“Allah
mengutuk si pemberi dan si penerima suap.”
(HR: Ahmad dan
Tarmuzi)
“Si pemberi dan si penerima suap sama-sama di dalam neraka.”
(HR: Abu Daud)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tindakan
korupsi merupakan salah satu penyakit yang selama ini menggerogoti Bangsa
Indonesia. Bukan berarti di negara lain
tidak terjadi, tetapi kondisinya tidak separah negeri yang kita cintai
ini. Bahkan hasil penelitian terakhir
menunjukkan bahwa bangsa yang dilahirkan atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa ini
merupakan negara terkorup se-jagat raya.
Berbagai
kasus korupsi yang saat ini marak terkorek menunjukkan bahwa tindakan penyelewengan
kepercayaan sudah bukan lagi monopoli tingkatan pelaksana di lapangan tetapi merambah
ke semua tatanan negeri. Tidak terkecuali
aparat penegak hukum itu sendiri, atau bahkan anggota Dewan yang Terhormat.
Tragedi
penangkapan seorang anggota DPR Hamka Yandhu akhir-akhir ini menyembulkan
sebuah permasalahan yang sudah menjadi rutinitas di Senayan, yaitu mafia harta, tahta dan wanita. 52 anggota Komisi IX DPR 1999-2004 disebut
oleh Hamka Yandhu sebagai penerima dana dari Bank Indonesia.
Tentu
saja sebagian masyarakat terkejut dengan kejadian yang sangat memalukan
tersebut. Di sisi lain, banyak
masyarakat yang sudah lama menantikan leburnya Gunung Es Korupsi di Senayan
tersebut.
1.2. Masalah
Tindakan
busuk di balik kepercayaan masyarakat yang memposisikan DPR sebagai lembaga
terhormat sebenarnya bukan rahasia lagi.
Sudah berlangsung lama dan banyak yang sudah menyembul ke permukaan. Tetapi satu hal yang selalu saja terjadi
adalah, berbagai kejadian itu segera membeku.
Tumpukan
perkara inilah yang akhirnya menjadi Gunung Es Senayan. Sebagaimana es yang akan meleleh oleh panas,
maka kumpulan kasus membeku ini pun harus mencair termakan zaman. Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah
dilahirkannya mulai berani mengoreksi. Nama
baik penghuni lembaga terhormat dipertaruhkan.
Akankah
pengendali ini akan terus menjalankan tugasnya tanpa dikendalikan para
pengendali yang lebih suka mengadali?
.
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan Karya Tulis ini adalah untuk mendapatkan gambaran bahwa perilaku tak
terpuji di Senayan sudah lama terjadi dari waktu ke waktu dan mencoba mencari
cara jitu mengatasinya.
Oleh
karena itu Penulis sengaja menuliskan kembali beberapa tulisan lama tentang
korupsi. Salah satu diantaranya sudah
berumur 2 (dua) dekade namun masih relevan dengan keadaan sekarang.
Beberapa
tulisan Penulis tersebut adalah :
- Korupsi dan Si Korup (Majalah Islam Kiblat, 1987)
- KKN (Tabloid Kaba Luhak Nan Tuo, 1998)
- Harta (Padang Pos, 1998)
- Kita Semua Koruptor (2002, tidak diterbitkan)
Karya
lama itu sengaja disalin sebagaimana aslinya, untuk menunjukkan bahwa bahwa
kejadian di Senayan sudah lama sangat memprihatinkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Tindakan
korupsi merupakan salah satu penyakit yang selama ini menggerogoti Bangsa
Indonesia. Bukan berarti di negara lain
tidak terjadi tetapi tidak separah negeri yang kita cintai ini. Bahkan hasil penelitian terakhir menunjukkan
bahwa bangsa yang dilahirkan atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa ini merupakan
negara terkorup se-jagat raya.
Hasil
survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang menyimpulkan bahwa DPR
sebagai lembaga terkorup. Sekalipun hal
ini ditolak mentah-mentah oleh Ketua DPR, Agung Laksono, namun beginilah
keadaan yang sebenarnya. Para anggota
Dewan yang Terhormat banyak yang khianat.
Kalau
keduanya dihubungkan maka, manusia pilihan yang bermarkas di Senayan itu
ternyata merupakan kumpulan orang-orang terkorup se-dunia! Tentu hal ini tidak akan terjadi dalam waktu
singkat tetapi sudah sangat lama melembaga.
Banyak
tindakan kejahatan yang sangat besar nilai rupiahnya yang tidak terlihat oleh
hukum, apalagi korupsi kecil-kecilan yang berserak dalam ceceran ribuan pulau. Korupsi di Gedung Dewan adalah warisan turun
temurun yang tidak pernah diupayakan menuju perbaikan tetapi hanya ditelan
mentah-mentah dan diteruskan bahkan dimutakhirkan.
Hal
ini mengingatkan Penulis untuk mencoba kembali ke masa lalu, memetik kembali
beberapa tulisan masa lalu dan menghubungkannya dengan kasus korupsi yang saat
ini menjadi bahan perbincangan yang tidak pernah habis.
Kasus
dan kelaliman yang dijalankan para anggota Dewan yang Terhormat selalu saja
membeku di tengah jalan, tidak pernah ada penyelesaian. Tumpukan perkara membeku inilah yang akhirnya
menjadi bukit es perkara dan saat ini sudah menjadi Gunung Es!
Ketika
DPR terpaksa melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi mungkin yang tergambar di
benak mereka adalah negara bersih dan berwibawa dijalankan. Tetapi
tidak menyangka lembaga bau kencur itu akan mengobok-obok lembaga maha kuat
itu.
2.1. Korupsi dan Si Korup (Artikel dimuat di
Majalah Islam KIBLAT, 1987)
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi berarti perbuatan buruk (seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dll).
Sedangkan “korup” berarti busuk, buruk, suka menerima uang sogok
(menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri), dsb.
Jadi
jelas, korupsi (dalam arti sempit) hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang
mempunyai kedudukan (kekuasaan), “para atasan”.
Oknum “para atasan” yang tidak kuat iman dalam mengemban amanat yang
dipercayakan kepadanya.
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kau
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(Q S : 8 : 27)
Karena
itu, keharusan bagi “para atasan” untuk tahu betapa berat amanat yang
dibebankan kepadanya. Bukan hanya amanat
dari Allah sebagaimana layaknya manusia lain, tetapi juga amanat dari sesama
manusia.
Alhasil,
peyimpangan dalam menjalankan tugas berat ini (korupsi) tidak hanya akan
dihukum Allah, tetapi juga oleh orang-orang yang memberi amanat kepadanya.
Memang
tidak semua penyimpangan itu terungkap, dan ditutupi oleh keterbatasan
manusia. Akan tetapi hendaknya kita
sadar bahwa Allah mengetahui segala yang kita lakukan.
Mengingat
bahaya yang ditumbuhkan, maka pencegahan dan pemberantasan korupsi secara
tuntas harus dilaksanakan. Perlu ditumbuhkan
sikap bangga akan kehormatan diri, penghasilan yang disesuaikan dengan sikon,
dan pemisahan yang jelas antara hak pribadi dan hak orang lain (negara,
perusahaan). Begitu juga hukum yang
setimpal harus diterapkan dengan adil.
Berkibarnya
bendera perang terhadap korupsi sebenarnya telah ada sejak dulu, bahkan sebelum
tindakan korupsi itu ada. Yaitu, di
dalam hati mereka yang mencoba korupsi.
Fitrahnya sebagai manusia tentu menyalahkan tindakannya. Sementara “nafsu untuk selalu lebih”
mendorongnya ke arah sana.
Munculnya
UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan
bukti melemahnya pengawasan korupsi padasebagian “para atasan”. Namun pelaksanaanya masih kurang memuaskan.
Syukur, pada
26 September lalu bendera perang berkibar lagi, entah yang keberapa kali. Yang perlu dikhawatirkan justeru pengibaran
bendera perang itulah yang menjadi kebiasaan, membudaya.
2.2.KKN (Artikel dimuat di Tabloid Bulanan Kaba
Luhak Nan Tuo, Juni 1998)
Karuhun Kanegerian Ngastina
mungkin satu-satunya di alam ini yang dulunya tegak berdiri dengan sposor para
mahaiswa yang hampir mengakiri masa kuliahnya, dengan mengabdikan kepada
masyarakat atawa Kuliah Kerja Nyata. Selain jelas berbeda
dengan Negeri Astina yang ada dalam alam pewayangan juga sebenarnya Ngastina
hanyalah merupakan bagian dari Negeri Khayalan yang tidak pernah ada di alam
nyata.
Sebagai negeri
yang didirikan oleh para idealis dari pusat penggodogan intelek, tentu saja
Ngastina adalas suatu negeri republik yang menganut sistem demokrasi. Ada Kongres
Kenegerian Ngastina yang tidak kalah majemuknya daripada Kongres di Negeri
Paman Sam. Demikian juga Kabinet Kejayaan Ngastina
merupakan susunan dewan menteri di bawah
Kepala Kabinet Ngastina
setingkat Perdana Menteri di Buckingham.
Tetapi sebagai bagian dari Negeri Khayal tentu puncak tertinggi
kekuasaan dijalankan oleh seorang raja.
Adalah
merupakan Kisah Kasih Nyata kalau dalam
kekuasaan raja yang telah turun temurun juga terwariskan sedikit demi sedikit
imbas negatif yang juga ikut-ikutan turun-menurun plus senggol sana senggol
sini sehingga kedamaian demokrasi Ngastina yang dirintis para pelopor makin
lama makin jauh dari harapan,makin meleneceng dari tujuan negara seperti halnya
yang tertuang dalam undang-undang.
Perhatian yang
berlebihan terhadap golongan tertentu misalnya, yang jelas-jelas melanggar
aturan main yang telah digariskan bukan hanya menyebabkan kelompok yang lain
merasa tersingkir tetapi benar-benar dibuang jauh dari kekuasaan atau bahkan
terpuruk dalam kandang Si Tumbin. Keadaan yang demikian merupakan salah satu
warisan yang Kecil-Kecil Numpuk, makin lama Ngastina mengarungi kedemokrasiannya ternyata
makin ada kecenderungan ke arah sana.
Boleh saja
kalau Kantong-Kantong Nasi yang
dikambinghitamkan, boleh jadi dialah sebab utama yang akhirnya mendorong untuk
menghalalkan segala cara termasuk Kasak-Kusuk Nyogok. Hal inilah yang
akhirnya terwujud dalam bentuk personil yang Karena Korupsi Nyangkut, Kenal Kolusi Nempel dan tidak boleh dilupakan Kong Kalingkong Nepotis pun
ada di segala bidang kehidupan bangsa dan bernegeri.
Perjalanan
panjang yang dialami Ngastina dalam mengarungi peredaran galaksinya yang sudah
sedemikian mengakar atau bahkan boleh disebut mendarah-daging atau tidak bisa
lagi menolak kalau dikatakan sudah membudaya.
Tentu hal yang demikian sudah berlangsung dari waktu ke waktu menjadi
bahan kajian para intelek. Kaum Kerja Negeri tidak lepas
dari sorotan, karena mereka adalah salah satu penikmat bermacam upeti yang
disetor masyarakat kepada bangsa tercintanya.
Sementara para
pembayar sendiri sebenarnya kebanyakan termasuk para pelaku Kerja Karena Nelangsa alias
menderita. Sehingga tak mengherankan,
begitu gelombang kehidupan ekonomi negeri berguncang, menyulut terbakarnya Kumpulan Krisis Nyusup atau tersembunyi
termasuk Krisis Kepercayaan Negriwan
yang diangga bagian yang terlibat dalam menodai perjuangan para pendahulu.
Sorotan utama
tentu saja diarahkan kepada para wakil masyarakat yang duduk di Kursi Kerja Ngantuk, yang
mestinya mereka menyuarakan jeritan hati nurani rakyat degan kekhasan gayanya, Kritis-Kritis Ngomongnya. Bukan malah hanya Keluh Kesah Nangis seperti merasa ketakutan Kehilangan Kursi Nantinya, pada
periode pemilihan umum dua setengah tahun berikutnya. Sehingga tidak heran kalau mereka tidak
berbeda dengan Kumpulan Kepala Nunduk karena asyik merasakan Kantuk-Kantuk Nikmat dan kalau ada ketukan palu ketua sidang jadilah suara mereka
alunan Koor Kepala Ngangguk.
Padahal
anggota Kongres Kenegerian Ngastina
jelas-jelas dipilih melalui prosedur pemilihan yang sangat lama dan mahal serta
serta melibatkan segenap isi negeri Ngastina tetapi ternyata tidak lepas dari
intaian inyiak balang untuk Kedap-Kedip Numpang, sehingga muncullah orang-orang yang kadang tak tentu
rimbo-nya tapi bisa dikenal dari embel-embel di belakang nama kecilnya ada
hubungan dengan Si Anu plus ada gesekan dengan Si Ani dan tidak lupa salam
tempel buat Si Ana. Jadilah pemilihan
umum menjadi ajang untuk memilih orang-orang tak dikenal atau orang partainya
sekalipun tetapi harus jadi karena memang Kecil-Kecil Nomornya.
Padahal betapa
sulitnya untuk dapat sepuluh besar sekalipun kontestan pada setiap pemilu tidak
pernah kurang dari 123 partai. Beberapa
partai malah harus hilang dari peredaran, namanya sekalipun tidak ada di daftar
yang diumumkan kepanitiaan pemilu Ngastina atawa tidak kebahagiaan nomor. Nama-nama mereka hanya ada di Kepanitiaan Kepemiluan Ngastina.
Sementara itu
cadiak-pandai membuktikan kekonsistenan dan kecendekiawanan mereka dengan
menyerukan suara hati rakyat yang makinmenderitadalam berbagai krisis dan
tiba-tiba ditambah dengan kebijakn baru yang justeru makin menindih kehidupan Keluarga Kecil Ngisor (di bawah)
sehingga mereka bak jatuh dari tangga kejebur sumur, eh, dinding sumurnya
runtuh!
Reformasi total! Mau tak mau harus dilakukan sehingga roda
kenegerian tidak jadi kengerian, jalan normal seperti harapan seluruh rakyat
dan cita-cita pendiri negeri di alam kelanggengan. Tentu saja sorotan tajam reformis pada
keadaan sumber daya manipulasi, eh manusia di Ngastina yang sudah begitu lekat
dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
yang merupakan sumber musibahbagi rakyat tetapi menjadi ladang berkah bagi para
pejabat.
Kurung Korptor Negeri! Kikis
Kolutor Nyinyir! Singkirkan sistem Kerabat Keluarga Nepotis! Berbagai jargon lain bermunculan memenuhi
semua sudut jalan di Negeri Ngastina yang memang cuma sedikit. Inti dari semuanya tidak jauh berbeda
memerangi jajaran kenegerian dari para Koruptor,
Kolutor dan Nepotis.
Namun
demikian, Karena Keterbatasan News, entah bagaimana kelanjutan perjuangan para intelek itu
sekarang. Tapi berita terakhir yang
sempat tersiar melalui media elektronik yang makin dekat dan berpihak kepada
para reformis, mereka tidak akan sikucapang-sikucapeh, saiku tabang-saikua
lapeh, yang akhirnya menyebabkan iklim kehidupan bernegeri makin ngeri dan
tidak menentu tetapi akan selalu menghasilkan produk reformasi yang dapat
membangkitkan batang tarandam karena sadar akan Negeri Ngastina yang makin
terpuruk di mata negeri-negerikhayal tetangganga.
2.3.Harta (Artikel dimuat di Mingguan Padang
Pos, 1998)
Petuah zaman baheula mengingatkan sesama akan kaitan
erat antara harta, tahta dan wanita dalam jalan berliku kehidupan manusia. Para ibu boleh bangga bisa bebas dari salah
satu prahara atau malah tersinggung karena banyak di dalamnya, tetapi yang
tersirat dalam “ta” terakhir adalah pria apabila yang dimaksud manusia adalah
lawan jenisnya.
Ketiganya bisa
saling menunjang, dapat juga saling menjatuhkan atau variasi yang lain. Sebagai contoh, penguasa yang lengser bukan
hanya ditendang dari kursi kekuasaan yang didudukinya tetapi juga kena kemplang
uang yang dulu sangat menunjang, demikian juga lawan jenis yang dulu bermulut
manis pun menjadi sinis bakan bertindak bengis dan sadis!
Banyak mulut yang
menolak adanya kaitan erat antara harta dan kekuasaan sekalipun hati kecilnya
menggigil saat berucap. Tidak dipungkiri
bahwa selain garis tangan ukiran Tuhan dan angka murni Sang Juri, doku turut
berjibaku dalam meniti karir dan prestasi.
Tidak sedikit pula jalan panjang berliku penuh duri dan rintangan dalam
mencapai tujuan dalam mencapai tujuan.
Tidak sedikit yang di tengah jalan digilas remas sehingga otakk udang
mengalahkan nyali orang, asal ada jasa baik kotak uang.
Batas harta
dan tahta pun sedemikian tipis sehingga dengan sekali coret ujung pena saja
dengan mudah tercapailah koalisi diantara keduanya, tanpa basa-basi. Pas dengan kilas balik Rudini yang mantan
Menteri Dalam Negeri pada seminar tentang Otonomi Daerah yang diselenggarakan
Suara Pembaruan tahun 2005 lalu.
Katanya,
“Tanpa korupsi, seorang Kepala Daerah Tingkat II dalam satu periode
kepemimpinannya dapat mengantongi Rp. 500 juta, menghuni rumah indah di lokasi
strategis dan duduk di balik mobil mewah.”
Lebih
ditekankan oleh beliau, “Itu tanpa korupsi!”
Akan halnya
kaitan dengan lawan jenis, contoh yang paling populer belum lama ini adalah
Pangeran Charles yang harus rela melepaskan haknya demi belai Camilla. Namun tidak selalu berasosiasi negatif, Bill
bisa duduk di singgaana adidaya justeru atas peran penting Sang Nyonya
Clinton. Demikian juga Corry dan Sonia
menggelandang ke istana tidak lepas dari pengorbanan suaminya.
Di dalam
negeri? Kecuali Mega yang tidak pernah
menutup mata atas kharisma warisan Bapaknya, kebanyakan masih suka menyimpan
terasi dengan rapih. Sekalipun di alam
nyata sangat doyan menikmatinya, sambil pura-pura tutup hidung dan sembunyikan
mata.
Baik-buruknya
ketiga faktor di atas sangat relatif.
Tergantung zaman, bisa aman ataupun berbalik menjadi ancaman. Terutama dikaitkan dengan iklim politik,
sehingga menjadi sangat menarik dan menggelitik walaupun terkadang sangat pelik
dan lain-lain termasuk diantaranya kriteria yang kadang lebih banyak berperan
namun sering disembunyikan yaitu subyektivitas dan sensitivitas penilai serta
sense of belonging-nya (baca: “Apa gue kebagian?”)
Harta, tahta
dan juwita yang kadang perkasa saling kait mengikat. Kejatuhan dan kenaikan derajat seseorang
sering mereka iring. Lepas dari jelita
di hati masa muda misalnya, Anak Desa terpaku dengan jalan menuju tahta yang
telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kemungkinan tersungkur seperti
pendahulunya tidak akan pernah ada.
Namun pada
saatnya tiba, ketika tahta meronta, harta berlimpah turut menimpa tubuh
jatuhnya. Dara datang mendera bersama
jelita yang rindu melihat sambil menghujat.
Tidak lama
setelah itu, Forbes pun buka kartu yang membuat warga negeri kaya segala ini
–termasuk kaya raya hibah luar negeri yang mesti jadi tanggungan abadi beberapa
generasi- sempat termangu. Bagaimana
tidak, harta penguasa Orde Baru mencapai 4 milyar dollar Clinton ditambah
investasi di 32.000 perusahaan. Sangat
fantastis terdengar di saat krisis, apalagi di saat banyak perut meringis
menhan tangis.
Boleh saja ada
yang mengatakan bahwa hal seperti itu masih dalam batas kewajaran. Bpati Malang saja bisa menyabet Rp. 100 juta
hanya dari pencetakan KTP sejuta warganya.
Apalagi dedengkot 295 Kepala Daerah Tibgkat II yang obyekannya bukan
hanya KTP, bisa juga TKP, belum lagi PKT dan tak terhitung jumlahnya komisi
dari PT yang banyaknya ber-eksponen K, kemudian dipangkatkan satu tingkat lebih
tinggi dengan 27 seperti jumlah propinsi dan diganda-tujuhkan sesuaidengan
periode kekuasaan.
“Air mengalir
sampai jauh ...!” Ngak-ngik-ngok Gesang
berkumandang sedari dulu. Berita harta
penguasa yang menggelora pun lenyap bersama alunan irama biola. Sama seperti halnya ngosngosan reformasi yang
makin terbagi, berceceran dalam kefanatisan para simpatisan partai dan
golongan.
Namun ketika
Time mengungkap ulang dalam jumlah yang makin membludak, setiap mata kembali
terbelalak. 15 milya dollar AS atawa 120
trilyun rupiah! Mereka berbalik tanya,
“Kepeng sadonyo?” (Uang semua?)
Kalau
dihitung-hitung lebih jauh, uang sebanyak itu bila ditukar dengan pecahan
bergambar beliau sendiri dan dijejer-panjangkan sedemikian rupa akan mencapai
luas 28 km2 yangsanggup menaungi 3.000 buah lapangan sepakbola. Dapat juga menutup aspal dari Bakauheni
menembus belantara Andalas sampai ke Banda Aceh.
Atau bila
dibagi-bagikan kepada anak negeri yang menvcapai 200 juta orang, akan kebagian
Rp. 600 ribu per-kepala. Demikian juga
bila dibelikan beras dengan kualitas lebih baik daripada tabungan Dolog jatah
KORPRI, akan cukup untuk mereka semua selama 20 bulan!
Bagi masyarakat
yang sudah sedemikian lama terkungkung dalam duka dan nestapa, berita itu tentu
sangat mengena. Walaupun kalau mau
dihitung lebih jauh, ternyata baru setara dengan 80 prosen dari kredit macet
para pengusaha negeri ini kepada saudaranya.
Atau malah termasuk di dalamnya, yang justeru bikin mereka kelimpungan
cari jalan bayar pinjaman?
Lebih sedikit
lagi bila dibandingkan dengan total utang mereka kepada kolega sebatas negara,
22 prosen saja. Bahkan hanya 11 prosen
dari jumlah tunggakan mereka secara keseluruhan yang mencapai 1.065 trilyun
rupiah!
Kembali kepada
cerita tentang Bupati Malang yang dituturka Rudini juga, jatah 100 juta itu
adalah merupakan bagian dari 300 juta selisih anggaran pencetakan KTP. 100 juta upeti kepada DPRD dan sisanya bagian
pemborong malang yang berdomisili di Kota Malang. Sebab kalau tidak merasa kemalangan, dia
tidak akan beramah-tambah jauh-jauh ke Mendagri sekalipun masih sohib dekatnya.
Belajar dari
sana, maka upeti-upetian bukan hanya milik orang yang mangkal di puncak. Banyak ber-cipratan sepanjang jalan mencapai
tujuan. Sehingga dana semacam ini bukan
hanya mulus menuju lubang kotak amal Istana Negara, banyak yang tercecer
seputar Senayan atau lari terbirit-birit berlindung di balik pagar rumah
penganjangsana rutin singgasana yang banyaknya bisa lebih luar biasa.
Oleh karena
itu kalau mau menjaring harta Pak Harto secara keseluruhan dengan jujur dan
konsekuen tanpa maksud hanya sekedar memperpanjang alur cerita pendek yang
sering mandek dengan sebab yang tak pernah nyana, bukan hanya sekedar otak-atik
rekening atas nama pribadi dan keluarganya serta seliweran saham di ribuan
perusahaan milik mereka seperti biasa.
Kalau
demikian, ibarat berburu harimau putih menggunakan senjata paling mutakhir,
dengan penarik picu Brigitte Bardot.
Keberhasilan
pelacakan akan tercapai apabila diperhitungkan juga daki yang bersarang di
balik kuku sekretarisnya, goresan nyata di bibir manis jurubicaranya, terselip
di balik gulungan sorban penasehat akhlaknya, sempilan receh pada bendahara hariannya,
di balik semangat pembelaan pengacara unggulannya, bayangan hitam di balik
payung para pelindungnya, bias kilat jidat pemberi mandat sehingga kekuasaannya
berlipat-lipat, substrat pat-gulipat para penjilat yang kini berdalih pelaknat,
kepul cangklong pecandu sowan dalam upaya menjadi pahlawan, mengganjal jemari
kaki-tangan yang sekarang ramai-ramai cuci tangan, noktah hitam di hati pecinta
negara merangkap pengeruk harta negara, di balik kedok loyal pencekal dan
penjagal, tersirat dalam maksud baik juru kritik, terselip dalam mantera kebal
penjara para penjarah dana hibah, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kalau dapat
diungkap semuanya secara nyata, maka barulah masyarakat akan tahu nilai
sebenarnya dari hukum yang katanya selalu dijunjung tinggi di negeri ini.
Terlepas dari
benar tidaknya bedahan Time, maka yang diperlukan adalah pengusutan tuntas
sampai tas-tas-tas.... Setuntas pesan
Marissa Haque yang dipanggil Ikang Fauzi, “Marissa Hakku.” Bukan ikut irama ngak-ngik-ngok biola Gesang
yang mengiringi sambung-menyambung paralon tanpa batas, tak pernah tuntas. Berlarut-larut setelah sekian kali pasang
surut karena yang hendak mengusut adalah pihak yang harus terlebih dahulu
diusut.
2.4.Kita Semua Koruptor (Artikel dibuat akhir
2002, tidak diterbitkan)
15 tahun yang
lalu kami turut menulis di Majalah Islam Mingguan KIBLAT tentang korupsi yang
mulai dilirik. Berbagai pihak mulai
sadar bahwa kebobrokan mental yang sudah sekian lama mencengkeram perlu segera
dibuka dan diatasi sedini mungkin.
Berbagai resep dikemukakan, mulai dari segi penegakan hukum sampai nilai
spiritual. Namun hasilnya, seperti
biasa, semua lenyap begitu saja.
Pada masa
kejayaan Orde Baru, upaya penjagalan koruptor sering sekedar opini atau
bahkan menjadi anekdot yang menggelikan.
Apalagi masih sangat sedikit yang berani mengungkapkannya sebagai
konsumsi publik sekalipun. Maklum,
korupsi identik dengan pemerintahan khususnya pegawai negeri. Jaring korupsi meniti mulai dari jajaran
tukang sapu dan pengibas debu, barisan birokrasi terendah sampai puncak
eselonering. Pada akhirnya menuju ke
pusat pemerintahan, Istana Negara. Saat
itu, kalau ada pegawai negeri yang tidak ikut menikmati manisnya korupsi adalah
oknum. Namun kekuatan pusat kekuasaan menyebabkan
mereka aman-aman saja.
Lima tahun kemudian, sorotan
terhadap korupsi semakin gencar. Seperti
bisa diduga, para kroco mulai dikambing-hitamkan. Lagi-lagi pihak teratas tetap aman dan
kembali terlena dalam persembunyiannya di balik kursi jabatan. Lupa bahwa ketika Pak Balok menyantap rel
keretaapi maka Sang Jenderal Kancil pun pasti dapat cemilan baja. Tidak juga ingat kalau pada akhirnya para
bawahan tidak akan tinggal diam, terutama
setelah tahu penderitaan disihir menjadi kambing-hitam.
Pada tahun 1997, sepuluh tahun setelah
tulisan kami berlalu, krisis ekonomi membuat pucuk pimpinan mulai
digoyang. Korupsi menjadi isyu sentral
terdepan dengan mengajak kedua saudara kandungnya, kolusi dan nepotisme. Mahasiswa dan LSM yang dari semula menjadikan
korupsi sebagai wacana mulai berani merubahnya menjadi pencongkel. Tidak tanggung-tanggung, pada akhirnya
penguasa Orde Baru yang tiga puluhan tahun bercokol di Istana Negara harus rela
pergi dengan tidak terhormat.
Lenyapnya kekuasaan Orde Baru
ternyata tidak identik dengan hilangnya kasus korupsi. Krisis kepercayaan terhadap penguasa
malah berbuah berbagai krisis yang lain.
Krisis ekonomi pun makin menjepit di bawah timbunan krisis baru yang
menguntit.
Penderitaan
masyarakat diiklankan dan masuk bursa saham.
Bank Dunia pun dengan senang hati melegonya dengan harga murah
meriah. Kemudian lahir berbagai program
dengan tujuan yang amat mulia untuk dikatakan produk manusia, namanya Jaring
Pengaman Sosial (JPS) atawa dalam bahasa nenek moyang mereka Social
Safety Net (SSN). Saku dan kantong
mulai tertolong. Penduduk miskin dapat
tetesan sebagai haknya. LSM dan
mahasiswa yang dulu nyeruduk dan vokal memperoleh bagian sebagai Tenaga
Pendamping atau Konsultan Manajemen atau Tenaga Ahli atau sebutan intelek
lainnya. Ekonomi membaik dalam batas diantara dua tanda
kutip (ditulis : “Ekonomi Membaik”).
Pertanyaan yang masih terus
menggelayut adalah, “Sudahkah korupsi berakhir ?”
Ternyata tidak, Indonesia makin
kokoh pada posisinya sebagai negara terkorup.
Melebihi India, dan di atas negara paling korup yang lain. Teratas dalam kuanitas dan jauh meningkat
dari sisi kualitas. Para penggusur
penguasa lama yang dinilainya korup pun turut menikmati renyahnya kue
korupsi. Sedangkan mantan pejabat yang
kelewat korup menjadi sangat aman setelah menutupi celanya dengan taburan ang
paw berdalih uang saku dari hasil korupsi yang baru.
Korupsi bukan lagi milik pegawai negeri, tetapi juga masyarakat luas
termasuk komponen mahasiswa sekalipun.
Mereka bisa tertawa berbahak-bahak setelah aktif atau mendirikan LSM
dengan kegiatan utama mesam-mesem.
Namun demikian, upaya peneriakan
korupsi terus berlanjut. Banyak
maling yang teriak maling, lebih banyak lagi yang menjerit karena tidak kebagian. Hasilnya tidak terlalu mengecewakan, sampai
tahun 2002 ini beberapa dedengkot koruptor mulai dicongkel. Bukan hanya karena status kepegawai-negerian
mereka, pengusaha dan politisi yang sering andil juga mulai diciduk. Koruptor kelas kakap lain, kasak-kusuk
menghindari giliran.
Hasilnya tidak
tanggung-tanggung, setelah mengitari rumitnya rimba raya, akhirnya rakit kayu
gelondongan yang membawa Menteri Kehutanan Bagian Lapangan Haji Muhammad Bob
Hassan terombang-ambing arus ganas Laut Selatan sebelum nyangsang
(terdampar) di Pulau Nusa Kambangan.
Dalam kasus yang lain, kepiawaian Abdul Gaffur main Tarzan-tarzanan
bergelayutan dari satu akar beringin ke lain pohon pun pernah nyangkut di Rumah
Tahanan. Sementara Rahardi Ramelan pun
tidak mau sendirian menghitung hari di balik jeruji.
Makin jelas
harapan bahwa segala jenis korupsi akan berakhir tahun 2003 nanti ! Berbagai upaya sudah dirintis, Undang-undang
Anti Korupsi digelindingkan.
Pemberantasan korupsi akan makin cepat membuahkan hasil. Jangankan korupsi yang bernilai milyaran
rupiah, lima tahun yang akan datang korupsi waktu pun akan segera sirna dari
negeri ini.
Pada tahun 2003, generasi muda dan
sebagian besar masyarakat Nusantara adalah mereka para alumni pendidikan dasar
dengan guru yang berperan ganda sebagai penjaja Lembaran Kerja Siswa
(LKS). Tamat SLTP dan SLTA dengan sukses
berkat staf pengajar memberikan les dan bimbingan tes. Di perguruan tinggi favorit mereka belajar
dari para intelektual yang kemana-mana menjual nama almamaternya. Lingkungan masyarakat tempat mereka habiskan
waktu terbanyak pun mengajarkan untuk terbiasa menyabet secepat mungkin
setiap peluang mendapatkan dana tanpa harus berpikir penggunaannya, apalagi
tanggungjawab pengembalian.
Sementara birokrasi jalan di tempat
atau berjalan mundur ke belakang dari masa lalu, sehingga bahan bacaan wajib di
sekolah saja merupakan keluaran para penerbit yang sanggup menembus
lorong gelap untuk memperoleh stempel “Bacaan Wajib” dari pejabat yang
berwenang. Sedangkan media massa baik
cetak maupun elektronik, mengajari mereka untuk korupsi kecil-kecilan dengan
cara membiarkan para modelnya yang sudah berumur mengenakan pakaian yang
kekecilan atau bahkan berpose seperti ketika dilahirkan ibunya.
Awal tahun 2003 adalah akhir dari
pembantaian terhadap pelaku korupsi.
Tidak perlu undang-undang dan berbagai peraturan yang membatasi. Hakim dan Jaksa tidak akan disibukan lagi
dengan tindak pidana korupsi. Korupsi
secara alami akan lenyap dengan sendirinya.
Saat itu, kita semua sudah korup
! Na ‘udzu bika min dzalik ….
2.5.Fenomena Gunung Es Senayan
Sungguh
bukanlah suatu kebetulan kalau beberapa tulisan yang pernah Penulis terbitkan
saling kait-mengkait satu dengan yang lain.
Setidaknya, intinya bisa sambung-menyambung kalau dihubungkan dengan
kondisi bangsa kita sekarang yang juga tidak pernah lepas dari permasalahan
korupsi, khususnya korupsi tingkat tinggi di seputar Senayan.
Bukan
rahasia lagi kalau semua urusan yang berhubungan dengan para Dewan yang
Terhormat selalu identik dengan uang.
Jangankan keperluan insidentil, kegiatan rutin pun harus dimodalin
dulu. Kecuali kalau yang berkepentingan
hanya menganggap yang diurus sudah tidak penting lagi.
Tahta
telah membuat mereka terhormat, kehormatan itu bagian dari harga diri. Tidak mengherankan kalau kursi yang terhormat
itu pun akhirnya menjadi bagian penting yang harus dihargai, dengan rupiah atau
pun mata uang lainnya. Juga tidak
sedikit yang menggantikan mata uang dengan kerling mata wanita!
Tidak
mengherankan kalau kaitan antara tahta, harta dan wanita di Gedung DPR sampai
sekarang masih merupakan hal yang biasa.
Adalah oknum, kalau ada diantara mereka yang tidak ikut memanfaatkan
kehormatan yang tidak akan mudah dinikmati di dunia luar.
Kalaulah
inteljen memasang kamera tersembunyi di berbagai sudut, mulai dari ruang sidang
sampai tempat mereka meregang kelelahan.
Maka akan terlihat rekaman pembicaraan sampai kongkalingkong yang
direncanakan di berbagai hotel mewah untuk menyelesaikan berbagai masalah,
terutama yang berkaitan dengan kepentingan orang-orang daerah. Dan, jangan kaget kalau akan beredar juga
berbagai film syur yang jauh lebih seru daripada yang selama ini dipajang
penjual VCD bajakan.
Terhormat,
kata itulah yang selama ini menjadi tameng keberhasilan mereka selalu
memeti-es-kan berbagai kasus dan permasalahan yang sebenarnya nyata-nyata
terjadi diantara mereka. Kehidupan
masyarakat yang mengenal strata dan status sosial mejadikan mereka menaruh
hormat sekalipun mereka yang dihormat menyalahgunakan kehormatan.
Allah
menutup mata hati mereka dan mengancamnya dengan siksa yang amat pedih (QS : 2
: 7) sebagimana firman-Nya :
“Allah telah mengunci-mati hati
dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”
Kata
pepatah, serapat-rapatnya menyembunyikan tersi, akan tercium juga baunya. Demikian juga borok yang sudah lama membeku
di balik kursi empuk Dewan yang Terhormat, pada akhirnya harus terungkap. Gunung Es Senayan pun sudah saatnya mencair.
Sepanjang
paruh pertama tahun 2008 ini, sedikitnya 5 (lima) anggota DPR ditahan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada bulan
Maret lalu, Saleh Djasit (Partai Golkar, daerah pemilihan Riau) ditahan KPK
terkait pengadaan alat pemadam kebakaran saat beliau menjadi Gubernur Riau.
Sebulan
kemudian, Al Amin Nur Nasution (Partai Persatuan Pembangunan, daerah pemilihan
Bengkulu) juga ditahan KPK ats kasus suap pengalihan fungsi hutan lindung di
Kabupaten Bintan.
Seminggu
setelah penahanan suami artis Kristina itu, KPK menahan Hamka Yandhu (Partai
Golkar, daerah pemilihan Sulawesi Selatan I) dan Anthoni Zeidra Abidin (Partai
Golkar, daerah pemilihan Jambi).
Keduanya ditahan atas kasus aliran dana Bank Indonesia.
Bulan
Mei, Sarjan Tahir (Partai Demokrat, daerah pemilihan Sumatera Selatan II)
ditangkap karena terkait dengan kasus alih fungsi hutan mangrove di Kabupaten
Musibanyuasin, Sumatera Selatan. Sebelum
bulan Juni berakhir pun diwarnai penangkapan terhadap Bulyan Royan (Partai
Bintang Reformasi, daerah pemilihan Riau).
Ternyata
berbagai kasus yang dialami para anggota Dewan yang Terhormat itu hanyalah
sebahagian kecil saja. Terdapat banyak
gumpalan kasus yang telah membeku sejak lama di senayan. Tidak ada yang berani mengungkap, karena
hanya menjadi awal dari bencana yang berkepanjangan.
Hal
ini terbukti dengan salah satu pembelaan terdakwa, Hamka Yandhu tidak mau
sendirian menginap di hotel prodeo. Dia
menyebut jumlah nama yang tidak sedikit, 52 orang ! Mereka adalah para Anggota Komisi IX DPR Periode
1999-2004 yang juga telah menerima aliran uang dari Bank Indonesia.
Korupsi
bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi di Senayan, skandal perselingkuhan
sudah bukan rahasia lagi. Pelacuran
tingkat tinggi sudah lumrah dan biasa terjadi.
Bahkan salah satunya sempat beredar sebagai adegan syur dalam keping VCD
bajakan.
Harta
dan wanita memang telah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan dalam tahta yang mereka peroleh dengan berbagai bentuk perjuangan
dalam rangka mendapatkan suara sebelumnya.
Reformasi
yang semula bertujuan untuk memperbaiki diri bangsa ini, tenrnyata bermakna
lain di Gedung DPR. Perubahan hak
menyebabkan mereka bak kuda liar lepas dari laso.
Kekuasaan
era Orde Baru yang executive heavy
pada era reformasi bergeser menjadi legislative
heavy. Konstitusi hasil amandemen
dan undang-undang pasca Orde Baru memang memberi kewenangan begitu besar kepada
DPR, utamanya dalam menentukan kebijakan pemerintahan. Tidak ada kekuatan pengimbang atau pengendali
perilaku dan produk subtansinya.
Kondisi
ini tampaknya amat dinikmati menjadi sistem dengan kebiasaan yang sungguh
mengenakan secara pribadi dan kelompok.
Dengan demikian bisa dimengerti jika setiap perubahan sistem (amandemen
UUD) untuk menciptakan check and ballance
dalam rangka penyehatan parlemen atau parlemen yang bermartabat sesuai kehendak
reformasi, selalu mereka tolak dengan dukungan jaringan dan kepemimpinan
(elite) parpol yang oligarkis.
Berbagai
kritik dan koreksi yang sering terjadi, terutama dari dalam diri mereka sendiri
melalui berbagai perbuatan memalukan selalu diselesaikan dan disimpan rapih
dalam peti es. Masalahanya adalah
warisan, cara penyelsaiannya pun secara turun temurun tinggal ditiru, kecuali
mau jadi manusia terasing di lingkaran kehidupan mewah Senayan.
Dengan
kata lain, para aktor yang sudah merasa enak dengan kebiasaan dan sistem akan
selalu rsisten dengan ajakan perubahan.
Beberapa kecenderungan
watak politisi di Senayan sekarang ini antara
lain :
a.
Ingin melindungi diri dari label sebagai koruptor,
apalagi sedang menjabat pada posisi strategis.
b.
Pelaku kejahatan biasanya berkelit dulu sebelum
akhirnya menyerah setelah ditunjukkan atau ada bukti-bukti kuat.
c.
Gertakan politisi di balik perlindungan partai besar.
Dengan
watak demikian maka ketika Hamka Yandhu menyanyikan syair “Korupsi Berjamaah”
mereka langsung membantah, tidak pernah menerima uang seperti yang
dituduhkan. Bahkan ada yang mengancam
akan mengadukan koleganya ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Korupsi
berjamaah terbentuk sebagai efek dari kepentingan bersama. Sama-sama dikejar target untuk setor kepada
partai yang mengusungnya. Apa mau
dikata, cara tercepat dalah menggunakan tahta sebagai alat pemeras.
Tentu sudah
tidak terlalu banyak lagi yang percaya pada bela-diri mereka. Anak-anak muda jauh lebih percaya pada lirik
Gosip Jalanan yang dinyanyikan Bimbim beserta teman-teman Grup Slank :
“Mau
tau gak mafia di Senayan ?
Kerjanya
tukang buat peraturan.
Bikin
UUD,
Ujung-ujungnya
duit !”
Penggalan
lagu di atas merupakan cerminan ekspresi kegalauan hati yang merasa prihatin
atas korupsi yang makin menjadi-jadi di Gedung DPR. Selama ini kasus selalu menjadi es yang
membeku. Kebekuan itulah yang terus
bertumpuk menjadi Gunung Es yang selalu siap meleleh apabila suasana memanas!
2.6.Berharap pada KPK
Komisi
Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disahkan tanggal 27 Desember 2002
oleh presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Latar belakang
pendirian lembaga independen ini adalah bahwa tindakan korupsi sudah sangat
meluas di masyakarat. Perkembangannya
terus meningkat dari tahunke tahun, baik dalam jumlah kasus yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang
dilakukan smakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
kehidupan masyarakat.
Tindak pidana
korupsi yang meluas dan sistematis tersebut tidak lagi dapat digolongkan
sebagai kejahatan biasa melainkan menjadi kejahatanluar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak
dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Oleh karena
itu dibentuklan Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan lembaga neraga yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga luar
biasa ini dibentuk dengan tujuan yang jelas, yaitu meningkatkan daya guna dan
hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sesuai Pasal 6
UU Nomor 30 tahun 2002, tugas KPK adalah sebagai berikut :
a.
Koordinasi dengan instansi berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.
Supervisi terhadap instansi berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi
d.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan
e.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Dari
tugas yang diamanatkan, maka KPK ini merupakan lembaga yang sangat luas
kewenangannya. Namun bukan berati tanpa
hambatan, karena sebagai bagian dari sistem yang ada di Negara Kesatuan
Republik Indonesia maka keberadaannya pun tidak terlepas dari ketergantungan
kepada DPR.
Oleh
karena itu, KPK dalam menjalankan tugasnya memberi laporan secara rutin kepada
Presiden, DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dan yang lebih penting adalah bahwa anggota
KPK diseleksi kelayakannya oleh DPR sehingga layak tidaknya seseorang menjadi
anggota komisi bergengsi ini tergantung kepada para wakil rakyat tersebut.
Poin
terakhir inilah yang semula menyebabkan Penulis sempat terbawa arus pola pikir
media yang berkembang saat Antasa Azhar terpilih menjadi Ketua KPK. Sepanjang pengetahuan Penulis, beliau adalah
orang yang sangat konsisten terhadap pemberantasan korupsi, terutama yang
menyeret brirokrat dan anggota Dewan yang Terhormat.
Seperti
yang terjadi akhir tahun 90-an, beliau menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera
Barat, Walikota Padang bergantian dengan Anggota DPRD menghuni hotel
prodeo. Beberapa bupati yang lain pun
saling menjebloskan dengan rival korupsinya. Hampir kasus korupsi seantero Sumatera Barat
terungkap berujung penahanan para pelakunya.
Gendang
asa untuk bersihnya Gedung DPR dari praktek-praktek kotor sudah ditabuh. KPK harus bertindak nyata sesuai dengan
aturan yang berlaku, termasuk apabila harus membenahi DPR yang telah
melahirkannya.
2.5. Pengendalian Korupsi
di Senayan Menurut Teori Sun Tzu
Dua
setengah abad yang lalu, Sun Tzu mengajarkan tentang strategi memenangkan
pertempuran. Beberapa hal yang menjadi
bahasan dalam buku yang disusunnya adalah :
- Buatlah Rencana
- Seandainya harus berperang
- Taktik dan Tenaga
- Titik-titik kuat dan Lemah
- Manuver
- Menguasai Medan Perang
- Mengatasi situasi
- Memanfaatkan mata-mata
Dalam
hal pembahasan tentang korupsi, khususnya yang terjadi di Gedung DPR, ke-delapan
bab ajaran Sun Tzu sangat relevan untuk dijalankan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Perencanaan
yang baik diperlukan untuk lebih cepat dan tepatnya meluluhlantakkan gunung es
yang sudah puluhan tahun terbentuk.
Berbagai altenatif perencanaan diperlukan untuk dipilih yang terbaik
untuk dilaksanakan.
Seperti
diingatkan Sun Tzu, “Semakin banyak perencanaan akan memberi lebih banyak
peluang untuk menang, sementara semakin sedikit perencanaan, semakin kecil pula
peluang untuk menang. Lalu, bagaimana apabila
tanpa perencanaan sama sekali ?”
Pentingnya
perencanaan sekali lagi diingatkan Sun Tzu, “Menyusun rencana yang baik sudah
sama dengan memenangkan separuh pertempuran.”
Dalam
menghadapi situasi yang tidak diinginkan, yaitu peperangan, dalam hal ini KPK
vs kearoganan DPR, Sun Tzu mengingatkan, “Jika anda terlibat pertempuran,
sementara belum melihat kemenangan, pasukan anda akan menurun staminanya. Mengepung kota hanya menghamburkan
tenaga. Dan seandainya persenjataan anda
lemah pula, semangat dan kekuatan akan cepat terkuras. Akan muncul sosok lain yang mencuri
kekuasaan. Tak seorangpun yang dapat
menghindari konsekuensi ini.”
Sungguh
tragis apa yang digambarkan Sun Tzu 2.500 tahun yang lalu. Benar-benar menjadi sebuah kenangan pahit
dalam perjalanan bangsa yang merdeka melalui deraian darah dan air mata.
KPK
perlu mengenal diri lebih baik dan lingkungan secara keseluruhan, bukan hanya
mengenal Dewan yang Terhormat dari kacamata awam. Saran Sun Tzu, “Jika anda mengenal musuh dan
diri sendiri, anda tak perlu khawatir pada hasil 100 pertempuran. Jika anda mengenal diri sendiri tanpa
mengenal musuh, anda mungkin memenangkan pertempuran juga tetapi anda pun akan
turut menderita. Jika anda tidak
mengenal musuh dan diri sendiri, maka anda akan kalah dalam tiap-tiap
pertempuran.”
Seperti
sudah diduga, tanpa mengenal diri sendiri apalagi musuh maka kekalahanlah yang
akan didapat. Dan kekalahan ini harus
dibayar mahal dengan kesengsaraan rakyat.
KPK
tidak perlu gegabah dan emosi untuk menjadi pahlawan di tengah kegalauan. Seolah menjadi Dewa yang selalu bisa
meluruskan berbagai penyimpangan.
Bersikap rendah hati adalah kunci yang harus dipegang.
Kata
Sun Tzu, “Pada zaman dahulu pejuang berpengalaman pertama-tama selalu
menempatkan dirinya pada posisi kemungkinan kalah, dan menunggu kesempatan
mengalahkan musuhnya. Dengan demikian
dia dapat mengamankan dirinya dari kekalahan, meskipun belum pasti sanggup
menaklukkan lawannya.”
Bahasa
yang sederhana, sikap seorang pejuang yang perpengalaman selalu rendah
hati.
Pemberantasan
korupsi di Senayan sudah saatnya dilaksanakan.
Para anggota Dewan yang Terhormat belum menyadari hal ini harus
terjadi. Namun KPK harus terus waspada
karena banyak hal tersembunyi yang menjadi trik kekuatan yang siap menghantam
balik.
Sebagaimana
diingatkan Sun Tzu, “Rambut yang sudah memutih dan mulai rontok tidak lagi
mencerminkan kekuatan mantap. Menatap
matahari tidak sama dengan bermata tajam.
Kemampuan mendengar bunyi gemuruh tidak membuktikan kepekaan telinga.”
Permasalahan
personil ynag terbatas merupakan keterbatasan yang perlu segera diatasi. Tentu dengan personil berkualitas dan
berkomitmen kuat dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Tidak perlu khawatir terjadinya penyimpangan
tujuan sesudah lembaga menjadi besar.
Bagi
Sun Tzu, “Mengendalikan pasukan besar pada prinsipnya sama saja dengan mengatur
beberapa orang, sebab ini tidak lain hanyalah menjawab pertanyaan bagaimana
membagi tenaga sejumlah personil.”
KPK
pun harus menjadi lembaga yang selalu ada di depan dalam pemberantasa
korupsi. Bukan hanya harus lebih awal
dalam kehadiran tetapi juga dalam teknologi dan pengetahuan yang menunjang.
Seperti
diingatkan Sun Tzu, “Siapa saja yang datang terlebih dahulu di medan
pertempuran dan menunggu kedatangan musuhnya akan berada dalam kondisi lebih
siap dan segar untuk menhadapi perkelahian.
Sebaliknya, mereka yang datang belakangan ke kancah perang akan
bertindak tergesa-gesa, kelelahan dan kehabisan tenaga sebelum pertarungan
dimulai.”
Tetapi
perlu diingat bahwa setiap manusia mempunyai keterbatasan. Demikian juga KPK yang saat ini seolah
menjadi pemimpin pemberantasan korupsi. Sun
Tzu menggambarkan 5 (lima) kesalahan fatal yang biasa dilakukan seorang
pemimpin perang, yaitu :
i)
Gegabah, sehingga membawa kehancuran
ii)
Takut, sehingga mudah ditawan musuh
iii)
Terburu nafsu, karena digoda penghianat
iv)
Gila hormat, sehingga mendatangkan aib
v)
Cemas berlebihan terhadap prajurit-prajurit
Perang
gaya tempo doeloe mamaksa pasukan, baik dalam posisi menyerang maupun bertahan,
senantiasa bergerak melalui darat (kadang-kadang lau, tetapi sangat
jarang). Agar efisien dan efektif
pergerakan pasukan perlu mengikuti kondisi geografis medan perang.
Oleh
sebab itu, Sun Tzu juga memasukkan serta membahas pengetahuan geografis dalam
bukunya. Bahkan Sun Tzu tidak lupa
mengingatkan agar kita juga panda-pandai membaca tanda-tanda alam.
Perang
ternyata bukan hanya menghadapi pasukan musuh, melainkan juga sekaligus harus
pandai menjinakkan alam atau membaca serta memanfaatkan fenomena demi
keuntungan pergerakan pasukan kita.
Kondisi
lawan dalam hal ini adalah mafia Senayan perlu diketahui baik secara fisik
naupun kultural yang membentuk perjalanan hidup mereka. Kesemuanya merupakan modal utama untuk
mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan.
Strategi
menyerang secara terus menerus seperti sekarang dilakukan KPK sudah saatnya
dikoreksi. Antasari Azhar sebaiknya
mendengarkan saran ahli perang di bawah ini.
“Seorang
pemimpin yang terampil akan menyerang sasaran-sasaran sehingga lawannya tidak
tahu apa yang harus dipertahankannya, dan sigap bertahan sehingga lawan tidak
tahu target mana yang harus diserangnya,” Tulis Sun Tzu mengenai sikap
menyerang atau bertahan.
“Taktik-taktik
militer seumpama air, yaitu mengalir secara alamiah dari tempat yang tinggi
bergegas-gegas ke arah tempat yang lebih rendah di bawahnya. Dalam peperangan, seranglah pihak yang lebih
lemah posisinya, tetapi hindari menyerbu pasukan yang berada pada posisi kuat.”
Lokasi
dalam arti luas pun menjadi perhitungan tersendiri bagi KPK dalam pemberantasan
korupsi anggota Dewan yang Terhormat. Sun
Tzu membagi lapangan perang menjadi 6 (enam) macam, yaitu :
i)
Lapangan yang mudah didekati, yaitu lapangan yang mudah
dijelajahi oleh kedua belah pihak.
ii)
Lapangan kusut merupakan lapangan yang dapat
ditinggalkan tetapi sulit diduduki kembali.
iii)
Lapangan yang mudah berubah merupakan kedudukan dimana
kita dapat melancarkan operasi ke segala arah.
iv)
Sun Tzu mengingatkan, ambilah langkah
sebijaksananya. Jangan terpancing bila
lawan menyodorkan umpan.
v)
Celah sempit, untuk posisi seperti ini Sun Tzu
mengingatkan, seandainya lawan terlebih dahulu menduduki suatu celah sempit,
jangan mengejarnya. Tunggulah sampai
pertahanannya atas celah sempit itu melemah, baru diserang.
vi)
Lapangan bergunung, diingatkan Sun Tzu, “Apabila di
lapangan bergunung dudukilah tempat yang tinggi dan mempunyai pandangan
luas. Pukulah musuh pada saat mereka
memanjat naik. Andaikata musuh memiliki
posisi bagus dan tinggi, jangan membuntutinya, melainkan mundurlah untuk menggodanya
turun.
Lapangan
yang jauh dari musuh, seandainya anda dan lawan terpisahkan pada jarak yang
cukup jauh dan kekuatan kedua belah pihak relatif seimbang, jangan merangsang
suatu pertempuran, karena kan merugikan anda.
Kelemahan
biasanya datang dari dalam diri sendiri.
Demikian juga KPK perlu mewaspadai hal ini.
Sun
Tzu juga mengingatkan akan adanya beberapa kemungkinan yang dapat timbul dari
dalam. Katanya, “Suatu pasukan dapat
dihadapkan kepada 6 (enam) macam bencana yang tidak disebabkan oleh alam,
tetapi tetap merupakan tanggungjawab pemimpin pasukan mewaspadainya, yaitu :
i)
Pelarian atau disersi dari pasukan terjadi apabila
prajurit merasa gentar dihadapkan pada lawan yang berkekuatan 10 kali lipat
ii)
Tidak patuh, ketidakpatuhan terjadi karena pemimpin
lemah atau tidak cakap memimpin pasukan
iii)
Lumpuh, jika prajurit-prajurit sangat kuat sementara
perwiranya lemah maka terjadilah kelumpuhan pasukan
iv)
Hancur,
kehancuran terjadi dalam pasukan yang perwira-perwiranya mengambil inisiatif
karena dendam kesumat tanpa menunggu aba-aba panglimanya
v)
Kacau, pemimpin yang tidak tegas dalam memberi perintah
dan tidak mampu menyusun hierarki organisasi serta tidak memberikan tugas rutin
baik kepada perwira atau prajuritnya, menimbulkan kekacauan dalam pasukan
vi)
Kocar-kacir, keadaan kocar-kacir dapat terjadi lantaran
panglima pasukan tidak sanggup memprediksi kekuatan lawan dan akibatnya
membiarkan pasukan yang lemah berhadapan dengan pasukan musuh yang lebih kuat.
Untuk
mengatahui tentang teknik pertempuran, jumlah kekuatan pasukan musuh serta
posisi-posisinya, hanya dapat dilakukan dengan menyaksikannya, bukan
menduga-duga ! Kata Sun Tzu, “Kirimlah
mata-mata !”
Sun Tzu
membagi mata-mata menjadi 5 jenis :
i)
Mata-mata setempat, yaitu dengan mepekerjakan penduduk
setempat menjadi mata-mata
ii)
Mata-mata terbalik, merupakan komponen pasukan lawan
yang dijadikan mata-mata
iii)
Mata-mata penyusup, merupakan mata-mata lawan yang
tertangkap kemudian dimanfaatkan kebmali untuk kepentingan pihak yang menangkap
iv)
Mata-mata terhukum, orang yang dibiarkan melakukan
segala sesuatunya terang-terang demi pengelabuan dan mereka ini kemudian
dillaporkan oleh mata-mata kita kepada musuh
v)
Mata-mata mujur, yaitu orang yang akhirnya membawa
berita kepada tuannya dengan selamat.
Hanya
pemimpin yang berkualitas yang menyadari arti penting mata-mata. Oleh karena itu mereka dapat dibayar dengan
mahal dengan hadiah besar dan gaji menarik sebab pekerjaan yang dilakukannya
penuh dengan resiko dan sangat rahasia.
Imbalan
kepada mata-mata ini menjadi terdengar sangat lumrah mengingat peringatan Sun
Tzu, “Jika suatu rahasia kecil sekalipun dibocorkan oleh seorang mata-mata
sebelum waktunya, dia harus dibunuh bersama-sama dengan orang yang
mendengarnya!”
BAB III
P E N U T U P
3.1.Kesimpulan
Korupsi
di tubuh DPR sudah merupakan kejahatan laten yang diwarisi secara turun
temurun. Berbagai kasus yang terjadi
biasanya selalu membeku tanpa penyelesaian yang jelas. Gunung es sudah terbentuk sedemikian lama
akhirnya harus meleleh akibat ulah anak kandung yang sebenarnya dilahirkan
untuk mengoreksi pihak lain.
Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah satu-satunya harapan saat ini agar lembaga
terkorup di negeri ini atau bahkan se-dunia, sadar dan segera membenahi diri
sebelum menyuruh pihak lain menjadi lebih baik.
3.2.Saran
Diperlukan
langkah berani untuk memutus rantai korupsi dan ironisnya gebrakan ini harus
dimulai dari lembaga hukum itu sendiri.
Selain itu Komisi Pemberantasan Korupsi perlu menyadari adanya berbagai
keterbatasan internal sehingga tidak terhanyut dalam pujian yang bisa jadi akan
menggiring mereka ke gerbang keterpurukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar