Jumat, 22 Agustus 2014

Change or Die (1) Quo Vadis Bidang Peternakan






C H A N G E   or   D I E  !
(Telaah terhadap Keberadaan Bidang Peternakan pada Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu)

TUGAS I (PERTAMA)

Mata Kuliah :  EVALUASI KINERJA
Dosen :  Prof. Dr. H. MOHAMAD SURYA


Oleh :
D  I  N  O  T  O
NIM : 12008019

PROGRAM PASCA SARJANA
KONSENTRASI MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
SEKOLAH TINGGI EKONOMI “CIREBON”
CIREBON
2 0 0 9








“Kejatuhan kecil berarti kebangkitan yang lebih membahagiakan.”
  (William Shakespeare)





















“Kehilangan milik tak begitu penting,
  kehilangan kehormatan adalah celaka,    
  tapi yang lebih celaka lagi ialah kehilangan keberanian.” 
(Goethe)


KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kehadirat Allah subhana wa ta’ala penulis panjatkan, karena hanya berkat rahmat dan karunia-Nya sajalah penulis akhirnya dapat menyelesaikan tulisan ini tepat pada waktunya.
            “Change or Die !  Telaah terhadap Keberadaan Bidang Peternakan pada Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu”  adalah judul yang kami pilih untuk memenuhi Tugas I (Pertama) Mata Kuliah Evaluasi Kinerja dibawah bimbingan Bapak Prof. Dr. H. Mohamad Surya.  Oleh karena itu penulis pun tidak lupa menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada beliau.
            Atas segala kehangatan suasana ruang kuliah, penulis sampaikan ucapan terimaksih kepada rekan-rekan Angkatan Pertama dan para pengelola Program Pasca Sarjana STIE Cirebon.
            Peluk cium tentu hanya untuk isteri tercinta dan anak-anak yang selalu mengerti akan adanya kesibukan baru yang banyak menyita waktu, tenaga, pikiran dan tidak sedikit biaya.

                                                                                    Indramayu, 27 Juli 2009


                                                                                    Penulis



DAFTAR ISI





Halaman
KATA PENGANTAR
......................................................................
i




DAFTAR ISI
.........................................................................................
ii




BAB I
PENDAHULUAN
........................................................
1

1.1.
Latar Belakang
........................................................
1

1.2.
Masalah
....................................................................
2

1.3.
Tujuan Penulisan
.....................................................
2

1.4.
Sistematika Penulisan
...............................................
3





BAB II
MATERI DAN METODE
...........................................
4

2.1.
Materi
....................................................................
4

2.2.
Metode
....................................................................
4




BAB III
PEMBAHASAN

5

3.1.
Institusi Peternakan di Pusat, Miskomunikasi Penyebab Petaka ..........................................................
5

3.2.
Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu, Riwayatmu Dulu .............................................................................
10

3.3.
Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu, Di Akhir Kejayaan ......................................................................
18

3.4.
Bidang Peternakan, Institusi Kebanggaan ...................
24

3.5.
Tidak Mau Berubah, Mati Saja ! .................................
42




BAB IV
PENUTUP
.........................................................................
45

4.1.
Kesimpulan
...............................................................
45

4.2.
Saran
......................................................................
47




DAFTAR PUSTAKA
.......................................................................
48





























BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Dinas Peternakan, jika mendengar rangkaian kata tersebut maka orangtua kami yang hidup dari usaha pertanian -termasuk di dalamya adalah beternak, selalu mempunyai kesan tersendiri.  Sadis, bukan karena sifat hewan memang begitu tetapi aturan yang berlaku sejak zaman pendudukan Belanda masih diberlakukan oleh petugas.  Sangat kejam untuk ukuran mereka yang menikmati euphoria kemerdekaan.
Wajar kalau hal tersebut sangat mengesankan, karena Belanda begitu ketat dalam mengawasi peredaran hewan dan kondisi kesehatannya.  Bukan hanya itu, mereka juga sangat konsisten menjaga kelestarian hewan sehingga terdapat larangan keras untuk menyembelih hewan betina bertanduk yang masih produktif.  Jika melanggar maka sanksinya sangatlah berat.
Dalam perjalanannya organisasi yang sempat disegani ini mengalami pasang surut.  Bahkan sampai saat ini masih terpuruk dan hanya dipimpin pejabat setara eselon III/b.  Padahal jika dilihat tugas pokok dan fungsinya serta wilayah kerjanya sangatlah berat, sangat tidak seimbang.



1.2.            Masalah
Keterpurukan institusi yang menangani peternakan dan kesehatan hewan di Kabupaten Indramayu tidaklah berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh beberapa permasalahan dan dampaknya sangatlah luas sehingga diperluka strategi tersendiri untuk tetap bertahan. 
Dua permasalahan pokok yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah :
a.                           Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kembang-kempisnya institusi peternakan dan kesehatan hewan
b.                           Upaya apa yang dilakukan untuk dapat bertahan dalam organisasi yang terus terpuruk.
            .
1.3.            Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mencoba menelaah perjalanan organisasi tempat kami bertugas, Bidang Peternakan pada Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, dikaitkan dengan materi tentang Perilaku Organisasi yang disampaikan oleh Bapak Prof. Dr. H. Mohamad Surya.
Pada akhir tulisan, penulis mencoba untuk mencoba untuk menguraikan strategi pribadi dan kelompok dalam menghadapi situasi yang tidak kondusif di institusi peternakan dan kesehatan hewan yang makin terpuruk. 
Berubah, berubah mulai diri sendiri, kelompok dan organisasi adalah kata kuncinya.  Berubah atau mati !  Change or Die !     

1.4.            Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini sedapat mungkin mendekati format ilmiah, yaitu :
1.                  Kata Pengantar menjelaskan dasar dan beberapa hantaran kata yang berkaitan erat dengan penulisan karya tulis ini.
2.                  Bab I Pendahuluan mengemukakan tentang latar belakang, masalah dan tujuan penulisan dikaitkan dengan judul yang dipilih, serta sistematika penulisan karya tulis itu sendiri.
3.                  Bab II Materi dan Metode menjelaskan tentang materi yang menjadi bahasan dan metode penulisannya.
4.                  Bab III Pembahasan menguraikan perjalanan institusi yang menangani peternakan dan kesehatan hewan di Kabupaten Indramayu.  Kemudian mencoba mengaitkannya dengan materi kuliah tentang Perilaku Organisasi dan mencoba menyumbangkan buah pikiran untuk perbaikan selanjutnya.
5.                  Bab IV Penutup merupakan kesimpulan dari uraian sebelumnya saran untuk perbaikan selanjutnya.
6.                  Daftar Pustaka memaparkan sumber tulisan yang dikutip pada penulisan makalah tulis ini.


BAB II
MATERI DAN METODE

2.1.Materi
            Bahan acuan dalam penulisan Karya Tulis ini adalah materi                                Kuliah Evaluasi Kinerja  dengan pokok bahasan Perilaku Organisasi yang  ditulis Bapak Prof. Dr. H. Mohamad Surya.  Selain itu kami juga menukil beberapa pendapat dari sumber yang lain yang berkaitan dengan Perilaku Organisasi khususnya dan Ilmu Manajemen pada umumnya sebagaimana tertera pada Daftar Pustaka.
            Materi tentang institusi tempat kami betugas berasal dari berbagai peraturan perundangan yang berlaku dan pengamatan pribadi selama ini.

2.2.Metode
            Sesuai dengan tugas yang diberikan maka pada tulisan ini pokok bahasan dibatasi pada instansi tempat penulis bertugas, Bidang Peternakan pada Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.
            Kemudian dipadukan dengan berbagai materi yang berkaitan dengan materi kuliah Perilaku Organisasi, mencoba menganalisis dan memberikan saran untuk perbaikan selanjutnya. 


BAB III
PEMBAHASAN

 

3.1.            Institusi Peternakan di Pusat, Miskomunikasi Penyebab Petaka
Pada zaman penjajahan Belanda, institusi yang menangani kesehatan hewan dan peternakan mempunyai tugas yang sangat istimewa.  Banyak produk hukum penjajah yang berkaitan dengan kesehatan hewan dan peternakan diterbitkan, mulai dari tingkatan undang-undang sampai aturan pelaksanaannya yang dijalankan mendekati kesempurnaan.
Patut dimengerti kalau Belanda sangat ketat dalam menangani kesehatan hewan karena ternyata lebih dari 60 penyakit hewan bisa menular kepada manusia (zoonosis).  Penyakit yang sudah sangat lama dikenal adalah rabies, yang dapat menular dari anjing, kucing dan kera kepada manusia.  Sementara pada tahun-tahun terakhir dunia digemparkan oleh kematian akibat Flu Burung dan Flu Babi.  Bila dikaitkan dengan genetika maka masyarakat kulit putih ternyata sangat rentan terhadap berbagai penyakit flu.  Kedua jenis flu tersebut pernah memusnahkan jutaan penduduk benua Eropah dan Amerika pada awal abad XX.
Untuk mengupayakan perkembangan peternakan di negeri jajahannya pemerintah kolonial juga menerapkan aturan dengan konsisten.  Tidak mengherankan kalau di setiap unsur pemerintahan terendah, seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau dan berbagai istilah lainnya, mempunyai lahan yang dinamakan pangonan.  Lahan yang luasnya mencapai ratusan hektar ini digunakan sebagai padang penggembalaan bagi ternak masyarakat.  Dengan jaminan mendapatkan pakan yang layak diharapkan sapi, kerbau, kambing dan domba serta kuda dapat berkembang.  Manfaat yang bisa langsung dirasakan adalah tumbuhnya perekonomian masyarakat dari beternak.  Selain itu, konsumsi protein hewani yang masih sangat terbatas bisa ditingkatkan.
Selain itu, pemerintah kolonial juga melarang adanya pemotongan hewan betina bertanduk produktif.  Tidak sedikit para jagal yang nakal mendapatkan sanksi yang berat, mulai dari tidak diperbolehkan memotong hewan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH), denda yang tidak sedikit sampai kurungan penjara.
Hal ini sangat mudah diterapkan karena pemotongan hewan hanya boleh dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan yang didirikan pemerintah atau milik swasta di bawah pengawasan dokter hewan pemerintah.  Pemotongan hewan di luar RPH untuk acara tertentu seperti upacara adat ataupun hajatan diperbolehkan dengan seizin dan pengawasan dari petugas.  
Ketika zaman merdeka, aturan kolonial masih digunakan.  Barulah tahun 1967 sebuah undang-undang karya putera Bangsa Indonesia tentang Kesehatan Hewan dan Peternakan disahkan.  Nafas penjajah masih sangat terasa di produk hukum tersebut, penerapannya pun demikian.  Tidak mengherankan kalau di setiap kabupaten/kota terdapat institusi yang menangani peternakan dan kesehatan hewan bermomenklatur Dinas Peternakan.
Petugas Dinas Peternakan hadir di sela-sela kehidupan masyarakat Indonesia yang selain membudidayakan tanaman pertanian juga memelihara hewan ternak.  Bahkan di lingkungan perkotaan yang padat sekalipun, petugas kesehatan hewan mendapati lahan tugasnya, pemelihara hewan kesayangan mulai dari anjing, kucing sampai burung ocehan.  Oleh karena itu tidak mengherankan kalau keberadaan Dinas Peternakan manfaatnya dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat.
Harapan cerahnya sub-sektor peternakan begitu tampak ketika dalam jajaran kabinet pemerintahan Presiden Soeharto terdapat Menteri Muda Peternakan yang membantu Menteri Pertanian dalam urusan peternakan dan kesehatan hewan.  Jabatan Menteri Muda di kabinet adalah sebuah batu loncatan menuju kedudukan Menteri.  Sayang sekali kesempatan itu tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, insan peternakan (Insinyur Peternakan) dan Dokter Hewan (drh.) bukan mengemban amanah dengan baik tetapi justeru sibuk memperebutkan kedudukan. 
Menteri Muda Peternakan yang ditunjuk Presiden Soeharto adalah Prof. Dr. Ir. J. H. Hutasoit, seorang ahli ilmu peternakan yang membaktikan hidupnya kepada almamaternya, Institut Pertanian Bogor.   Sementara itu, di bawahnya duduk pejabat eselon I seorang dokter hewan, senior Sang Profesor, yaitu drh. Soehadji sebagai Direktur Jenderal Peternakan.  Sepintas tidak ada yang salah atas penunjukkan keduanya, tetapi bagi kedua kelompok profesi tersebut keputusan presiden menjadi penyulut pertentangan yang mengganggu hubungan yang memang sudah tidak harmonis.
Komunikasi diantara atasan dan bawahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.  Padahal komunikasi merupakan kunci keberhasilan dari setiap organisasi.  Dampak dari tidak jalannya komunikasi adalah tidak jalannya organisasi, tujuan yang hendak ditempuh Menteri Muda tidak pernah nyambung dan dijalankan di tingkat bawahnya.  Keadaan ini diperparah dengan tingginya tingkat pertentangan antara lulusan IPB dan UGM yang selalu bergantian menduduki berbagai jabatan penting di Direktorat Jenderal Peternakan. 
Waktu, tenaga dan pemikiran serta pengabdian Profesor Dr. Ir. J. H. Hutasoit kandas di tengah harapan masyarakat peternakan untuk bisa menyumbang lebih banyak protein hewani kepada masyarakat Indonesia.  Faktor interpersonal menyebabkan kegagalan yang sama sekali tidak dapat diampuni oleh seorang presiden bergelar The Smiling General.
Jabatan Menteri Muda Peternakan hanya bertahan satu periode, berikutnya tergabung lagi dalam Kementerian Pertanian, urusan peternakan dan kesehatan hewan kembali ditangani Direktur Jenderal Peternakan. 
Kegagalan munculnya Menteri Peternakan tidak dijadikan pelajaran tetapi malah dilanjutkan dalam berebut jabatan Direktur Jenderal Peternakan.  Selalu saja terjadi, apabila jabatan tersebut dipegang seorang Sarjana Peternakan maka para dokter hewan siap-siap menusuk dari belakang.  Bahkan mereka mengusung jabatan baru, Direktur Jenderal Kesehatan Hewan. 
Bila ditarik ke belakang, Insinyur Peternakan (sekarang Sarjana Peternakan) dan dokter hewan adalah dua profesi yang diperoleh setelah menempuh pendidikan yang berbeda.  Sarjana Peternakan adalah lulusan Fakultas Peternakan yang pada intinya dididik dalam budidaya peternakan.  Sementara dokter hewan adalah lulusan Fakultas Kedokteran Hewan (Sarjana Kedokteran Hewan, dulu Drs. Veteriner) yang kemudian melaksanakan ko-as selama 6 bulan.  Itulah sebabnya dalam kepegawaian dokter hewan disamakan dengan dokter, langsung dalam golongan III/b. 
Dalam sejarahnya, Fakultas Kedokteran Hewan adalah saudara tua.  Di IPB dan UGM, Fakultas Kedokteran Hewan adalah cikal bakal munculnya Fakultas Peternakan dan Fakultas Perikanan.  Tetapi saat ini banyak perguruan tinggi mendirikan Fakultas Peternakan tanpa mempunyai Fakultas Kedokteran Hewan karena keduanya memang sangat berbeda.  
Pertentangan berkepanjangan yang terjadi di lingkungan Departemen Pertanian ini sudah menjadi rahasia umum.  Tidak mengherankan kalau jabatan bergengsi Direktur Jenderal Peternakan tersebut pada akhirnya pernah dipercayakan kepada personil dari Departemen Dalam Negeri dengan NIP. 01.  Tetapi, sekali lagi pelajaran ini tidak juga menyebabkan mereka belajar.  Pertentangan pejabat dengan NIP. 08 terus berlangsung sampai sekarang.
Dari gambaran di atas terlihat jelas bahwa perilaku segelintir individu yang berebut jabatan nomor satu mempengaruhi perilaku kelompok, para dokter hewan yang seprofesi berusaha mencoba membuat struktur organisasi baru.  Kalau usulan tersebut gagal, maka para dokter hewan dengan jaringan yang sudah sangat luas berusaha mempengaruhi jalannya organisasi yang menangani peternakan dan kesehatan hewan ini.  Putusnya jaringan komunikasi berarti pupus visi dan misi yang ingin digapai organisasi.
Gambaran tentang problematika organisasi di tingkat pusat ini perlu digambarkan karena nuansa pertentangan antara dokter hewan dan Sarjana Peternakan juga terjadi baik di Propinsi maupun Kabupaten/Kota.  Hal ini tidak terlepas dari status Dinas Peternakan Propinsi dan Kabupaten/Kota yang semula adalah kepanjangan tangan dari Direktorat Jenderal Peternakan di daerah. 

3.2.            Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu, Riwayatmu Dulu
Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka di Kabupaten Indramayu pun berdiri Dinas Peternakan.  Sebuah institusi daerah yang hubungannya sangat dekat dengan pusat, terutama Direktorat Jenderal Peternakan.  Pada tahun 1970-an, sebagaimana Dinas Peternakan yang lain, tugasnya masih sangat berat.  Namun didukung oleh personil yang tidak sedikit, mulai dari petugas di setiap kecamatan, pasar hewan, Rumah Potong Hewan, para penyuluh peternakan dan staf di kantor yang tidak sedikit.
Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu merupakan salah satu institusi terkaya.  Harta karun yang dimiliki sejak berdirinya antara lain :
a.             Tanah Pangonan (padang penggembalaan) di hampir semua desa di wilayah Kabupaten Indramayu dengan luas puluhan ribu hektar.
b.            Tanah timbul di pesisir pantai yang tidak bisa ditanami dan dimanfaatkan masyarakat kecuali sebagai tempat penggembalaan ternak, luasnya ribuan hektar.
c.             Rumah Potong Hewan khusus babi di Kota Indramayu
d.            Rumah Potong Hewan unuk sapi dan kerbau di Kota Indramayu, Haurgeulis dan Jatibarang.
e.             Pasar Hewan di Kota Indramayu, Jatibarang dan Haurgeulis.
Tanah pangonan dan tanah timbul merupakan sumber pendapatan yang tetap setiap tahunnya.  Pembayaran dari tingkat desa sangat lancar dan hampir tidak pernah ada kendala.  Sementara Rumah Potong Hewan dan Pasar Hewan merupakan penghasil pendapatan harian yang selalu meningkat, terutama pada hari-haroi besar keagamaan serta upacara adat dan musim hajatan.
Baik Rumah Potong Hewan maupun Pasar Hewan mempunyai bangunan fisik dengan konstruksi tinggalan Belanda.  Bangunan permanen dengan kayu jati yang sangat bagus, lantainya berbahan batu berbentu bujur sangkar yang ditata rapih.  Sampai awal tahun 1990-an, bangunan ini masih tegak berdiri dan berfungsi sebagaimana mestinya sampai akhirnya perilaku individu dan kelompok memporakporandakan bangunan bersejarah bagi masyarakat peternakan itu satu persatu.
Begitu kuatnya kekuatan pengaruh dari seorang pemimpin organisasi dalam mempengaruhi perilaku kelompok pada akhirnya terbukti.  Komunikasi yang efektif yang dilakukan pimpinan kepada para bawahannya membawa kelompok pekerja Dinas Peternakan yang selama puluhan patuh dan taat pada aturan dalam menjalankan tugasnya, tiba-tiba menjadi manusia yang beringas dan menggasak satu persatu bangunan yang selama ini menjadi salah satu sumber penghidupannya.
 Dalam rangka mewujudkan visi mencapai kesejahteraan bersama, Kepala Dinas Peternakan memanfaatkan Rumah Potong Hewan khusus babi yang sudah berhenti beroperasi.  Besi-besi tua yang masih terawat dijual ke tukang loak menghasilkan jutaan rupiah, lantai batu berbentuk bujur sangkar yang tertata rapih bisa dibawa oleh karyawan yang membutuhkan untuk memperindah rumahnya.  Sementara dua truk kayu jati berkuran besar diangkut ke rumah pribadi beliau yang jaraknya ratusan kilometer dari Kota Indramayu.
Motivasi untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan yang tumbuh dan berkembang tetapi salah arah ini menyebabkan ketidakpuasan terhadap apa yang sudah dimiliki.  Oleh karena itu, ketika tindakan penghapusan Rumah Potong Hewan khusus Babi dilegalkan maka terbetik rencana baru yang lebih matang dan terstruktur. 
Dengan alasan tertentu Rumah Potong Hewan untuk Sapi dan Kerbaupun pada akhirnya menyusul.  Seperti sebelumnya, maka berbagai bahan bangunan menjadi ajang bancakan para karyawan, porsi pimpinan tentu jauh lebih banyak.  Keputusan penuh resiko yang diambil pimpinan bukan hanya disetujui kelompok karyawan tetapi juga para jagal yang biasa menyembelih sapi dan kerbau di tempat tersebut.
Bagi para jagal, keputusan pimpinan sangatlah menguntungkan.  Mereka bukan hanya bebas dari biaya retribusi untuk pemotongan ternak serta biaya pemeriksaan kesehatan ternak dan daging, yang lebih penting adalah mereka jauh lebih bebas dan leluasa dalam memotong ternaknya.  Sehat atau sakit atau bahkan yang sedang bunting pun tidak ada resiko terkena pinalti, apalagi sanksi hukum.
Nasib serupa akhirnya terjadi juga pada Rumah Potong Hewan di Jatibarang.  Tidak lama kemudian, bangunan pasar-pasar hewan menyusul.  Sampai pada akhirnya habislah sudah bangunan-bangunan tua tersebut sebelum periode kekuasaan Sang Pemimpin berakhir.
Keputusan pemimpin yang hanya mementingkan diri dan aji mumpung tersebut sampai sekarang dampaknya masih terasa.  Para jagal yang terbiasa bebas sangat sulit kembali diarahkan sesuai dengan peraturan.  Aspek sanitasi lingkungan, kesehatan ternak yang disembelih ataupun daging yang akan diperjualbelikan sangat diabaikan.  Pemotongan ternak sapi paling banyak adalah betina, dan tentu saja masih produktif !
Dari tahun ke tahun pergantian Kepala Dinas Peternakan tidak dapat mengembalikan para jagal untuk kembali menjadi baik.  Keadaan ini diperparah karena anggaran untuk membuat Rumah Potong Hewan untuk Sapi dan Kerbau yang baru tidak juga direalisasikan.  Butuh dana miliaran rupiah untuk membuatnya, sangat berat bagi beban anggaran Pemerintah Kabupaten Indramayu.
Satu-satunya Rumah Potong Hewan yang pernah dibangun adalah RPH Karangampel yang menggunakan dana ABPD Propinsi Jawa Barat.  Namun sejak berdirinya sampai sekarang, bangunan tersebut tidak pernah dipakai.  Warga memprotes dioperasionalkannya bangunan milyaran rupiah tersebut dengan berbagai alasan, mulai dari bau sampai akan menjadi gudang penyakit.
Bila ditilik ke awal, pendirian bangunan tersebut sebenarnya sudah sangat benar.  Tanah kosong dikelilingi pesawahan dan pekarangan, tanpa rumah penduduk.  Tetapi ketika akses jalan masuk ke RPH dibuat, masyarakat pun memanfaatkannya untuk mengalihkan fungsi lahan menjadi rumah tinggal.  Jadilah Rumah Potong Hewan betetangga langsung dengan rumah penduduk yang tiba-tiba saja menjamur.  Akibat protes warga maka Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu tidak pernah membuka kunci gembok bangunan tersebut.
Sementara itu pasar hewan yang dibuat sebagai pengganti bangunan tua yang dibongkar berjumlah 3 (tiga) unit.  Satu diantaranya tidak pernah sama sekali dipakai karena dibangun persis di tengah keramaian perumahan penduduk.  Berbeda dengan pada saat pembangunan RPH Karangampel, pembangunan Pasar Hewan Anjatan memang dilakukan di antara rumah penduduk yang sudah lama tinggal di lokasi tersebut.  Sebelum ada protes dari warga, Dinas Peternakan merelakan bangunan tersebut terbengkalai.
Dua pelajaran di atas menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan yang dilakukan pimpinan ada faktor eksternal yang berpengaruh besar yaitu sikap dan pendapat masyarakat.  Saat ini faktor eksternal ini perlu perhatian lebih, mengingat era keterbukaan yang digulirkan pada awal era reformasi membuat masyarakat semakin berani menyatakan ketidaksetujuan dan protes kerasnya kepada pemerintah.  Bahkan karena tidak didasari dengan pendidikan dan pengetahuan yang memadai, tindakan mereka sering kebablasan.
Seakalipun banyak kehilangan fasilitas tinggalan Belanda yang sempat ada, kepercayaan pemerintah pusat dan propinsi kepada jajaran di bawahnya ini tidak pernah surut.  Berbagai bantuan ternak terus mengalir, ratusan ribu unggas (ayam kampung dan itik), puluhan ribu kambing dan domba serta ribuan ekor kerbau dan sapi pernah didistribusikan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Kabupaten Indramayu.  Tidak dapat dipungkiri bahwa hewan ternak ini sangat diharapkan kehadirannya oleh masyarakat. 
Dengan animo masyarakat yang tinggi dalam memelihara ternak maka secara logika, ternak yang dikembangkan dengan sistem “Sumba Kontrak” ini tentu sudah berhasil mensejahterakan banyak penerima.  Sebagian besar penduduk Indramayu dapat dipastikan sudah menerima ternak yang digulirkan.  Tetapi yang terjadi tidak demikian, ternak-ternak bantuan umurnya sangat pendek dan dapat ditentukan oleh petugas dari Dinas Peternakan. 
Mereka, baik di tingkat Kabupaten maupun di level Kecamatan berkewajiban untuk membina peternak penerima bantuan, sehingga pada waktu yang ditentukan akan dapat digulirkan kepada calon penerima berikutnya.  Demikian seterusnya sehingga manfaat ternak “Sumba Kontrak” dirasakan seluruh masyarakat yang menghendaki.  Tetapi kenyataan berbicara lain, petugas Dinas Peternakan bukan hanya berwenang mengelola pergliran ternak tetapi juga menentukan umur ternak yang dipelihara peternak.  Berita Acara Kematian Ternak selalu menjadi bukti beralihnya kepemilikan ternak dari penerima ke tangan petugas, bahkan tidak jarang langsung kepada jagal.  Pembinaan yang menjadi kewajibannya, dilaksanakan secara tersetruktur sebagai pembinasaan.  Oleh karena itu, sangat jarang ternak pemerintah yang bisa bergulir karena sudah tersimpan rapih di dalam map petugas dalam bentuk selembar kertas, Berita Acara Kematian Ternak.
Masyarakat penerima ternak merasa dirugikan ?  Tentu saja tidak selalu, ada juga yang mendapat keuntungan sekalipun sedikit.  Tetapi tidak sedikit peternak yang justeru menderita kerugian akibat tidak dapat mengembalikan ternak yang sehausnya digulirkan tepat pada waktunya.  Salah satunya adalah mereka yang menerima bantuan ternak penggemukan sapi potong.  Dalam berita acara penerimaan ternak jelas tertulis kriteria ternak yang diterima, umur 2,5 tahun, tinggi proporsional dan berat badan perkiraan awal.  Dengan pemeliharaan yang dianjurkan maka ternak yang demikian dapat meningkatkan berat badannya 1 kg sehari.  Sehingga pada 6 bulan pemeliharaan bobot hidupnya akan dapat bertambah 180 kg.  Pada waktu yang ditentukan maka peternak dapat menjualnya kepada bandar dan dengan keuntungannya dapat membeli sapi baru untuk digemukan, sementara modal awalnya juga dibelikan sapi yang akan digulirkan kepada calon penerima yang baru.
Tetapi, ketika waktu yang ditentukan tiba, peternak harus mengurut dada karena sapi yang dipelihara tidak juga gemuk dan bertanbah dagingnya.  Bukan salah peternak, apalagi advice petugas.  Kesalahan utama terjadi akibat kelalaian peternak yang percaya saja bahwa ternak yang dipelihara berumur 2,5 tahun dan siap untuk digemukkan.  Ternak yang mereka terima sesungguhnya adalah pedet (anak sapi) yang masih memerlukan banyak makanan untuk membentuk rangkanya.  Mereka tidak melakukan praktek penggemukan tetapi pembesaran.  Hasil penjualan tentu saja jauh dari yang diharapkan, bahkan di bawah harga yang tercantum pada surat perjanjian.  Peternak yang berharap untung malah buntung.
Kejadian ini bukan semata-mata permainan kelompok petugas Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu tetapi juga pihak ketiga yang melaksanakan pengadaan sapi.  Dalam kasus ini faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap pihak luar organisasi yang lain, yaitu masyarakat.  Tidak dapat dipungkiri bahwa Dinas Peternakan terkena dampak negatifnya, tetapi tidak dapat dibantah kalau kelakuan pihak ketiga tersebut terjadi akibat ulah orang dalam juga.
 Berbagai bantuan ternak yang diberikan kepada masyarakat pada akhirnya menjerat mereka ke dalam hutang yang tidak pernah diterima.  Ratusan sertitikat tanah peternak menjadi jaminan hutang di bank dengan bunga hutang yang makin melambung, tanpa pernah mereka menerima uang yang tercatat sebagai hutang pokoknya.
Citra Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu sedemikian suram tetapi tidak sedikit mereka yang makin kaya dengan bermitra bersama birokrat yang mengurus ternak bantuan pemerintah.  Oleh karena itu Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu tetap mereguk kejayaan sampai akhir hayatnya.
Sementara itu dengan adanya peraturan baru maka tanah pangonan dan tanah timbul yang semula merupakan aset yang banyak menghasilkan pendapatan bagi Dinas Peternakan harus beralih kepengurusannya ke Bagian Pertanahan Sekretariat Daerah Kabupaten Indramayu.  Keadaan ini diperparah dengan banyaknya lahan pangonan yang beralih fungsi menjadi sawah, bangunan pemerintah dan perumahan masyarakat.   

3.3.            Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu, Di Akhir Kejayaan
Era reformasi yang ditandai dengan berbagai keterbukaan mendorong masyarakat mengoreksi perjalanan bangsa yang selama Pemerintahan Orde Baru selalu adem ayem dengan kemajuan perekonomian sangat cepat.  Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu pun merasakan dampak perubahan perilaku masyarakat ini.  Kesadaran peternak akan hak dan kewajiban semakin terbuka, beberapa protes kecil terjadi ketika isi perjanjian tidak sesuai dengan kenyataan.  Sementara itu pola pikir petugas yang sudah melekat dan berlangsung lama sangat sulit untuk dirubah menjadi lebih baik.
Hantaman terhadap Dinas Peternakan bukan hanya dari luar, tetapi juga faktor internal yaitu kebijakan pemerintah itu sendiri.  Semenjak diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, maka Dinas Peternakan Kabupaten Indramayu khususnya harus menyatu dengan sub-sektor pertanian lainnya Perkebunan, Kehutanan dan Pertanian Tanaman Pangan dalam satu atap.
Keterbatasan jumlah institusi di sebuah Kabupaten/Kota sebenarnya bukan alasan yang kuat untuk menggabungkan Dinas Peternakan dalam formasi baru.  Masih ada harapan untuk bisa berdiri sendiri sekalipun dengan status lebih kecil, misalnya menjadi Kantor Peternakan.  Eselonoring Kepala Kantor sama denga Kepala Sub Dinas, tetapi kewenangan sebagai institusi mandiri jauh lebih besar.
Namun upaya yang sebenarnya mendapat dorongan dari bawah (terutama Mantri Hewan dan Penyuluh Peternakan) ini tidak mendapat respon yang baik di tingkat pimpinan.  Beliau memilih bungkam karena untuk merespon usulan dari bawah tersebut harus berhadapan dengan para anggota Dewan yang Terhormat.  Bukan tanpa alasan, permasalahan pribadi dengan salah satu keluarga mereka telah menyeret beliau ke dalam ancaman hukuman yang teramat berat. 
Keputusan singkat yang diambil beliau sesungguhnya sangat tepat untuk kepentingan pribadi, karena tidak naik eselon saja masih sangat beruntung.  Sesungguhnya hukuman yang tepat bagi beliau sesuai aturan yang berlaku adalah pembebastugasan dari jabatan dan penurunan pangkat satu tingkat.  Namun keputusan ini tidak baik bagi kebanyakan pegawai dan juga masyarakat Kabupaten Indramayu pada umumnya.
Dalam momenklatur baru yang bernama Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan tersebut maka kedudukan institusi peternakan hanya sebagai Sub Dinas.  Namun demikian tugas  pokok dan fungsinya masih seperti Dinas Peternakan dahulu.  Hampir tidak ada perubahan eselonoring pejabat, sama-sama dipimpin eselon III.  Perbedaannya hanya eselom V yang semula mendominasi dihilangkan, sebagai resikonya banyak personil yang dimutasi ke tempat lain.
Para petugas lapangan bernama Mantri Hewan atau jabatan resminya Kepala Cabang Dinas Peternakan yang berkedudukan di kecamatan dan juga Penyuluh Peternakan di sebagian besar desa harus menanggalkan jabatan yang disandangnya.  Mereka yang masih beruntung tetap duduk sebagai Kepala Cabang Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan tetapi sebagian besar lebih memilih pindah ke instansi lain atau memilih pensiun dini.  Para Penyuluh Lapangan lain lagi nasibnya, mereka berada dalam wadah baru bergabung dengan yang lain menjadi manusia super pintar karena harus menguasai semua ilmu pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan.
Dalam posisi sebagai bagian kecil dari induk organisasi maka jumlah pegawai yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan tinggal sedikit sekali, tidak sampai seperempatnya.  Ironisnya, disamping banyaknya pengurangan petugas, otonomi daerah memungkinkan masuknya pegawai dari institusi lain ke dalam jajaran peternakan dan kesehatan hewan.  Keadaan ini tentu saja sangat memperkeruh permasalahan yang ada karena sudut pandang orang luar tentang peternakan adalah kumpulan ternak bantuan pemerintah yang diberikan kepada masyarakat dan pada akhirnya dapat dijadikan aset pribadi petugas.  Selain itu, latar belakang pendidikan dan pengalaman yang jauh dari peternakan dan kesehatan hewan menyebabkan mereka tidak bisa menjalankan tugas dengan baik sekalipun sudah berusaha sedemikian rupa mempelajari ilmu peternakan dan kesehatan hewan secara singkat.
Berbagai fasilitas yang dimiliki Dinas Peternakan, aset bergerak dan tidak bergerak juga harus berpindah tangan.  Gedung megah yang dibangun selama 2 tahun anggaran dari APBD Propinsi Jawa Barat harus ditinggalkan, Sub Dinas Peternakan harus mau bergabung dengan Sub Dinas lain di institusi baru, menempati bekas gudang yang sama sekali tidak layak digunakan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat.  Kendaraan roda dua yang semula menjadi pegangan Kepala Dinas Peternakan ditarik Sekretariat Daerah, mobil operasional kesehatan hewan juga bernasib yang sama.  Sementara itu, puluhan kendaraan roda dua tetap di tangan pemakainya semula, baik yang pindah maupun pensiun.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa sebesar apapun dorongan dari bawahan maka keputusan pimpinan adalah yang akan menentukan segala rencana yang diinginkan.  Ketika sebuah keputusan secara diambil pimpinan tergesa-gesa maka akan menelan korban yang tidak sedikit dan luka berkepanjangan.
Keadaan yang semrawut menyebabkan pemimpin institusi ini frustasi dan mengambil jalan pintas, hanya sekali-sekali hadir di kantor.  Pilihannya untuk memperdalam jalur keagamaan sesungguhnya tidaklah salah.  Yang salah hanyalah keputusannya meninggalkan kantor dengan alasan yang tidak jelas.  Lebih salah lagi ketika beliau memberikan banyak ceramah kepada staf tetapi tidak sedikitpun memberi contoh dan keteladanan untuk melaksanakan kebaikan yang diceramahkan.
Keadaan ini berlangsung terus sampai akhirnya struktur organisasi mengalami perombakan kembali empat tahun kemudian.  Peran kepemimpinan yang diharapkan bisa mengentaskan diri dari keterpurukan sama sekali tidak tampak.  Tidak ada upaya sedikitpun untuk mencoba kembali mendayagunakan personil yang tersisa secara maksimal.  Pengalaman yang terjadi sebelumnya tidak dipetik sebagai pelajaran yang berharga.  Institusi yang menangani peternakan dan kesehatan hewan di Kabupaten Indramayu terjerembab di lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Statusnya tetap tidak berubah, masih dalam cengekaraman Dinas Pertanian.  Nasib berbeda dialami oleh Sub Dinas Kehutanan dan Perkebunan, statusnya menjadi Kantor Kehutanan dan Perkebunan.  Sesungguhnya keduanya tidak patut diperbandingkan karena obyek institusi peternakan dan kesehatan hewan sangatlah luas, meliputi seluruh masyarakat Kabupaten Indramayu.  Berbeda dengan institusi perkebunan dan kehutanan, tidak ada perkebunan di Indramayu, tanah kehutanan pun ada dalam area kerja Perhutani. 
Satu-satunya keunggulan yang dimiliki Sub Dinas Perkebunan dan Kehutanan adalah komitmen pimpinan untuk mensejahterakan bawahannya.  Dengan berbagai lobi dan pendekatan yang ditempuh pimpinannya pada akhirnya institusi yang semula tidak punya lahan kerja ini pun akhirnya menjadi layak untuk berdiri sendiri.  Ketuk palu Ketua DPRD mengesahkan keberadaannya dan juga tugas pokok dan fungsi yang ditanganinya.
Sementara itu Sub Dinas Peternakan tetap gigit jari, masih menginduk pada Dinas Pertanian dan seperti tahun-tahun sebelumnya.  Bukan hanya kantornya yang tetap menumpang tetapi juga harus puas menikmati anggaran dana sisa dari Sub Dinas Pertanian Tanaman Pangan.
Komitmen pimpinan yang kuat dengan didorong oleh aspirasi bawahan yang mendukungnya ternyata dapat merobohkan berbagai anggapan logis.  Bahkan anggota Dewan yang Terhormat pun dapat dipengaruhi sehingga membuat keputusan yang sesungguhnya keliru, melogiskan hal yang tidak logis.
Tahun 2008 sesungguhnya merupakan peluang kedua untuk mengentaskan diri dari keterpurukan.  Tetapi, seperti ingin melakukan kesalahan yang sama sebelumnya, tidak ada upaya untuk mencoba mandiri.  Oleh karena itu, ketika palu Ketua DPRD diketuk statusnya tidak berubah.  Hanya berubah momenklatur, menjadi Bidang Peternakan.
Sebagai perbandingan, institusi perkebunan dan kehutanan yang berangkat dari tidak adanya kewenangan tetapi dengan komitmen yang kuat pada akhirnya naik posisi menjadi Dinas Perkebunan dan Kehutanan.  Lagi-lagi, keputusan para anggota Dewan yang Terhormat ini sesungguhnya sangat dipaksakan.  Struktur organisasinya dibuat sedemikian rupa sehingga berbeda dengan dinas lainnya.  Tugas pokok dan fungsi tentu mengikuti, terkesan asal ada.  Tetapi keputusan sudah diambil, benar atau salah harus segera dijalankan sebelum batas waktu yang ditetapkan. 
Bila dikaji lebih jauh maka kelemahan di tingkat kabupaten ini sebenarnya dapat diatasi jika mendapat dorongan dari pemerintah pusat.  Sebagai contoh adalah institusi yang menangani Penyuluh Pertanianmisalnya.  Terlepas dari kepentingan orang tertentu di tingkat pusat untuk duduk di Eselon I maka upaya mereka mendorong kemandirian penyuluh di daerah sangatlah besar.
Upaya tersebut tertuang jelas pada Undang-undang tentang Penyuluhan Pertanian yang salah satu pasalnya mengharuskan di Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk dibentuk institusi yang menangani penyuluhan pertanian yang dipimpin Eselon II, setingkat Badan.  Oleh karena itu, penyuluh pertanian yang personilnya semula menjadi bagian dari Dinas Pertanian di berbagai daerah meningkat statusnya menjadi Badan Penyuluhan.  Salah satu fungsi Badan penyuluhan tentu saja mengkoordinir berbagai institusi, termasuk Dinas Pertanian itu sendiri.  Di Kabupaten Indramayu pun dibentuk Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian yang salah satu tugasnya menkoordinasi kegiatan yang dilakukan berbagai institusi, termasuk Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.
Berbeda nasibnya dengan institusi peternakan dan kesehatan hewan, sekalipun telah ditetapkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menggantikan aturan yang sama yang diterbitkan 72 tahun sebelumnya, tidak terbetik perubahan yang berarti.  Tidak ada pasal yang menguatkan pentingnya keberadaan sebuah institusi di Kabupaten/Kota yang menangani peternakan dan kesehatan hewan. 
Sungguh sangat malang nasib institusi peternakan dan kesehatan hewan karena Undang-undang yang baru mewajibkan berbagai tugas seperti aturan terdahulu, sementara haknya untuk mandiri sama sekali tidak ada dukungan tertulis.  Tidak mengherankan kalau institusi tersebut hanya berubah momenklatur dari Sud Dinas Peternakan menjadi Bidang Peternakan.

3.4.            Bidang Peternakan, Institusi Kebanggaan

Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Indramayu dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741). 
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 8 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Kabupaten Indramayu dibentuklah dinas yang membidangi masalah pertanian dan peternakan, yaitu Dinas Pertanian dan Pternakan Kabupaten Indramayu.
Tugas dan Fungsi Pokok Dinas Pertanian dan Peternakan menurut Peraturan Bupati Indramayu Nomor 39 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu adalah sebagai berikut :
a.             Dinas pretanian dan Peternakan mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang pertanian dan peternakan, berdasarkan otonomi dan tugas pembantuan.
b.            Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut sebagaimana dimaksud, Dinas Pertanian dan Peternakan mempunyai fungsi :
(1)               Perumusan kebijaksanaan teknis di bidang pertanian dan peternakan.
(2)               Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pertanian dan peternakan.
(3)               Pembinaan pelaksanaan tugas di bidang pertanian dan peternakan.
(4)               Pelaksanaan pelayanan teknis administrasi ketatausahaan.
(5)               Pelaksanaan pengelolaan UPTD.
(6)               Pelksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dnegan tugas dan fungsinya.
Susunan organisasi Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu terdiri dari Kepala, Sekretris yang membawahi 3 Sub Bagian, Bidang Tanaman Pangan dengan membawahkan 3 Seksi, Bidang Hortikultura yang membawahkan 3 Seksi dan Bidang Peternakan dengan membawahi 3 Seksi.
Bidang Peternakan terdiri dari 3 seksi, yaitu :
a.             Seksi Kesehatan Hewan dan Kesmavet
b.            Seksi Perbibitan
c.             Seksi Pengembangan
Berdasarkan SK mutasi dari Bupati Indramayu yang terbaru, Penulis menduduki posisi Kasi Pengembangan dengan tugas pokok mempersiapkan bahan pelaksanaan kegiatan pengembangan peternakan dengan fungsi sebagai berikut :
a.             Penyiapan bahn pelaksanaan kegiatan pengembangan peternakan.
b.            Pelaksanaan operasional pengembangan peternakan.
c.             Penetapan peta potensi, pengembangan lahan hijauan pakan, padang pengembalaan dan kawasan industri peternakan rakyat.
d.            Pembinaan dan rekomendasi perizinan budidaya peternakan dan usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
e.             Penerapak kebijakan pembinaan dan pengembangan alat dan mesin peternakan.
f.             Penerapan kajian pengembangan teknologi tepat guna, kerjasama dengan lembaga-lembaga teknologi dan adaptasi temuan teknologi baru di bidang peternakan.
g.            Pembinaan dan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan air untuk usaha peternakan.
h.            Pembinaan pengembangan manajemen usaha agrobisnis peternakan, pemanfaatan sumber pembiayaan, pedoman kerjasama kemitraan usaha dan pembinaan mutu pengolahan hasil peternakan.
i.              Pembinaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan kebijakan operasional penyebaran dan pengembangan ternak.
j.              Pembinaan dan pelaksanaan operasional hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan.
k.            Pembinaan penerapan teknologi panen, pasca panen, pengolahan hasil, promosi dan informasi pasar produk peternakan.
l.              Pelaksanaan kebijakan penyebaran pengembangan peternakan.
m.          Fasilitasi bimbingan pemantauan dan penyebaran ternak yang dilakukan swasta.
n.            Fasilitasi bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran, registrasi dan redistribusi ternak.
o.            Fasilitasi bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi ternak.
p.            Fasilitasi bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi calon penggaduh.
q.            Fasilitasi bimbingan pelaksanaan sistem dan pola peyebaran ternak.
r.              Pelaksanaan temuan-temuan teknologi baru di bidang peternakan.
s.             Pelaksanaan kajian, pengenalan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang peternakan.
t.              Pelaksanaan tugas kedinasan lain sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Sudah menjadi kelaziman di birokrasi Indonesia bahwa berbagai peraturan dan pedoman adalah aspek teori dalam menjalankan tugas, sementara prakteknya sangat tergantung pada kebijaksanaan seorang pimpinan.  Demikian halnya di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu berlaku hal yang sama, bahkan Penulis menyebutnya sebagai Manajemen Kwalonan.
Sebagai bagian penting dari unit terbesarnya maka Bidang Peternakan juga melakukan praktek yang sama.  Penelanjangan ilmu kepemimpinan yang didapat dari berbagai pendidikan dan pelatihan para calon pemimpin juga terjadi.  Alokasi pekerjaan tidak lagi berdasarkan berbagai pedoman yang berlaku tetapi berdasarkan mood seorang Kepala Bidang.
Selama beberapa tahun kebijaksanaan tersebut berjalan sehingga berbagai pelanggaran menjadi bagian yang tidak lagi dapat dipisahkan.  Seorang Kepala Seksi tertentu sering dijadikan boneka semata, hanya mengisi jabatan tanpa pernah diberi wewenang mengerjakan tugas pokok dan fungsinya.
Lebih parah lagi, selama 2 (dua) periode mutasi pejabat yang mengisi Seksi Pengembangan sebelumnya sama sekali tidak tahu tentang tugas pokok dan fungsi.  Kehadirannya hanya menjadi pelengkap penderita.  Melengkapi keberadaan jabatan yang harus diisi tanpa pernah menjalankan hak dan kewajibannya   Sementara harus menderita karena harus menhadapi berbagai panggilan dari Kepolisian dan Kejaksaan untuk mempertanggungjawabkan berbagai pekerjaan di seksinya.  Pekerjaan warisan yang ditinggalkan pejabat terdahulu ataupu yang dilaksanakan oleh sesama seksi namun beda posisi (anak kandung pimpinan).
Seksi Pengembangan memang merupakan inti dari Bidang Peternakan itu sendiri.  Tugas pokok dan fungsinya relatif berat karena menyangkut berbagai perkembangan peternakan di Kabupaten Indramayu dari dulu, sekarang dan bagaimana merancang kemajuannya di masa yang akan datang.  Oleh karena itu tidak mengherankan apabila jabatan ini paling diicar para karyawan Bidang Peternakan.
Jabatan di Seksi Pengembangan adalah kedudukan kedua yang diduduki Penulis, sebelumnya menduduki Kasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.  Oleh karena itu, berbekal sedikit pengalaman sebelumnya maka berbagai langkah dilakukan untuk mengubah pola lama menunju sedapat mungkin peraturan yang berlaku.
Seperti dikemukakan di muka bahwa pekerjaan Seksi Pengembangan sebelumnya praktis diambil-alih oleh seksi lain yang menjadi anak kandung Kepala Bidang.  Kepala Seksi Pengembangan dianggap wayang mati yang kehadirannya hanya sebaga pelengkap penderita.  Tidak mengherankan kalau di awal tahun 2009 hampir tidak ada lagi peluang bagi Penulis untuk mengerjakan apapun, terutama keproyekan sama sekali tidak kebagian.
Menyadari hal ini tidak boleh terus berlangsung maka satu-satunya senjata adalah peraturan yang berlaku.  Saat itu baru ada Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 8 Tahun 2008 tentang Dinas Daerah Kabupaten Indramayu.  Oleh karena itu belum terinci tugas pokok dan fungsi dari masing-masing seksi.
Berdasarkan berbagai pedoman yang sudah ada sebelumnya, yaitu Keputusan Bupati Indramayu Nomor 10 Tahun 2003 tentang Uraian Tugas Jabatan Struktural dan Non-Struktural pada Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu, maka Penulis berinisiatif menghadap Kepala Bidang dan membicarakan tugas pokok dan fungsi.  Dari situlah muncul berbagai pendapat dan kecurigaan yang berlebihan dari mereka yang hadir, seakan cukup ada satu seksi di Bidang Peternakan.  Kecurigaan mereka memang tidak salah, sebab seperti dikemukakan di muka bahwa inti dari bidang ini adalah Sekesi Pengembangan.
Seksi lain yang selama ini mengerjakan pekerjaan Seksi Pengembangan merasa terdesak dan harus menyerahkan kegiatan yang selama ini potensial untuk mengisi kantong keluarganya terancam.  Dapat dipahami bahwa kegiatan seperti penyebaran ternak yang selama puluhan tahun ditangani harus diserahkan kepada orang baru. 
Sebenarnya latar belakang Penulis sangat ngotot untuk mengembalikan segalanya pada pedoman yang berlaku adalah banyaknya ternak pemerintah yang disebarkan selama ini tidak dapat berkembang.  Bagaimana berkembang, ternaknya saja sudah tidak ada di tangan masyarakat.  Kelompok petani-ternak dan ternak pemerintah yang dipeliharanya hanya ada pada data.  Kenyataan di lapangan, bukan hanya ternaknya tidak ada, kelompok ternaknya pun sudah bubar atau sama sekali tidak pernah dibentuk.
Berbagai informasi yang didapat dari masyarakat dan berbagai pihak yang mencoba menelusuri ternak-ternak yang lenyap ini diperoleh data yang sangat mengejutkan.  Ribuan ternak pemerintah di Kabupaten Indramayu lenyap tertelan bergagai kebijaksanaan, bahkan ratusan diantaranya menjadi milik pribadi para karyawannya.  Bagi sebagian orang tenntu pendapat ini tidak amsuk akal, tetapi bagi karyawan yang menggeluti Bidang Peternakan hal ini sudah bukan rahasia lagi.
Salah satu pejabat di Bidang Peternakan sudah sangat senior, sejak berrtugas pertama kali seperempat abad yang lalu tidak pernah mutasi kemanapun.  Apapun momenklatur instansi yang membidangi peternakan ini tidak pernah menggesernya ke posisi lain.  Sebagian besar karyawan segan akan keseniorannya sehinga hanya tunduk dan patuh terhadap apa yang dilakukannya, termasuk seorang Kepala Bidang.
Setelah dicoba untuk mempelajari dan menggabungkan berbagai informasi baik dari petugas lapangan maupun langsung dari para peternak yang frustasi dan yang memuji maka benang merah disulapnya ternak pemerintah menjadi milik pribadi sangatlah jelas.  Bahkan berbagai sihir yang dapat melenyapkan ribuan ternak pemerintah yang besar seperti sapi dan kerbaupun, triknya sangat mudah dipahami. 
Praktek pembentukan kelompok fiktif ataupun nama-nama anggota yang tidak pernah ada orangnya adalah praktek yang sudah menahun selapa puluhan tahun.  Berbagai ternak bantuan pemerintah yang diberikan kepada kelompok pada dasranya untuk para pemberi itu sendiri.  Ada yang secara terang-terangan langsung meminta bagian, bisa dengan cara titip dahulu kepada anggota yang ada atau cara lainnya.  Salah satu praktek yang paling sering terjadi adalah menarik kembali ternak yang sudah dibagikan beberapa bulan sebelumnya.  Alasan klasik adalah sudah waktunya digulirkan, sekalipun menurut perjanjian awal belum waktunya.
Perlu dipahami bersama bahwa tentang perjanjian, maka peternak tidak pernah memahaminya.  Bukan karena pendidikan mereka yang rendah semata tetapi karena perjanjian tidak pernah dengan gamblang dibacakan.  Bahkan praktek yang selama ini berlangsung adalah peternak tidak pernah mengetahui isi perjanjian, tingal tandatangan.  Modal dasarnya adalah saling kepercayaan karena tugas pemerintah adalah memberdayakan rakyatnya, sekalipun di baling itu ada upaya individu untuk memperdayakan masyarakat.
Praktek yang dilakukan senior tentu sangat menarik bagi yunior karena memang dapat menghasilkan uang dalam waktu singkat dan sementara ini aman-aman saja.  Itulah sebabnya beberapa karyawan baru pun melakukan praktek yang sama, atau lebih cerdas lagi dengan berani menjual nama seniornya sebagai agunan menjualkan ternak dari anggota kelompok.  Kalau sudah demikian maka clash pun terjadi, dan dari pertikaian seperti ini informasi penyelewengan ternak pemerintah menguak dengan jelas dan terbuka.
Tidak mengherankan kalau sekalipun sudah jutaan itik dan ayam diberikan, ratusan ribu domba dan kambing dibagikan serta puluhan ribu sapi dan kerbau dicoba untuk dikembangkan pemerintah dalam memberdayakan masyarakat Kabupaten Indramayu, hasilnya tidak pernah dirasakan masyarakat.  Ternak bukannya berkembang tetapi malah menghilang.
Lebih menyedihkan lagi, praktek ini telah menjadikan masyarakat yang seharusnya diberdayakan sebagai korban.  Ternak bantuan pemerintah yang diterimanya menjadi beban, karena ketika menerima mereka memberikan jaminan sementara akibat ternak ditarik sebelum waktunya maka harga jualnya jauh dibawah yang dikehendaki.  Kerugian semakin besar diakibatkan ternak yang diterima jauh dari standar yang tertulis di perjanjian sehingga menyebabkan berbagai resiko lainnya.
Carut-marutnya pekerjaan bidang peternakan yang digambarkan di atas adalah tugas pokok dari Seksi Pengembangan.  Oleh karena itu Penulis merasa perlu untuk mengajak semua personil peternakan untuk kembali kepada khithah, peraturan yang berlaku.
Jelas-jelas upaya ini mendapat tantangan dari semua pihak yang selama ini menikmati pesta ternak gratis.  Namun ketika ditanyakan tentang tanggungjawab masing-masing maka tidak ada satupun yang menyatakan siap bertanggungjawab, bahkan mengakui adanya praktek yang sangat merugikan masyarakat dan negara sekalipun.
Tidak lama setelah perdebatan yang berlangsung sengit itu, muncul sebuah draft Surat Keputusan Bupati tentang  Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.  Isi draft tersebut menguatkan posisi Seksi Pengembangan sebagai tulang punggung Bidang Peternakan.  Semua kegiatan yang selama ini dikerjakan seksi lain pun jelas-jelas harus dikembalikan dengan data dan fakta yang lengkap, termasuk arsip-arsip kegiatan tahun sebelumnya.
Lagi-lagi secara teori, Keputusan Bupati tentu sangat tinggi kedudukannya di tingkat kabupaten sehingga merupakan pedoman yang harus dipatuhi pelaksanannya.  Di balik itu, sebagai sumber hukum yang mengikat tentu isinya sudah dikaji sedemikian rupa sehingga bukan hanya tidak menyimpang dari aturan yang berlaku di atasnya. 
Dalam prakteknya, Keputusan Bupati Indramayu Nomor  10 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu sungguh tidak dapat dimengerti.  Produk hukum ini mengatur tentang tugas pokok dan fungsi Seksi Pengembangan yang sama sekali jauh dari draft yang disusun sebelumnya.  Berbagai tugas pokok dan fungsi hilang dan mengkamuflasekan diri dari tugas pokok menjadi sekedar fasilitasi.
Tentu hal ini mengundang tandatanya besar, apabali ternyata berbagai tugas pokok dan fungsi Seksi Pengembanagan yang berpindah kursi adalah sangat vitas dan merupakan nyawa dari seksi itu sendiri.  Momenklatur seksi pun berubah total sehingga memudahkan transfer tugas pokok dann fungsi tersebut.
Praktek penggundulan produk hukum ini jelas-jelas mengarah kepada senior yang menghendaki segala kegiatan yang sudah dilakukannya selama puluhan tahun tidak pindah ke seksi lain.  Namun demikian, ketika klarifikasi dilakukan ternyata tidak ada satupun pihak yang mengajui telah mengubah draft sebelumnya menjadi sangat melenceng.  Keputusan Bupati ternyata bisa dengan mudah dijadikan dasar untuk mencapai tujuan pribadi.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan ini maka Seksi Pengembangan hanya menjalankan beberapa tugas yang sifatnya fasilitasi atas tugasnya sendiri.  Namun, apapun resikonya, Keputusan Bupati harus menjadi pedoman yang dijunjung tinggi.  Oleh karena itu Penulis patuh dan berjanji akan mematuhinya sekalipun bertentangan dengan hati nurani.
Belajar dari beberapa teori perubahan yang telah dibahas sebelumnya maka penggagas perubahan pun harus menyadari tentang kedudukannya, terutama dalam birokrasi.  Jika tidak, maka hanya akan menjadi tenggelam dalam sumur frustasi yang makin dalam.  Keberanian mengantar perubahan yang dilakukan ternyata harus berujung di aturan yang berlaku, yang dikeluarkan oleh pucuk pimpinan tertinggi.
Namun perubahan harus terus dilakukan, dengan tugas pokok dan fungsi yang sangat terbatas sekalipun sesungguhnya bukanlah kendala yang serius.  Banyak peluang perubahan yang masih harus dilakukan.
Salah satunya adalah rasa kebersamaan yang telah sedemikian jauh dari perasaan sesama karyawan peternakan.  Lebih dari sewindu iklim kerja di institusi peternakan seakan tanpa kebersamaan.  Ada yang asyik dengan berbagai ternak koleksinya yang semakin banyak dan beraneka ragam.  Sebagian yang lain hanya bisa mengurut dada karena tidak pernah kebagian, bahkan tahu ada ternak bantuan sekalipun.  Lebih banyak lagi yang menjadi saksi berbagai transaksi jual-beli ternak pemerintah oleh karyawan peternakan.
Pihak-pihak tertentu, yang termasuk anak kandung, mendapat penghasilan berlebih sementara anak tiri hanya gigit jari.  Bukan hanya rezeki dari penjualan ternak menera tidak mendapatkannya, bahka berbagai kuitansi yang mencantumkan nilai uang pun tidak pernah diterimanya.  Karyawan menjadi bahan perasan untuk mendapat uang instan.
Salus populi suprema lex.  Kesejahteraan untuk bersama.  Itulah semboyan yang sampai sekarang Penulis terapkan.  Didalam kesedikitan kegiatan yang dilakukan tentu beriring rezeki yang juga tidak terlalu banyak.  Namun patut dan harus selalu disyukuri.  Itulah salah satu modal awal kebersamaan Seksi Pngembangan saat ini, penuh keterbatasan.
Ketika sumber penghasilan relatif terbatas jadi penghambat maka tahap awal yang dilakukan adalah mengubah pola pikir bahwa keterbatasan sumber dana yang berasal dari kegiatan sesungguhnya adalah potensi yang menantang untuk mencari sumber penghasilan bersama lainnya.  Oleh karena itu, dibuat kesepakatan tentang penyisihan biaya perjalanan dinas yang diperoleh setiap kali berkesempatan dinas luar. 
Sedikit demi sedikit dana terkumpul dan dapat digunakan untuk pinjaman sementara apabila ada yang membutuhkan secara mendadak.  Kepentingan lain-lain seperti menengok rekan yang sakit, sumbangan duka sampai makan bersama dilakukan dengan dana yang terkumpul.  Dari sini dipetik pelajarah bahwa ktika dalam keterbatasan maka diperlukan kreativitas mengubah keterbatasan menjadi potensi besar.
Selain keterbatasan sumber dana, Seksi Pengembangan juga dilengkapi dengan pelaksana yang relatif berumur lima puluhan tahun, bahkan salah satunya sudah Masa Persiapan Pensiun.  Keterbatasan yang satu ini bukanlah sesuatu yang harus dijadikan beban.  Memang, makin berumurnya pelaksana akan menghambat gerak langkahnya melaksanakan tugas.  Tetapi berpikir positif tentu lebih bermanfaat, sesungguhnya kesenioran mereka penuh dengan pengalaman yang sangat bermanfaat menjalankan tugasnya.
Oleh karena itu, pemberdayaan tidak dilihat dari umur.  Semua mendapat kesempatan yang sama apabila ada kesempatan.  Melatih diri meningkatkan kemampuan tetap diperlukan dan merupakan kesempatan yang harus dimanfaatkan.  Dengan cara pandang positif maka para senior pun bisa bekerja dengan baik.  Sementara yang masih muda penuh penghargaan kepada mereka.
Pada mulanya kegiatan yang satu ini hanya untuk mengatahui penyebaran ternak-ternak bantuan pemerintah yang selama ini dialokasikan ke seluruh Kabupaten Indramayu.  Tujuan awalnya adalah untuk mendapatkan data dasar, sebab selama ini pembangunan peternakan yang dilakukan sama sekali tidak berdasarkan data yang riil.  Tetapi di tengah perjalanan, banyak sekali kejanggalan yang mengindikasikan banyaknya penyimpangan dalam penyebaran ternak pemerintah selama ini.
Banyak kelompok tani yang menurut data yang ada masih memelihara ternak pemerintah ternyata sudah tidak ada.  Bahkan beberapa kelompok memang tidak dikenal keberadaannya oleh pamong desa.  Tidak sedikit kelompok ternak yang bukan hanya kehilangan sapi yang dipeliharanya tetapi juga sertifikat tanah dan bangunannya dibawa pihak dinas sebagai jaminan, karena sampai sekarang masih tertunggak hutang akibat kerugian memelohara ternak pemerintah tersebut.
Anggota kelompok tani yang terdaftar dalam catatan dan surat perjanjian banyak yang sama sekali tidak tahun dengan adanya perjanjian antara pemerintah dan yang bersangkutan.  Mereka menandatangan tanpa penjelasan atau hanya sekedar blanko kosong.  Jarang yang masih memelihara ternak pemerintah, tidak sedikit yang justeru merasa dirugikan oleh bantuan yang tujuan manisnya memeberdayakan perekonomian masyarakat.
Dari ekses penggalian data yang tidak disengaja diperoleh berbagai informasi tentang kepemilikian ternak pemerintah saat ini.  Terjawab sudah berbagai teka-teki mengapa kegiatan yang satu ini sedapat-mungkin dengan berbagai cara hanya ditangani oleh satu orang saja, seorang senior dari semua senior.  Rupanya, upaya perubahan menuju peraturan yang berlaku yang pernah Penulis pun kandas karena kepentingan pribadi beberapa orang diantara insan peternakan merasa terusik terlalu jauh.
Dalam mencari data yang benar juga pada akhirnya Penulis dan tim menemukan beberapa kejanggalan penggunaan dana dari Departemen Pertanian yang dilakukan para Kiyai di pesantren.  Sejak tahun 2006 sampai 2008 sudah 8 (delapan) pesantren di Kabupaten Indramayu mendapat kucuran dana pusat secara langsung untuk kegiatan agribisnis peternakan.  Jumlah yang diperoleh tidak sedikit, antara 50 juta sampai 250 juta rupiah per-pesantrennya.  Total dana yang diterima sudah mendekati Rp. 1 miyar.
Kegiatan peternakan yang berlangsung tinggal di 3 pesantren dengan populasi sapi seluruhnya hanya 23 ekor saja.  Kalau rata-rata harga sapi bibit Rp. 7 juta maka nilai total aset peternakan itu hanya Rp. 161 juta atau 16 % dari dana yang diterima.  Keadaan ini sungguh memprihatinkan mengingat mereka yang mengajukan dana adalah para tokoh agama atau Kiyai yang menjadi panutan masyarakat.
Alasan para Kiyai kadang-kadang masuk akal, bagi mereka bantuan adalah bantuan.  Oleh karena itu dana hibah ini dapat digunakan untuk apa saja sekalipun pada awalnya diajukan untuk budidaya peternakan.  Tidak ada juga kewajiban untuk mempertanggungjawabkan, apalagi mengembalikan dana ini.  Memang dana tersebut tidak perlu dikembalikan tetapi harus berdayaguna ekonomis melalui budidaya peternakan sebagaimana proposal yang mereka usulkan.
Kasus lain adalah banyaknya makelar proposal dari Departemen Pertanian sendiri yang datang ke berbagai pesantren untuk mengajukan dana bantuan.  Mereka membuatkan proposal sekaligus mengusahakan agar permintaan dananya direalisasikan.  Kompensasi yang ditergetkan tidak sedikit, 30 % dari dana yang direalisasikan.
Ada juga yang sangat memprihatinkan, seorang Kiyai tidak mau mempertanggungjawabkan dana yang diterimanya sejumlah seperempat milyar rupiah.  Alasannya sungguh masuk akal, takut dosa.  Kiyai tersebut memang benar, tidak mau berbohong.  Tetapi kalau tidak bohong maka salah, kalau bohong takut kepada Yang Maha Tahu.
Kiyai yang satu ini menjelaskan bahwa awalnya kedatangan seorang profesor dari pusat, menawarkan untuk meminta dana dari Departemen Pertanian.  Kebetulan pesanrennya sedang dibangun, maka dibuatlah porposal permohonan dana untuk membangun beberapa lokal tempat beljar dan asrama santri.  Tidak lama kemudian, sang profesor pun datang lagi dengan membawa proposal yang diperbaharui, bukan untuk pembangunan pesantren tetapi untuk budidaya sapi potong penggemukan.  Karena merasa perlu bantuan dana, Kiyai pun setuju saja.  Apalagi diyakinkan oleh beliau bahwa dananya dapat digunakan untuk kegiatan apa saja.
Dana pun masuk ke rekening pesantren, langsung dan lengkap Rp. 250 juta.  Pada saat pencairan, utusan profesor menyertai Kiyai dan meminta separuh dari dana itu untuk jasa pengajuan proposal sampai akhirnya goal mencapai tujuan.  Kontan Kiyai tersontak karena sadar sekalipun dana yang diterima hanya Rp. 125 juta tetapi harus mempertanggungjawabkan dana secara keseluruhan, Rp. 250 juta.
Dari gambaran di atas ternyata bahwa carut-marut pembangunan peternakan di Kabupaten Indramayu bukan hanya disebabkan tingkah polah sebagian pegawai institusi yang membidangi peternakan di kabupaten tetapi juga menjadi santapan empuk makelar proposal dari pusat.
 Sekalipun kegagalan sudah sangat nyata namun tidak menyurutkan para Kiyai lain untuk meminta dana dengan jumlah yang makin membengkak.  Mereka pun umumnya menggunakan jasa makelar proposal dengan perjanjian jasa mencapai 30 %.  Tentu saja hal ini menjadi fenomena keprihatinan baru, dimana seorang tokoh agama rela menjual nama pesantrennya untuk mendapatkan dana yang tidak pernah mau mereka pertanggungjawabkan.
Melakukan perubahan memang tidak harus langsung dalam kapasitas yang besar sebab akan bisa menghancurkan rencana perubahan itu sendiri.  Oleh karena iu, Penulis memulai dari perubahan diri sendiri dahulu.  Kemudian melangkah ke perubahan dalam tingkat seksi yang meudah-mudahan akan mewarnai adanya perubahan di tingkat yang lebih tinggi.
Menggagas perubahan di Dinas Pertanian dan Peternakan tidak tanpa resiko, kebencian yang ditanamkan rekan kerja sampai pimpinan ataupun tindakan premanisme pun merupakan resiko yang harus ditanggung.  Di institusi birokrasi yang memberlakukan manajemen Kwalonan soal pemojokan individu yang menggagas perubahan adalah soal biasa.  Apalagi kalau bertentangan dengan anak kandung pimpinan.  Sebab bagi mereka, tidak ada perkataan anak tiri yang benar dan anak kandung tidak pernah berlaku salah.
Tindakan premanisme pernah Penulis alami ketika harus menjadi pemimin kegiatan yang tidak mau mencairkan dana karena kontrak kerja sama pun belum ada.  Lima orang preman datang dengan berbagai ancaman, tetapi tetap tidak digubris.  Selanjutnya dalang segerombolan orang-orang bertubuh besar dan sangar dalam jumlah lebih banyak.  Apa boleh buat, tanpa kontrak yang jelas Penulis tetap tidak mau menandatangan.
Namun pada akhirnya dana sejumlah Rp. 360 juta pun mengalir ke rekening mereka sekalipun tanpa tandatangan Penulis.  Resiko dari kepatuhan kepada aturan ini adalah semakin dijauhkan oleh pimpinan.
Perubahan memang selalu mengandung resiko atau bahkan korban.  Pada kasus di atas resiko sepenuhnya ditanggung Penulis.  Beruntung tidak jadi korban akibat babak belur dihajar preman.  Tetapi, ada korban lain.  Tidak sedikit, 3 orang, masing-masing dikenai penurunan pangkat satu tingkat sampai pencopotan dari jabatan yang diemban.
Resiko dari menggagas perubahan selalu ada, apalagi saat ini di lingkungan birokrasi Kabupaten Indramayu tidak pernah jauh dari upaya premanisme.  Satu-satunya kekuatan yang membuat Penulis tetap ingin melakukan perubahan adalah karena memang saat ini kita semua harus berubah, kalau masih tetap pada prinsip lama maka akan tergilas oleh perubahan yang makin cepat berlangsung ini.



3.5.            Tidak Mau Berubah, Mati Saja !
Terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhi, baik internal maupun eksternal, organisasi yang menangani peternakan dan kesehatan hewan di Kabupaten Indramayu harus merubah diri.  Sangat sulit mengubah harus wujud organisasinya tanpa dimulai dari perubahan internal terlebih dahulu.  Perubahan perilaku pengusung organisasi itu sendiri.
Lamban atau bahkan gagalnya suatu perubahan lebih sering disebabkan oleh kurangnya rasa terdesak untuk melakukan perubahan itu sendiri.  Rasa puas diri dan kesombongan luar biasa, yang berakardari pengalaman sukses pribadi dan organisasi di masa lalu, orang cenderung mempertahankan status quo dan mengabaikan peluang besar ataupun ancaman menakutkan di depan mata.  Semua melakukan tugas dan tanggungjawabnya seperti biasa, seperti tidak ada masalah.
Langkah awal untuk membangun kemendasakan untuk berubah yang sejati adalah dengan memahami secara mendalam lawannya, yaitu rasa puas diri dan rasa terdesak yang palsu.  Empat langkah untuk terciptanya rasa kemendasakan adalah :
a.             Menghadirkan kenyataan yang ada di luar masuk ke organisasi
b.            Setiap hari bertindak secara mendesak
c.             Mencari peluang-peluang menjadikan krisis sebagai pendukung untuk menghancurkan rasa puas diri
d.            Menghilangkan atau menetralkan pembunuh kemendesakan.
Dalam menggagas perubahan akan selalu dijumpai berbagai sikap, ada yang mendukung, banyak yang menolak ada yang hanya diam.  Penggagas perubahan pun akan selalu menjumpai individu yang selalu menolak, apapun alasannya, dari jelas sampai yang sama sekali tidak kentara. 
John P. Kotter menciptakan sebuah tokoh yang selalu berkata tidak terhadap perubahan, seekor pinguin itu diberi nama NoNo, karena selalu berkata, “No! No!” terhadap gagasan apapun.
Dalam setiap organisasi, orang-orang tipe NoNo ini merupakan sosok skeptis yang siap dengan 10 alasan bahwa situasi dan kondisi saat ini baik-baik saja, karena itu tidak perlu berubah.  Tidak ada gunanya melakukan kooptasi pada tokoh NoNo ini, mengisolasi atau mengacuhkannya. 
Setelah sosok NoNo ini teridentifikasi, tiga cara yang cukup efektif untuk mengatasinya adalah :
a.             Mencegah jangan sampai mereka membuat kekacauan dengan cara mengalihkan perhatian mereka
b.            Mengirim mereka sejauh mungkin dari organisasi
c.             Membatasi perilaku kontraproduktif mereka sedemikian rupa sehingga publik yang akan bekerja menekan  pengaruh mereka
Dunia dan umat manusia saat ini mengahadapi berbagai tantangan yang luar biasa.  Dari masalah kemiskinan, perubahan iklim, lingkungan yang rusak ataupun wabah penyakit.  Kalau hanya mengandalkan cara-cara biasa dan linier, persoalan tadi akan sulit diselesaikan.  Sementara itu, sistem yang ada sekarang banyak yang disfungsional. 
Dunia membutuhkan orang-orang ‘edan” untuk menjadi agen perubahan yang menggunakan cara baru dan mempercepat perubahan sosial.  Sementara bagi mereka yang tidak mau menyesuaikan dengan perubahan, sebaiknya siap-siap tergilas oleh arus perubahan yang makin kencang.
Dalam menghadapi sulitnya Bidang Peternakan kembali eksis maka terdapat dua pilihan mengahadapinya, menjadi agen perubahan yang bisa disebut orang “edan” atau mati hanyut ke laut ...!


BAB IV
P E N U T U P

Pejabat tertinggi yang menangani peternakan dan kesehatan hewan di Kabupaten Indramayu saat ini hanya setingkat pejabat Eselon III/b, seorang Kepala Bidang yang berada dalam garis komando Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.  Jika melihat sisi lama yang penuh kemajuan maka kondisi saat ini merupakan suatu keterpurukan. 
Kejatuhan yang dialami sampai dua tiga kali perubahan struktur organisasi ini ternyata tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi beberapa faktor :
  1. Perilaku individu pemimpin yang sering mengambil keputusan untuk kepentingan sendiri dan kepentingan sesaat.  Tidak jarang sekedar untuk mencari selamat sehingga tidak ada komitmen untuk membangun dan mensejahterakan bawahan dengan sebenarnya.
  2. Perilaku kelompok pegawai peternakan yang mengikuti jejak pimpinan yang sepintas sangat peduli terhadap perubahan nasib mereka.  Kepedulian semu ini akhirnya menelan lebih banyak korban, seluruh pegawai.
  3. Perilaku kelompok dokter hewan dan Sarjana Peternakan di pusat yang tidak tidak saling mendukung.  Cenderung berebut jabatan dan saling menjatuhkan.
  4. Perilaku masyarakat yang semakin menghendaki adanya keterbukaan dan ketransparanan.  Berani mengemukakan pendapat pribadi atau bahkan menolak apabila tidak sesuai dengan kehendaknya.
  5. Dukungan dari pemerintahan daerah termasuk di dalamnya DPRD yang sangat ditentukan oleh berbagai upaya dan lobi yang dilakukan pimpinan.
  6. Dukungan perundang-undangan yang berlaku saat ini sama sekali tidak memberi peluang untuk terwujudnya hak institusi peternakan dan kesehatan hewan berdiri sendiri tetapi hanya memberi beban kewajiban yang makin berat.
Bidang Peternakan yang sudah terpuruk diperparah dengan berlakunya Manajemen Kwalonan yang membedakan satu orang dengan yang lain berdasarkan suka dan tidak suka.  Oleh karena itu salah satu upaya untuk bisa bertahan dalam organisasi yang sangat memprihatinkan ini adalah :
a.                           Berusaha menerima beban tugas yang diberikan sebagai kepercayaan yang patut disyukuri dengan ikhlash.
b.                          Memberdayakan diri dan kelompok dengan memanfaatkan segala potensi lingkungan yang ada tanpa mengharapkan ketergantungan kepada puhak lain.
Faktor terpenting yang dilakukan dalam menghadapi situasi yang sudah banyak berubah adalah melakukan perubahan.  Kalau tidak akan digilas oleh perubahan itu sendiri.  Perubahan akan lebih mudah dimulai dari diri sendiri, baru kemudian perilaku kelompok dan selanjutnya merambah kepada perubahan perilaku organisasi.
Tidak ada pilihan lain, berubah atau mati !

4.1.    Saran
Pelaku dalam institusi peternakan dan kesehatan hewan harus mengubah diri terlebih dahulu sebelum mengubah bentuk dan struktur organisasi.  Tindakan kerja yang nyata dan bertanggungjawab merupakan modal utama yang harus diraih kembali.  Dukungan dari masyarakat penerima pelayanan juga merupakan unsur yang penting.  Semua itu dapat terwujud dengan kepemimpinan yang berkomitmen untuk pembangunan peternakan dan kesejahteraan bersama.
 Tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan, karena satu-satunya yang tidak pernah berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri.  Oleh karena itu berubahlah sebelum digilas sampai mati oleh perubahan !



DAFTAR PUSTAKA

Anonim.  2007.  Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741).

Anonim.  2008.  Peraturan Bupati Indramayu Nomor 39 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.

Anonim.  2003.  Keputusan Bupati Indramayu Nomor 10 Tahun 2003 tentang Uraian Tugas Jabatan Strutural dan Non-Struktural pada Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.

Beer, M dan Spector, B. A.  1988.  Memimpin Aset Manusia, Sudah Waktunya Ada Pemikiran Baru dalam Memimpin Manusia (Editor : Timpe, A. D).  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Cohen, W. A.  2008.  A Class with Drucker (Pelajaran Berharga dari Guru Manajemen #1 Dunia, alih bahasa :  Bazry S).  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Djatmiko, Y. H. 2004.  Perilaku Organisasi.  Alfabeta.  Yogyakarta.

Drucker, P. F. Dan Maciariello, J. A.  2008.  The Daily Drucker.  (Terjemahan : Srihandrini, N. R.).  Elex Media Komputindo.  Jakarta.

Elkington, J and Hartigan, P.  2008.  The Power of Unreasonable People. (Peresensi : Amir, M. T.).  Harvard Business School Press.  Majalah SWA Edisi 03/XXIV/5-18 Februari 2009.
Kasali, R.  2007.  Re-Code Your Change DNA, Membebaskan Belenggu-Belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam Pembaharuan.  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Mangkunegara, A.P.  2007.  Evaluasi Kinerja SDM.  Refika Aditama.  Bandung.

Siagian, S. P.  2002.  Kia Meningkatkan Produktivitas Kerja.  Rineka Cipta.  Jakarta.

Tika, M. P.  2008.  Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan.  Bina Aksara.  Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar