Jumat, 22 Agustus 2014

Bumbu Masak Itu Bernama Inflasi






BUMBU MASAK ITU BERNAMA “INFLASI”
(Sebuah Telaah atas Dampak Inflasi terhadap Kegiatan Bisnis)


Mata Kuliah :  ANALISIS MAKRO BISNIS
Dosen :  DR. SENEN MACHMUD, SE, M. Si



                                                                                           
Oleh :
D I N O T O




PROGRAM PASCA SARJANA
KONSENTRASI MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI “CIREBON”
CIREBON
2009







“Para pelaku bisnis dan masyarakat mesti bersiap-siap
menghadapi keadaan yang lebih buruk lagi di masa mendatang.
Pemerintah, dalam hal ini otoritas fiskal,
diharapkan bergerak cepat
dengan mengambil langkah koordinatif
dengan otoritas moneter.”

(Bank Indonesia)





“Kebijakan moneter diatur oleh Bank Sentral, instrumennya adalah
perubahan stok uang beredar, perubahan suku bunga -tingkat diskonto-
dimana Bank Sentral meminjamkan uang kepada bank komersial,
dan pengawasan terhadap perbankan. 
Kebijakan fiskal berada dalam wewenang DPR dan biasanya diprakarsai oleh lembaga eksekutif.  Instrumennya adalah tarif pajak dan pengeluaran pemerintah.”
                                               
(Dornbusch dan Fischer)





“3 Kalau !”

Kalau krisis ini sangat dalam dan sangat panjang
sehingga semua orang harus mati,
pastikan kamu mati yang terakhir.

Kalau krisis ini sangat panjang dan sangat dalam,
sehingga semua mati tetapi ada yang tersisa satu,
pastikan kamulah yang tersisa itu.

Kalau ternyata tidak terjadi krisis,
pastikan kita yang paling bahagia
karena kita orang yang paling siap.”

(Chairul Tanjung)


KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah subhana wa ta’ala, karena hanya berkat rahmat dan karunia-Nya sajalah kami dapat neyelesaikan amanah yang dipercayakan tepat pada waktunya.
            Karya tulis berjudul “Bumbu Masak Itu Bernama ‘Inflasi’ Sebuah Telaah atas Dampak Inflasi terhadap Bisnis” ini merupakan salah satu tugas Mata Kuliah Analisis Bisnis Makro dibawah asuhan Bapak Dr. Senen Machmud, SE, M. Si.  Oleh karena itu kami pun tidak lupa menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada beliau.
            Kepada rekan-rekan Angkatan Pertama dan para pengelola Program         Pasca Sarjana STIE Cirebon, tidak lupa disampaikan salam hangat atas segala aktivitas yang menjadikan suasana ruang kuliah Full AC kita selalu hangat-hangat saja.
           
                                                                        Indramayu, 17 April 2009
                                                                       

                                                                       
                                                                        Penulis
                       











DAFTAR ISI




Halaman
KATA PENGANTAR
.........................................................................
i




DAFTAR ISI
..........................................................................................
ii




BAB I
PENDAHULUAN
............................................................
1

1.1.
Latar Belakang
.........................................................
1

1.2.
Masalah
..................................................................
1

1.3.
Tujuan Penulisan
.....................................................
2

1.4.
Sistematika Penulisan
...............................................
2





BAB II
MATERI DANMETODE
..................................................
4

2.1.
Materi
.......................................................................
4

2.2.
Metode
....................................................................
4





BAB III
PEMBAHASAN
..................................................................
5

3.1.
Pengertian
..................................................
7

3.2.
Inflasi dan Bisnis
.....................................................
13

3.3.
Sekilas tentang Global
............................................
14

3.4.
Indonesia Diantara Belahan Dunia
..........................
19

3.5.
Penekatan Kuantitatif
..........................
21

3.6.
Pendekatan Sistem
..................................................
26

3.7.
Kembang-kempis
............................................
30

3.8.
Sikap Optimis
.....................................................
34




BAB IV
PENUTUP
.....................................................................
35

4.1.
Kesimpulan
..............................................................
35

4.2.
Saran
.......................................................................
35




DAFTAR PUSTAKA
..........................................................................
36
































BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
            Inflasi merupakan salah satu dinamika ekonomi yang selalut terjadi setiap saat.  Kejadian ini dapat menjadi agenda rutin bagi suatu negara sehingga bisa diprediksi sebelumnya.  Namun bisa juga merupakan kejadian mendadak yang tiba-tiba saja memporakporandakan perekonomian negara yang sedang dinikmati seluruh warganya.
            Krisis keuangan global dengan dampak yang mendunia menjadi salah satu penyebab inflasi yang tidak pernah diduga sebelumnya.  Hampir tidak ada negara yang tidak terpengaruh.  Inflasi terjadi dimana-mana, ironisnya ketika negara asal krisis sudah berbenah, banyak negara lain masih tertatih-tatih dan makin terjerembab dalam dampak yang ditimbulkannya.
            Kegiatan bisnis selalu menjadi bagian penting dari dinamika keuangan ini, keberadaannya dapat berpengaruh terhadap inflasi ataupun terpengaruh olehnya, meminjam istilah kimia, reversibel.  Oleh karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
           
1.2.            Masalah
            Terlepas dari berbagai faktor yang berkaitan dengan inflasi, dinamika moneter ini selalu berpengaruh dan dipengaruhi perkembangan dunia usaha yang ada.  Berbagai kegiatan bisnis akan langsung merasakan dampaknya, baik negatif atau bahkan ada yang justeru panen keuntungan dengan makin tingginya inflasi.
            Sesungguhnya inflasi adalah gejala moneter yang pada batas tertentu diperlukan untuk menggairahkan bisnis tetapi ketika terlalu tinggi akan berbahaya bagi perekonomian suatu negara secara keseluruhan.
            Ibarat masakan, tanpa bumbu masak maka sayur terasa hambar dan tak karuan namun ketika monosodium glutamat sudah berlebihan maka bukan hanya cita rasa masakan menjadi amburadol tetapi juga akan menjadi biang penyakit karsogenik yang mematikan.

1.3.            Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan Karya Tulis ini adalah untuk mencoba menelaah pengaruh inflasi terhadap kegiatan bisnis.  Banyak perusahaan yang merasakan dampak negatif, tidak sedikit juga yang memetik hasil dari makin besarnya inflasi yang saat ini terjadi sebagai dampak dari kebangkrutan salah satu lembaga keuangan terpercaya di Paman Sam. 
            .
1.4.            Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini sedapat mungkin mendekati format ilmiah, yaitu :
1.                  Kata Pengantar menjelaskan dasar dan beberapa hantaran kata yang berkaitan erat dengan penulisan karya tulis ini.
2.                  Bab I Pendahuluan mengemukakan tentang latar belakang, masalah dan tujuan penulisan dikaitkan dengan judul yang dipilih, serta sistematika penulisan karya tulis itu sendiri.
3.                  Bab II Materi dan Metode menjelaskan tentang materi yang menjadi bahasan dan metode penulisannya.
4.                  Bab III Pembahasan menguraikan tentang inflasi, bisnis, globalisasi dan efek reversibel reaksi inflasi dan bisnis yang pada umumnya menuruti hukum “Kembang-kempis”.
5.                  Bab IV Penutup merupakan kesimpulan dari uraian sebelumnya saran untuk perbaikan selanjutnya.
6.                  Daftar Pustaka memaparkan sumber tulisan yang dikutip pada penulisan makalah tulis ini.


BAB II
MATERI DAN METODE

2.1.Materi
            Bahan acuan dalam menelaah dampak inflasi terhadap bisnis adalah berbagai tulisan Bapak Dr. Senen Machmud, SE, M. Si yang menjadi bahan kuliah Analisis Bisnis Makro.  Sementara bahan telaahnya adalah berbagai buku tentang yang berkaitan Makroekonomi, Bisnis Internasional dan lain-lain, serta berbagai tulisan yang berkaitan sebagaimana tertera pada Daftar Pustaka.

2.2.Metode
            Kerangka pikir dari sumber utama tentang Analisis Makro Bisnis diuraikan secara sistematis, kemudian pendapat-pendapat dari berbagai sumber  pustaka dipaduserasikankan, juga pendapat para Penulis yang disepakati melalui diskusi.  Setelah itu dibuat dalam rangkuman kesimpulan dan diajukan beberapa saran untuk perbaikan.

BAB III
PEMBAHASAN

            Maju mundurnya suatu negara di era globalisasi seperti sekarang ini tidak terlepas dari keadaan ekonomi dunia.  Bahkan fluktuasi ekonomi di suatu negara adidaya bukan hanya sebatas mempengaruhi negara yang langsung berhubungan dengannya tetapi bisa mengguncang situasi perekonomian dunia secara keseluruhan.
            Dalam dua windu belakangan ini telah terjadi dua krisis ekonomu dengan sebab dan akibat yang berbeda.  Pada krisis ekonomi yang dialami beberapa negara menjelang akhir abad XX, Indonesia merupakan negara yang paling menderita.  Penderitaan beberapa negara ini ternyata hanya lokal di suatu negara, tidak terlalu berimbas kepada perekonomian dunia.  Bahkan penderitaan panjang Bangsa Indonesia ternyata justeru menjadi sumur bor ekonomi bagi berbagai negara, termasuk lembaga keuangan dunia.
            Berbeda halnya dengan krisis ekonomi yang dialami Amerika Serikat saat ini, imbasnya secara langsung mengguncang perekonomian dunia secara keseluruhan.  Bahkan ketika negara yang bersangkutan sudah mengalami berbagai peningkatan perbaikan, negara berkembang seperti Indonesia masih terpuruk dalam krisis yang makin berkepanjangan.
            Ketergantungan pada salah satu negara inilah yang menyebabkan sebuah negara adidaya dapat mengatur perekonomian dunia, baik langsung maupun tidak langsung.  Bahkan ketika pemerintah Washington memutuskan untuk mencetak dollar dengan jumlah yang sangat banyak, mereka tidak khawatir terjadinya inflasi di Amerika Serikat.  Justeru negara berkembang yang harus bersiap-siap menaikan prediksi angka inflasi akbibat serbuan dollar.  Sungguh sesuatu yang di luar kaidah teori makroekonomi.
            Besar kecilnya inflasi di suatu negara akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan perekonomiannya.  Keadaan ini diperparah dengan dampak sosial yang ditimbulkan sering berefek domino menghasilkan dampak sosial lain sampai tidak terkendali.
            Dalam tulisan ini kami mencoba menelaah dampak inflasi terhadap perkembangan bisnis, khususnya di Indonesia, dan bagaimana para enterpreuneur Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap optimis dan mengatur strategi untuk menghadapinya.
                       
3.1.Pengertian Inflasi
            Jika membeli kerupuk di warung, maka dengan uang seribu rupiah akan didapatkan dua bulatan kerupuk aci.  Padahal, empat dasa warsa yang lalu, di warung yang sama untuk mendapatkan dua kerupuk aci dengan ukuran yang sama cukup ditukar dengan sekeping lima rupiahan.  Jadi harga kerupuk yang sekarang Rp. 500/buah itu, empat puluh tahun lalu hanya seharga Rp. 2,5 saja.  Gambaran sederhana ini kiranya lebih mudah membuka wawasan kita tentang inflasi.
            Para ahli mencoba mendefinisikan secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.  Salah satunya mendefinisikan bahwa inflasi adalah kecenderungan naiknya harga barang pada umunya secara terus-menerus akibat ketidakseimbangan arus barang dan arus uang. 
            Bila inflasi terjadi secara terus menerus dengan laju yang tak terkendali maka dapat berdampak negatif terhadap perekonomian suatu negara.  Suatu negara yang mengalami inflasi ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
-          Harga-harga barang yang beredar pada umumnya dalam keadaan naik terus-menerus
-          Jumlah uang yang beredar melebihi kebutuhan
-          Jumlah barang relatif sedikit
-          Nilai uang (daya beli uang) turun
Keadaan yang tidak menyenangkan ini disebabkan berbagai faktor, antara lain adalah :
-          Jumlah uang yang beredar tidak seimbang dengan jumlah barang (jumlah uang lebih banyak daripada jumlah barang)
-          Jumlah uang yang beredar menjadi lebih besar karena pencetakan uang baru oleh pemerintah dalam rangka menghilangkan pinjaman luar negeri
-          Desakan golongan masyarakat tertentu untuk memperoleh kredit murah
-          Adanya sektor ekspor/impor, tabungan, investasi dan pengeluaran negara.
Oleh karena itu mereka menggolongkan inflasi dapat berdasarkan penyebabnya, yaitu :
-          Demand pull inflation, yaitu inflasi yang diakibatkan oleh naiknya permintaan masyarakat akan berbagai barang.
-          Cost push inflation, yaitu inflasi yang diakibatkan oleh naiknya ongkos produksi barang dan jasa
            Dengan demikian, inflasi sebenarnya merupakan kejadian yang lumrah dan dialami semua negara.  Kecuali keadaan yang terlalu ekstrim, melebihi keadaan biasanya yang sudah diwaspadai.  Berat ringannya beban negara tergantung pada besarnya tingkatan inflasi yang diderita, yang terbagi dalam beberapa golongan :
-          Inflasi ringan, yaitu inflasi yang besarnya kurang dari 10 prosen per-tahun
-          Inflasi sedang, yaitu inflas yang terjadi antara 10 – 30 prosen per-tahun
-          Inflasi berat, yaitu inflasi yang besarnya antara 30 – 100 prosen
-          Hiperinflasi, yaitu inflasi yang besarnya di atas 100 prosen
Dari beberapa uraian di atas, ternyata inflasi selalu dikaitkan dengan harga barang.  Padahal dalam dunia perekonomian, yang dinamakan produk bukan hanya barang tetapi juga jasa.  Pembiayaan yang dikeluarkan untuk jasa ini tidak pernah diperhitungkan.  Oleh karena itu, sebagian ahli ekonomi yang lain berpendapat bahwa sebenarnya inflasi adalah sesuatu yang harus terjadi karena harga barang harus mengemban juga harga jasa. 
Dengan demikian sebuah negara yang tidak mengalami inflasi sesungguhnya berjalan dalam ketidaknormalan, sangat berbeda dengan asumsi umumnya.  Negara tersebut mengalami deflasi, kenaikan harga barang yang sesungguhnya lebih rendah daripada nilai uang yang berlaku.  Sebagaimana pernyataan di atas bahwa sesungguhnya perubahan nilai barang yang berkurang ini impas dengan nilai pembayaran jasa. 
            Beberapa ahli mengeluarkan teori tersendiri dalam menganalisis kejadian yang mempengaruhi perekonomian semua negara ini, diantaranya :
a.       Teori Kuantitas Irving Fischer
Fischer mengemukakan bahwa penyebab timbulnya inflasi di negara berkembang adalah :
-          Jumlah uang yang beredar
-          Psikologi masyarakat (expectation), harapan masyarakat mengenai kenaikan harga.
Dengan asumsi di atas maka jumlah uang yang beredar berbanding terbalik dengan kecepatan perputaran uang, serta berbanding lurus dengan harga barang yang berbanding terbalik dengan laju perdagangan.     
            Secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut :

M V  =  P T

Dimana :
M         = Money (jumlah uang yang beredar)
V         = Velocity of circulation money (kecepatan perputaran uang)
P          = Price (harga barang)
T          = Trade (laju perdagangan)

Sebagai pembanding Dornbusch dan Fischer menyebutkan bahwa stok uang yang beredar adalah jumlah rekening deposito yanng dapat dijadikan cek  (rekening koran di bank) ditambah uang kartal (currency) yang dipegang masyarakat. 
            Secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut :

M1  =  CD + CU

Dimana :
M1       = Money (jumlah uang yang beredar)
CD      = Certificat of Deposit (rekening deposito, dapat dijadikan cek)
CU      = Currency (uang kartal yang dipegang masyarakat)
 
b.      Teori Keynes
Keynes berpendapat bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya, sehingga terjadi perebutan rezeki diantara kelompok masyarakat.  Hal ini menyebabkan permintaan akan barang dan jasa melebihi penawarannya sehingga terjadi Inflationary Gap (celah inflasi) yang terjadi karena sebagian golongan masyarakat yang berebut dengan dukungan dana yang tersedian mampu merealisasikan keinginannya sementara yang lain kalah dalam persaingan.
Kelompok 'pemenang' dalam celah persaingan ini adalah:
1)      Pemerintah, yang akan berusaha memperoleh bagian output lebih banyak dengan cara  mencetak uang baru
2)      Para pengusaha swasta, akan  terus menambah investasinya dengan cara berusaha mendesak memperoleh kredit murah dari bank. Jika bank memberik.an kredit murah, uang beredar semakin bertambah dan hal inilah yang mendorong tirnbulnya inflasi.
3)      Golongan buruh, akan berusaha meningkatkan daya belinya dengan cara menuntut upah yang lebih tinggi.  Jika upah naik harga pun biasanya ikut naik dan terjadilah inflasi.
Sementara kelompok yang kalah karena tidak berhasil meningkatkan pendapatannya adalah kelompok masyarakat yang berpenghasilan tetap, diantaranya Pensiunan, Pegawai negeri/Polisi/Tentara, Petani dan Ibu Rumah Tangga.

c.       Teori Strukturalis
Munculnya inflasi terutama di Negera Berkembang adalah akibat struktur ekonomi yang tidak elastis baik dalam penerimaan ekspor ataupun penawaran bahan makanan. 
Ketidakelastisan penerimaan ekspor disebabkan nilai penerimaan ekspor yang senantiasa lebih lamban daripada nilai impor.  Kelambanan ini disebabkan :
-          Harga-harga barang ekspor di pasar dunia mengalami kelesuan
-          Penawaran barang ekspor tidak responsif terhadap harga
Sementara itu ketidak-elastisan penawaran bahn makanan di negara berkembang disebabkan oleh penawaran bahan makanan lebih lambat daripada pertumbuhan jumlah penduduk dan pertambahan per-kapita sehingga harga bahan makanan di dalam negeri cenderung untuk naik melebihi kenaikan harga-harga barang lainnya.
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa inflasi dapat berasal dari dalam negeri tanpa adanya pengaruh dari negara lain sekalipun (domestic inflation) atau bahkan terjadi akibat pengaruh dari luar negeri (imported inflation).  Dengan demikian tidak mengherankan ketika krisis ekonomi di suatu negara akan menyulut inflasi di negara lainnya.

3.2.Dampak Inflasi
            Sebagai bagian dari gejolak ekonomimakro, maka inflasi berdampak luas kepada semua lini baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengannya.  Bahkan dampak yang ditimbulkan akan makin besar dengan bertumbukannya berbagai dampak tersebut satu sama lain, yang menyebabkan dampak inflasi semakin kompleks.
            Secara umum, dampak inflasi dapat digolongkan sebagai berikut :
a.       Dampak inflasi terhadap distribusi (pemerataan) pendapatan (Equity Effect), yang meliputi :
1)      Inflasi akan merugikan orang yang berpendapatan tetap, seperti pensiunan dan pegawai
2)       Kerugian juga akan dialami oleh mereka yang menyimpan kekayaan dalam bentuk uang kas (uang tunai) atau mereka yang menabung uang di rumah
3)      Kerugian juga dialami oleh para kreditur (orang yang memberi pinjaman) apabila bunga pinjaman lebih rendah daripada laju inflasi
Selain itu, terdapat juga beberapa golongan yang justeru meraup keuntungan dari inflasi, diantaranga adalah :
1)      Orang yang prosentase pendapatannya naik melebihi prosentase kenaikan inflasi
2)       Mereka yang memiliki kekayaan bukan dalam bentuk uang tunai, melainkan dalam bentuk barang berharga seperti emas.
3)      Buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja
  1. Dampak Inflasi terhadap Efisiensi
Inflasi menyebabkan penggunaan faktor produksi tidak efisien sehingga berpengaruh terhadap proses produksi secara keseluruhan.  Bukan hanya itu, inflasi juga menyebabkan perubahan daya beli masyarakat yang akan mengakibatkan struktur permintaan masyarakat terhadap beberapa jenis barang.
Salah satu cara singkat yang dapat ditempuh dalam meningkatkan efisiensi adalah dengan mengurangi tenaga kerja, yang berarti menambah tingkat pengangguran.  Tetapi ironis dengan dugaan, bahwa antara inflasi dan tingkat pengangguran dapat berbanding terbalik. 
Kurva Phillips menggambarkan keterkaitan antara inflasi dan tingkat pengangguran, semakin tinggi tingkat pengangguran maka akan semakin rendah laju inflasi.  Dengan demikian, penurunan tingkat pengangguran akan selalu dapat dipertahankan dengan mendorong kenaikan laju inflasi dan bahwa laju inflasi akan selalu dapat diturunkan dengan membiarkan terjadinya kenaikan tingkat pengangguran. 
Kurva ini merupakan keterkaitan empiris yang menghubungkan perilaku tingkat upah dan inflasi harga dengan tingkat pengangguran.  Kurva Phillips sangat terkenal di Inggeris pada dasawarsa tahun 1950-an dan menjadi landasan bagi analisis makroekonomi.
Tetapi teori ini diragukan kebenarannya ketika mulai tahun 1970-an terjadi inflasi besar-besaran yang diiringi dengan tingkat pengangguran yang sangat tinggi.

3.3.Sekilas tentang Krisis Global
Tanda-tanda akan adanya krisis keuangan yang maha besar sebenarnya sudah muncul di awal abab XXI ini.  Peter Eigen, Pendiri dan Chairman Transparency International menulis pada bagian pengantar Global Corruption Report 2003 sebagai berikut, “Skandal Enron telah mengirimkan gelombang kejut ke seluruh dunia karena merusak habis kepercayaan pihak publik terhadap integritas bisnis.”
Bagi Indonesia yang saat intu masih disibukkan dengan dampak krisis ekonomi 1997 yang tidak kunjung usai, gelombang kejut itu mungkin tidak terlalu terasa.  Atau pemicu munculnya krisis tersebut adalah berkaca kepada Indonesia yang tidak pernah selesai berbenah, malah makin dalam terjungkal setelah makin terkuaknya borok pemerintahan di balik ribuan prestasi.
Eigen mengatakan bahwa Enron dan skandal yang mengikutinya memperkuat persepsi kuatnya kolusi antara auditor, penasihat pajak, pengacara, bankir dan klien koorporasi mereka untuk merekayasa laporan keuangan demi keuntungan jangka pendek para manajer yang mengabaikan kepercayaan yang diberikan pemegang usaha, karyawan dan publik.
Sebagai akibatnya, publik mulai melek dan tidak percaya begitu saja terhadap laporan keuangan perusahaan karena tidak menjamin kebenaran soal informasi keuangan perusahaan.  Tidak mengherankan akibatnya sangatlah luas, ketidak-begitu-sajaan dalam mempercayai laporan keuangan perusahaan sudah dipiju sejak terkuaknya skandal keuangan di beberapa perusahaan besar seperti Xerox, Merck, Tyco, Kmart dan Global Crossing. 
Akan tetapi kejadian yang menimpa Enron sungguh mengejutkan, karena perusahaan tersebut merupakan perusahaan raksasa bisnis dunia.  Perusahaan kelas dunia lain yang juga terjungkal adalah WorldCom.
Tidak berapa lama, tanda-tanda krisis yang sebenarnya pun terjadi.  Lehman Brothers dan Merrill Lynch, dua nama top di jagat bisnis investment banking duna tersebut ambruk akibat kasus transaksi derivatif yang terkait dengan subprime mortage. 
Lehman, raksasa bisnis berusia lebih dari seabad harus hilang namanya dari sejarah peradaban bisnis modern.  Adapun Merrill Lynch masih cukup beruntung walaupun harus menyerahkan diri kepada Bank of America.
Singkat kata, kebangkrutan kedua raksasa bisnis ini merontokan AIG Life dan City Group yang harus di-bailout untuk menyelamatkan diri dari kehancuran.  Raksasa otomotif seprti Ford, General Motor dan Chrysler pun meminta hal yang sama untuk mencegah terjadinya PHK besar-besaran.  Akhirnya, bencana ini pun berdampak langsung terhadap perekonomian Amerika Serikan secara keseluruhan, bahkan merambah ke seluruh dunia menjadi krisis global.
Chairul Tanjung, menggambarkan proses yang rumit ini dengan bahasa yang sederhana.  Bahwa krisis ini dimulai dari sebuah negara yang paling kaya, Amerika Serikat.  Sebuah pertanyaan yang tidak harus dijawab, “Mengapa negara yang begitu sophisticated dan begitu luar biasa kayanya bisa kena krisis?”
Suatu negara yang sangat maju dan paling berkuasa, dengan berbagai kehebatannya tentu tidak masuk akal akan terjerembab dalam krisis yang sangat hebat.  Semua ini terjadi disebabkan oleh keseakahan manusia, khususnya di Amerika Serikat.
Sebenarnya Kitab Suci yang menjadi bagian hidup dari penduduk yang mengaku beriman telah mengingatkan bahwa semua itu merefleksikan hasil dari apa yang ditanam.  “Siapa menabur angin, dia akan menuai badai,” sebuah adegium lama mengingatkan.  Kalau menanam kebaikan maka hasil panennya juga kebaikan.  Filosofi dasar ini juga ada dalam budaya Jepang. 
Sebaliknya orang-orang Amerika Serikat karena keserakahan, arogansi dan kesombongannya lupa dengan apa yang mereka perbuat selama puluhan tahun.  Sedemikian kretifnya mereka dalam berbisnis sehingga menjual sesuatu pun tanpa perlu ada barangnya.
Minyak mentah yang diperdagangkan di New York dan Chicago dalam bursa komoditas tidak pernah ada delivery-nya.  Jadi, yang menjual minyak tidak perlu punya minyak dan yang membeli juga tidak perlu butuh minyak.  Sehingga, minyak yang diperdagangkan melebihi kebutuhan dan permintaan, melebihi supply dan demand.  Ironisnya, sesungguhnya barangnya pun tidak ada!
Belajar kepada masa lalu, secara riil awal perdagangan dilakukan dengan uang cash, ada juga yang melalui TT (telegraphic transfer), L/C atau barter.  Orang-orang Amerika Serika yang kelewat kreatif menduplikasi perdagangan riil ke perdagangan tidak riil.
Awalnya harga barang tidak riil mengikuti harga yang riil.  Karena jumlah barang yang riil masih jauh lebih besar daripada yang tidak riil.  Lama-lama jumlah barang yang tidak riil lebih besar daripada barang yang riil. Sebagai akibatnya, harga barang yang riil mengikuti harga yang tidak riil.  Ini tidak hanya terjadi pada satu komoditas tetapi hampir di semua komoditas.
Hal itu sengaja mereka buat karena ingin menggandakan keuntungan.  Akibatnya, terjadi penggelembungan ekonomi (bubble of economy).  Dalam waktu yang sangat singkat harga minyak bisa naik seenaknya dan turun seenaknya.
Penjual tidak memiliki minyak dan pembeli juga tidak butuh minyak.  Tidak perlu ada tangki.  Misalnya ada pembeli yang membeli 5 juta kiloliter, yang diterima cuma kertas karena memang tidak ada minyaknya.  Begitu harga turun, semua melakukan penjualan seenaknya.  Harga minyak pun turun luar biasa dalam waktu sangat singkat.
Pada waktu men-set up sistem kapitalis, meeka beranggapan bahwa mekanisme pasar yang free seperti ini adalah the future is come true.  Mereka menghujat sosialisme dan komunisme karena dianggap sebagai masa lalu.
Padahal saat ini Amerika Serikan menjadi negara yang paling sosialis.  Mereka akan melakukan apa saja agar dapat menjaga tenaga kerja di pabrik mobil, bank dan sebagainya.  Bahkan ada yang menyebutkan bahwa industri porno seperti Playboy juga meminta untuk di-bail out pemerintah karena menganggap dirinya menyangkut hajat hidup rakyat Amerika Serikat.
Kebebasan yang berlebihan dan sudah kebablasan ini telah menjadi kendali ekonomi, ketika harga minyak dan komoditas lain naik, maka harga kebutuhan pun ikut naik.  Kalau kebutuhan naik, maka timbul berbagai masalah baru, salah satunya subprime mortage atau KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) atau hipotik. 
Di Amerika Serikat terdapat dua jenis KPR, yaitu prime mortage dan subprime mortage.  Prime mortage adalah mortage untuk nasabah utama, sedangkan subprime mortage adalah mortage bukan nasabah utama.  Artinya, sebenarnya mereka tidak layak mendapat kredit karena tidak mampu membayar cicilan, tetapi tetap diberi kredit.
Selama puluhan tahun hal itu berlangsung lancar tanpa masalah karena perekonomian Amerika Serikat selalu naik.  Saat itu, perusahaan property tidak akan rugi sekalipun kreditor membeli rumah tanpa uang muka karena nilainya akan terus naik dari tahun ke tahun.
Misalnya harga awal rumah US$ 100.000, pada tahun berikutnya harga rumah secara otomatis akan naik menjadi US$ 120.000.  Anggap saja kenaikan US$ 20.000 tersebut merupakan uang muka. Jika kreditor tidak bayar pun tidak masalah karena bisa dijual kepada orang lain dan perusahaan property tetap untung.
Kondisi seperti ini dapat dimengerti, kepastian perekonomian juga menyebabkan pendapatan masyarakat Amerika Serikat relatif konstan, tidak fleksibel seperti di Indonesia.  Tidak mengherankan kalau di sana tradisi menawari orang lain yang kelaparan atau membantu mereka yang berkekurangan tidak pernah ada.  Demikian juga kalau tidak punya uang harus bisa menahan lapar atau sengsara sendiri.  Jangan berharap ada orang lain yang menolong.
Dengan pendapatan yang stabil ini, begitu harga kebutuhan mereka naik maka yang pertama kali dikorbankan adalah tagihan pembayaran KPR.  Ketika bank-bank di sana diperiksa, ternyata orang-orang yang tidak layak diberi kredit justeru mendapatkan kredit.  Akibatnya value asset berkurang.  Kegemparan akibat perbuatan penduduk Amerika Serikat ini tidak lain adalah badai yang sudah saatnya dipanen setelah mereka lama menabur angin.
Banyak orang di dunia yang mengikuti jejak langkah orang Amerika Serikat dan telah menyeret bangsanya ke dalam krisis finansial.  Dengan optimis Chairul Tanjung berpendapat bahwa dampak krisis pun tidak terlalu besar mengingat pasar ekonomi Indonesia adalah ekonomi domestik yang menguasai 70 %.  Sementara akibat krisis, ekspor akan turun, mungkin menjadi 20 %.  Jadi dengan meningkatkan pasar domestik 10 % keadaan dapat terkendali.
Namun demikian pengaruh krisis global terhadap keuangan Indonesia tidak dapat diabaikan begitu saja.  Salah satunya adalah meningkatnya tingkat inflasi sampai menembus angka 11 %.  Berbagai bukti lain juga memberatkan pendapat Chairul Tanjung, ternyata dampak krisis global cukup luas diantaranya situasi perekonomian yang masih makin tidak menentu, merosot tajamnya ekspor, mengerutnya pasar domestik akibat melemahnya daya beli masyarakat serta gelombang PHK seakan tidak ada batas waktunya kapan akan berakhir.
Celakanya, selain sektor keuangan dan perbankan, yang terimbas langsung krisis kali ini justeru industri yang menyerap banyak tenaga kerja seperti pertambangan dan energi, tekstil, garmen, alas kaki, otomotif serta makanan dan minuman.  Sektor jasa seperti transportasi dan pariwisata juga turut terpukul. 
Sedemikian muramnya dampak yang ditimbulkan, banyak ekonom meramalkan dampak krisis finansial global terhadap perekonomian Indonesia bakal berlangsung sampai 2010.
Beruntunglah masyarakat Indonesia yang telah teruji dalam menghadapi situasi terburuk, yaitu ketika menghadapi krisis sepuluh tahun yang lalu.  Banyak yang mengatakan bahwa krisis finansial saat ini jauh lebih berat karena negara tujuan utama ekspor Indonesia seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang terpuruk perekonomiannya.  Tetapi patut diingat bahwa seberat-beratnya krisis yang dihadapi Indonesia sekarang, masih berkutat pada tataran ekonomi.  Sepuluh tahun yang lalu, masyarakat diuji dengan krisis ekonomi yang parah sehingga rupiah terpuruk dalam nilai yang sangat rendah, Rp. 20.000/US$, rakyat di negara swasembada pangan ini pun harus berebut membeli beras, situasi chaos marak dimana-mana dan nyawa dapat melayang di mana saja.  

3.4.Inflasi dan Bisnis
Awan gelap membayangi kondisi ekonomi Indonesia sampai akhir 2008, diperkirakan tahun 2009 akan menjadi lebih berat lagi.  Efek krisis finansial global diperkirakan semakin berat.  Mulai dari memburuknya indikator-indikator ekonomi makro, anjloknya daya beli konsumen, merosotnya penjualan industri berbagai bidang sampai ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang lebih besar lagi.
Seperti diketahui bahwa di penghujung 2008 terjadi situasi yang sangat mencekam, salah satu raksasa bisnis asal Surabaya, PT Maspion mem-PHK 3.000 orang karyawannya.  PT Riau Pulp & Paper telah memutuskan hubungan kerja 1.000 karyawannya dan merumahkan 1.000 orang karyawan lainnya.   Di industri tekstil, terutama yang pasarnya berbasis ekspor, sejumlah perusahaan terpaksa melakukan PHK massal akibat menurunnya permintaan dari luar negeri.
Gambaran di atas merupakan dampak mengerikan dari krisis finansial global terhadap bisnis di Indonesia.  Sebagai negara yang menganut sistem ekonomi terbuka, Indonesia memang tidak bisa menghindar dari dampak krisis global.  Terlebih modal asing, termasuk modal jangka pendek yang diinvestasikan di pasar modal juga berperan penting dalam perekonomian indonesia.
Ketika para investor melakukan redemption (menarik kembali) investasinya di bursa saham Indonesia karena mengalami kesulitan likuiditas maka kebutuhan terhadap US$ pun meningkat tajam.  Hal ini membuat nilai tukar rupiah anjlok.  Selain itu, aksi jual saham secara besar-besaran menyebabkan harga saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia berguguran.
            Adrianus Mooy, mantan Gubernur Bank Indonesia yang saat ini menjadi guru besar di Universitas Pelita Harapan mengatakan bahwa, “Kejatuhan pasar modal dan rontoknya nilai tukar rupiah sebenarnya sudah bisa diprediksi.  Pasalnya, dulu kurs rupiah menguat dan bursa saham mengalami bullish lantaran banyak dana jangka pendek dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.  Ketika dana tersebut ditarik kembali oleh pemiliknya (para investor asing), pasti hal itu akan mengoreksi kurs rupiah dan harga saham.”
            Seperti diketahui bahwa para investor asing menarik dananya bukan karena pasar modal Indonesia tidak menarik lagi, melainkan karena di negara mereka mengalami kesulitan likuiditas.  Bank-bank kekeringan likuiditas karena masyarakat Amerika Serikat lebih senang memegang US$ dalam bentuk tunai.  Itulah sebabnya US$ tetap menguat terhadap rupiah meskipun ekonomi negara adidaya itu melemah.
            Keadaan tersebut diperparah dengan adanya kebutuhan US$ untuk membayar hutang luar negeri yang jatuh tempo dan aksi pelarian modal ke luar negeri oleh orang-orang kaya Indonesia, sehingga membuat rupiah makin terjerembab.  Dalam situasi seperti ini , perusahaan yang mempunyai exposure pinjaman dalam US$ akan menanggung beban yang makin berat.  Begitu pula dengan perusahaan yang masih mengandalkan impor bahan baku, biaya produksi mereka akan membengkak.
            Krisis finansial global juga telah menurunkan daya beli pasar global, terutama Amerika Serikat.  Oleh karena itu permintaan akan produk-produk dari Indonesia merosot yang mengakibatkan perusahaan di Tanah Air yang produknya diekspor mengalami masalah dalam pemasaran, bahkan ada yang sampai menghentikan produksinya.  Akhirnya mereka pun terpaksa harus melakukan PHK.
            Pelaku bisnis di Indonesia mengalami masalah yang makin berat dengan dinaikannya suku bunga kredit karena Bank Indonesia menaikan BI Rate, kucuran kredit pun makin seret.  Masalah lainnya adalah anjloknya daya beli konsumen, terutama di luar Jawa akibat rontoknya harga komoditas yang dihasilkannya di pasaran internasional.  Seperti diketahui bahwa ekonomi luar Jawa sempat tumbuh dengan cepat ketika harga komoditas seperti minyak kelapa sawit, batubara dan migas melambung di pasaran internasional.
            Sedemikian kompleksnya masalah yang dihadapi dunia usaha di Indonesia sehingga pencapaian indikator ekonomi makro Indonesia tahun 2008 relatif memprihatinkan, kurs rupiah Januari-September relatif stabil pada kisaran Rp. 9.000/US$ tetapi mulai Oktober sampai akhir tahun bergejolak menembus level Rp. 12.000/US$.  Indeks Harga Saham Gabungan per-Januari sampai awal September diatas 2.000-an sampai menembus angka 2.721,94 tetapi sejak 9 September terjungkal ke kisaran 1.100-an. 
            Inflasi hingga November  2008 sebesar 11,77 %.  BI Rate per-November 9,5 % dab cadangan devisa per-September US$ 57,107 milyar (lihat Tabel 1).  Inflasi rata-rata tahun 2008 sebesar 9 %.

Tabel 1. Indikator Ekonomi Makro Indonesia
NO.
INDIKATOR
PERIODE
2006
2007
2008*
1.
PDB (Rp. Triliun)
3,339.48
3,957.40
4,507.00
2.
Pendapatan per-kapita (US$)
-
1,710.00
1,894.00
3.
Ekspor (ribu US$)
103,528.00
118,014.00
71,655.00
4.
Impor (ribu US$)
73,868.00
85,260.00
58,775.00
5.
Investasi yang disetujui Pemerintah




PMA (juta US$)
15,623.90
40,145.80
6,392.10

PMDN (Rp. milyar)
162,767.10
188,876.30
13,471.60
6.
Loan to deposit ratio perbankan (%)
61.56
66.32
77.72
7.
Pinjaman luar negeri (US$)




Pemerintah
75,809.00
80,609.00
86,095.00

Swasta
52,927.00
56,032.00
60,975.00
8.
Cadangan devisa (juta US$)
42,586.33
56,920.13
57,107.97
9.
Kurs rupiah terhadap US$
9,020.00
9,419.00
10,995.00
10.
Dana pihak ketiga perbankan (Rp. Triliun)
1,287.10
1,510.83
1,603.45
11.
Tingkat suku bungan SBI (%)




1 bulan
9.75
8.00
9.71

3 bulan
9.50
7.82
9.91

6 bulan
-
-
10.40
12.
Tingkat suku bunga bank umum (%)




Modal kerja
15.07
13.00
13.93

Investasi
15.10
13.01
13.32

Konsumsi
17.58
16.13
16.87

            Sekalipun tingkat inflasi relatif kecil dan dana masuk dalam kategori inflasi ringan, namun dampaknya sungguhlah besar.  PDB dan pendapatan per-kapita meningkat masing-masing 14 dan 11 prosen, tetapi kemerosotan di berbagai bidang sangat memprihatinkan.  Ekspor turun 39 % sementara impor pun berkurang 31 %.  Investasi porak-poranda, PMA hengkang sampai hanya meninggalkan 16 % dana saja.  Sementara itu investasi dari para usahawan yang lahir dan besar di Tanah Air ternyata hampir semuanya kabur, tersisa 7 % saja.
            Tingkat daya beli masyarakat menurun sementara suku bunga kredit naik.  Pasar ekspor mengalami penurunan permintaan seiring menurunnya harga komoditas.  Keduanya berdampak secara langsung terhadap kesulitan menjalankan bisnis.  Untuk dapat mengurangi kerugian, pengusaha melakukan pengurangan produksi sampai penutupan pabrik dan berarti melakukan praktek PHK.  Sebagian dapat menikmati berkah krisis dengan menerapkan strategi yang kreatif.
            Berbagai krisis baik yang disebabkan oleh kejadian dalam negeri atau sekedar imbas dari masalah keuangan negara mitra telah mengajarkan kepada para pelaku bisnis untuk bisa memaknainya secara positif.  Salah satu pelajaran yang diberikan para pengusaha Amerika belum lama ini adalah sikap nasionalisme.  Kecintaan terhadap tanah air mengantar mereka terlibat aktif dalam menyembuhkan luka keuangan di negaranya tanpa mempedulikan aspek untung dan rugi.  Sikap nasionalis ini dapat mempertahankan nilai mata uang negaranya dan bahkan dapat mendongkrak nilai US$ terhadap rupiah dan mata uang lainnya.
            Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa ketika krisis melanda bangsa Indonesia banyak para pemilik modal yang tidak mau mengambil resiko kerugian.  Modal pun dilarikan ke negara yang lebih aman dan berinvestasi untuk mendulang keuntungan di tengah tangis masyarakat umumnya.  Nasionalisme yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan ternyata sangat sulit diaplikasikan karena harus melawan ego dan kepentingan pribadi. 
            Mungkin benar apa yang dikatakan Chairul Tanjung bahwa dampak krisis global di Indonesia tidak terlalu besar.  Demikian juga pengaruh relatif besarnya inflasi ternyata tidak perlu ditakuti.  Salah satu buktinya adalah perkembangan sektor industri cukup fantastis di tahun 2008 (Tabel 2).

Tabel 2.  Pertumbuhan Market Size Beberapa Sektor Industri
NO.
S E K T O R
PERIODE
2006
2007
2008*
1.
Penerbangan (PDB, Rp. Milyar)
14,669.3
16,592.0
20,937.6
2.
Biro perjalanan (PDB, Rp. Milyar)
24,882.3
26,148.1
32,335.9
3.
Hotel (PDB, Rp. Milyar)
16,074.2
17,431.7
21,602.4
4.
Restoran & makanan cepat saji (PDB, Rp. Milyar)
92,420.8
105,600.2
137,363.1
5.
Departemen store (Penjualan, Rp. Milyar)
18,880.4
21,732.1
25,528.9
6.
Asuransi (Penjualan, Rp. Milyar)
3,792.1
4,824.9
6,207.5
7.
Super market (Penjualan, Rp. Milyar)
4,808.6
5,147.2
6,048.7
8.
Otomotif




Penjualan mobil (000 unit)
318.9
434.4
629.4

Penjualan sepeda motor (000 unit)
4,426.8
4,805.6
6,488.8
9.
Bank (penyaluran kredit, Rp. Triliun)
787.1
995.1
1,346.5
10.
Tekstil & garmen (Penjualan, Rp milyar)
41,054,241.1
4,754,901.3
5,871,570.6
11.
Farmasi (Penjualan, Rp. Triliun)
3,305.9
3,655.4
4,071.7
12.
Kosmetik & toiletries (Penjualan, Rp. Milyar)
12,647.3
13,976.9
16,872.4
13.
Rokok (Milyar batang)
222.6
238.9
243.2
14.
Makanan & minuman (PDB, Rp. Milyar)
212,725.5
264,080.3
327,108.9
15.
Properti & real estate (Penjualan, Rp. Milyar)
3,830.9
4,557.8
5,321.8
16.
Telekomunikasi




Pelanggan seluler (juta)
69.4
101.1
150.6

Jumlah sambungan terpasang (juta)
8.0
8.3
8.9

Ternyata sekalipun krisis sedang melanda, gaya hidup masyarakat Indonesia masih relatif konsumtif.  Pelanggan telepon seluler yang sama sekali jauh dari kebutuhan primer meningkat sangat tinggi dari tahun sebelumnya               (49 %), disusul pembelian mobil dan motor yang juga meningkat signifikan sebesar 45 % dan 35 %.  Tetapi terdapat keraguan, apakah daya beli ketiganya yang meningkat tajam tersebut ada kaitannya dengan pinjaman dari bank yang juga meningkat lebih dari Rp. 350 trilyun.

3.5.            Sikap Optimis
Sekalipun sebagian dari para ekonom memandang dengan penuh keprihatinan di masa depan namun banyak pengusaha yang justeru tertantang untuk dapat berhasil mendulang keuntungan.  Krisis global telah memberi pelajaran tambahan kepada mereka untuk menciptakan kreasi dengan strategi dan jurus baru.
Perusahaan telepon seluler seperti XL, Telkomsel dan sebangsanya menikmati peluang pasar yang terbuka sangat lebar.  Perang tarif dilakukan untuk berebut pangsa pasar.  Masyarakat Indonesia yang biasa dimanjakan oleh alam yang subur makmur, sekarang dimanjakan oleh kemudahan berkomunikasi sehingga dapat menyalurkan kegemarannya dalam ngobrol berkepanjangan.  Tarif murah meriah menjadi bahan jebakan terampuh.  Dengan strategi tapal kuda, masyarakat digiring ke tengah sebelum akhirnya terjerat dalam kebiasaan berbicara tidak efektif.  Pengelola telepon seluler tidak takut dengan krisis global karena konsumennya adalah orang lokal yang sangat konsumtif.
PT Kalbe Farma mengambil langkah lain, defensif.  Akan tetap menggunakan fasilitas yang sudah ada dengan meningkatkan daya guna dan efisiensinya.  Tetapi dana untuk riset tidak akan dikurangi untuk mengimbangi perkembangan ilmu dan teknologi serta kebutuhan masyarakat.  Pelajaran paling berharga untuk pengusaha lainnya adalah bahwa perusahaan farmasi ini tidak mau berutang.
Keenganan berutang juga diberlakukan pada Group Ciputra, bahkan strategi ini sudah dilaksanakan selam 10 tahun terakhir.  Pendayagunaan modal sendiri menjadi kunci sukses perusahaan yang menggeluti berbagai bidang ini.  Selain itu, perusahaan ini mencoba menghasilkan produk berkualitas sehingga dapat mempromosikan dirinya sendiri.
Di luar dugaan, perusahaan garmen seperti PT Delami Garment pun tidak memandang suram masa depan pasar ekspornya.  Bahkan Presiden Direkturnya meramalkan akan bisa tumbuh lebih dari 10 prosen.  Sikap optimis ini mengurangi rasa khawatir dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di industri padat tenaga kerja tersebut.
Ada juga yang mencoba untuk memilih tidak melakukan ekspansi baru wilayah baru.  Dengan peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan di pasar yang sedang digeluti dipandang lebih menguntungkan dibandingkan dengan ekspansi di wilayah baru dengan modal tambahan yang tidak sedikit.  Salah satu perusahaan yang menerapkan strategi ini adalah PT Adira Finance Tbk.
Sementara Garudafood Group, perusahaan penghasil produk makanan ini akan menfokuskan diri pada ekspansi internal mengingat pasar ekspor akan terganggu dan tidak stabil.  Perilaku masyarakat Indonesia yang cenderung instant merupakan pasar yang sangat besar utuk diperebutkan dengan berbagai produsen lain seperti Indofood, Siantar Top dan sebagainya.
Tetapi ada juga yang memandang suram masa depan, seperti PT Astra Agro Lestari misalnya.  Anak perusahaan PT Astra Internasional ini memang sangat tergantung pada pasar ekspor.  CPO (Crude Palm Oil) dari jutaan hektar kebun sawitnya sangat tergantung pada pasar internasional.  Sementara daging babi kualitas tinggi yang dihasilkan di Pulau Bulan (Kepulauan Riau) sepenuhnya tergantung pasar Singapura.  Oleh karena ini wajar kalau Direktur utamanya, Widya Wirawan, dengan pesimis meramalkan keuntungan yang tidak sebesar tahun sebelumnya.
Perusahaan lain yang juga akan mengurangi kapasitas produksinya adalah PT Honda Prospect Motor.  Perusahaan penghasil sepeda motor nomor satu di Indonesia ini memandang bahwa pasar lokal akan menjadi pusat perebutan berbagai merek kendaraan dengan harga yang jauh lebih murah yang difasilitasi dengan kredit yang makin mudah.  Dua hal ini akan menjadi daya dorong masyarakat berpenghasilan pas-pasan untuk memperoleh kendaraan roda dua secara instant.   
Ketidakmantapan pasar luar negeri ini berbanding terbalik dengan sikap optimis perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.  Salah satunya adalah PT Shell Indonesia yang meramalkan pertumbuhan yang fantastis di tahun ini.  Berbagai kemudahan dalam berinvestasi seiring dengan kesadaran masyarakat untuk menggunakan bahan bakar berkualitas tinggi dan terjamin untuk kendaraannya merupakan peluang yang sangat besar. 


3.6.Bumbu Masak “Inflasi”
            Inflasi ibarat bumbu masak yang dapat menyedapkan setiap masakan, tetapi konsumsi yang terus menerus akan mengakumulasi bahan aktifnya dalam tubuh manusia.  Suatu saat akan menjadi pemicu munculnya penyakit kanker dan berbagai variannya.  Jika diberikan secara berlebihan pun akan merusak cita rasa masakan itu sendiri.
            Sama dengan bumbu masak, laju inflasi yang terkendali adalah pemicu tumbuhnya perekonomian masyarakat secara umum.  Tetapi ketika melebihi batas kewajaran maka harus menjadi peringatan.  Bahkan apabila berlipat-lipat dalam waktu yang sangat singkat maka akan menghancurkan sistem perekonomian yang dibangun sebelumnya.
            Kejadian di zaman Orde Lama adalah contoh terbaik untuk belajar.  Ketika laju inflasi tak terkendali, tanpa berpikir panjang pemerintah mengatasi kesulitan ini dengan mencetak uang kartal secara berlebihan.  Masyarakat tiba-tiba menjadi sangat kaya tetapi harus mengelus dada ketika pemerintah harus menggunting rupiah mereka menjadi seper-seribu saja.  Kekecewaan masyarakat menyebabkan mereka mudah digiring ke dalam suasana chaos yang akhirnya tidak lagi percaya kepada pemerintahan zaman normal.
            Inflasi lebih kecil dari kejadian di atas juga menjadi biang turunnya penguasa Orde Baru.  Masyarakat yang panik digiring lawan politik untuk meluluh-lantakkan tatanan ekonomi yang disusun lebih dari tiga dasa warsa.  Tingkat kepercayaan masyarakat sirna begitu saja.
            Namun demikian, tanpa adanya inflasi maka perekonomian juga akan cenderung stagnan atau bahkan menurun.  Secara mudah dapat digambarkan, jika harga kerupuk empat puluh tahun yang lalu itu berlaku juga untuk sekarang maka hal itu menunjukkan bahwa dinamika perekonomian negara tidak berjalan atau bahkan sudah jauh mundur ke belakang.  Pada saat itu, 1 US$ mungkin hanya Rp. 100 saja. 
            Oleh karena itu, empat puluh tahun yang lalu dengan uang 1 US$ dapat diperoleh 40 kerupuk.  Sementara sekarang hanya 24 kerupuk saja.  Jika menggunakan mata uang rupiah, maka uang Rp. 2,5 (seringgit) yang empat puluh tahun lalu masih bisa ditukar dengan satu kerupuk, sekarang sama sekali tidak laku lagi.  Kalau dipaksakan maka cuma mendapat secuil kerupuk, satu kerupuk yang harus dibagi menjadi 200 bagian.  Atau uang untuk membeli 200 kerupuk pada zaman itu sekarang hanya cukup untuk menikmati satu buah kerupuk saja.
            Jadi pada dasarnya inflasi harus terjadi sebagai akumulasi dari berbagai kegiatan ekonomi dalam negeri yang bukan hanya beraktifitas dalam bentuk barang tetapi juga jasa.  Yang lebih penting lagi, inflasi merupakan koreksi kegiatan perekonomia dalam negeri mengimbangi perkembangan dunia pada umumnya.


BAB IV
P E N U T U P

4.1.      Kesimpulan
            Inflasi merupakan gejala moneter yang harus terjadi di setiap negara.  Pada batas-batas yang wajar, kejadian ini ibarat bumbu penyedap yang dapat  menggairahkan perekonomian suatu negara.  Tetapi ketika inflasi secara perlahan menumpuk dan makin besar maka bahayanya luar biasa. 
Bahaya inflasi juga mengintai ketika penyebabnya tidak dapat diduga sebelumnya.  Dampak dari ketidakstabilan ekonomi Paman Sam mengguncang bisnis dunia, khususnya negara berkembang seperti Indonesia misalnya.
Tetapi krisis global ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap laju inflasi saat ini, bahkan disamping adanya berbagai dampak negatif yang timbul ternyata berbagai jenis usaha malah meningkat secara fantastis.  Pelanggan telepon seluler yang sama sekali jauh dari kebutuhan primer meningkat sangat tinggi dari tahun sebelumnya (49 %), disusul pembelian mobil dan motor yang juga meningkat signifikan sebesar 45 % dan 35 %.
  
4.2.      Saran
            Biarkanlah inflasi terjadi dan terus terjadi setiap tahun, dengan syarat lajunya masih dalam batas kewajaran karena sesungguhnya inflasi adalah bumbu masak yang dapat menyedapkan pertumbuhan bisnis di setiap negara.



DAFTAR PUSTAKA

Basri, F.  2002.  Perekonomian Indonesia : Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia.  Penerbit Erlangga.  Jakarta.

Dornbusch, R. dan Fischer, S.  1997.  Makroekonomi, Edisi Keempat.  (Terjemahan : Mulyadi, J).  Penerbit Erlangga.  Jakarta.

Griffin, W. R. Dan Putsay, M. W.  2005.  Bisnis International : Perspektif Manajerial, Jilid 1.  (Terjemahan : Indrakusumah, Y. S).  PT Indeks.  Jakarta.

Mankiw, N. G.  2001.  Pengantar Ekonomi, Jilid.  (Terjemahan : Munandar, H).  Penerbit Erlangga.  Jakarta.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar