu, kooptasi merupakan cara yang relatif murah dan mudah untuk
memeperoleh dukungan dari seorang individu atau sebuah kelompok. Lebih murah daripada perundingan dan lebih
cepat daripada partisipasi.
Sekalipun
demikian, ada juga kelemahan kooptasi. Jika
orang-orang merasa dirinya dimanipulasi agar tidak menolak perubahan itu,
merasa dilecehkan atau dibohongi, maka ada kemungkinan bahwa mereka akan
bereaksi sangat negatif. Kooptasi juga
bisa menimbulkan berbagai masalah jika orang yang dikooptasi menggunakan
kapasitasnya untuk mempengaruhi rencana serta implementasi perubahan yang
dimaksud dengan cara yang tidak menguntungkan.
Bentuk-bentuk
manipulasi lainnya juga memiliki kekurangan, bahkan menimbulkan masalah yang
lebih besar lagi. Kebanyakan orang bisa
saja menyambut hal-hal yang mereka anggap sebagai perlakuan tersembunyi atau
kebohongan, tetapi bereaksi negatif.
Selanjutnya jika seorang penggagas perubahan memupuk dirinya sebagai
manipulator, maka hal itu bisa merusak kemampuannya untuk menggunakan pendkatan
yang diperlukan seperti pendidikan, komunikasi dan partisipasi. Ekstrimnya, hal itu bisa merusak kariernya.
Kendati
demikian, orang berhasil melakkan manipulasi terhadap orang lain, khususnya
jika segala kiat lainnya tidak berhasi dan mengalami jalan bunt. Setelah tidak ada lagi alternatif lain , dan
tidak ada lagi waktu ntuk mendidik, melibatkan dan mendukung orang-orang, dan
tanpa ada lagi daya untuk berunding, memaksa, mengkooptasi, maka para penggagas
perubahan terpaksa mengambil jalan untuk memanipulasi jalur-jalur informasi guna
menakut-nakuti orang agar berpikir bahwa ada sebuah krisis yang hanya dapat
ditanggulangi dengan melakukan perubahan.
f.
Pemaksaan eksplisit dan impliisit
Para pengaggas
perubahan kerapkali menghadapi penolakan dengan melakukan pemaksaan. Dalam situasi ini mereka pada dasarnya
memaksa orang untuk menerima perubahan secara eksplisit atau secara implisit
yang mengancam mereka. Bisa kemungkinan
kehilangan pekerjajan, kemungkinan kenaikan pangkat dan sebagainya, termasuk
memecat atau mutasi.
Sebagaimana
halnya manipulasi, penggunaan paksaan amatlah riskan karena akan menimbulkan
akibat perubahan yang dipaksakan. Namun
dalan situasi dimana kecepatan merupakan hal yang esensial sementara
perubahan-perubahan tidak menjadi populer, maka pemaksaan sering menjadi jurus
ampuh yang dilakukan untuk terjadinya perubahan yang dikehendaki.
Dalam
melakukan perubahan organisasi, para penggagas perubahan harus secara eksplisit
atau implisit melakukan pilihan-pilihan strategis menyangkut kecepatan upaya,
jumlah pra-perencanaan, keterlibatan pihak lain, dan penekanan relatif yang
akan diberikan terhadap pendekatan yang berbeda. Paya-upaya pendekatan bisa berhasil jika
pilihan-pilihan ini secara internal konsisten dan cocok dengan beberepa
variabel situasional penting, seperti :
a.
Jumlah dan jenis penolakan yang sudah
diantisipasi. Dengan estimasi bahwa
semua faktor lainnya sama, maka semaikin besar penolakan yang diantisipasi,
semakin sulit mengatasinya dan pengagas perubahan harus berusaha menemukan cara
menguranginya.
b.
Posisi penggagas berhadapan dengan penolak perubahan,
khususnya mengenai wewenang. Semakin
kecil wewenang penggagas terhadap orang lain maka relatif lemah sehingga harus
mencari kekuatan pendukung. Sementara
semakin besar wewenangnya maka jalan melakukan perubahan menjadi relatif
terbuka lebar.
c.
Orang yang memiliki data relevan dapat merancang
perubahan serta memiliki energi untuk melaksanakannya. Semakin besar antisipasi penggagas bahwa
mereka memerlukan informasi dan komitmen dari pihak lain demi terlaksananya
rancangan serta penerapan perubahan semakin baik. Untuk memeperoleh informasi serta komitmen
yang berguna diperlukan waktu dan keikutsertaan pihak lain.
d.
Besarnya pertaruhan.
Semakin besar kemungkinan jangka pendek untuk menghadapi resiko bagi
kehidupan serta berlangsungnya kinerja organisasi jika situasi yang sedang
dihadapi tidak dirubah maka perubahan harus bergerak cepat dan terencana dengan
jelas.
Para penggagas
dapat memperbaiki peluang sukss dalam upaya perubahan organisasi dengan jalan :
a.
Melakukan analisis organisasi yang dapat
mengidentifikasi situasi, masalah dan kekuatan yang mungkin menjadi sebab
terjadinya masalah tersebut. Analisis
tersebut hendaknya menjelaskan kepentingan aktual permasalahan, kecepatan yang
diperlukan untuk mengidentifikasi permasalahan jika masalah tambahan akan
dihindari dan jenis perubahan umum apa yang diperlukan.
b.
Melakukan suatu analisis atas faktor-faktor yang
relevan untuk menerapkan perubahan yang dibutuhkan. Analisis ini harus terfokus pada permasalahan
tentang siapa yang kemungkinan menjadi penolak perubahan, mengapa dan seberapa
banyak, siapa yang memiliki informasi yang dibutuhkan untuk merancang
perubahan, dan siapa yang penting untuk diajak bekerja sama dalam menerapkan
perubahan itu, dan bagaimana kedudukan dan wewenang penggagas perubahan jika
dihadapkan dengan pihak-pihak relevan lainnya dipandang dari segi kekuasaan,
kepercayaan, cara-cara interaksi normal dan sebagainya.
c.
Memilih strategi perubahan yang didasarkan pada
analisis sebelumnya untuk menetapkan kecepatan perubahan, jumlah rencana awal,
dan derajat keikutsertaan pihak lainnya.
Pilihan tersebut menentukan kiat yang akan digunakan dengan beragam
individu dan kelompok serta konsistensi secara internal.
d.
Memantau proses implementasi perubahan. Tidak peduli seberapa baik kerja seseorang
pada awal ketika memilih strategi dan kiat perubahan, sesuatu yang tak terduga
akhirnya akan terjadi selama proses pelaksanaan perubahan. Hanya dengan memantau secara cermat proses
tersebut, seseorang bisa mengidentifikasi hal-hal tak terduga dan bereaksi
secara bijak dalam mengahadapina.
Kunci sukses
perubahan sangat tergantung pada kemampuan penggagas dalam membina hubungan
antar-individu. Jangan sekali-sekali
menggunakan kiat yang picik karena dalam dunia yang berkembang sangat dinamis
seperti sekarang ini, implementasi yang picik lambat-laun akan berkembang dan
berakumulasi menjadi masalah yang makin berat.
3.5.
Perubahan
Budaya Organisasi di Lingkungan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Indramayu
Organisasi Perangkat
Daerah Kabupaten Indramayu dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4741).
Berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 8 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah
Kabupaten Indramayu dibentuklah dinas yang membidangi masalah pertanian dan
peternakan, yaitu Dinas Pertanian dan Pternakan Kabupaten Indramayu.
Tugas dan
Fungsi Pokok Dinas Pertanian dan Peternakan menurut Peraturan Bupati Indramayu
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut :
a.
Dinas pretanian dan Peternakan mempunyai tugas pokok
melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang pertanian dan peternakan,
berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan.
b.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut sebagaimana
dimaksud, Dinas Pertanian dan Peternakan mempunyai fungsi :
(1)
Perumusan kebijaksanaan teknis di bidang pertanian dan
peternakan.
(2)
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum
di bidang pertanian dan peternakan.
(3)
Pembinaan pelaksanaan tugas di bidang pertanian dan
peternakan.
(4)
Pelaksanaan pelayanan teknis administrasi
ketatausahaan.
(5)
Pelaksanaan pengelolaan UPTD.
(6)
Pelksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai
dnegan tugas dan fungsinya.
Susunan
organisasi Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu terdiri dari
Kepala, Sekretris yang membawahi 3 Sub Bagian, Bidan Tanaman Pangan dengan
membawahkan 3 Seksi, Bidang Hortikultura yang membawahkan 3 Seksi dan Bidang
Peternakan dengan membawahi 3 Seksi.
Bidang
Peternakan terdiri dari 3 seksi, yaitu :
a.
Seksi Kesehatan Hewan dan Kesmavet
b.
Seksi Perbibitan
c.
Seksi Pengembangan
Berdasarkan SK
mutasi dari Bupati Indramayu yang terbaru, Penulis menduduki posisi Kasi
Pengembangan dengan tugas pokok mempersiapkan bahan pelaksanaan kegiatan
pengembangan peternakan dengan fungsi sebagai berikut :
a.
Penyiapan bahn pelaksanaan kegiatan pengembangan
peternakan.
b.
Pelaksanaan operasional pengembangan peternakan.
c.
Penetapan peta potensi, pengembangan lahan hijauan
pakan, padang pengembalaan dan kawasan industri peternakan rakyat.
d.
Pembinaan dan rekomendasi perizinan budidaya peternakan
dan usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
e.
Penerapak kebijakan pembinaan dan pengembangan alat dan
mesin peternakan.
f.
Penerapan kajian pengembangan teknologi tepat guna,
kerjasama dengan lembaga-lembaga teknologi dan adaptasi temuan teknologi baru
di bidang peternakan.
g.
Pembinaan dan penerapan teknologi optimalisasi
pengelolaan dan pemanfaatan air untuk usaha peternakan.
h.
Pembinaan pengembangan manajemen usaha agrobisnis
peternakan, pemanfaatan sumber pembiayaan, pedoman kerjasama kemitraan usaha
dan pembinaan mutu pengolahan hasil peternakan.
i.
Pembinaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan
kebijakan operasional penyebaran dan pengembangan ternak.
j.
Pembinaan dan pelaksanaan operasional hygiene dan
sanitasi lingkungan usaha peternakan.
k.
Pembinaan penerapan teknologi panen, pasca panen,
pengolahan hasil, promosi dan informasi pasar produk peternakan.
l.
Pelaksanaan kebijakan penyebaran pengembangan
peternakan.
m.
Fasilitasi bimbingan pemantauan dan penyebaran ternak
yang dilakukan swasta.
n.
Fasilitasi bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran,
registrasi dan redistribusi ternak.
o.
Fasilitasi bimbingan pelaksanaan identifikasi dan
seleksi ternak.
p.
Fasilitasi bimbingan pelaksanaan identifikasi dan
seleksi calon penggaduh.
q.
Fasilitasi bimbingan pelaksanaan sistem dan pola
peyebaran ternak.
r.
Pelaksanaan temuan-temuan teknologi baru di bidang
peternakan.
s.
Pelaksanaan kajian, pengenalan dan pengembangan
teknologi tepat guna bidang peternakan.
t.
Pelaksanaan tugas kedinasan lain sesuai dengan tugas
dan fungsinya.
Sudah menjadi
kelaziman di birokrasi Indonesia bahwa berbagai peraturan dan pedoman adalah
aspek teori dalam menjalankan tugas, sementara prakteknya sangat tergantung
pada kebijaksanaan seorang pimpinan.
Demikian halnya di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu
berlaku hal yang sama, bahkan Penulis menyebutnya sebagai Manajemen Kwalonan.
Sebagai bagian
penting dari unit terbesarnya maka Bidang Peternakan juga melakukan praktek
yang sama. Penelanjangan ilmu
kepemimpinan yang didapat dari berbagai pendidikan dan pelatihan para pemimpin
juga terjadi. Alokasi peerjaan tidak
lagi berdasarkan berbagai pedoman yang berlaku tetapi berdasarkan mood seorang
Kepala Bidang.
Selama
beberapa tahun kebijaksanaan tersebut berjalan sehingga berbagai pelanggaran
menjadi bagian yang tidak lagi dapat dipisahkan. Seorang Kepala Seksi tertentu sering
dijadikan boneka semata, hanya mengisi jabatan tanpa pernah diberi wewenang
mengerjakan tugas pokok dan fungsinya.
Lebih parah
lagi, selama 2 (dua) periode mutasi pejabat yang mengisi Seksi Pengembangan
sama sekali tidak tahu tentang tugas pokok dan fungsinya. Kehadirannya hanya menjadi pelengkap
penderita. Melengkapi keberadaan jabatan
yang harus diisi tanpa pernah menjalankan hak dan kewajibannya Sementara harus menderita karena harus
menhadapi berbagai panggilan dari Kepolisian dan Kejaksaan untuk
mempertanggungjawabkan berbagai pekerjaan di seksinya. Pekerjaan warisan yang ditinggalkan pejabat
terdahulu ataupu yang dilaksanakan oleh sesama seksi namun beda posisi (anak
kandung pimpinan).
Seksi
Pengembangan memang merupakan inti dari Bidang Peternakan itu sendiri. Tugas pokok dan fungsinya relatif berat
karena menyangkut berbagai perkembangan peternakan di Kabupaten Indramayu dari
dulu, sekarang dan bagaimana merancang kemajuannya di masa yang akan datang. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila
jabatan ini paling diicar para karyawan Bidang Peternakan.
Jabatan di
Seksi Pengembangan adalah kedudukan kedua yang diduduki Penulis, sebelumnya
menduduki Kasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Oleh karena itu, berbekal sedikit pengalaman
sebelumnya maka berbagai langkah dilakukan untuk mengubah pola lama menunju
sedapat mungkin peraturan yang berlaku.
Seperti
dikemukakan di muka bahwa pekerjaan Seksi Pengembangan sebelumnya praktis
diambil-alh oleh seksi lain yang menjadi anak kandung Kepala Bidang. Kepala Seksi Pengembangan dianggap wayang
mati yang kehadirannya hanya sebaga pelengkap penderita. Tidak mengherankan kalau di awal tahun 2009
hampir tidak ada lagi peluang bagi Penulis untuk mengerjakan apapun, terutama
keproyekan sama sekali tidak kebagian.
Menyadari hal
ini tidak boleh terus berlangsung maka satu-satunya senjata adalah peraturan
yang berlaku. Saat itu baru ada
Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 8 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah
Kabupaten Indramayu. Oleh karena itu
belum terinci tugas pokok dan fungsi dari masing-masing seksi.
Berdasarkan
berbagai pedoman yang sudah ada sebelumnya, yaitu Keputusan Bupati Indramayu Nomor
10 Tahun 2003 tentang Uraian Tugas Jabatan Struktural dan Non-Struktural pada
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, maka Penulis berinisiatif
menghadap Kepala Bidang dan membicarakan tugas pokok dan fungsi. Dari situlah muncul berbagai pendapat dan
kecurigaan yang berlebihan dari mereka yang hadir, seakan cukup ada satu seksi
di Bidang Peternakan. Kecurigaan mereka
memang tidak salah, sebab seperti dikemukakan di muka bahwa inti dari bidang
ini adalah Sekesi Pengembangan.
Seksi lain
yang selama ini mengerjakan pekerjaan Seksi Pengembangan merasa terdesak dan
harus menyerahkan kegiatan yang selama ini potensial untuk mengisi kantong
keluarganya terancam. Dapat dipahami
bahwa kegiatan seperti penyebaran ternak yang selama puluhan tahun ditangani
harus diserahkan kepada orang baru.
Sebenarnya
latar belakang Penulis sangat ngotot untuk mengembalikan segalanya pada pedoman
yang berlaku adalah banyaknya ternak pemerintah yang disebarkan selama ini
tidak dapat berkembang. Bagaimana
berkembang, ternaknya saja sudah tidak ada di tangan masyarakat. Kelompok petani-ternak dan ternak pemerintah
yang dipeliharanya hanya ada pada data.
Kenyataan di lapangan, bukan hanya ternaknya tidak ada, kelompok
ternaknya pun sudah bubar atau sama sekali tidak pernah dibentuk.
Berbagai
informasi yang didapat dari masyarakat dan berbagai pihak yang mencoba
menelusuri ternak-ternak yang lenyap ini diperoleh data yang sangat
mengejutkan. Ribuan ternak pemerintah di
Kabupaten Indramayu lenyap tertelan bergagai kebijaksanaan, bahkan ratusan
diantaranya menjadi milik pribadi para karyawannya. Bagi sebagian orang tenntu pendapat ini tidak
amsuk akal, tetapi bagi karyawan yang menggeluti Bidang Peternakan hal ini
sudah bukan rahasia lagi.
Salah satu
pejabat di Bidang Peternakan sudah sangat senior, sejak berrtugas pertama kali
seperempat abad yang lalu tidak pernah mutasi kemanapun. Apapun momenklatur instansi yang membidangi
peternakan ini tidak pernah menggesernya ke posisi lain. Sebagian besar karyawan segan akan
keseniorannya sehinga hanya tunduk dan patuh terhadap apa yang dilakukannya,
termasuk seorang Kepala Bidang.
Setelah dicoba
untuk mempelajari da menggabungkan berbagai informasi baik dari petugas
lapangan maupun langsung dari para peternak yang frustasi dan yang memuji maka
benang merah disulapnya ternak pemerintah menjadi milik pribadi sangatlah
jelas. Bahkan berbagai sihir yang dapat
melenyapkan ribuan ternak pemerintah yang besar seperti sapi dan kerbaupun,
triknya sangat mudah dipahami.
Praktek
pembentukan kelompok fiktif ataupun nama-nama anggota yang tidak pernah ada
orangnya adalah praktek yang sudah menahun selapa puluhan tahun. Berbagai ternak bantuan pemerintah yang
diberikan kepada kelompok pada dasranya untuk para pemberi itu sendiri. Ada yang secara terang-terangan langsung
meminta bagian, bisa dengan cara titip dahulu kepada anggota yang ada atau cara
lainnya. Salah satu praktek yang paling
sering terjadi adalah menarik kembali ternak yang sudah dibagikan beberapa
bulan sebelumnya. Alasan klasik adalah
sudah waktunya digulirkan, sekalipun menurut perjanjian awal belum waktunya.
Perlu dipahami
bersama bahwa tentang perjanjian, maka peternak tidak pernah memahaminya. Bukan karena pendidikan mereka yang rendah
semata tetapi karena perjanjian tidak pernah dengan gamblang dibacakan. Bahkan praktek yang selama ini berlangsung
adalah peternak tidak pernah mengetahui isi perjanjian, tingal
tandatangan. Modal dasarnya adalah
saling kepercayaan karena tugas pemerintah adalah memberdayakan rakyatnya,
sekalipun di baling itu ada upaya individu untuk memperdayakan masyarakat.
Praktek yang
dilakukan senior tentu sangat menarik bagi yunior karena memang dapat
menghasilkan uang dalam waktu singkat dan sementara ini aman-aman saja. Itulah sebabnya beberapa karyawan baru pun
melakukan praktek yang sama, atau lebih cerdas lagi dengan berani menjual nama
seniornya sebagai agunan menjualkan ternak dari anggota kelompok. Kalau sudah demikian maka clash pun terjadi,
dan dari pertikaian seperti ini informasi penyelewengan ternak pemerintah
menguak dengan jelas dan terbuka.
Tidak
mengherankan kalau sekalipun sudah jutaan itik dan ayam diberikan, ratusan ribu
domba dan kambing dibagikan serta puluhan ribu sapi dan kerbau dicoba untuk
dikembangkan pemerintah dalam memberdayakan masyarakat Kabupaten Indramayu,
hasilnya tidak pernah dirasakan masyarakat.
Ternak bukannya berkembang tetapi malah menghilang.
Lebih
menyedihkan lagi, praktek ini telah menjadikan masyarakat yang seharusnya
diberdayakan sebagai korban. Ternak
bantuan pemerintah yang diterimanya menjadi beban, karena ketika menerima
mereka memberikan jaminan sementara akibat ternak ditarik sebelum waktunya maka
harga jualnya jauh dibawah yang dikehendaki.
Kerugian semakin besar diakibatkan ternak yang diterima jauh dari standar
yang tertulis di perjanjian sehingga menyebabkan berbagai resiko lainnya.
Carut-marutnya
pekerjaan bidang peternakan yang digambarkan di atas adalah tugas pokok dari
Seksi Pengembangan. Oleh karena itu
Penulis merasa perlu untuk mengajak semua personil peternakan untuk kembali
kepada khithah, peraturan yang berlaku.
Jelas-jelas upaya
ini mendapat tantangan dari semua pihak yang selama ini menikmati pesta ternak
gratis. Namun ketika ditanyakan tentang
tanggungjawab masing-masing maka tidak ada satupun yang menyatakan siap
bertanggungjawab, bahkan mengakui adanya praktek yang sangat merugikan
masyarakat dan negara sekalipun.
Tidak lama
setelah perdebatan yang berlangsung sengit itu, muncul sebuah draft Surat
Keputusan Bupati tentang Organisasi dan
Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu. Isi draft tersebut menguatkan posisi Seksi
Pengembangan sebagai tulang punggung Bidang Peternakan. Semua kegiatan yang selama ini dikerjakan
seksi lain pun jelas-jelas harus dikembalikan dengan data dan fakta yang lengkap,
termasuk arsip-arsip kegiatan tahun sebelumnya.
Lagi-lagi
secara teori, Keputusan Bupati tentu sangat tinggi kedudukannya di tingkat
kabupaten sehingga merupakan pedoman yang harus dipatuhi pelaksanannya. Di balik itu, sebagai sumber hukum yang
mengikat tentu isinya sudah dikaji sedemikian rupa sehingga bukan hanya tidak
menyimpang dari aturan yang berlaku di atasnya.
Dalam
prakteknya, Keputusan Bupati Indramayu Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu sungguh tidak dapat
dimengerti. Produk hukum ini mengatur
tentang tugas pokok dan fungsi Seksi Pengembangan yang sama sekali jauh dari
draft yang disusun sebelumnya. Berbagai
tugas pokok dan fungsi hilang dan mengkamuflasekan diri dari tugas pokok menjadi
sekedar fasilitasi.
Tentu hal ini
mengundang tandatanya besar, apabali ternyata berbagai tugas pokok dan fungsi
Seksi Pengembanagan yang berpindah kursi adalah sangat vitas dan merupakan
nyawa dari seksi itu sendiri.
Momenklatur seksi pun berubah total sehingga memudahkan transfer tugas
pokok dann fungsi tersebut.
Praktek
penggundulan produk hukum ini jelas-jelas mengarah kepada senior yang
menghendaki segala kegiatan yang sudah dilakukannya selama puluhan tahun tidak
pindah ke seksi lain. Namun demikian,
ketika klarifikasi dilakukan ternyata tidak ada satupun pihak yang mengajui
telah mengubah draft sebelumnya menjadi sangat melenceng. Keputusan Bupati ternyata bisa dengan mudah
dijadikan dasar untuk mencapai tujuan pribadi.
Sebagai
konsekuensi dari kebijakan ini maka Seksi Pengembangan hanya menjalankan
beberapa tugas yang sifatnya fasilitasi atas tugasnya sendiri. Namun, apapun resikonya, Keputusan Bupati
harus menjadi pedoman yang dijunjung tinggi.
Oleh karena itu Penulis patuh dan berjanji akan mematuhinya sekalipun
bertentangan dengan hati nurani.
Belajar dari
beberapa teori perubahan yang telah dibahas sebelumnya maka penggagas perubahan
pun harus menyadari tentang kedudukannya, terutama dalam birokrasi. Jika tidak, maka hanya akan menjadi frustasi. Keberanian mengantar perubahan yang dilakukan
ternyata harus berujung di aturan yang berlaku, yang dikeluarkan oleh pucuk
pimpinan tertinggi.
Namun
perubahan harus terus dilakukan, dengan tugas pokok dan fungsi yang sangat
terbatas sekalipun sesungguhnya bukanlah kendala yang serius. Banyak peluang perubahan yang masih harus
dilakukan.
Salah satunya
adalah rasa kebersamaan yang telah sedemikian jauh dari perasaan sesama
karyawan peternakan. Lebih dari sewindu
iklim kerja di institusi peternakan seakan tanpa kebersamaan. Ada yang asyik dengan berbagai ternak
koleksinya yang semakin banyak dan beraneka ragam. Sebagian yang lain hanya bisa mengurut dada
karena tidak pernah kebagian, bahkan tahu ada ternak bantuan sekalipun. Lebih banyak lagi yang menjadi saksi berbagai
transaksi jual-beli ternak pemerintah oleh karyawan peternakan.
Pihak-pihak
tertentu, yang termasuk anak kandung, mendapat penghasilan berlebih sementara
anak tiri hanya gigit jari. Bukan hanya
rezeki dari penjualan ternak menera tidak mendapatkannya, bahka berbagai
kuitansi yang mencantumkan nilai uang pun tidak pernah diterimanya. Karyawan menjadi bahan perasan untuk mendapat
uang instan.
Salus populi suprema lex. Kesejahteraan untuk bersama. Itulah semboyan yang sampai sekarang Penulis
terapkan. Didalam kesedikitan kegiatan
yang dilakukan tentu beriring rezeki yang juga tidak terlalu banyak. Namun patut dan harus selalu disyukuri. Itulah salah satu modal awal kebersamaan
Seksi Pngembangan saat ini, penuh keterbatasan.
Ketika sumber
penghasilan relatif terbatas jadi penghambat maka tahap awal yang dilakukan
adalah mengubah pola pikir bahwa keterbatasan sumber dana yang berasal dari
kegiatan sesungguhnya adalah potensi yang menantang untuk mencari sumber
penghasilan bersama lainnya. Oleh karena
itu, dibuat kesepakatan tentang penyisihan biaya perjalanan dinas yang
diperoleh setiap kali berkesempatan dinas luar.
Sedikit demi
sedikit dana terkumpul dan dapat digunakan untuk pinjaman sementara apabila ada
yang membutuhkan secara mendadak.
Kepentingan lain-lain seperti menengok rekan yang sakit, sumbangan duka
sampai makan bersama dilakukan dengan dana yang terkumpul. Dari sini dipetik pelajarah bahwa ktika dalam
keterbatasan maka diperlukan kreativitas mengubah keterbatasan menjadi potensi
besar.
Selain
keterbatasan sumber dana, Seksi Pengembangan juga dilengkapi dengan pelaksana
yang relatif berumur lima puluhan tahun, bahkan salah satunya sudah Masa
Persiapan Pensiun. Keterbatasan yang
satu ini bukanlah sesuatu yang harus dijadikan beban. Memang, makin berumurnya pelaksana akan
menghambat gerak langkahnya melaksanakan tugas.
Tetapi berpikir positif tentu lebih bermanfaat, sesungguhnya kesenioran
mereka penuh dengan pengalaman yang sangat bermanfaat menjalankan tugasnya.
Oleh karena
itu, pemberdayaan tidak dilihat dari umur.
Semua mendapat kesempatan yang sama apabila ada kesempatan. Melatih diri meningkatkan kemampuan tetap
diperlukan dan merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan. Dengan cara pandang positif maka para senior
pun bisa bekerja dengan baik. Sementara
yang masih muda penuh penghargaan kepada mereka.
Pada mulanya
kegiatan yang satu ini hanya untuk mengatahui penyebaran terna-ternak bantuan
pemerintah yang selama ini dialokasikan ke seluruh Kabupaten Indramayu. Tujuan awalnya adalah untuk mendapatkan data
dasar, sebab selama ini pembangunan peternakan yang dilakukan sama sekali tidak
berdasarkan data yang ril. Tetapi di
tengah perjalanan, banyak sekali kejanggalan yang mengindikasikan banyaknya
penyimpangan dalam penyebaran ternak pemerintah selama ini.
Banyak
kelompok tani yang menurut data yang ada masih memelihara ternak pemerintah
ternyata sudah tidak ada. Bahkan
beberapa kelompok memang tidak dikenal keberadaannya oleh pamong desa. Tidak sedikit kelompok ternak yang bukan
hanya kehilangan sapi yang dipeliharanya tetapi juga sertifikat tanah dan
bangunannya dibawa pihak dinas sebagai jaminan, karena sampai sekarang masih
tertunggak hutang akibat kerugian memelohara ternak pemerintah tersebut.
Anggota kelompok
tani yang terdaftar dalam catatan dan surat perjanjian banyak yang sama sekali
tidak tahun dengan adanya perjanjian antara pemerintah dan yang
bersangkutan. Mereka menandatangan tanpa
penjelasan atau hanya sekedar blanko kosong.
Jarang yang masih memelihara ternak pemerintah, tidak sedikit yang
justeru merasa dirugikan oleh bantuan yang tujuan manisnya memeberdayakan
perekonomian masyarakat.
Dari ekses
penggalian data yang tidak disengaja diperoleh berbagai informasi tentang
kepemilikian ternak pemerintah saat ini.
Terjawab sudah berbagai teka-teki mengapa kegiatan yang satu ini
sedapat-mungkin dengan berbagai cara hanya ditangani oleh satu orang saja,
seorang senior dari semua senior.
Rupanya, upaya perubahan menuju peraturan yang berlaku yang pernah
Penulis pun kandas karena kepentingan pribadi beberapa orang diantara insan
peternakan merasa terusik terlalu jauh.
Dalam mencari
data yang benar juga pada akhirnya Penulis dan tim menemukan beberapa
kejanggalan penggunaan dana dari Departemen Pertanian yang dilakukan para Kiyai
di pesantren. Sejak tahun 2006 sampai
2008 sudah 8 (delapan) pesantren di Kabupaten Indramayu mendapat kucuran dana
pusat secara langsung untuk kegiatan agribisnis peternakan. Jumlah yang diperoleh tidak sedikit, antara
50 juta sampai 250 juta rupiah per-pesantrennya. Total dana yang diterima sudah mendekati Rp.
1 miyar.
Kegiatan
peternakan yang berlangsung tinggal di 3 pesantren dengan populasi sapi
seluruhnya hanya 23 ekor saja. Kalau
rata-rata harga sapi bibit Rp. 7 juta maka nilai total aset peternakan itu
hanya Rp. 161 juta atau 16 % dari dana yang diterima. Keadaan ini sungguh memprihatinkan mengingat
mereka yang mengajukan dana adalah para tokoh agama atau Kiyai yang menjadi
panutan masyarakat.
Alasan para
Kiyai kadang-kadang masuk akal, bagi mereka bantuan adalah bantuan. Oleh karena itu dana hibah ini dapat
digunakan untuk apa saja sekalipun pada awalnya diajukan untuk budidaya
peternakan. Tidak ada juga kewajiban
untuk mempertanggungjawabkan, apalagi mengembalikan dana ini. Memang dana tersebut tidak perlu dikembalikan
tetapi harus berdayaguna ekonomis melalui budidaya peternakan sebagaimana
proposal yang mereka usulkan.
Kasus lain
adalah banyaknya makelar proposal dari Departemen Pertanian sendiri yang datang
ke berbagai pesantren untuk mengajukan dana bantuan. Mereka membuatkan proposal sekaligus
mengusahakan agar permintaan dananya direalisasikan. Kompensasi yang ditergetkan tidak sedikit, 30
% dari dana yang direalisasikan.
Ada juga yang
sangat memprihatinkan, seorang Kiyai tidak mau mempertanggungjawabkan dana yang
diterimanya sejumlah seperempat milyar rupiah.
Alasannya sungguh masuk akal, takut dosa. Kiyai tersebut memang benar, tidak mau
berbohong. Tetapi kalau tidak bohong
maka salah, kalau bohong takut kepada Yang Maha Tahu.
Kiyai yang
satu ini menjelaskan bahwa awalnya kedatangan seorang profesor dari pusat,
menawarkan untuk meminta dana dari Departemen Pertanian. Kebetulan pesanrennya sedang dibangun, maka
dibuatlah porposal permohonan dana untuk membangun beberapa lokal tempat beljar
dan asrama santri. Tidak lama kemudian,
sang profesor pun datang lagi dengan membawa proposal yang diperbaharui, bukan
untuk pembangunan pesantren tetapi untuk budidaya sapi potong penggemukan. Karena merasa perlu bantuan dana, Kiyai pun
setuju saja. Apalagi diyakinkan oleh
beliau bahwa dananya dapat digunakan untuk kegiatan apa saja.
Dana pun masuk
ke rekening pesantren, langsung dan lengkap Rp. 250 juta. Pada saat pencairan, utusan profesor
menyertai Kiyai dan meminta separuh dari dana itu untuk jasa pengajuan proposal
sampai akhirnya goal mencapai tujuan.
Kontan Kiyai tersontak karena sadar sekalipun dana yang diterima hanya
Rp. 125 juta tetapi harus mempertanggungjawabkan dana secara keseluruhan, Rp.
250 juta.
Dari gambaran
di atas ternyata bahwa carut-marut pembangunan peternakan di Kabupaten
Indramayu bukan hanya disebabkan tingkah polah sebagian pegawai institusi yang
membidangi peternakan di kabupaten tetapi juga menjadi santapan empuk makelar
proposal dari pusat.
Sekalipun kegagalan sudah sangat nyata namun
tidak menyurutkan para Kiyai lain untuk meminta dana dengan jumlah yang makin
membengkak. Mereka pun umumnya
menggunakan jasa makelar proposal dengan perjanjian jasa mencapai 30 %. Tentu saja hal ini menjadi fenomena
keprihatinan baru, dimana seorang tokoh agama rela menjual nama pesantrennya
untuk mendapatkan dana yang tidak pernah mau mereka pertanggungjawabkan.
Melakukan perubahan
memang tidak harus langsung dalam kapasitas yang besar sebab akan bisa menghancurkan
rencana perubahan itu sendiri. Oleh
karena iu, Penulis memulai dari perubahan diri sendiri dahulu. Kemudian melangkah ke perubahan dalam tingkat
seksi yang meudah-mudahan akan mewarnai adanya perubahan di tingkat yang lebih
tinggi.
Menggagas perubahan
di Dinas Pertanian dan Peternakan tidak tanpa resiko, kebencian yang ditanamkan
rekan kerja sampai pimpinan ataupun tindakan premanisme pun merupakan resiko
yang harus ditanggung. Di institusi
birokrasi yang memberlakukan manajemen Kwalonan
soal pemojokan individu yang menggagas perubahan adalah soal biasa. Apalagi kalau bertentangan dengan anak
kandung pimpinan. Sebab bagi mereka,
tidak ada perkataan anak tiri yang benar dan anak kandung tidak pernah berlaku
salah.
Tindakan
premanisme pernah Penulis alami ketika harus menjadi pemimin kegiatan yang
tidak mau mencairkan dana karena kontrak kerja sama pun belum ada. Lima orang preman datang dengan berbagai
ancaman, tetapi tetap tidak digubris.
Selanjutnya dalang segerombolan orang-orang bertubuh besar dan sangar
dalam jumlah lebih banyak. Apa boleh
buat, tanpa kontrak yang jelas Penulis tetap tidak mau menandatangan.
Namun pada
akhirnya dana sejumlah Rp. 360 juta pun mengalir ke rekening mereka sekalipun
tanpa tandatangan Penulis. Resiko dari
kepatuhan kepada aturan ini adalah semakin dijauhkan oleh pimpinan.
Perubahan
memang selalu mengandung resiko atau bahkan korban. Pada kasus di atas resiko sepenuhnya
ditanggung Penulis. Beruntung tidak jadi
korban akibat babak belur dihajar preman.
Tetapi, ada korban lain. Tidak
sedikit, 3 orang, masing-masing dikenai penurunan pangkat satu tingkat sampai
pencopotan dari jabatan yang diemban.
Resiko dari
menggagas perubahan selalu ada, apalagi saat ini di lingkungan birokrasi
Kabupaten Indramayu tidak pernah jauh dari upaya premanisme. Satu-satunya kekuatan yang membuat Penulis
tetap ingin melakukan perubahan adalah karena memang saat ini kita semua harus
berubah, kalau masih tetap pada prinsip lama maka akan tergilas oleh perubahan
yang makin cepat berlangsung ini.
3.6.Tidak Mau Berubah, Mati Saja !
Lamban atau
bahkan gagalnya sutau perubahan lebih sering disebabkan oleh kurangnya rasa
terdesak untuk melakukan perubahan itu sendiri.
Rasa puas diri dan kesombongan luar biasa, yang berakardari pengalaman sukses
pribadi dan organisasi di masa lalu, orang cenderung mempertahankan status quo
dan mengabaikan peluang besar ataupun ancaman menakutkan di depan mata. Semua melakukan tugas dan tanggungjawabnya
seperti biasa, seperti tidak ada masalah.
Langkah awal untuk
membangun kemendasakan untuk berubah yang sejati adalah dengan memahami secara
mendalam lawannya, yaitu rasa puas diri dan rasa terdesak yang palsu. Empat langkah untuk terciptanya rasa
kemendasakan adalah :
a.
Menghadirkan kenyataan yang ada di luar masuk ke
organisasi
b.
Setiap hari bertindak secara mendesak
c.
Mencari peluang-peluang menjadikan krisis sebagai
pendukung untuk menghancurkan rasa puas diri
d.
Menghilangkan atau menetralkan pembunuh kemendesakan.
Dalam
menggagas perubahan akan selalu dijumpai berbagai sikap, ada yang mendukung,
banyak yang menolak ada yang hanya diam.
Penggagas perubahan pun akan selalu menjumpai individu yang selalu
menolak, apapun alasannya, dari jelas sampai yang sama sekali tidak kentara.
John P. Kotter
menciptakan sebuah tokoh yang selalu berkata tidak terhadap perubahan, seekor
pinguin itu diberi nama NoNo, karena selalu berkata, “No! No!” terhadap gagasan
apapun.
Dalam setiap
organisasi, orang-orang tipe NoNo ini merupakan sosok skeptis yang siap dengan
10 alasan bahwa situasi dan kondisi saat ini baik-baik saja, karena itu tidak
perlu berubah. Tidak ada gunanya
melakukan kooptasi pada tokoh NoNo ini, mengisolasi atau mengacuhkannya.
Setelah sosok
NoNo ini teridentifikasi, tiga cara yang cukup efektif untuk mengatasinya
adalah :
a.
Mencegah jangan sampai mereka membuat kekacauan dengan
cara mengalihkan perhatian mereka
b.
Mengirim mereka sejauh mungkin dari organisasi
c.
Membatasi perilaku kontraproduktif mereka sedemikian
rupa sehingga publik yang akan bekerja menekan pengaruh mereka
Dunia dan umat
manusia saat ini mengahadapi berbagai tantangan yang luar biasa. Dari masalah kemiskinan, perubahan iklim,
lingkungan yang rusak ataupun wabah penyakit.
Kalau hanya mengandalkan cara-cara biasa dan linier, persoalan tadi akan
sulit diselesaikan. Sementara itu,
sistem yang ada sekarang banyak yang disfungsional.
Dunia
membutuhkan orang-orang ‘edan” untuk menjadi agen perubahan yang menggunakan
cara baru dan mempercepat perubahan sosial.
Sementara bagi mereka yang tidak mau menyesuaikan dengan perubahan,
sebaiknya siap-siap tergilas oleh arus perubahan yang makin kencang.
Dua pilihan
mengahadapi perubahan, jadi agen perubahan yang bisa disebut orang “edan” atau
mati hanyut ke laut ...!
BAB IV
P E N U T U P
4.1. Kesimpulan
Anggapan bahwa
etos kerja bangsa Indonesia relatif rendah memang bukan suatu rahasia
lagi. Sebaliknya Indonesia sangat kaya
dengan berbagai potensi sumberdaya alam dan aneka sumber daya sosial
lainnya. Untuk dapat mengkombinasikan
kedua kutub negatif dan positif itu diperlukan kepemimpinan yang membumi. Sanggup menjadi penghubung keduanya menjadi
kekayaan yang dapat memakmurkan bangsa Indonesia.
Oleh karena
itu diperlukan suatu perubahan yang mendasar.
Perubahan memang suatu keharusan dan kesalahan masyarakat kita selama
ini adalah tidak dapat menyadari dengan cerdas serta menyiasati segala
perubahan yang terjadi, termasuk perubahan dalam dirinya sendiri sekalipun.
4.2. Saran
Tidak ada kata
terlambat untuk melakukan perubahan, karena satu-satunya yang tidak pernah berubah
di dunia ini adalah perubahan itu sendiri.
Oleh karena itu berubahlah sebelum digilas sampai mati oleh perubahan !
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741).
Anonim. 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 7
Tahun 2008 tentang Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kabupaten Indramayu.
Anonim. 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 8
Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Kabupaten Indramayu.
Anonim. 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 9
Tahun 2008 tentang Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja.
Anonim. 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 10
Tahun 2008 tentang Kecamatan dan Kelurahan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten
Indramayu.
Anonim. 2008. Peraturan Bupati Indramayu Nomor 39 Tahun
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Indramayu.
Anonim. 2003. Keputusan Bupati Indramayu Nomor 10 Tahun
2003 tentang Uraian Tugas Jabatan Strutural dan Non-Struktural pada Dinas
Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.
Beer, M dan Spector, B. A.
1988. Memimpin Aset Manusia, Sudah
Waktunya Ada Pemikiran Baru dalam Memimpin Manusia (Editor : Timpe, A.
D). Media Elex Komputindo. Jakarta.
Charan, R. 2007. Leaders at All Levels, Deepening Your Talent
Poll. (Peresensi : Bambang, P).
Jossey-Bass. Majalah SWA Edisi
14/XXIV/7-16 Juli 2008.
Cheese, P, Thomas, R. J. and Craig, E.
2008. The Tallet-Powered
Organization. (Peresensi : Rinny). Kogan
Page. Majalah SWA Edisi 17/XXIV/7-20
Agustus 2008.
Cohen, W. A. 2008. A Class with Drucker (Pelajaran Berharga dari
Guru Manajemen #1 Dunia, alih bahasa :
Bazry S). Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Covey, S. R. 1997. The 7 Habbitas of Highly Effective
People (7 Kebiasaan Manusia yang Sangat
Efektif, alih bahasa : Budijanto). Binarupa Aksara. Jakarta.
Day, C. R. 1988. Apakah Para Manajer Anda Betul-Betul Memimpin
? dalam Memimpin Manusia (Editor : Timpe, A. D). Media Elex Komputindo. Jakarta.
Djatmiko, Y. H. 2004. Perilaku
Organisasi. Alfabeta. Yogyakarta.
Drucker, P. F. Dan Maciariello, J. A.
2008. The Daily Drucker. (Terjemahan : Srihandrini, N. R.). Elex Media Komputindo. Jakarta.
Elkington, J and Hartigan, P.
2008. The Power of Unreasonable
People. (Peresensi : Amir, M. T.).
Harvard Business School Press.
Majalah SWA Edisi 03/XXIV/5-18 Februari 2009.
Habsari, A. R. 2008. Terobosan Kepemimpinan, Panduan Palatihan
Kepemimpinan. MedPress. Yogyakarta.
Harsono, G. 1981. Mengemban Amanat Penderitaan Rakyat dalam
80 Tahun Bung Karno. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.
Ibrahim, A. 2008. Pokok-pokok Administrasi Publik dan
Implementasinya. Refika Aditama. Bandung.
James, R. W. 2004. Personal Leadership A Practical Approach for Achieving Individual
and Organizational Freedom (Terjemahan
: Suryo, K. I.). PPM.
Jakarta.
Jennings, J. dan Haughton, L. it's not the BIG that eat the SMALL, it’s the
FAST that eat the SLOW (Bagaimana Memanfaatkan Kecepatan sebagai Alat Bersaing
dalam Dunia Bisnis, alih bahasa : Widjanarko, E). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Johnson, M. 1995. Managing in the Next Millenium (Terjemahan : Nurmawan, I). Erlangga
Jakarta.
Johnston, R and Hesselbein, F (Editors). 2005.
On Leading Change (Terjemahan :
Kadaroesman, M). Media Elex
Komputindo. Jakarta.
Johnston, R and Hesselbein, F (Editors). 2005.
On Mission and Leadership (Terjemahan :
Shandrini, N. R.). Media Elex
Komputindo. Jakarta.
Kasali, R. 2007. Re-Code Your Change DNA, Membebaskan
Belenggu-Belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam
Pembaharuan. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Kao, J. 2007. Innovation Nation. (Peresensi : Widodo,
E). Free Press. Majalah SWA Edisi 10/XXIV/15-28 Mei 2008.
Koentjaraningrat. 1969. Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan
Ekonomi di Indonesia. Bhratara. Djakarta.
Kotter, J. P. 2008. A Sense of Urgency (Peresensi : Munir,
N). Harvard Business School Press. Majalah SWA Edisi 24/XXIV/13-23 November 2008.
Kotter, J. P. 1999. What Leaders Really Do (Terjemahan : Mulyadi,
J. A). Erlangga. Jakarta.
Kouzes, J. M. and Posner, B. Z. 2004.
The Leadership Callenge (Terjemahan : Sjahrial, R). Erlangga.
Jakarta.
Mangkunegara, A.P. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Refika Aditama. Bandung.
Mangkunegara, A.P. 2007. Evaluasi Kinerja SDM. Refika Aditama. Bandung.
Martin, R. 2007. The Opposable Mind. (Peresensi : Amir, T.
M.). Harvard Business School Press. Majalah SWA Edisi 20/XXIV/18 September – 8
Oktober 2008.
McAlpine, A. 2003. The Ruthless Leader, Three Classics of
Strategy and Power (Terjemahan : Sartika, D).
Erlangga. Jakarta.
McSweeney, E. 1985. Managing the Managers. Pustaka Binaman Pressindo dan IPPM. Jakarta.
Moeljono, Dj. 2004. Reinvensi BUMN, Empat Strategi Membangun BUMN
Kelas Dunia. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Moeljono, Dj. 2006. Lead!
Galang Gagas Tantangan SDM, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Moeljono, Dj. 2006. Budaya Korporat dan Keunggulan
Korporasi. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Napier, N. K. dan Peterson, R. B.
1988. Meletakkan Manajemen
Sumberdaya Manusia pada Tingkat Manajer Lini dalam Memimpin Manusia
(Editor : Timpe, A. D). Media Elex
Komputindo. Jakarta.
Nugroho, A. A. Dan Cahayani, A.
2003. Multikulturalisma dalam
Bisnis. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Osborn, D dan Gaebler, T.
2005. Reinventing Government, How
the Entepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector (Terjemahan :
Rosyid, A) Penerbit PPM. Jakarta.
Price, A. 2006. Ready to Lead ? (Terjemahan :
Harthantho, A). Bhuana Ilmu
Populer. Jakarta.
Robbins, A. 2004. Giant Steps (Terjemahan : Saputra, A). Interaksara.
Batam Centre.
Seng, A. W. 2007. Rahsia Bisnes Orang Jepun (Terjemahan :
Widyawati, O). Hikmah. Jakarta.
Setiyono, B dan Triyana, B (Penyunting). 2005.
Revolusi Belum Selesai, Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September
1965 – Pelengkap Nawaksara. Ombak dan
Mesiass. Yogyakarta.
Siagian, S. P. 2002. Kia Meningkatkan Produktivitas Kerja. Rineka Cipta.
Jakarta.
Sinungan, M. 2008. Produktivitas, Apa dan Bagaimana. Bumi Aksara.
Jakarta.
Stauffer, D. 2009. Innovative Leadership. (Terjemahan :
Sihandrini, N. R). Bhuana Ilmu
Populer. Jakarta.
Sumodiningrat, G dan Dwidjowijoto, R. N. 2005.
Membangun Indonesia Emas, Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju
Negara-negara yang Unggul dalam Persaingan Global. Media Elex Komputindo. Jakarta.
Suseno, Dj dan Suyatna, H.
2006. Quo Vadis Petani
Indonesia! Terhempasnya Anak Bangsa dari
Sektor Pertanian. Aditya Media. Yogyakarta.
Sutton, G. 2005. How to Buy and Sell a Business (Terjemahan :
Sutrisno, D. H.). Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Rai, M et. al. 2004. The State of Panchayats (Terjemahan : Suprayitno, K). Yayasan Kendi. Yogyakarta.
Randall, C. B. The Folklore of
Management. (Terjemahan : Binawan, A. L.). Gramedia.
Jakarta.
Tampubolon, R. 2006. Risk Management. Media Elex Komputindo. Jakarta.
Thoha, M. 2009. Kepemimpinan dalam Manajemen. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Thomas, R. J. 2008. Crucibles of Leadership. (Peresensi :
Rinny). Harvard Business Press. Majalah SWA Edisi 25/XXIV/24 November – 3
Desember 2008.
Tika, M. P. 2008. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja
Perusahaan. Bina Aksara. Jakarta.
Waringin, T. D. 2005. Financial Revolution. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Waringin, T. D. 2008. Marketing Revolution. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Welch, J and Byrne, J. A.
2006. Jack, Straight from the Gut
(Terjemahan : Utomo, T. W.). Baca! Yogyakarta – Surabaya.
Whiteley, R. 2004. The Corporate Shaman (Terjemahan :
Sudarsono, A). Jakarta.
Yustika, A. E. (Editor). 2005.
Menjinakkan Liberalisme, Revitalisasi Sektor Pertanian dan
Kehutanan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar