Jumat, 22 Agustus 2014

Fenomena Gunung Esa Senayan



                                                “Allah mengutuk si pemberi dan si penerima suap.”
                                                (HR: Ahmad dan Tarmuzi)

“Si pemberi dan si penerima suap sama-sama di dalam neraka.”
(HR: Abu Daud)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
            Tindakan korupsi merupakan salah satu penyakit yang selama ini menggerogoti Bangsa Indonesia.  Bukan berarti di negara lain tidak terjadi, tetapi kondisinya tidak separah negeri yang kita cintai ini.  Bahkan hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa bangsa yang dilahirkan atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa ini merupakan negara terkorup se-jagat raya.
            Berbagai kasus korupsi yang saat ini marak terkorek menunjukkan bahwa tindakan penyelewengan kepercayaan sudah bukan lagi monopoli tingkatan pelaksana di lapangan tetapi merambah ke semua tatanan negeri.  Tidak terkecuali aparat penegak hukum itu sendiri, atau bahkan anggota Dewan yang Terhormat.
            Tragedi penangkapan seorang anggota DPR Hamka Yandhu akhir-akhir ini menyembulkan sebuah permasalahan yang sudah menjadi rutinitas di Senayan,  yaitu mafia harta, tahta dan wanita.  52 anggota Komisi IX DPR 1999-2004 disebut oleh Hamka Yandhu sebagai penerima dana dari Bank Indonesia.
            Tentu saja sebagian masyarakat terkejut dengan kejadian yang sangat memalukan tersebut.  Di sisi lain, banyak masyarakat yang sudah lama menantikan leburnya Gunung Es Korupsi di Senayan tersebut.    


1.2.  Masalah
            Tindakan busuk di balik kepercayaan masyarakat yang memposisikan DPR sebagai lembaga terhormat sebenarnya bukan rahasia lagi.  Sudah berlangsung lama dan banyak yang sudah menyembul ke permukaan.  Tetapi satu hal yang selalu saja terjadi adalah, berbagai kejadian itu segera membeku.
            Tumpukan perkara inilah yang akhirnya menjadi Gunung Es Senayan.  Sebagaimana es yang akan meleleh oleh panas, maka kumpulan kasus membeku ini pun harus mencair termakan zaman.  Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah dilahirkannya mulai berani mengoreksi.  Nama baik penghuni lembaga terhormat dipertaruhkan. 
            Akankah pengendali ini akan terus menjalankan tugasnya tanpa dikendalikan para pengendali yang lebih suka mengadali?
            .
1.3.  Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan Karya Tulis ini adalah untuk mendapatkan gambaran bahwa perilaku tak terpuji di Senayan sudah lama terjadi dari waktu ke waktu dan mencoba mencari cara jitu mengatasinya. 
            Oleh karena itu Penulis sengaja menuliskan kembali beberapa tulisan lama tentang korupsi.  Salah satu diantaranya sudah berumur 2 (dua) dekade namun masih relevan dengan keadaan sekarang.
           

            Beberapa tulisan Penulis tersebut adalah :
  1. Korupsi dan Si Korup (Majalah Islam Kiblat, 1987)
  2. KKN (Tabloid Kaba Luhak Nan Tuo, 1998)
  3. Harta (Padang Pos, 1998)
  4. Kita Semua Koruptor (2002, tidak diterbitkan)
            Karya lama itu sengaja disalin sebagaimana aslinya, untuk menunjukkan bahwa bahwa kejadian di Senayan sudah lama sangat memprihatinkan. 


BAB II
PEMBAHASAN

            Tindakan korupsi merupakan salah satu penyakit yang selama ini menggerogoti Bangsa Indonesia.  Bukan berarti di negara lain tidak terjadi tetapi tidak separah negeri yang kita cintai ini.  Bahkan hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa bangsa yang dilahirkan atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa ini merupakan negara terkorup se-jagat raya.
            Hasil survey Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang menyimpulkan bahwa DPR sebagai lembaga terkorup.  Sekalipun hal ini ditolak mentah-mentah oleh Ketua DPR, Agung Laksono, namun beginilah keadaan yang sebenarnya.  Para anggota Dewan yang Terhormat banyak yang khianat.
            Kalau keduanya dihubungkan maka, manusia pilihan yang bermarkas di Senayan itu ternyata merupakan kumpulan orang-orang terkorup se-dunia!  Tentu hal ini tidak akan terjadi dalam waktu singkat tetapi sudah sangat lama melembaga. 
            Banyak tindakan kejahatan yang sangat besar nilai rupiahnya yang tidak terlihat oleh hukum, apalagi korupsi kecil-kecilan yang berserak dalam ceceran ribuan pulau.  Korupsi di Gedung Dewan adalah warisan turun temurun yang tidak pernah diupayakan menuju perbaikan tetapi hanya ditelan mentah-mentah dan diteruskan bahkan dimutakhirkan.
            Hal ini mengingatkan Penulis untuk mencoba kembali ke masa lalu, memetik kembali beberapa tulisan masa lalu dan menghubungkannya dengan kasus korupsi yang saat ini menjadi bahan perbincangan yang tidak pernah habis.
            Kasus dan kelaliman yang dijalankan para anggota Dewan yang Terhormat selalu saja membeku di tengah jalan, tidak pernah ada penyelesaian.  Tumpukan perkara membeku inilah yang akhirnya menjadi bukit es perkara dan saat ini sudah menjadi Gunung Es!
            Ketika DPR terpaksa melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi mungkin yang tergambar di benak mereka adalah negara bersih dan berwibawa dijalankan.   Tetapi tidak menyangka lembaga bau kencur itu akan mengobok-obok lembaga maha kuat itu.

2.1. Korupsi dan Si Korup (Artikel dimuat di Majalah Islam KIBLAT, 1987)
            Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi berarti perbuatan buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dll).  Sedangkan “korup” berarti busuk, buruk, suka menerima uang sogok (menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri), dsb.
            Jadi jelas, korupsi (dalam arti sempit) hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan (kekuasaan), “para atasan”.  Oknum “para atasan” yang tidak kuat iman dalam mengemban amanat yang dipercayakan kepadanya.
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kau mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(Q S :  8 : 27)

            Karena itu, keharusan bagi “para atasan” untuk tahu betapa berat amanat yang dibebankan kepadanya.  Bukan hanya amanat dari Allah sebagaimana layaknya manusia lain, tetapi juga amanat dari sesama manusia.
            Alhasil, peyimpangan dalam menjalankan tugas berat ini (korupsi) tidak hanya akan dihukum Allah, tetapi juga oleh orang-orang yang memberi amanat kepadanya.
            Memang tidak semua penyimpangan itu terungkap, dan ditutupi oleh keterbatasan manusia.  Akan tetapi hendaknya kita sadar bahwa Allah mengetahui segala yang kita lakukan.
            Mengingat bahaya yang ditumbuhkan, maka pencegahan dan pemberantasan korupsi secara tuntas harus dilaksanakan.  Perlu ditumbuhkan sikap bangga akan kehormatan diri, penghasilan yang disesuaikan dengan sikon, dan pemisahan yang jelas antara hak pribadi dan hak orang lain (negara, perusahaan).  Begitu juga hukum yang setimpal harus diterapkan dengan adil.
            Berkibarnya bendera perang terhadap korupsi sebenarnya telah ada sejak dulu, bahkan sebelum tindakan korupsi itu ada.  Yaitu, di dalam hati mereka yang mencoba korupsi.  Fitrahnya sebagai manusia tentu menyalahkan tindakannya.  Sementara “nafsu untuk selalu lebih” mendorongnya ke arah sana.
            Munculnya UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan bukti melemahnya pengawasan korupsi padasebagian “para atasan”.  Namun pelaksanaanya masih kurang memuaskan.
Syukur, pada 26 September lalu bendera perang berkibar lagi, entah yang keberapa kali.  Yang perlu dikhawatirkan justeru pengibaran bendera perang itulah yang menjadi kebiasaan, membudaya.

2.2.KKN (Artikel dimuat di Tabloid Bulanan Kaba Luhak Nan Tuo, Juni 1998)
Karuhun Kanegerian Ngastina mungkin satu-satunya di alam ini yang dulunya tegak berdiri dengan sposor para mahaiswa yang hampir mengakiri masa kuliahnya, dengan mengabdikan kepada masyarakat atawa Kuliah Kerja Nyata.  Selain jelas berbeda dengan Negeri Astina yang ada dalam alam pewayangan juga sebenarnya Ngastina hanyalah merupakan bagian dari Negeri Khayalan yang tidak pernah ada di alam nyata.
Sebagai negeri yang didirikan oleh para idealis dari pusat penggodogan intelek, tentu saja Ngastina adalas suatu negeri republik yang menganut sistem demokrasi.  Ada Kongres Kenegerian Ngastina yang tidak kalah majemuknya daripada Kongres di Negeri Paman Sam.  Demikian juga Kabinet Kejayaan Ngastina merupakan susunan dewan menteri  di bawah Kepala Kabinet Ngastina setingkat Perdana Menteri di Buckingham.  Tetapi sebagai bagian dari Negeri Khayal tentu puncak tertinggi kekuasaan dijalankan oleh seorang raja.
Adalah merupakan Kisah Kasih Nyata kalau dalam kekuasaan raja yang telah turun temurun juga terwariskan sedikit demi sedikit imbas negatif yang juga ikut-ikutan turun-menurun plus senggol sana senggol sini sehingga kedamaian demokrasi Ngastina yang dirintis para pelopor makin lama makin jauh dari harapan,makin meleneceng dari tujuan negara seperti halnya yang tertuang dalam undang-undang.
Perhatian yang berlebihan terhadap golongan tertentu misalnya, yang jelas-jelas melanggar aturan main yang telah digariskan bukan hanya menyebabkan kelompok yang lain merasa tersingkir tetapi benar-benar dibuang jauh dari kekuasaan atau bahkan terpuruk dalam kandang Si Tumbin.  Keadaan yang demikian merupakan salah satu warisan yang Kecil-Kecil Numpuk, makin lama Ngastina mengarungi kedemokrasiannya ternyata makin ada kecenderungan ke arah sana.
Boleh saja kalau Kantong-Kantong Nasi yang dikambinghitamkan, boleh jadi dialah sebab utama yang akhirnya mendorong untuk menghalalkan segala cara termasuk Kasak-Kusuk Nyogok.  Hal inilah yang akhirnya terwujud dalam bentuk personil yang Karena Korupsi Nyangkut, Kenal Kolusi Nempel dan tidak boleh dilupakan Kong Kalingkong Nepotis pun ada di segala bidang kehidupan bangsa dan bernegeri.
Perjalanan panjang yang dialami Ngastina dalam mengarungi peredaran galaksinya yang sudah sedemikian mengakar atau bahkan boleh disebut mendarah-daging atau tidak bisa lagi menolak kalau dikatakan sudah membudaya.  Tentu hal yang demikian sudah berlangsung dari waktu ke waktu menjadi bahan kajian para intelek.  Kaum Kerja Negeri tidak lepas dari sorotan, karena mereka adalah salah satu penikmat bermacam upeti yang disetor masyarakat kepada bangsa tercintanya. 
Sementara para pembayar sendiri sebenarnya kebanyakan termasuk para pelaku Kerja Karena Nelangsa alias menderita.  Sehingga tak mengherankan, begitu gelombang kehidupan ekonomi negeri berguncang, menyulut terbakarnya Kumpulan Krisis Nyusup atau tersembunyi termasuk Krisis Kepercayaan Negriwan yang diangga bagian yang terlibat dalam menodai perjuangan para pendahulu.
Sorotan utama tentu saja diarahkan kepada para wakil masyarakat yang duduk di Kursi Kerja Ngantuk, yang mestinya mereka menyuarakan jeritan hati nurani rakyat degan kekhasan gayanya, Kritis-Kritis Ngomongnya.  Bukan malah hanya Keluh Kesah Nangis seperti merasa ketakutan Kehilangan Kursi Nantinya, pada periode pemilihan umum dua setengah tahun berikutnya.  Sehingga tidak heran kalau mereka tidak berbeda dengan Kumpulan Kepala Nunduk karena asyik merasakan Kantuk-Kantuk Nikmat dan kalau ada ketukan palu ketua sidang jadilah suara mereka alunan Koor Kepala Ngangguk.
Padahal anggota Kongres Kenegerian Ngastina jelas-jelas dipilih melalui prosedur pemilihan yang sangat lama dan mahal serta serta melibatkan segenap isi negeri Ngastina tetapi ternyata tidak lepas dari intaian inyiak balang untuk Kedap-Kedip Numpang, sehingga muncullah orang-orang yang kadang tak tentu rimbo-nya tapi bisa dikenal dari embel-embel di belakang nama kecilnya ada hubungan dengan Si Anu plus ada gesekan dengan Si Ani dan tidak lupa salam tempel buat Si Ana.  Jadilah pemilihan umum menjadi ajang untuk memilih orang-orang tak dikenal atau orang partainya sekalipun tetapi harus jadi karena memang Kecil-Kecil Nomornya.
Padahal betapa sulitnya untuk dapat sepuluh besar sekalipun kontestan pada setiap pemilu tidak pernah kurang dari 123 partai.  Beberapa partai malah harus hilang dari peredaran, namanya sekalipun tidak ada di daftar yang diumumkan kepanitiaan pemilu Ngastina atawa tidak kebahagiaan nomor.  Nama-nama mereka hanya ada di Kepanitiaan Kepemiluan Ngastina.
Sementara itu cadiak-pandai membuktikan kekonsistenan dan kecendekiawanan mereka dengan menyerukan suara hati rakyat yang makinmenderitadalam berbagai krisis dan tiba-tiba ditambah dengan kebijakn baru yang justeru makin menindih kehidupan Keluarga Kecil Ngisor (di bawah) sehingga mereka bak jatuh dari tangga kejebur sumur, eh, dinding sumurnya runtuh! 
Reformasi total!  Mau tak mau harus dilakukan sehingga roda kenegerian tidak jadi kengerian, jalan normal seperti harapan seluruh rakyat dan cita-cita pendiri negeri di alam kelanggengan.  Tentu saja sorotan tajam reformis pada keadaan sumber daya manipulasi, eh manusia di Ngastina yang sudah begitu lekat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang merupakan sumber musibahbagi rakyat tetapi menjadi ladang berkah bagi para pejabat.
Kurung Korptor Negeri!  Kikis Kolutor Nyinyir!  Singkirkan sistem Kerabat Keluarga Nepotis!    Berbagai jargon lain bermunculan memenuhi semua sudut jalan di Negeri Ngastina yang memang cuma sedikit.  Inti dari semuanya tidak jauh berbeda memerangi jajaran kenegerian dari para Koruptor, Kolutor dan Nepotis.
Namun demikian, Karena Keterbatasan News, entah bagaimana kelanjutan perjuangan para intelek itu sekarang.  Tapi berita terakhir yang sempat tersiar melalui media elektronik yang makin dekat dan berpihak kepada para reformis, mereka tidak akan sikucapang-sikucapeh, saiku tabang-saikua lapeh, yang akhirnya menyebabkan iklim kehidupan bernegeri makin ngeri dan tidak menentu tetapi akan selalu menghasilkan produk reformasi yang dapat membangkitkan batang tarandam karena sadar akan Negeri Ngastina yang makin terpuruk di mata negeri-negerikhayal tetangganga.

2.3.Harta (Artikel dimuat di Mingguan Padang Pos, 1998)
Petuah zaman baheula mengingatkan sesama akan kaitan erat antara harta, tahta dan wanita dalam jalan berliku kehidupan manusia.  Para ibu boleh bangga bisa bebas dari salah satu prahara atau malah tersinggung karena banyak di dalamnya, tetapi yang tersirat dalam “ta” terakhir adalah pria apabila yang dimaksud manusia adalah lawan jenisnya.
Ketiganya bisa saling menunjang, dapat juga saling menjatuhkan atau variasi yang lain.  Sebagai contoh, penguasa yang lengser bukan hanya ditendang dari kursi kekuasaan yang didudukinya tetapi juga kena kemplang uang yang dulu sangat menunjang, demikian juga lawan jenis yang dulu bermulut manis pun menjadi sinis bakan bertindak bengis dan sadis!
Banyak mulut yang menolak adanya kaitan erat antara harta dan kekuasaan sekalipun hati kecilnya menggigil saat berucap.  Tidak dipungkiri bahwa selain garis tangan ukiran Tuhan dan angka murni Sang Juri, doku turut berjibaku dalam meniti karir dan prestasi.  Tidak sedikit pula jalan panjang berliku penuh duri dan rintangan dalam mencapai tujuan dalam mencapai tujuan.  Tidak sedikit yang di tengah jalan digilas remas sehingga otakk udang mengalahkan nyali orang, asal ada jasa baik kotak uang.
Batas harta dan tahta pun sedemikian tipis sehingga dengan sekali coret ujung pena saja dengan mudah tercapailah koalisi diantara keduanya, tanpa basa-basi.  Pas dengan kilas balik Rudini yang mantan Menteri Dalam Negeri pada seminar tentang Otonomi Daerah yang diselenggarakan Suara Pembaruan tahun 2005 lalu. 
Katanya, “Tanpa korupsi, seorang Kepala Daerah Tingkat II dalam satu periode kepemimpinannya dapat mengantongi Rp. 500 juta, menghuni rumah indah di lokasi strategis dan duduk di balik mobil mewah.”
Lebih ditekankan oleh beliau, “Itu tanpa korupsi!” 
Akan halnya kaitan dengan lawan jenis, contoh yang paling populer belum lama ini adalah Pangeran Charles yang harus rela melepaskan haknya demi belai Camilla.  Namun tidak selalu berasosiasi negatif, Bill bisa duduk di singgaana adidaya justeru atas peran penting Sang Nyonya Clinton.  Demikian juga Corry dan Sonia menggelandang ke istana tidak lepas dari pengorbanan suaminya.
Di dalam negeri?  Kecuali Mega yang tidak pernah menutup mata atas kharisma warisan Bapaknya, kebanyakan masih suka menyimpan terasi dengan rapih.  Sekalipun di alam nyata sangat doyan menikmatinya, sambil pura-pura tutup hidung dan sembunyikan mata.
Baik-buruknya ketiga faktor di atas sangat relatif.  Tergantung zaman, bisa aman ataupun berbalik menjadi ancaman.  Terutama dikaitkan dengan iklim politik, sehingga menjadi sangat menarik dan menggelitik walaupun terkadang sangat pelik dan lain-lain termasuk diantaranya kriteria yang kadang lebih banyak berperan namun sering disembunyikan yaitu subyektivitas dan sensitivitas penilai serta sense of belonging-nya (baca: “Apa gue kebagian?”)
Harta, tahta dan juwita yang kadang perkasa saling kait mengikat.  Kejatuhan dan kenaikan derajat seseorang sering mereka iring.  Lepas dari jelita di hati masa muda misalnya, Anak Desa terpaku dengan jalan menuju tahta yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kemungkinan tersungkur seperti pendahulunya tidak akan pernah ada.
Namun pada saatnya tiba, ketika tahta meronta, harta berlimpah turut menimpa tubuh jatuhnya.  Dara datang mendera bersama jelita yang rindu melihat sambil menghujat.
Tidak lama setelah itu, Forbes pun buka kartu yang membuat warga negeri kaya segala ini –termasuk kaya raya hibah luar negeri yang mesti jadi tanggungan abadi beberapa generasi- sempat termangu.  Bagaimana tidak, harta penguasa Orde Baru mencapai 4 milyar dollar Clinton ditambah investasi di 32.000 perusahaan.  Sangat fantastis terdengar di saat krisis, apalagi di saat banyak perut meringis menhan tangis.
Boleh saja ada yang mengatakan bahwa hal seperti itu masih dalam batas kewajaran.  Bpati Malang saja bisa menyabet Rp. 100 juta hanya dari pencetakan KTP sejuta warganya.  Apalagi dedengkot 295 Kepala Daerah Tibgkat II yang obyekannya bukan hanya KTP, bisa juga TKP, belum lagi PKT dan tak terhitung jumlahnya komisi dari PT yang banyaknya ber-eksponen K, kemudian dipangkatkan satu tingkat lebih tinggi dengan 27 seperti jumlah propinsi dan diganda-tujuhkan sesuaidengan periode kekuasaan.
“Air mengalir sampai jauh ...!”   Ngak-ngik-ngok Gesang berkumandang sedari dulu.  Berita harta penguasa yang menggelora pun lenyap bersama alunan irama biola.  Sama seperti halnya ngosngosan reformasi yang makin terbagi, berceceran dalam kefanatisan para simpatisan partai dan golongan.
Namun ketika Time mengungkap ulang dalam jumlah yang makin membludak, setiap mata kembali terbelalak.  15 milya dollar AS atawa 120 trilyun rupiah!  Mereka berbalik tanya, “Kepeng sadonyo?”  (Uang semua?)
Kalau dihitung-hitung lebih jauh, uang sebanyak itu bila ditukar dengan pecahan bergambar beliau sendiri dan dijejer-panjangkan sedemikian rupa akan mencapai luas 28 km2 yangsanggup menaungi 3.000 buah lapangan sepakbola.  Dapat juga menutup aspal dari Bakauheni menembus belantara Andalas sampai ke Banda Aceh.
Atau bila dibagi-bagikan kepada anak negeri yang menvcapai 200 juta orang, akan kebagian Rp. 600 ribu per-kepala.  Demikian juga bila dibelikan beras dengan kualitas lebih baik daripada tabungan Dolog jatah KORPRI, akan cukup untuk mereka semua selama 20 bulan!    
Bagi masyarakat yang sudah sedemikian lama terkungkung dalam duka dan nestapa, berita itu tentu sangat mengena.  Walaupun kalau mau dihitung lebih jauh, ternyata baru setara dengan 80 prosen dari kredit macet para pengusaha negeri ini kepada saudaranya.  Atau malah termasuk di dalamnya, yang justeru bikin mereka kelimpungan cari jalan bayar pinjaman?
Lebih sedikit lagi bila dibandingkan dengan total utang mereka kepada kolega sebatas negara, 22 prosen saja.  Bahkan hanya 11 prosen dari jumlah tunggakan mereka secara keseluruhan yang mencapai 1.065 trilyun rupiah!
Kembali kepada cerita tentang Bupati Malang yang dituturka Rudini juga, jatah 100 juta itu adalah merupakan bagian dari 300 juta selisih anggaran pencetakan KTP.  100 juta upeti kepada DPRD dan sisanya bagian pemborong malang yang berdomisili di Kota Malang.  Sebab kalau tidak merasa kemalangan, dia tidak akan beramah-tambah jauh-jauh ke Mendagri sekalipun masih sohib dekatnya.
Belajar dari sana, maka upeti-upetian bukan hanya milik orang yang mangkal di puncak.  Banyak ber-cipratan sepanjang jalan mencapai tujuan.  Sehingga dana semacam ini bukan hanya mulus menuju lubang kotak amal Istana Negara, banyak yang tercecer seputar Senayan atau lari terbirit-birit berlindung di balik pagar rumah penganjangsana rutin singgasana yang banyaknya bisa lebih luar biasa.
Oleh karena itu kalau mau menjaring harta Pak Harto secara keseluruhan dengan jujur dan konsekuen tanpa maksud hanya sekedar memperpanjang alur cerita pendek yang sering mandek dengan sebab yang tak pernah nyana, bukan hanya sekedar otak-atik rekening atas nama pribadi dan keluarganya serta seliweran saham di ribuan perusahaan milik mereka seperti biasa.
Kalau demikian, ibarat berburu harimau putih menggunakan senjata paling mutakhir, dengan penarik picu Brigitte Bardot.
Keberhasilan pelacakan akan tercapai apabila diperhitungkan juga daki yang bersarang di balik kuku sekretarisnya, goresan nyata di bibir manis jurubicaranya, terselip di balik gulungan sorban penasehat akhlaknya, sempilan receh pada bendahara hariannya, di balik semangat pembelaan pengacara unggulannya, bayangan hitam di balik payung para pelindungnya, bias kilat jidat pemberi mandat sehingga kekuasaannya berlipat-lipat, substrat pat-gulipat para penjilat yang kini berdalih pelaknat, kepul cangklong pecandu sowan dalam upaya menjadi pahlawan, mengganjal jemari kaki-tangan yang sekarang ramai-ramai cuci tangan, noktah hitam di hati pecinta negara merangkap pengeruk harta negara, di balik kedok loyal pencekal dan penjagal, tersirat dalam maksud baik juru kritik, terselip dalam mantera kebal penjara para penjarah dana hibah, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kalau dapat diungkap semuanya secara nyata, maka barulah masyarakat akan tahu nilai sebenarnya dari hukum yang katanya selalu dijunjung tinggi di negeri ini.
Terlepas dari benar tidaknya bedahan Time, maka yang diperlukan adalah pengusutan tuntas sampai tas-tas-tas....  Setuntas pesan Marissa Haque yang dipanggil Ikang Fauzi, “Marissa Hakku.”  Bukan ikut irama ngak-ngik-ngok biola Gesang yang mengiringi sambung-menyambung paralon tanpa batas, tak pernah tuntas.  Berlarut-larut setelah sekian kali pasang surut karena yang hendak mengusut adalah pihak yang harus terlebih dahulu diusut.

2.4.Kita Semua Koruptor (Artikel dibuat akhir 2002, tidak diterbitkan)
15 tahun yang lalu kami turut menulis di Majalah Islam Mingguan KIBLAT tentang korupsi yang mulai dilirik.  Berbagai pihak mulai sadar bahwa kebobrokan mental yang sudah sekian lama mencengkeram perlu segera dibuka dan diatasi sedini mungkin.  Berbagai resep dikemukakan, mulai dari segi penegakan hukum sampai nilai spiritual.  Namun hasilnya, seperti biasa, semua lenyap begitu saja.
Pada masa kejayaan Orde Baru, upaya penjagalan koruptor sering sekedar opini atau bahkan menjadi anekdot yang menggelikan.  Apalagi masih sangat sedikit yang berani mengungkapkannya sebagai konsumsi publik sekalipun.  Maklum, korupsi identik dengan pemerintahan khususnya pegawai negeri.  Jaring korupsi meniti mulai dari jajaran tukang sapu dan pengibas debu, barisan birokrasi terendah sampai puncak eselonering.  Pada akhirnya menuju ke pusat pemerintahan, Istana Negara.  Saat itu, kalau ada pegawai negeri yang tidak ikut menikmati manisnya korupsi adalah oknum.  Namun kekuatan pusat kekuasaan menyebabkan mereka aman-aman saja.
Lima tahun kemudian, sorotan terhadap korupsi semakin gencar.  Seperti bisa diduga, para kroco mulai dikambing-hitamkan.  Lagi-lagi pihak teratas tetap aman dan kembali terlena dalam persembunyiannya di balik kursi jabatan.  Lupa bahwa ketika Pak Balok menyantap rel keretaapi maka Sang Jenderal Kancil pun pasti dapat cemilan baja.  Tidak juga ingat kalau pada akhirnya para bawahan tidak akan tinggal diam, terutama  setelah tahu penderitaan disihir menjadi kambing-hitam.
Pada tahun 1997, sepuluh tahun setelah tulisan kami berlalu, krisis ekonomi membuat pucuk pimpinan mulai digoyang.  Korupsi menjadi isyu sentral terdepan dengan mengajak kedua saudara kandungnya, kolusi dan nepotisme.  Mahasiswa dan LSM yang dari semula menjadikan korupsi sebagai wacana mulai berani merubahnya menjadi pencongkel.  Tidak tanggung-tanggung, pada akhirnya penguasa Orde Baru yang tiga puluhan tahun bercokol di Istana Negara harus rela pergi dengan tidak terhormat.
Lenyapnya kekuasaan Orde Baru ternyata tidak identik dengan hilangnya kasus korupsi.  Krisis kepercayaan terhadap penguasa malah berbuah berbagai krisis yang lain.  Krisis ekonomi pun makin menjepit di bawah timbunan krisis baru yang menguntit.
Penderitaan masyarakat diiklankan dan masuk bursa saham.  Bank Dunia pun dengan senang hati melegonya dengan harga murah meriah.  Kemudian lahir berbagai program dengan tujuan yang amat mulia untuk dikatakan produk manusia, namanya Jaring Pengaman Sosial (JPS) atawa dalam bahasa nenek moyang mereka Social Safety Net (SSN).  Saku dan kantong mulai tertolong.  Penduduk miskin dapat tetesan sebagai haknya.  LSM dan mahasiswa yang dulu nyeruduk dan vokal memperoleh bagian sebagai Tenaga Pendamping atau Konsultan Manajemen atau Tenaga Ahli atau sebutan intelek lainnya.  Ekonomi membaik dalam batas diantara dua tanda kutip (ditulis : “Ekonomi Membaik”).
Pertanyaan yang masih terus menggelayut adalah, “Sudahkah korupsi berakhir ?”
Ternyata tidak, Indonesia makin kokoh pada posisinya sebagai negara terkorup.  Melebihi India, dan di atas negara paling korup yang lain.  Teratas dalam kuanitas dan jauh meningkat dari sisi kualitas.  Para penggusur penguasa lama yang dinilainya korup pun turut menikmati renyahnya kue korupsi.  Sedangkan mantan pejabat yang kelewat korup menjadi sangat aman setelah menutupi celanya dengan taburan ang paw berdalih uang saku dari hasil korupsi yang baru.
  Korupsi bukan lagi milik pegawai negeri, tetapi juga masyarakat luas termasuk komponen mahasiswa sekalipun.  Mereka bisa tertawa berbahak-bahak setelah aktif atau mendirikan LSM dengan kegiatan utama mesam-mesem.
Namun demikian, upaya peneriakan korupsi terus berlanjut.  Banyak maling yang teriak maling, lebih banyak lagi yang menjerit karena tidak kebagian.  Hasilnya tidak terlalu mengecewakan, sampai tahun 2002 ini beberapa dedengkot koruptor mulai dicongkel.  Bukan hanya karena status kepegawai-negerian mereka, pengusaha dan politisi yang sering andil juga mulai diciduk.  Koruptor kelas kakap lain, kasak-kusuk menghindari giliran.
Hasilnya tidak tanggung-tanggung, setelah mengitari rumitnya rimba raya, akhirnya rakit kayu gelondongan yang membawa Menteri Kehutanan Bagian Lapangan Haji Muhammad Bob Hassan terombang-ambing arus ganas Laut Selatan sebelum nyangsang (terdampar) di Pulau Nusa Kambangan.  Dalam kasus yang lain, kepiawaian Abdul Gaffur main Tarzan-tarzanan bergelayutan dari satu akar beringin ke lain pohon pun pernah nyangkut di Rumah Tahanan.  Sementara Rahardi Ramelan pun tidak mau sendirian menghitung hari di balik jeruji.
Makin jelas harapan bahwa segala jenis korupsi akan berakhir tahun 2003 nanti !  Berbagai upaya sudah dirintis, Undang-undang Anti Korupsi digelindingkan.  Pemberantasan korupsi akan makin cepat membuahkan hasil.  Jangankan korupsi yang bernilai milyaran rupiah, lima tahun yang akan datang korupsi waktu pun akan segera sirna dari negeri ini.
Pada tahun 2003, generasi muda dan sebagian besar masyarakat Nusantara adalah mereka para alumni pendidikan dasar dengan guru yang berperan ganda sebagai penjaja Lembaran Kerja Siswa (LKS).  Tamat SLTP dan SLTA dengan sukses berkat staf pengajar memberikan les dan bimbingan tes.  Di perguruan tinggi favorit mereka belajar dari para intelektual yang kemana-mana menjual nama almamaternya.  Lingkungan masyarakat tempat mereka habiskan waktu terbanyak pun mengajarkan untuk terbiasa menyabet secepat mungkin setiap peluang mendapatkan dana tanpa harus berpikir penggunaannya, apalagi tanggungjawab pengembalian. 
Sementara birokrasi jalan di tempat atau berjalan mundur ke belakang dari masa lalu, sehingga bahan bacaan wajib di sekolah saja merupakan keluaran para penerbit yang sanggup menembus lorong gelap untuk memperoleh stempel “Bacaan Wajib” dari pejabat yang berwenang.  Sedangkan media massa baik cetak maupun elektronik, mengajari mereka untuk korupsi kecil-kecilan dengan cara membiarkan para modelnya yang sudah berumur mengenakan pakaian yang kekecilan atau bahkan berpose seperti ketika dilahirkan ibunya.
Awal tahun 2003 adalah akhir dari pembantaian terhadap pelaku korupsi.  Tidak perlu undang-undang dan berbagai peraturan yang membatasi.  Hakim dan Jaksa tidak akan disibukan lagi dengan tindak pidana korupsi.  Korupsi secara alami akan lenyap dengan sendirinya.
Saat itu, kita semua sudah korup !     Na ‘udzu bika min dzalik ….

2.5.Fenomena Gunung Es Senayan
            Sungguh bukanlah suatu kebetulan kalau beberapa tulisan yang pernah Penulis terbitkan saling kait-mengkait satu dengan yang lain.  Setidaknya, intinya bisa sambung-menyambung kalau dihubungkan dengan kondisi bangsa kita sekarang yang juga tidak pernah lepas dari permasalahan korupsi, khususnya korupsi tingkat tinggi di seputar Senayan.
            Bukan rahasia lagi kalau semua urusan yang berhubungan dengan para Dewan yang Terhormat selalu identik dengan uang.  Jangankan keperluan insidentil, kegiatan rutin pun harus dimodalin dulu.  Kecuali kalau yang berkepentingan hanya menganggap yang diurus sudah tidak penting lagi.
            Tahta telah membuat mereka terhormat, kehormatan itu bagian dari harga diri.  Tidak mengherankan kalau kursi yang terhormat itu pun akhirnya menjadi bagian penting yang harus dihargai, dengan rupiah atau pun mata uang lainnya.  Juga tidak sedikit yang menggantikan mata uang dengan kerling mata wanita!
            Tidak mengherankan kalau kaitan antara tahta, harta dan wanita di Gedung DPR sampai sekarang masih merupakan hal yang biasa.  Adalah oknum, kalau ada diantara mereka yang tidak ikut memanfaatkan kehormatan yang tidak akan mudah dinikmati di dunia luar.
            Kalaulah inteljen memasang kamera tersembunyi di berbagai sudut, mulai dari ruang sidang sampai tempat mereka meregang kelelahan.  Maka akan terlihat rekaman pembicaraan sampai kongkalingkong yang direncanakan di berbagai hotel mewah untuk menyelesaikan berbagai masalah, terutama yang berkaitan dengan kepentingan orang-orang daerah.  Dan, jangan kaget kalau akan beredar juga berbagai film syur yang jauh lebih seru daripada yang selama ini dipajang penjual VCD bajakan.
            Terhormat, kata itulah yang selama ini menjadi tameng keberhasilan mereka selalu memeti-es-kan berbagai kasus dan permasalahan yang sebenarnya nyata-nyata terjadi diantara mereka.  Kehidupan masyarakat yang mengenal strata dan status sosial mejadikan mereka menaruh hormat sekalipun mereka yang dihormat menyalahgunakan kehormatan.
            Allah menutup mata hati mereka dan mengancamnya dengan siksa yang amat pedih (QS : 2 : 7) sebagimana firman-Nya :

“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.  Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”

            Kata pepatah, serapat-rapatnya menyembunyikan tersi, akan tercium juga baunya.  Demikian juga borok yang sudah lama membeku di balik kursi empuk Dewan yang Terhormat, pada akhirnya harus terungkap.  Gunung Es Senayan pun sudah saatnya mencair.
            Sepanjang paruh pertama tahun 2008 ini, sedikitnya 5 (lima) anggota DPR ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Pada bulan Maret lalu, Saleh Djasit (Partai Golkar, daerah pemilihan Riau) ditahan KPK terkait pengadaan alat pemadam kebakaran saat beliau menjadi Gubernur Riau.
            Sebulan kemudian, Al Amin Nur Nasution (Partai Persatuan Pembangunan, daerah pemilihan Bengkulu) juga ditahan KPK ats kasus suap pengalihan fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan.
            Seminggu setelah penahanan suami artis Kristina itu, KPK menahan Hamka Yandhu (Partai Golkar, daerah pemilihan Sulawesi Selatan I) dan Anthoni Zeidra Abidin (Partai Golkar, daerah pemilihan Jambi).  Keduanya ditahan atas kasus aliran dana Bank Indonesia.
            Bulan Mei, Sarjan Tahir (Partai Demokrat, daerah pemilihan Sumatera Selatan II) ditangkap karena terkait dengan kasus alih fungsi hutan mangrove di Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan.  Sebelum bulan Juni berakhir pun diwarnai penangkapan terhadap Bulyan Royan (Partai Bintang Reformasi, daerah pemilihan Riau).
            Ternyata berbagai kasus yang dialami para anggota Dewan yang Terhormat itu hanyalah sebahagian kecil saja.  Terdapat banyak gumpalan kasus yang telah membeku sejak lama di senayan.  Tidak ada yang berani mengungkap, karena hanya menjadi awal dari bencana yang berkepanjangan.
            Hal ini terbukti dengan salah satu pembelaan terdakwa, Hamka Yandhu tidak mau sendirian menginap di hotel prodeo.  Dia menyebut jumlah nama yang tidak sedikit, 52 orang !  Mereka adalah para Anggota Komisi IX DPR Periode 1999-2004 yang juga telah menerima aliran uang dari Bank Indonesia.
            Korupsi bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi di Senayan, skandal perselingkuhan sudah bukan rahasia lagi.  Pelacuran tingkat tinggi sudah lumrah dan biasa terjadi.  Bahkan salah satunya sempat beredar sebagai adegan syur dalam keping VCD bajakan.
            Harta dan wanita memang telah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dalam tahta yang mereka peroleh dengan berbagai bentuk perjuangan dalam rangka mendapatkan suara sebelumnya.
            Reformasi yang semula bertujuan untuk memperbaiki diri bangsa ini, tenrnyata bermakna lain di Gedung DPR.  Perubahan hak menyebabkan mereka bak kuda liar lepas dari laso.  
            Kekuasaan era Orde Baru yang executive heavy pada era reformasi bergeser menjadi legislative heavy.  Konstitusi hasil amandemen dan undang-undang pasca Orde Baru memang memberi kewenangan begitu besar kepada DPR, utamanya dalam menentukan kebijakan pemerintahan.  Tidak ada kekuatan pengimbang atau pengendali perilaku dan produk subtansinya.
            Kondisi ini tampaknya amat dinikmati menjadi sistem dengan kebiasaan yang sungguh mengenakan secara pribadi dan kelompok.  Dengan demikian bisa dimengerti jika setiap perubahan sistem (amandemen UUD) untuk menciptakan check and ballance dalam rangka penyehatan parlemen atau parlemen yang bermartabat sesuai kehendak reformasi, selalu mereka tolak dengan dukungan jaringan dan kepemimpinan (elite) parpol yang oligarkis.
            Berbagai kritik dan koreksi yang sering terjadi, terutama dari dalam diri mereka sendiri melalui berbagai perbuatan memalukan selalu diselesaikan dan disimpan rapih dalam peti es.  Masalahanya adalah warisan, cara penyelsaiannya pun secara turun temurun tinggal ditiru, kecuali mau jadi manusia terasing di lingkaran kehidupan mewah Senayan.
            Dengan kata lain, para aktor yang sudah merasa enak dengan kebiasaan dan sistem akan selalu rsisten dengan ajakan perubahan.
Beberapa kecenderungan watak politisi di Senayan  sekarang ini antara lain :
a.                           Ingin melindungi diri dari label sebagai koruptor, apalagi sedang menjabat pada posisi strategis.
b.                          Pelaku kejahatan biasanya berkelit dulu sebelum akhirnya menyerah setelah ditunjukkan atau ada bukti-bukti kuat.
c.                           Gertakan politisi di balik perlindungan partai besar.
            Dengan watak demikian maka ketika Hamka Yandhu menyanyikan syair “Korupsi Berjamaah” mereka langsung membantah, tidak pernah menerima uang seperti yang dituduhkan.  Bahkan ada yang mengancam akan mengadukan koleganya ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik.
            Korupsi berjamaah terbentuk sebagai efek dari kepentingan bersama.  Sama-sama dikejar target untuk setor kepada partai yang mengusungnya.  Apa mau dikata, cara tercepat dalah menggunakan tahta sebagai alat pemeras.
Tentu sudah tidak terlalu banyak lagi yang percaya pada bela-diri mereka.  Anak-anak muda jauh lebih percaya pada lirik Gosip Jalanan yang dinyanyikan Bimbim beserta teman-teman Grup Slank :
            “Mau tau gak mafia di Senayan ? 
            Kerjanya tukang buat peraturan. 
            Bikin UUD, 
            Ujung-ujungnya duit !”
            Penggalan lagu di atas merupakan cerminan ekspresi kegalauan hati yang merasa prihatin atas korupsi yang makin menjadi-jadi di Gedung DPR.  Selama ini kasus selalu menjadi es yang membeku.  Kebekuan itulah yang terus bertumpuk menjadi Gunung Es yang selalu siap meleleh apabila suasana memanas!

2.6.Berharap pada KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disahkan tanggal 27 Desember 2002 oleh presiden saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Latar belakang pendirian lembaga independen ini adalah bahwa tindakan korupsi sudah sangat meluas di masyakarat.  Perkembangannya terus meningkat dari tahunke tahun, baik dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan smakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis tersebut tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan menjadi kejahatanluar biasa.  Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Oleh karena itu dibentuklan Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan lembaga neraga yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.  Lembaga luar biasa ini dibentuk dengan tujuan yang jelas, yaitu meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sesuai Pasal 6 UU Nomor 30 tahun 2002, tugas KPK adalah sebagai berikut :
a.                            Koordinasi dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.                           Supervisi terhadap instansi berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.                            Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
d.                           Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.                            Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

            Dari tugas yang diamanatkan, maka KPK ini merupakan lembaga yang sangat luas kewenangannya.  Namun bukan berati tanpa hambatan, karena sebagai bagian dari sistem yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia maka keberadaannya pun tidak terlepas dari ketergantungan kepada DPR.
            Oleh karena itu, KPK dalam menjalankan tugasnya memberi laporan secara rutin kepada Presiden, DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).  Dan yang lebih penting adalah bahwa anggota KPK diseleksi kelayakannya oleh DPR sehingga layak tidaknya seseorang menjadi anggota komisi bergengsi ini tergantung kepada para wakil rakyat tersebut.
            Poin terakhir inilah yang semula menyebabkan Penulis sempat terbawa arus pola pikir media yang berkembang saat Antasa Azhar terpilih menjadi Ketua KPK.  Sepanjang pengetahuan Penulis, beliau adalah orang yang sangat konsisten terhadap pemberantasan korupsi, terutama yang menyeret brirokrat dan anggota Dewan yang Terhormat.
            Seperti yang terjadi akhir tahun 90-an, beliau menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Walikota Padang bergantian dengan Anggota DPRD menghuni hotel prodeo.  Beberapa bupati yang lain pun saling menjebloskan dengan rival korupsinya.  Hampir kasus korupsi seantero Sumatera Barat terungkap berujung penahanan para pelakunya.
            Gendang asa untuk bersihnya Gedung DPR dari praktek-praktek kotor sudah ditabuh.  KPK harus bertindak nyata sesuai dengan aturan yang berlaku, termasuk apabila harus membenahi DPR yang telah melahirkannya.

2.5. Pengendalian Korupsi di Senayan Menurut Teori Sun Tzu
            Dua setengah abad yang lalu, Sun Tzu mengajarkan tentang strategi memenangkan pertempuran.  Beberapa hal yang menjadi bahasan dalam buku yang disusunnya adalah :
  1. Buatlah Rencana
  2. Seandainya harus berperang
  3. Taktik dan Tenaga
  4. Titik-titik kuat dan Lemah
  5. Manuver
  6. Menguasai Medan Perang
  7. Mengatasi situasi
  8. Memanfaatkan mata-mata
            Dalam hal pembahasan tentang korupsi, khususnya yang terjadi di Gedung DPR, ke-delapan bab ajaran Sun Tzu sangat relevan untuk dijalankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. 
            Perencanaan yang baik diperlukan untuk lebih cepat dan tepatnya meluluhlantakkan gunung es yang sudah puluhan tahun terbentuk.  Berbagai altenatif perencanaan diperlukan untuk dipilih yang terbaik untuk dilaksanakan.
            Seperti diingatkan Sun Tzu, “Semakin banyak perencanaan akan memberi lebih banyak peluang untuk menang, sementara semakin sedikit perencanaan, semakin kecil pula peluang untuk menang.  Lalu, bagaimana apabila tanpa perencanaan sama sekali ?”
            Pentingnya perencanaan sekali lagi diingatkan Sun Tzu, “Menyusun rencana yang baik sudah sama dengan memenangkan separuh pertempuran.”
            Dalam menghadapi situasi yang tidak diinginkan, yaitu peperangan, dalam hal ini KPK vs kearoganan DPR, Sun Tzu mengingatkan, “Jika anda terlibat pertempuran, sementara belum melihat kemenangan, pasukan anda akan menurun staminanya.  Mengepung kota hanya menghamburkan tenaga.  Dan seandainya persenjataan anda lemah pula, semangat dan kekuatan akan cepat terkuras.  Akan muncul sosok lain yang mencuri kekuasaan.  Tak seorangpun yang dapat menghindari konsekuensi ini.”
            Sungguh tragis apa yang digambarkan Sun Tzu 2.500 tahun yang lalu.  Benar-benar menjadi sebuah kenangan pahit dalam perjalanan bangsa yang merdeka melalui deraian darah dan air mata.
            KPK perlu mengenal diri lebih baik dan lingkungan secara keseluruhan, bukan hanya mengenal Dewan yang Terhormat dari kacamata awam.  Saran Sun Tzu, “Jika anda mengenal musuh dan diri sendiri, anda tak perlu khawatir pada hasil 100 pertempuran.  Jika anda mengenal diri sendiri tanpa mengenal musuh, anda mungkin memenangkan pertempuran juga tetapi anda pun akan turut menderita.  Jika anda tidak mengenal musuh dan diri sendiri, maka anda akan kalah dalam tiap-tiap pertempuran.”
            Seperti sudah diduga, tanpa mengenal diri sendiri apalagi musuh maka kekalahanlah yang akan didapat.  Dan kekalahan ini harus dibayar mahal dengan kesengsaraan rakyat.
            KPK tidak perlu gegabah dan emosi untuk menjadi pahlawan di tengah kegalauan.  Seolah menjadi Dewa yang selalu bisa meluruskan berbagai penyimpangan.  Bersikap rendah hati adalah kunci yang harus dipegang. 
            Kata Sun Tzu, “Pada zaman dahulu pejuang berpengalaman pertama-tama selalu menempatkan dirinya pada posisi kemungkinan kalah, dan menunggu kesempatan mengalahkan musuhnya.  Dengan demikian dia dapat mengamankan dirinya dari kekalahan, meskipun belum pasti sanggup menaklukkan lawannya.”
            Bahasa yang sederhana, sikap seorang pejuang yang perpengalaman selalu rendah hati. 
            Pemberantasan korupsi di Senayan sudah saatnya dilaksanakan.  Para anggota Dewan yang Terhormat belum menyadari hal ini harus terjadi.  Namun KPK harus terus waspada karena banyak hal tersembunyi yang menjadi trik kekuatan yang siap menghantam balik.
            Sebagaimana diingatkan Sun Tzu, “Rambut yang sudah memutih dan mulai rontok tidak lagi mencerminkan kekuatan mantap.  Menatap matahari tidak sama dengan bermata tajam.  Kemampuan mendengar bunyi gemuruh tidak membuktikan kepekaan telinga.”
            Permasalahan personil ynag terbatas merupakan keterbatasan yang perlu segera diatasi.  Tentu dengan personil berkualitas dan berkomitmen kuat dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.  Tidak perlu khawatir terjadinya penyimpangan tujuan sesudah lembaga menjadi besar. 
            Bagi Sun Tzu, “Mengendalikan pasukan besar pada prinsipnya sama saja dengan mengatur beberapa orang, sebab ini tidak lain hanyalah menjawab pertanyaan bagaimana membagi tenaga sejumlah personil.”
            KPK pun harus menjadi lembaga yang selalu ada di depan dalam pemberantasa korupsi.  Bukan hanya harus lebih awal dalam kehadiran tetapi juga dalam teknologi dan pengetahuan yang menunjang.
            Seperti diingatkan Sun Tzu, “Siapa saja yang datang terlebih dahulu di medan pertempuran dan menunggu kedatangan musuhnya akan berada dalam kondisi lebih siap dan segar untuk menhadapi perkelahian.  Sebaliknya, mereka yang datang belakangan ke kancah perang akan bertindak tergesa-gesa, kelelahan dan kehabisan tenaga sebelum pertarungan dimulai.”
            Tetapi perlu diingat bahwa setiap manusia mempunyai keterbatasan.  Demikian juga KPK yang saat ini seolah menjadi pemimpin pemberantasan korupsi.  Sun Tzu menggambarkan 5 (lima) kesalahan fatal yang biasa dilakukan seorang pemimpin perang, yaitu :
i)                    Gegabah, sehingga membawa kehancuran
ii)                  Takut, sehingga mudah ditawan musuh
iii)                Terburu nafsu, karena digoda penghianat
iv)                Gila hormat, sehingga mendatangkan aib
v)                  Cemas berlebihan terhadap prajurit-prajurit
            Perang gaya tempo doeloe mamaksa pasukan, baik dalam posisi menyerang maupun bertahan, senantiasa bergerak melalui darat (kadang-kadang lau, tetapi sangat jarang).  Agar efisien dan efektif pergerakan pasukan perlu mengikuti kondisi geografis medan perang.
            Oleh sebab itu, Sun Tzu juga memasukkan serta membahas pengetahuan geografis dalam bukunya.  Bahkan Sun Tzu tidak lupa mengingatkan agar kita juga panda-pandai membaca tanda-tanda alam.
            Perang ternyata bukan hanya menghadapi pasukan musuh, melainkan juga sekaligus harus pandai menjinakkan alam atau membaca serta memanfaatkan fenomena demi keuntungan pergerakan pasukan kita.
            Kondisi lawan dalam hal ini adalah mafia Senayan perlu diketahui baik secara fisik naupun kultural yang membentuk perjalanan hidup mereka.  Kesemuanya merupakan modal utama untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan.
            Strategi menyerang secara terus menerus seperti sekarang dilakukan KPK sudah saatnya dikoreksi.  Antasari Azhar sebaiknya mendengarkan saran ahli perang di bawah ini.
            “Seorang pemimpin yang terampil akan menyerang sasaran-sasaran sehingga lawannya tidak tahu apa yang harus dipertahankannya, dan sigap bertahan sehingga lawan tidak tahu target mana yang harus diserangnya,” Tulis Sun Tzu mengenai sikap menyerang atau bertahan.
            “Taktik-taktik militer seumpama air, yaitu mengalir secara alamiah dari tempat yang tinggi bergegas-gegas ke arah tempat yang lebih rendah di bawahnya.  Dalam peperangan, seranglah pihak yang lebih lemah posisinya, tetapi hindari menyerbu pasukan yang berada pada posisi kuat.”
            Lokasi dalam arti luas pun menjadi perhitungan tersendiri bagi KPK dalam pemberantasan korupsi anggota Dewan yang Terhormat.  Sun Tzu membagi lapangan perang menjadi 6 (enam) macam, yaitu :
i)                    Lapangan yang mudah didekati, yaitu lapangan yang mudah dijelajahi oleh kedua belah pihak.
ii)                  Lapangan kusut merupakan lapangan yang dapat ditinggalkan tetapi sulit diduduki kembali.
iii)                Lapangan yang mudah berubah merupakan kedudukan dimana kita dapat melancarkan operasi ke segala arah.
iv)                Sun Tzu mengingatkan, ambilah langkah sebijaksananya.  Jangan terpancing bila lawan  menyodorkan umpan.
v)                  Celah sempit, untuk posisi seperti ini Sun Tzu mengingatkan, seandainya lawan terlebih dahulu menduduki suatu celah sempit, jangan mengejarnya.  Tunggulah sampai pertahanannya atas celah sempit itu melemah, baru diserang.
vi)                Lapangan bergunung, diingatkan Sun Tzu, “Apabila di lapangan bergunung dudukilah tempat yang tinggi dan mempunyai pandangan luas.  Pukulah musuh pada saat mereka memanjat naik.  Andaikata musuh memiliki posisi bagus dan tinggi, jangan membuntutinya, melainkan mundurlah untuk menggodanya turun.
            Lapangan yang jauh dari musuh, seandainya anda dan lawan terpisahkan pada jarak yang cukup jauh dan kekuatan kedua belah pihak relatif seimbang, jangan merangsang suatu pertempuran, karena kan merugikan anda.
            Kelemahan biasanya datang dari dalam diri sendiri.  Demikian juga KPK perlu mewaspadai hal ini. 
            Sun Tzu juga mengingatkan akan adanya beberapa kemungkinan yang dapat timbul dari dalam.  Katanya, “Suatu pasukan dapat dihadapkan kepada 6 (enam) macam bencana yang tidak disebabkan oleh alam, tetapi tetap merupakan tanggungjawab pemimpin pasukan mewaspadainya, yaitu :
i)                    Pelarian atau disersi dari pasukan terjadi apabila prajurit merasa gentar dihadapkan pada lawan yang berkekuatan 10 kali lipat
ii)                  Tidak patuh, ketidakpatuhan terjadi karena pemimpin lemah atau tidak cakap memimpin pasukan
iii)                Lumpuh, jika prajurit-prajurit sangat kuat sementara perwiranya lemah maka terjadilah kelumpuhan pasukan
iv)                 Hancur, kehancuran terjadi dalam pasukan yang perwira-perwiranya mengambil inisiatif karena dendam kesumat tanpa menunggu aba-aba panglimanya
v)                  Kacau, pemimpin yang tidak tegas dalam memberi perintah dan tidak mampu menyusun hierarki organisasi serta tidak memberikan tugas rutin baik kepada perwira atau prajuritnya, menimbulkan kekacauan dalam pasukan
vi)                Kocar-kacir, keadaan kocar-kacir dapat terjadi lantaran panglima pasukan tidak sanggup memprediksi kekuatan lawan dan akibatnya membiarkan pasukan yang lemah berhadapan dengan pasukan musuh yang lebih kuat.
            Untuk mengatahui tentang teknik pertempuran, jumlah kekuatan pasukan musuh serta posisi-posisinya, hanya dapat dilakukan dengan menyaksikannya, bukan menduga-duga !  Kata Sun Tzu, “Kirimlah mata-mata !”
Sun Tzu membagi mata-mata menjadi 5 jenis :
i)                    Mata-mata setempat, yaitu dengan mepekerjakan penduduk setempat menjadi mata-mata
ii)                  Mata-mata terbalik, merupakan komponen pasukan lawan yang dijadikan mata-mata
iii)                Mata-mata penyusup, merupakan mata-mata lawan yang tertangkap kemudian dimanfaatkan kebmali untuk kepentingan pihak yang menangkap
iv)                Mata-mata terhukum, orang yang dibiarkan melakukan segala sesuatunya terang-terang demi pengelabuan dan mereka ini kemudian dillaporkan oleh mata-mata kita kepada musuh
v)                  Mata-mata mujur, yaitu orang yang akhirnya membawa berita kepada tuannya dengan selamat.
            Hanya pemimpin yang berkualitas yang menyadari arti penting mata-mata.  Oleh karena itu mereka dapat dibayar dengan mahal dengan hadiah besar dan gaji menarik sebab pekerjaan yang dilakukannya penuh dengan resiko dan sangat rahasia.
            Imbalan kepada mata-mata ini menjadi terdengar sangat lumrah mengingat peringatan Sun Tzu, “Jika suatu rahasia kecil sekalipun dibocorkan oleh seorang mata-mata sebelum waktunya, dia harus dibunuh bersama-sama dengan orang yang mendengarnya!”



BAB III
P E N U T U P

3.1.Kesimpulan
            Korupsi di tubuh DPR sudah merupakan kejahatan laten yang diwarisi secara turun temurun.  Berbagai kasus yang terjadi biasanya selalu membeku tanpa penyelesaian yang jelas.  Gunung es sudah terbentuk sedemikian lama akhirnya harus meleleh akibat ulah anak kandung yang sebenarnya dilahirkan untuk mengoreksi pihak lain.
            Komisi Pemberantasan Korupsi adalah satu-satunya harapan saat ini agar lembaga terkorup di negeri ini atau bahkan se-dunia, sadar dan segera membenahi diri sebelum menyuruh pihak lain menjadi lebih baik.
  
3.2.Saran
            Diperlukan langkah berani untuk memutus rantai korupsi dan ironisnya gebrakan ini harus dimulai dari lembaga hukum itu sendiri.  Selain itu Komisi Pemberantasan Korupsi perlu menyadari adanya berbagai keterbatasan internal sehingga tidak terhanyut dalam pujian yang bisa jadi akan menggiring mereka ke gerbang keterpurukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar