Minggu, 24 Agustus 2014

Perencanaan Partisipatif - Proposal Thesis











PROPOSAL USULAN PENELITIAN TESIS



ANALISA TERHADAP
PERENCANAAN DAN PARTISIPASI DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA DI PEDESAAN

(Studi Kasus :  Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di Kabupaten Indramayu)








D  I  N  O  T  O
NIM : 12008019






PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER MANAJEMEN
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI “CIREBON”
2009






LEMBAR PENGESAHAN
USULAN PENELITIAN


Judul         :     ANALISA TERHADAP PERENCANAAN DAN PARTISIPASI DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA DI PEDESAAN
                              (Study Kasus : Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat
                              dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan
                              Flu Burung di Kabupaten Indramayu)

N a m a            :     D I N O T O

N R P              :     12008019




Cirebon,           September 2009

Diperiksa dan Disetujui :

Pembimbing I,




Prof. SULAIMAN SUKMANALA

Pembimbing II,




Dr. SENEN MACHMUD, SE, M. Si

Mengetahui :
Ketua Program Studi MM
Sekolah Tinggi Ilmu Ekomomi Cirebon




Dr. MOCH. NOERALAM, Drs., SE, M. Si



“Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang.
Karena itu, keunggulan bukanlah seuatu perbuatan,
Melainkan sebuah kebiasaan.”

(Aristotle)









“De milde natuun en de geringe behoeften, aankleding,
goede om die door harde arbeid in de zomer en door economiseren
door te komen, hebben ongungstig gewerkt op de economische
zin en in sterke mate het karakter der mensen beinvloed.”

(Gonggrijp, 1949)









“it’s not the BIG that eat the SMALL ...
it”s the FAST that eat the SLOW.”

(Jennings & Haughton, 2004)


KATA PENGANTAR

            Hanya ke hadirat Allah subhana wa ta’ala puji dan syukur ini terpanjatkan, karena hanya berkat rahmat dan karunia-Nya sajalah Penulis dapat menyelesaikan amanah yang dipercayakan tepat pada waktunya.
            Proposal Penelitian berjudul ANALISA TERHADAP PERENCANAAN DAN PARTISIPASI DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA DI PEDESAAN (Studi Kasus :  Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di Kabupaten Indramayu) merupakan Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Metodologi Riset Bisnis dibawah asuhan Bapak Prof. Dr. Sulaiman Sukmanala, SE, MM.  Oleh karena itu Penulis pun tidak lupa menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada beliau.
            Kepada rekan-rekan Angkatan Pertama dan para pengelola Program Pasca Sarjana STIE Cirebon, tidak lupa disampaikan salam hangat atas segala suasana ruang kuliah yang tidak pernah dingin namun juga tidak pernah kelewat panas alias selalu hangat-hangat saja.
            Peluk cium tentu hanya untuk isteri tercinta dan anak-anak yang selalu mengerti akan adanya kesibukan baru yang banyak menyita waktu.

                                                                        Indramayu,   September 2009
           
                                                                        Penulis




DAFTAR ISI




Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
.....................................................................
I




KATA PENGANTAR
...............................................................................
Ii




DAFTAR ISI
.............................................................................................
Iii




DAFTAR TABEL
.....................................................................................
Iv




DAFTAR GAMBAR
.............................................................................
V




DAFTAR LAMPIRAN
.............................................................................
Vi




BAB I
PENDAHULUAN
..................................................................
1

1.1.
Latar Belakang
...............................................................
1

1.2.
Identifikasi Masalah
.......................................................
5

1.3.
Pembatasan Masalah
......................................................
6

1.4.
Rumusan Masalah
.....................................................
6

1.5.
Maksud dan Tujuan Penelitian
.......................................
7

1.6.
Kegunaan Penelitian
.....................................................
8

1.7.
Kerangka Pemikiran
.....................................................
9

1.8.
Hipotesis
........................................................................
11

1.9.
Lokasi dan Jadwal
.........................................................
12





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
.........................................................
13

2.1.
Pengertian Perencanaan
...................................................
14

2.2.
Perencanaan Pembangunan Masyarakat
.................
17

2.3.
Pengertian Partisipasi
...................................................
19

2.4.
Perencanaan Partisipatif
................................................
21

2.5.
Pemberdayaan Masyarakat
.............................................
24

2.6.
Gambaran Umum Kabupaten Indramayu
........................
30

2.7.
Flu Burung di Kabupaten Indramayu
................................
32

2.8.
Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya
33


Pencegahan dan Penanganan Flu Burung
.......................


2.9.
Pelaksanaan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam
34


Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung
............





BAB III
METODE PENELITIAN
......................................................
37

3.1.
Desain Penelitian
.........................................................
37

3.2.
Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
....................
38

3.3.
Instrumen (Alat Pengumpul Data)
.............................
41

3.4.
Teknik Analisis Data
..................................................
42

3.5.
Uji Hipotesis
..............................................................
47

3.6.
Deskripsi Oerasional Penelitian
................................
49




DAFTAR PUSTAKA
......................................................................
52







































DAFTAR TABEL



Tabel
Halaman
1
Jadwal Kegiatan Penelitian
...................................................
12




2
Jumlah Sampel Penelitian dari Masing-masing Desa
.........
17




3
Operasionalisasi Variabel
......................................................
20




4
Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai “r”
......................................................
21
















































DAFTAR GAMBAR



Gambar 
Halaman
1
Kerangka Pemikiran Penelitian
....................................................
10


































DAFTAR LAMPIRAN



Lampiran
Halaman
1
Kuesioner Penelitian
...............................................................
54











































                                                         BAB I
PENDAHULUAN


1.1.      Latar Belakang Penelitian
Masyarakat merupakan suatu potensi sumber daya manusia yang sangat besar di setiap daerah di Indonesia.  Namun demikian, pemanfaatan sumber daya yang satu ini dalam pembangunan masih relatif kecil.  Ironisnya, komunitas tersebut selalu disalahkan apabila terjadi ketidakberhasilan pembangunan.  Partisipasi masyarakat yang kurang atau bahkan dianggap tidak ada, adalah alasan klasik yang paling sering diucapkan.
Seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, maka peduduk Kabupaten Indramayu yang jumlahnya mencapai lebih dari 1,7 juta orang pun mengalami hal yang sama.  Apalagi pendidikan rata-rata mereka relatif terbatas, hanya setara kelas 1 SMP.  Khusus untuk kalangan masyarakat dewasa bahkan setara tidak tamat Sekolah Dasar.  Dengan keterbelakangan pendidikan ini maka masyarakat sering dipandang sebelah mata oleh kalangan birokrat yang relatif lebih terpelajar.  Pada akhirnya masyarakat hanya menjadi obyek pembangunan, saat pelaksanaan tidak pernah dilibatkan, pada waktu perencanaan dilupakan.
Sebenarnya jauh-jauh hari para pendiri bangsa (founding fathers) telah menggariskan pentingnya peran masyarakat ini dalam pembangunan.  Pemerintahan yang berkuasa, baik Orde Lama maupun Orde Baru melengkapinya dengan berbagai peraturan dan perundang-undangan.  Tetapi pada pelaksanaannya sering jauh dari aturan yang menggariskan, peran masyarakat dilupakan.  Bahkan ketika Era Reformasi telah bergulir beberapa lama, hal yang sama seperti terulang kembali.
Beberapa undang-undang silih berganti diterbitkan untuk melegal-formalkan peran masyarakat dalam pembangunan.  Partisipasi masyarakat digiring mulai dari tingkatan yang paling bawah karena pada dasarnya merekalah yang paling tahu tentang kebutuhan dan potensi yang ada di lingkungannya.  Di tingkat desa, aspirasi yang beraneka ragam diadakan dalam forum resmi bernama Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes).  Namun pada pelaksanaannya, payung hukum itu tidak dapat melindungi hak masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan sebagai akibat dari kuatnya dorongan kepentingan pihak tertentu.
Perencanaan pembangunan partisipatif yang diterapkan sekarang melalui Musrenbangdes dan seterusnya pada kenyataannya sekedar lips service dalam menjalankan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. 
Bias yang terjadi antara aturan dengan pelaksanaan ini antara lain disebabkan oleh beberapa alasan klasik, yaitu :
1.            Waktu pelaksanaan perencanaan relatif terbatas sementara perencanaan secara partisipatif membutuhkan waktu yang relatif lama sehingga dianggap hanya membuang-buang waktu.
2.            Pada kenyataannya, musyawarah perencanaan pembangunan yang paling rendah selama ini adalah di tingkat kecamatan (bukan Musrenbangdes).  Peserta yang hadir adalah para pamong desa, lembaga kemasyarakatan dan lain-lain yang sudah ditentukan oleh pemerintahan sehingga tidak membawa suara masyarakat.
3.            Pelaksana kegiatan perencanaan sendiri tidak mengerti atau memahami dengan benar perencanaan partisipatif, apalagi menerapkannya.
4.            Ketiadaan fasilitator yang benar-benar memfasilitasi jalannya proses pelaksanaan bukti konkrit yang tidak bisa dibantah.  Para pejabat dari berbagai institusi yang terlibat lebih mendominasi sebagai pembicara dan menjadikan peserta sebagai pendengar yang baik.
5.            Jalannya proses perencanaan cenderung satu arah dengan menjadikan peserta sebagai obyek pendengar yang sesekali boleh menanggapi tetapi lebih dipandu untuk mengatakan kata “setuju”.
6.            Hasil proses perencanaan di tingkat kecamatan dibawa ke tingkat kabupaten dan secara teoritis dipaduserasikan dengan program dinas/instansi terkait.  Akan tetapi perencanaan yang disusun dari bawah itu tidak disertai dengan perencanaan pelaksanaan, anggaran dan aspek terukur lainnya, sementara rencana dari dinas/instansi terkait sudah disertai dengan berbagai dokumen seperti Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK), Kerangka Acuan, Dokumen Survey pendahuluan dan sebagainya.  Oleh karena itu perencanaan masyarakat sangat sulit untuk direalisasikan. 
Pada akhirnya proses penyusunan perencanaan pembangunan hanyalah tugas rutin yang harus dilaksanakan, tinggal namanya belaka.  Berbagai aspirasi masyarakat berubah menjadi daftar keinginan yang tidak pernah terealisasi.  Di mata masyarakat, pertemuan semacam ini hanyalah agenda rutin membuat daftar janji yang tidak pernah ditepati.
Pengalaman melaksanakan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di 31 Desa dalam 30 Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Indramayu pada tahun 2006 – 2008 menunjukkan bahwa apabila diberdayakan ternyata masyarakat Kabupaten Indramayu yang tidak berpendidikan itu ternyata bisa berubah menjadi pemikir yang efektif. 
Selama 4 (empat) hari, sebanyak 45 (empat puluh lima) orang dari berbagai unsur dibimbing oleh para fasilitator untuk menyadari keberadaan dirinya dalam lingkungannya yang penuh dengan masalah sekaligus sarat potensi untuk mengatasinya.  Pada hari terakhir kegiatan mereka mampu menyusun Rencana Aksi Desa untuk mencegah dan menangani flu burung di desanya.
Rencana yang dihasilkan dilaksanakan sendiri oleh peserta bersama anggota masyarakat di desanya.  Demikian juga evaluasi dari pelaksanaan kegiatan dan pelaporan dilakukan secara mandiri.  Hal ini menjadi mudah karena rencana yang dibuat benar-benar berdasarkan potensi yang ada di desa dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Beberapa perbedaan mencolok yang dilakukan dalam rangka melaksanakan perencanaan partisipatif diantara keduanya, antara lain : proses perencanaan partispatif melibatkan berbagai unsur yang ada di masyarakat, dilaksanakan dengan biaya yang relatif tersedia dan difasilitasi oleh mereka yang tidak punya kepentingan tertentu, serta hasilnya adalah rencana kegiatan secara langsung akan dipertanggungjawabkan oleh peserta kepada seluruh anggota masyarakat desa yang bersangkutan.
            Penerapan metode partisipatif yang benar ternyata dapat mengahantar masyarakat dengan pendidikan terbatas untuk menghasilkan perencaraan “dari, oleh dan untuk” mereka yang setara dengan hasil perencanaan kalangan terdidik.  Rencana Aksi Desa (RAD) yang dihasilkan peserta lokakarya sering membuat decak kagum, bahkan beberapa kalangan terdidik di birokrasi tidak percaya kalau dokumen tertulis tersebut aalah produk masyarakat.  Mereka menduga bahwa perencanaan itu sesungguhnya dihasilkan oleh kalangan mereka yang dipaksakan untuk diadaptasi oleh masyarakat. 
            Jika metode perencanaan partisipatif yang dilaksanakan dalam lokakarya diterapkan dengan baik dalam penyusunan rencana pembangunan Kabupaten Indramayu sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional maka rencana pembangunan yang dihasilkan akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.  Dengan perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka pembangunan yang dilaksanakan akan bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui berbagai keunggulan komparatif dalam memberdayakan masyarakat yang direapkan dalami kegiatan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di Kabupaten Indramayu yang dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Indramayu dengan UNICEF pada tahun 2006 – 2008 di 31 Desa dalam 30 Kecamatan. 

1.2.      Identifikasi Masalah
Perbedaan antara teori dan praktek penyusunan perencanaan ini disebabkan oleh banyak faktor yang kompleks, mulai dari peraturan perundang-undangan dan berbagai aturan lain yang tidak aplikatif dan cenderung hanya dimengerti oleh kalangan berpendidikan, birokrat yang masih menganggap sepele peran masyarakat dalam pembangunan dan juga faktor internal masyarakat terutama dikaitkan dengan latar belakang danpendidikan yang masih sangat terbatas. 
Selain itu, faktor eksternal yang selama ini ada di tengah-tengah masyarakat adalah banyak pihak yang berupaya memberdayakan masyarakat dengan tujuan kepentingan pribadi dan golongan semata sehingga ketika tugas mereka selesai maka masyarakat kembali dalam ketidakberdayaanya.
Beberapa permasalahan tersebut antara lain :
a.       Metode perencanaan yang diterapkan tidak sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang yang mengaturnya.
b.      Proses penyusunan perencanaan pembangunan dilakukan hanya sekedar melaksanakan undang-undang.
c.       Penyusunan perencanaan pembangunan tidak dipandu oleh fasilitator tetapi dilaksanakan secara birokratis, sehingga partisipasi masyarakat sangat kecil.
d.      Masyarakat yang dilibatkan dalam penyusunan rencana pembangunan hanya kalangan yang mendukung pemerintahan desa, pihak minoritas dan ekstrim biasanya dipinggirkan dan tidak diwakili sehingga tidak muncul berbagai sikap kritis yang sebenarnya sangat diperlukan untuk perbaikan.
e.       Hasil partisipasi peserta dalam penyusunan perencanaan pembangunan tidak ditindaklanjuti karena tidak sesuai dengan rencana dinas/instansi terkait.
f.       Terdapat banyak kalangan memanfaatkan kegiatan dalam penyusunan perencanaan pembangunan dengan partisipasi warga berkedok pemberdayaan masyarakat tetapi pada pelaksanaannya hanya memperdaya masyarakat.

1.3.      Pembatasan Masalah
Keenam masalah yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari kompleksnya permasalahan yang ada.  Keterbatasan waktu, tenaga dan biaya namun tanpa mengurangi arti penting permasalahan yang akan diteliti menyebabkan penelitian ini hanya dibatasi pada beberapa hal saja, yaitu :
a.       Apakah ada pengaruh metode perencanaan yang dilakukan terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.
b.      Apakah ada pengaruh partisipasi peserta lokakarya terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.
c.       Apakah ada pengaruh metode perencanaan yang diterapkan dan partisipasi peserta lokakarya secara simultan terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.
Titik tolak dalam penyelesaian ketiga permasalahan tersebut adalah kegiatan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di Kabupaten Indramayu Tahun 2006 – 2008 yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Indramayu bekerjasama dengan UNICEF.

1.4.      Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka dengan jelas dapat terlihat adanya perbedaan dalam pelaksanaan metode pemberdayaan masyarakat untuk menyusun rencana pembangunan yang biasa dilakukan institusi birokrasi Pemerintah Kabupaten Indramayu dengan kegiatan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung.  Secara teoritis, keduanya menggunakan perencanaan partisipatif tetapi dalam pelaksanaannya keduanya sangatlah berbeda.
Dengan cara penerapan perencanaan partisipatif yang berbeda ini maka menghasilkan produk perencanaan yang bertolak-belakang satu dengan yang lainnya.  Perencanaan yang dihasilkan peserta lokakarya merupakan perencanaan “dari, untuk dan oleh” masyarakat desa itu sendiri.
Sesungguhnya banyak sekali faktor penentu keberhasilan yang telah menghantar masyarakat dengan berbagai latar belakang tersebut menghasilkan perencanaan yang dikehendaki.  Disisi lain terdapat banyak keterbatasan yang menjadi kendala, seperti waktu penelitian dan dana yang diperlukan serta keterbatasan pengetahuan penulis. 
Oleh karena itu dalam penelitian ini dibatasi pada efektifitas metode perencanaan yang diterapkan dalam lokakarya dan partisipasi dari para peserta lokakarya itu sendiri dalam memberdayakan masyarakat desa pada umumnya.  Beberapa pertanyaan yang akan dicoba untuk dijawab dari penelitian ini adalah :
a.       Seberapa besar pengaruh metode perencanaan yang dilakukan terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan ?
b.      Seberapa besar pengaruh partisipasi peserta lokakarya terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan ?
c.       Seberapa besar pengaruh metode perencanaan yang diterapkan dan partisipasi peserta lokakarya secara simultan terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan ?

1.5.      Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menganalisa lebih lanjut tentang keunggulan komparatif metode perencanaan yang diterapkan dan partisipasi peserta terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.  Dalam penelitian ini diambil studi kasus pelaksanaan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di Kabupaten Indramayu yang dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Indramayu dengan UNICEF pada tahun 2006 – 2008.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa :
a.       Gambaran metode perencanaan, partisipasi dan upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.
b.      Pengaruh metode perencanaan yang diterapkan terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.
c.       Pengaruh metode perencanaan yang diterapkan dengan partisipasi peserta lokakarya terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.

1.6.      Kegunaan Penelitian
Beberapa kegunaan dari penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis, adalah sebagai berikut :
  1. Kegunaan Teoritis
1)      Sebagai masukan dan memperluas wawasan bagi kajian ilmu manajemen dalam mengelola manajemen sumber daya manusia khususnya di pedesaan sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan untuk pengembangan penelitian sumber daya manusia di masa yang akan datang.
2)      Memberikan sumbangan kajian penting dan memperluas kajian ilmu manajemen yang menyangkut upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.
3)      Mengembangkan konsep baru yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu manajemen.
b.            Kegunaan Praktis
1)      Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kabupaten Indramayu khususnya dalam meningkatkan kualitas pembangunan yang dilaksanakan melalui penyusunan rencana pembangunan yang dilaksanakan dengan metode perencanaan yang tepat dan melibatkan partisipasi masyarakat.
2)      Hasil penelitian dapat meningkatkan upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan melalui perubahan sikap dan cara pandang birokrasi dalam melaksanakan penyusunan perencanaan pembangunan dan melibatkan partisipasi masyarakat.
3)      Hasil penelitian ini dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan penerapan metode perencanaan dan partisipasi masyarakat dalam upaya pembeddayaan sumber daya manusia di pedesaan.

1.7.      Kerangka Pemikiran
Titik tolak penelitian ini adalah produk perencanaan yang dihasilkan “dari, oleh dan untuk” masyarakat peserta Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung yang dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Indramayu dengan UNICEF di 31 Desa dalam 30 Kecamatan di Kabupaten Indramayu antara tahun 2006 sampai 2008, yang biasa disebut sebagai Rencana Aksi Desa (RAD).  Masyarakat Kabupaten dengan segala keterbatasannya, terutama dalam bidang pendidikan, ternyata dapat menghasilkan produk perencanaan yang setara dengan mereka yang berpendidikan. 
Kerangka pemikiran selengkapnya dari masalah serta pemecahannya yang tercakup dalam penelitian Analisa Perencanaan dan Partisipasi terhadap Upaya Pemberdayaan Sumber Daya Manusia di Pedesaan (Study Kasus Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di Kabupaten Indramayu) adalah sebagai berikut :






 












Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Penelitian

            Efektifitas suatu produk perencanaan ditentukan oleh seberapa besar aplikasi dari perencanaan yang dibuat itu oleh masyarakat secara keseluruhan.  Oleh karena itu diperlukan survey lanjutan tentang aplikasi RAD tersebut di lapangan, kendala permasalahan yang dihadapi serta alternatif pemecahan masalah yang dilakukan.  Perlu juga dilakukan rencana tindak lanjut dari pelaksanaan RAD yang dilaksanakan masyarakat secara bersama-sama.
            Fenomena RAD seakan mematahkan asumsi bahwa partisipasi masyarakat Kabupaten Indramayu dalam pembangunan sangat rendah atau bahkan tidak, khususnya dalam perencanaan.  Keterbatasan tingkat pendidikan, status sosial dan lainnya ternyata tidak menjadi masalah untuk melibatkan mereka dalam proses perencanaan.  Hasilnya pun, sungguh di luar dugaan.  Hal inilah yang menyebabkan UNICEF sebagai penyandang dana, memberikan kepercayaan kepada Pemerintah Kabupaten Indramau untuk melaksanakan kegiatan lokakarya dari rencana semula hanya untuk 2 (dua) desa percontohan menjadi 31 (tiga puluh satu) desa.
            Keberhasilan ini tidak terlepas dari berbagai faktor eksternal yang dapat membuat masyarakat menyadari bahwa terdapat faktor internal dalam dirinya yang selama ini tidak disadari atau diketahui tetapi tidak tersalurkan.  Oleh karena itu diperlukan adanya peran fasilitator yang memfasilitasi kebuntuan saluran potensi dan juga panitia yang menyediakan berbagi kebutuhan demi terlaksananya acara tersebut.
            Lokakarya yang dilaksanakan dengan metode partisipatif mengantar masyarakat untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan flu burung yang dihadapi dalam diri dan lingkungannya dengan berusaha mendayagunakan potensi diri dan lingkungannya tanpa tergantung pada pihak luar, sekalipun beberapa kegiatan memang memerlukan pendampingan pihak tertentu.

1.8.      Hipotesis
Hipotesis merupakan anggapan sementara yang masih harus dibuktikan kebenarannya, dan anggapan sementara yang terjadi di kalangan birokrasi dan masyarakat terdidik adalah bahwa peran serta masyarakat Kabupaten Indramayu yang relatif rendah pendidikannya ini dalam pembangunan, terutama dalam perencanaan pembangunan, sangat rendah atau tidak ada sama sekali. 
Berdasarkan kerangka pemikiran yang dijelaskan di atas, maka hipotesisa yang dapat diajukan adalah sebagai berikut :
a.       Terdapat pengaruh yang signifikan antara metode perencanaan yang dilaksanakan terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.
b.      Tedapat pengaruh yang signifikan antara partisipasi masyarakat terhadap upaya pemberdayaan sumber daya mansuia di pedesaan.
c.       Terdapat pengaruh yang signifikan antara metode perencanaan yang diterapkan dan partisipasi masyarakat secara simultan terhadap upaya pemberdayaan masyarakat di pedesaan.

1.9.      Lokasi dan Jadwal
Penelitian dilaksanakan terhadap para peserta lokakarya terpilih di 31 Desa padai 30 Kecamatan di Kabupaten Indramayu.  Waktu pelaksanaan dan jadwal penelitian selengkapnya adalah sebagai berikut :

NO.
KEGIATAN (TAHUN 2009)
07
08
09
10
11
12
1.
Penyusunan Usulan Penelitian







a. Menyusun usulan penelitian







b. Sidang usulan penelitian







c. Perbaikan usulan penelitian






2.
Penulisan Tesis







a. Penyusunan kuesioner







b. Menyebarkan kuesioner







c. Analisis dan pengolahan data







d. Penulisan laporan Tesis







e. Bimbingan Tesis






3.
Sidang Tesis







a. Bimbingan akhir Tesis







b. Perbaikan Tesis







c. Sidang Tesis








                                                        BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Abraham Maslow sebagaimana dikutip Bateman dan Snell (2009 : 156) menyatakan bahwa kebutuhan manusia terdiri dari lima tingkatan.  Tingkat yang paling rendah adalah kebutuhan yang bersifat pemenuhan yang paling dasar bagi manusia, yaitu sandang, pangan dan papan.  Tingkat kedua adalah kebutuhan akan rasa aman, yaitu suatu kondisi manusia dapat hidup secara aman, baik di rumah, di luar rumah maupun di kantor.  Tingkat ketiga adalah kebutuhan sosialisasi, yaitu berhubungan dengan orang lain di sekitranya.  Tingkat keempat adalah kebutuhan akan penghargaan yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya.  Yang paling tinggi adalah kebutuhan akan aktualisasi dirinya.
            Berdasarkan teori di atas jelaslah bahwa manusia sebagai makhluk sosial bukan hanya cukup hidup dengan terpenuhinya kebutuhan materi semata tetapi juga perlu rasa aman, berinteraksi dengan lingkungan, harga-menghargai dan empati diantara sesama manusia serta dapat mengaktualisasikan dirinya dalam lingkungan.  Pada kenyataannya sering kebutuhan yang terakhir ini diabaikan, terutama apabila ada kelompok masyarakat merasa dominan sehingga harus ada yang dipinggirkan.
            Selama puluhan tahun Indonesia merdeka, masyarakat dibuai dengan program pembangunan yang selalu dihasilkan oleh para pemikir brilian.  Ironisnya, tidak semua program dan rencana tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau bahkan sering tidak cocok dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat. 
            Masyarakat Kabupaten Indramayu dengan pendidikan relatif rendah (selama beberapa tahun selalu menempati urutan terakhir di Propinsi Jawa Barat) sebagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya adalah obyek pembangunan.  Alasan klasik kegagalan pembangunan adalah partisipasi masyarakat yang rendah atau bahkan tidak ada sama sekali.
            Perencanaan pembangunan di Kabupaten Indramayu sesungguhnya dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.  Kegiatan ini dilakukan untuk melaksanakan segala aspek pembangunan.  Namum pada pelaksanaannya terjadi bias yang tidak sedikit, sebagai contoh adalah kegiatan yang dibiayai APBD Kabupaten Indramayu untuk semua desa seperti Alokasi Dana Desa (ADD).  Untuk melaksanakan kegiatan tersebut seharusnya dibuat rencana yang matang yang dilaksanakan secara partisipatif, melibatkan masyarakat dari bawah.  Pada kenyataannya, perencanaan dibuat hanya hasil kerja di balik meja.  Kegiatan partisipatif tidak berjalan mulus, seperti biasa masyarakat dijadikan kambing hitam kegagalan menjalankan amanat undang-undang.
            Pengalaman melaksanakan Lokakarya Pemberdayaan masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung selama 2 (dua) tahun di 31 Desa dalam 30 Kecamatan di Kabupaten Indramayu menunjukan bahwa sesungguhnya masyarakat adalah potensi besar yang terpendam.  Di balik berbagai keterbatasannya terdapat kelebihan yang tidak dimiliki para perencana pembangunan dari kalangan birokrat.  Ketika mereka difasilitasi dengan benar maka partisipasinya sangat tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menyusun rencana tindak lanjut, melaksanakan dan mengevaluasinya secara mandiri.

Pengertian Perencanaan
Perencanaan memiliki banyak pengertian sesuai dengan pandangan masing-masing, antara lain :
a.       Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu.  Oleh karena itu pada hakekatnya perencanaan terdapat pada setiap jenis usaha manusia (Khairuddin, 1992 : 47).
b.      Perencanaa adalah merupakan suatu upaya penyusunan program, baik program yang sifatnya umum maupun spasifik, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Said dan Intan, 2001 : 44).
c.       Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia (Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004).
d.      Perencanaan pada hakikatnya merupakan usaha secara sadar, terorganisasi danterus-menerus dilakukan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada untuk mencapai tujuan tertentu (Hurairah, 2008 : 66).  Selanjutnya dikatakan bahwa perencanaan adalah kegiatan ilmiah yang melibatkan pengolahan data, fakta dan situasi yang ditujukan untuk mencari jalan keluar dan memecahkan masalah.
e.       Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) yaitu merupakan tradisi yang diilhami oleh logika-logika berpikir ilmu manajemen, administrasi publik, kebangkitan kembali ekonomi neoklasik dan teknologi informasi yang disebut sibernetika (Aristo, 2004 dalam Bahua, 2008 )
Meskipun perencanaan mengandung pengertian masa depan, bukanlah hipotesisnya dibuat tanpa perhitungan.  Hipotesis dalam perencanaan selalu didasarkan atas data-data dan perkiraan yang telah tercapai, juga perhitungan sumber daya yang ada dan akan dapat dihimpun.  Dengan demikian perencanaan berfungsi sebagai pedoman sekaligus ukuran untuk menentukan perencanaan berikutnya.  Mosher (1965) dalam Bahua (2008) menyatakan bahwa seringkali perencanaan hanya meliputi kegiatan-kegiatan baru, atau alokasi keuangan untuk kegiatan-kegiatan lama, tanpa menilai kembali kualitasnya secara kritis.  Acapkali lebih banyak kegiatan yang sedang dalam pelaksanaan daripada memulai yang baru.
Perencanaan pada dasarnya adalah penetapan alternatif, yaitu menentukan bidang-bidang dan langkah-langkah perencanaan yanga akan diambil dari berbagai kemungkinan bidang dan langkah yang ada.  Bidang dan langkah yang diambil ini tentu saja dipandang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sumberdaya yang tersedia dan mempunyai resiko sekecil-kecilnya. 
Oleh karena itu, bentuk perencanaan dapat ditinjau dari berbagai sudut, seperti dijelaskan oelh Westra (1980) dalam Khairuddin (1992 : 48), antara lain :
a.       Dari segi waktu, perencanaan dapat dibedakan :
1)      Perencanaan jangka pendek (1 tahun)
2)      Perencanaan jangka panjang (lebih dari 1 tahun)
b.      Dari segi luas lingkupnya, perencanaan dibedakan :
1)      Perencanaan nasional (umumnya untuk mengejar keterbelakangan suatu bangsa dalam berbagai bidang)
2)      Perencanaan regional (untuk menggali potensi suatu wilayah dan mengembangkan kehidupan masyarakat wilayah tersebut)
3)      Prencanaan lokal, misalnya perencanaan kota (untuk mengatur pertumbuhan kota, menertibkan penggunaan tempat dan memperindah corak kota) dan perencanaan desa (untuk menggali potensi suatu desa serta mengembangkan masyarakat desa tersebut).
c.       Dari segi bidang kerja yang dicakup dapat dikemukakan antara lain :
1)      Industrialisasi
2)      Agraria (Pertanahan)
3)      Pendidikan
4)      Kesehatan
5)      Pertanian
6)      Pertahanan dan Keamanan dan sebagainya
d.      Dari segi tata jenjang organisasi dan tingkat kedudukan manajer, perencanaan dapat dibedakan :
1)      Perencanaan haluan (policy planning)
2)      Perencanaan program (program planning)
3)      Perencanaan langkah (operational planning)
Siliwati (2005) dalam Hurairah (2008 : 65 – 66) menegaskan bahwa perencanaan yang baik akan sangat bergantung pada beberapa faktor, antara lain :
a.       Kualitas rencana itu sendiri.  Hal ini terkait dengan isi rencana tersebut yang mempertimbangkan banyak hal, seperti antara lain : kebutuhan masyarakat yang mendesak, arah kebijakan pembangunan nasional, perkembangan dunia ke depan (globalisasi), dampak demokratisasi dan desentralisasi, serta kemampuan sumber daya yang dimiliki.
b.      Mekanisme/proses perencanaan rencana, seperti pelaksanaan dialog dan konsultasi publik dengan masyarakat, lembaga perwakilan rakyat, LSM, partai politik, tokoh masyarakat, serta instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah.  Harapannya dengan konsultasi publik atau dialog, rencana program tersebut akan mendapatkan legimitasi secara utuh dari stakeholders bangsa dan negara sehingga bisa dilaksanakan secara konsisten oleh stakeholders tersebut sesuai dnegan tugas dan fungsinya dalam tata kepemerintahan yang berlaku.
c.       Pelaksanaan rencana, yaitu tindakan nyata/konkrit yang berada di dalam masyarakat untuk melaksanakan program tersebut secara konsisten, termasuk di dalamnya dukungan ketersediaan anggaran dan profesionalisme pelaksana rencana.

Perencanaan Pembangunan Masyarakat
Soetomo (2006 : 56) menjelaskan bahwa, pembangunan masyarakat dilihat dari mekanisme perubahan dalam rangka mencapai tujuannya, kegiatan pembangunan masyarakat ada yang mengutamakan dan memberikan penekanan pada bagaimana prosesnya sampai suatu hasil pembangunan dapat terwujud, dan adapula yang lebih menekankan pada hasil material, dalam pengertian proses dan mekanisme perubahan untuk mencapai suatu hasil material tidak begitu dipersoalkan, yang penting dalam waktu relatif singkat dapat dilihat hasilnya secara fisik. Pendekatan yang pertama seringkali disebut sebagai pendekatan yang mengutamakan proses dan lebih menekankan pada aspek manusianya, sedangkan pendekatan yang kedua disebut sebagai pendekatan yang mengutamakan hasil-hasil material dan lebih menekankan pada target.
Secara umum community development adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan berikutnya. Dengan dasar itulah maka pembangunan masyarakat secara umum ruang lingkup program-programnya dapat dibagi berdasarkan kategori sebagai berikut (Rudito dan Budimanta, 2003 : 29, 33):
a.       Community service,
b.      Community empowering, dan
c.       Community relation
Solihin (2006), mengungkapkan tiga tahapan perencanaan pembangunan yaitu :
a.       Perumusan dan penentuan tujuan
b.      Pengujian atau analisis opsi atau pilihan yang tersedia, dan
c.       Pemilihan rangkaian tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan telah disepakati bersama.
Dari ketiga tahapan perencanaan tersebut dapat didefenisikan perencanaan pembangunan wilayah atau dearah sebagai berikut yaitu : suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku (aktor) baik umum (publik) atau pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat stakeholder lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi dan aspek lingkungan lainnya.
Suzetta (2007) menjelaskan bahwa, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah dijabarkan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 dan No. 40 Tahun 2006. Sistem perencanaan ini diharapkan dapat mengkoordinasikan seluruh upaya pembangunan yang dilaksanakan oleh berbagai pelaku pembangunan sehingga menghasilkan sinergi yang optimal dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka Proses perubahan sosial (atau “pembangunan”) tersebut perlu dilakukan secara terencana, terkoordinasi, konsisten, dan berkelanjutan, melalui “peran pemerintah bersama masyarakat” dengan memperhatikan kondisi ekonomi, perubahan-perubahan sosio-politik, perkembangan sosial-budaya yang ada, perkembangan ilmu dan teknologi, dan perkembangan dunia internasional atau globalisasi.
                                
Pengertian partisipasi
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi “lebel baru” yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.
Asngari (2001: 29) menyatakan bahwa, penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah karena diantara orang-orang itu saling berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua pihak itu diperlukan :
a.       Terciptanya suasana yang bebas atau demokratis
b.      Terbinanya kebersamaan.
Selanjutnya Slamet (2003: 8) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan.
Gaventa dan Valderama (1999) dalam Arsito (2004), mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu:
a.       Partisipasi politik (Political Participation),
b.      Partisipasi sosial (Social Participation) dan
c.       Partisipasi warga (Citizen Participation/Citizenship)
Partisipasi politik lebih berorientasi pada ”mempengaruhi” dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.
Partisipasi Sosial ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.
Partisipasi warga menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.
Dalam perencanaan, dikenal dua pendekatan perencanaan, yaitu perencanaan yang bersifat memaksa (top-down planning) dan pendekatan yang bersifat menghimpun ide-ide dasar dari masyarakat bawah (bottom-up planning).  Pendekatan top-down planning dalam perencanaan maupun pembangunan di Indoseia memiliki banyak kelemahan.  Pendekatan top-down planning dalam perencanaan di Indosias memiliki banyak kelemahan dan memiliki bayak pembiaaan dan penglolaan.  Pendekatan tersebut bisa menjadi pendekatan yang kurang efektif mengingat semkin berkembnangya keputusna, pembiayaan dan pengeloaannya.  Pendekatan tersebut menjadi pendekatan yang kurang efektif mengingat semakin berkembangnya wilayah maupun kota di daerah dan adanya era globalisasi yang menuntut setiap daerah untuk dapat bersaing dengan daerah lainnya (Hurairah, 2008 : 67).


Perencanaan partisipatif
Perencanaan partisipatif adalah proses perencanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat dan stakeholders seperti : tokoh masyarakat (tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh wanita, tokoh pemuda), aparat dan lain-lain.  Keterlibatan masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam mengidentifikasi dan menyeleksi alternatif tindakan atau program dan mengimplementasikan progran serta melakukan monitoring dan evaluasi program (Hurairah, 2008 : 67).
Ndraha (1990 : 104) menyatakan bahwa, dalam menggerakkan perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat, maka perencanaan partisipasi harus dilakukan dengan usaha :
a.       Perencanaan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt need),
b.      Dijadikan stimulasi terhadap masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response), dan
c.       Dijadikan motivasi terhadap masyarakat, yang berfungsi membangkitkan tingkah laku (behavior).
Dalam perencanaan yang partisipatif (participatory planning), masyarakat dianggap sebagai mitra dalam perencanaan yang turut berperan serta secara aktif baik dalam hal penyusunan maupun implementasi rencana, karena walau bagaimanapun masyarakat merupakan stakeholder terbesar dalam penyusunan sebuah produk rencana.  Hal ini sesuai dengan tujuan perencanaan program pengembangan masyarakat secara partisipatif (Hurairah, 2008 : 70), yaitu :
a.       Menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya proses partisipasi dalam program pengembangan masyarakat.
b.      Menggali masukan, pendapat, usulan dan saran-saran dari masyarakat guna memperkuat dan mendukung program pengembangan masyarakat.
c.       Menumbuhkan pemahaman dan kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi masalah dan kebutuhannya.
d.      Mampu merumuskan dan menyeleksi alternatif tindakan dan mengimplementasikan program.
e.       Mampu melakukan monitoring dan evaluasi program secara partisipatif.
Suzetta (2007), sebagai cerminan lebih lanjut dari demokratisasi dan partisipasi sebagai bagian dari good governance maka proses perencanaan pembangunan juga melalui proses partisipatif. Pemikiran perencanaan partisipatif diawali dari kesadaran bahwa kinerja sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut. Sejak dikenalkannya model perencanaan partisipatif, istilah “stakeholders” menjadi sangat meluas dan akhirnya dianggap sebagai idiom model ini.
Slamet (2003 : 11) menegaskan bahwa usaha pembangunan pedesaan melalui proses perencanaan partisipasi perlu didekati dengan berbagai cara yaitu :
a.       Penggalian potensi-potensi dapat dibagung oleh masyarakat setempat,
b.      Pembinaan teknologi tepat guna yang meliputi penciptaan, pengembangan, penyebaran sampai digunakannya teknologi itu oleh masyarakat pedesaan,
c.       Pembinaan organisasi usaha atau unit pelaksana yang melaksanakan penerapan berbagai teknologi tepat guna untuk mencapai tujuan pembangunan,
d.      Pembinaan organisasi pembina/pendukung, yang menyambungkan usaha pembangunan yang dilakukan oleh individu-individu warga masyarakat pedesaan dengan lembaga lain atau dengan tingkat yang lebih tinggi (kota, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional),
e.       Pembinaan kebijakan pendukung, yaitu yang mencakup input, biaya kredit, pasaran, dan lain-lain yang memberi iklim yang serasi untuk pembangunan.
Cahyono (2006), proses perencanaan pembangunan berdasarkan partisipasi masyarakat harus memperhatikan adanya kepentingan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga itu dalam proses perencanaan pembangunan partisipasi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
a.       perencanaan program harus berdasarkan fakta dan kenyataan di masyarakat,
b.      Program harus memperhitungkan kemampuan masyarakat dari segi teknik, ekonomi dan sosialnya,
c.       Program harus memperhatikan unsur kepentingan kelompok dalam masyarakat,
d.      Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program
e.       Pelibatan sejauh mungkin organisasi-organisasi yang ada
f.       Program hendaknya memuat program jangka pendek dan jangka panjang,
g.      Memberi kemudahan untuk evaluasi,
h.      Program harus memperhitungkan kondisi, uang, waktu, alat dan tenaga (KUWAT) yang tersedia.
Hurairah (2008 : 67 - 72), setiap perencanaan partisipatif disusun mengikuti tahapan atau siklus tertentu.  Secara garis besar dirumuskan menjadi 5 (lima) tahap sebagai berikut :
a.       Identifikasi masalah atau needs assessment
b.      Tujuan
c.       Penyusunan dan pengembangan perencanaan partisipatif
d.      Pelaksanaan dan
e.       Monitoring dan evaluasi.

Pemberdayaan masyarakat
Hurairah (2008 : 82) menyatakan bahwa pemberdayaan berasal dari bahasa Inggeris “empowerment” yang secara ahrfiah dapat diartikan sebagai “pemberkuasaan” dalam arti pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantaged).  Sedangkan Rappaport dalah Suharto (1997 : 215) mengungkapkan pembedrayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya.  Konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep-konsep kemandirian (selff-help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking) dan pemerataan (equity) (Graig dan Mayo dalam Hurairah, 2008 : 82).
Soetarso (2003) dalam Hurairah (2008 : 82 – 83) menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya mempunyai 2 (dua) pengertian yang saling berkaitan, yaitu :
a.       Peningkatan kemampuan, motivasi dan peran semua unsur masyarakat agar dapat menjadi sumber yang langgeng untuk mendukung semua bentuk usaha kesejahteraan sosial.
b.      Pemanfaatan sumber masyarakat yang telah ditingkatkan kemampuan, motivasi dan perannya.
Tujuan dasar pemberdayaan adalah keadilan sosial dengan memberikan ketenteraman kepada masyarakat lebih besar serta persamaan politik dan sosial melalui upaya saling membantu dan belajar melalui pengembangan langkah-langkah kecil guna tercapainya tujuan yang lebih besar (Payne, 1997 dalam Hurairah 2008 : 86).
Prinsip yang dikedepankan dalam proses pemberdayaan adalah memberi peluang kepada masyarakat untuk memutuskan apa yang mereka inginkan sesuai dengan kemauan, pengetahuan dan kemampuannya sendiri (Jamasy (2004) dalam Hurairah, 2008 : 87).  Secara konseptual, pemberdayaan harus mencakup 6 (enam) hal sebagai berikut (Saraswati, 1997 : 79 -80) :
a.       Learing by doing.  Artinya pemberdayaan adalah sebagai proses hal belajar dan ada suatu tindakan-tindakan konkrit yang terus menerus, yang dampaknya dapat terlihat.
b.      Problem solving.  Pemberdayaan harus memberikan arti terjadinya pemecahan maslaha yang dirasakan krusial dengan cara dan waktu yang tepat.
c.       Self-evaluation.  Yaitu bahwa pemberdayaan harus mempu mendorong seseorang atau kelompok tersebut untuk melakukan evaluasi secara mandiri.
d.      Self-development and coordination.  Artinya mendorong agar mampu melakukan pengembangan diri dan melakukan hubungan koordinasi dengan pihak lain secara lebih luas. 
e.       Self-selection.  Suatu kumpulan yang tumbuh sebagai upaya pemilihan dan penilaian secara mandiri dalam menetapkan langkah-langkah ke depan.
f.       Self-decisim.  Dalam memilih tindakan yang tepat hendaknya dimiliki kepercayaan diri (self-confidence) dalam memutuskan sesuatu secara mandiri (self-decisim).
Hurairah (2008 : 87), keenam unsur tersebut merupakan pembiasaan untuk berdaya, sebagai penguat dan pengait pemberdayaan jika dilakukan secara kontinyu maka pengaruh yang ditimbulkan semakin lama semakin kuat dan apabila telah kuat diharapkan dapat terjadi proses menggelinding dengan sendirinya (snow ball).     
Tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam melakukan pemberdayaan adalah (Aziz, 2005 : 135) :
a.       Membantu masyarakat dalam menemukan masalahnya.
b.      Melakukan analisis (kajian) terhadap permasalahan tersebut secara mandiri (partisipatif).
c.       Menentukan skala prioritas masalah, dalam arti memila dan memilih tiap maslah yang paling mendesak untuk diselesaikan.
d.      Mencari penyelesaian masalah yang sedang dihadapi, antara lain dengan pendekatan sosio-kultural yang ada dalam masyarakat.
e.       Melaksanakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.
f.       Mengevaluasi seluruh rangkaian dan proses pemberdayaan itu untuk dinilai sejauhmana keberhasilan dan kegagalannya.
Sementara Suharto (1997 : 218 – 219) menyingkat proses yang dapat dilakukan dalam  pemberdayaan menjadi 5 P (Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan), yaitu :
a.       Pemungkinan : menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal.  Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat.
b.      Penguatan : memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.  Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian mereka.
c.       Perlindungan : melindungi masyarakat terutama kelompok lemah agar tidak terdesak oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompk lemah.  Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
d.      Penyokongan : memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya.  Pemberdayaan harus mamapu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakinlemah dan terpinggirkan.
e.       Pemeliharaan : memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat.  Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.
Susiladiharti (2002) dalam Hurairah (2008 : 90) menjelaskan bahwa keberdayaan masyarakat secara bertingkat yang dapat digambarkan sebagai berikut :
a.       Tingkat keberdayaan permama adalah terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs).
b.      Tingkat keberdayaan kedua adalah penguasaan akan akses terhadap berbagai sistem dan sumber yang diperlukan.
c.       Tingkat keberdayaan ketiga adalah dimilikinya kesadaran penuh akan berbagai potensi, kekuatan, kelemahan diri dan lingkungannya.
d.      Tingkat keberdayaan keempat adalah kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan yang lebih luas.
e.       Tingkat keberdayaan kelima adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dan lingkungannya.  Tingkatan kelima ini dapat dilihat dari keikutsertaan dan dinamika masyarakat dalam mengevaluasi dan mengendalikan berbagai program dan kebijakan institusi dan pemerintahan.
Upaya pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru dalam pembangunan sesungguhnya berbeda sekali dengan paradigma perencanaan pembangunan yang sebelumnya dilakukan, ole karena itu terjadi berbagai bias diantara keduanya, yaitu (Kartasasmita, 1997 : 12 – 13) :
a.       Bias pertama, adalah adanya kecenderungan berpikir bahwa dimensi nasional dari pembangunan lebih penting daripada dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada dimensi kelembagaannya, dan dimensi ekonomi lebih penting daripada dimensi sosialnya.  Akibat dari anggapat itu adalah alokasi sumber daya pembangunan diprioritaskan menurut pikiran yang demikian.
b.      Bias kedua, adalah anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grass root).  Akibatnya kebijaksanaan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di masyarakat.
c.       Bias ketiga, adalah bahwa pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih banyak memerlukan bantuan material daripada keterampilan teknis dan manajerial.  Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumber daya dan dana, kurang mempersiapkan keterampilan teknis dan manajerial keterampilan dalam pengembangan sumber daya manusia, dan mengakibatkan makin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah.
d.      Bias keempat adalah anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri.  Anggapan demikian dapat menyebabkan pendekatan pembangunan yang yang teralalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu untuk seluruh kawasan di tanah air yang sangat luas dan beragam tahap pekembangannya ini.
e.       Bias kelima, adalah anggapan bahwa lembaga yang telah berkembang di kalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan.  Anggapan ini membuat kita kurang memanfaatkan lembaga masyarakat di lapisan bawah itu dan tidak berikhtiar memperbaharui, memperkuat serta memberdayakannya.
f.       Bias keenam, adalah bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak mengetahui apa yang diperlukan atau bagaimana memperbaiki nasibnya.  Oleh karena itu, mereka harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak pelu dilibatkan dalam perencanaan meskipun yang menyangkut dirinya sendiri.
g.      Bias ketujuh, adalah berkaitan dengan di atas, adalah bahwa orang miskin karena bodoh dan malas.  Dengan demikian cara menanganinya haruslah bersifat paternalistik seperti memperlakukan orang bodoh atau malas, dan bukan dengan memberikan kepercayaan.  Dengan anggapan demikian masalah kemiskinan dipandang lebih sebagai usaha sosial (charity) dan usaha penguatan ekonomi.
h.      Bias kedelapan, adalah ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misalnya ICOR.  Diartikan bahwa investasi harus diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi pertimbuhan.  Padahal upaya pemberdayaan masyarakat akan menghasilkan pertumbuhan, bahkan merupakan sumber pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable), tetapi umumnya dalam kerangka waktu (time frame) yang lebih panjang.
i.        Bias kesembilan, adalah bahwa sektor pertanian dan pedesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif dan tidak memiliki masa investasi yang menunjang, karena itu kurang menarik untuk melakukan investasi modal besar-besaran di sektor itu.
j.        Bias kesepuluh, adalah berkaitan dengan hal tersebut di atas, adalah ketidakseimbangan dalam akses kepada sumber dana.  Kecenderungan menabung pada rakyat yang cukup tinggi di Indonesia seperti tercermin pada perbandingan tabungan masyarakat dengan GDP (di atas 30 %, termasuk satu diantara tingkat tertinggi di dunia), dengan kebijaksanaan investasi melalui sektor perbankan yang lebih terpusat pada investasi besar, dan sebagian cukup besar diantaranya untuk investasi di sektor properti yang bersifat sangat spekulatif.

Gambaran Umum Kabupaten Indramayu
            Kabupaten Indramayu berbatasan langsung dengan Laut Jawa dengan panjang pantai 114 km yang membentang sepanjang pantai utara antara Cirebon dan Subang.  Hal ini sangat berpengaruh terhadap suhu udara yang cukup tinggi, berkisar antara 18 – 32o C.  Batas wilayah secara administraif selengkapnya adalah :
a.       Sebelah Selatan     :  Kabupaten Majalengka, Sumedang dan  Cirebon
b.      Sebelah Barat        :  Kabupaten Subang
c.       Sebelah Utara        :  Laut Jawa
d.      Sebelah Timur       :  Kabupaten Cirebon dan Laut Jawa
            Secara geografis Kabupaten Indramayu terletak pada 107 o 51’ –           108 o 36’ Bujur Timur dan 6o 15” – 6o 40’ Lintang Selatan.  Sedangkan berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanah rata-rata 0 – 2 %.  Keadaan ini berpengaruh terhadap drainase sehingga bila curah hujan cukup tinggi maka pada daerah-daerah tertentu akan terjadi genangan.  Kabupaten Indramayu merupakan langganan banjir.
            Luas wilayah Kabupaten Indramayu 204.011 hektar yang di dalamnya terdapat areal sawah seluas 118.513 hektar, areal tambak dan kolam seluas 16.239 hektar, areal perkebunan seluas 6.058 hektar serta areal hutan seluas 34.307 hektar.  Saat ini terdiri dari 31 Kecamatan yang terbagi lagi dalam 8 kelurahan dan 310 desa.
Kabupaten Indramayu juga merupakan hulu dari 14 (empat belas) aliran sungai yang potensial sebagai sumber air bagi kebutuhan usaha pertanian, usaha industri maupun bahan baku air bersih.  Namun potensi air ini belum dapat didayagunakan secara optimal sehingga dari keseluruhan tanah sawah 10 % diantaranya adalah sawah tadah hujan dan separuh dari wilayah Kabupaten Indramayu merupakan tanah kering.
            Hasil Registrasi Penduduk pada akhir tahun 2006 menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Indramayu tercatat sebanyak 1.709.128 jiwa.  Angka tersebut bertambah menjadi 1.717.793 jiwa pada akhir tahun 2007, dengan demikian terdapat laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,51 %.  Komposisi penduduk tahun 2007 ini terdiri dari 875.126 jiwa laki-laki dan penduduk wanita sejumlah 842.667 jiwa, dengan sex-ratio 103,85.  Pada setiap kelompok umur, penduduk laki-laki lebih banyak kecuali untuk usia lebih dari 65 tahun.
            Berdasarkan kelompok umur maka komposisi penduduk terbanyak adalah yang berusia 5 – 9 tahun, disusul 10 – 14 tahun dan 15 – 19 tahun.  Mereka adalah anak-anak usia sekolah yang saat ini besar sekali pengaruhnya dalam mendongkrak indeks pendidikan masyarakat Kabupaten Indramayu.  Keadaan ini ditunjang oleh mereka yang berusia 20 – 24 tahun yang saat ini umumnya sedang menimba ilmu di perguruan tinggi.  Dalam urutan peringkat IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di Provinsi Jawa Barat pun, Kabupaten Indramayu relatif lebih baik.  Salah satu faktor peningkatan rata-rara pendidikan masyarakatnya yang mengalami peningkatan cukup signifikan. 
Komposisi penduduk selengkapnya tertera pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1.     Penduduk Kabupaten Indramayu Tahun 2007 Menurut Kelompok Umur.

NO.

KELOMPOK UMUR

LAKI-LAKI

WANITA

JUMLAH
1.
0 – 4
79.111
78.368
157.479
2.
5 – 9
84.012
82.329
166.341
3.
10 – 14
83.400
82.413
165.813
4.
15 – 19
82.524
81.233
163.757
5.
20 – 24
69.573
65.222
134.795
6.
25 – 29
69.397
63.537
132.934
7.
30 – 34
72.810
63.453
136.263
8.
35 – 39
63.164
59.577
122.761
9.
40 – 44
62.572
60.503
123.075
10.
45 – 49
54.520
53.172
107.692
11.
50 – 54
50.320
48.959
99.279
12.
55 – 59
32.292
31.516
63.808
13.
60 – 64
22.491
22.415
44.906
14.
65 – 69
19.428
19.466
38.894
15.
70 – 74
16.540
16.685
33.225
16
75 – ke atas
12.952
13.819
26.771
JUMLAH
875.126
842.667
1.717.793
Sumber :  BPS (2008 : 53)

Flu Burung di Kabupaten Indramayu
Penduduk Kabupaten Indramayu yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani memanfaatkan lahan yang menghampar luas bukan untuk komoditi pertanian semata, tetapi juga untuk usaha peternakan.  Sekalipun dalam skala kecil, beternak merupakan usaha yang cukup membantu petani.  Paling tidak ternak sering dijadikan tabungan yang dapat segera dijual apabila ada kebutuhan mendadak. 
Oleh karena itu tidak mengherankan kalau berbagai jenis ternak dipelihara petani mulai dari sapi dan kerbau, kambing dan domba, unggas dan aneka ternak lainnya. 
Ternak unggas seperti ayam kampung dan itik merupakan jenis ternak yang menyebar rata di setiap hunian penduduk.  Mereka dipelihara dengan cara yang sederhana, baik dari segi pakan maupun perkandangannya.  Aspek sanitasi dan kesehatan hewan sering tidak diperhatikan.  Keadaan ini tidak pernah menjadi masalah sampai akhirnya dunia digemparkan oleh penyakit baru bernama Flu Burung.
Penyakit yang disebabkan oleh virus H5N1 ini bukan hanya mematikan ternak unggas tetapi juga dapat menular kepada manusia dengan akibat yang sangat fatal, kematian.  Semenjak Flu Burung melanda maka kegiatan beternak unggas menjadi sorotan.  Di sisi lain, masyarakat masih sangat membutuhkan kehadiran ternak unggas sebagai tabungan dan juga sumber protein hewani yang paling murah.
Flu Burung pertama kali menyerang unggas di Kabupaten Indramayu pada akhir tahun 2005 dengan sebaran di 4 (empat) kecamatan.  Tahun berikutnya penyebarannya meluas ke 18 (delapan belas) kecamatan lainnya dan pada tahun 2007 hampir di semua kecamatan terjadi kasus kematian unggas oleh virus H5N1.  Penyakit ini juga telah menelan korban 3 (tiga) orang anak di dua kecamatan, Bongas dan Kandanghaur.  Hasil test laboratorium menunjukan mereka meninggal desebabkan oleh virus Flu Burung.

Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Penceahan dan Penanganan Flu Burung
Kerjasama Pemerintah Kabupaten Indramayu dengan UNICEF berjalan sejak tahun 2001, salah satunya adalah dalam bidang kesehatan.  Sebagai bentuk keprihatinan maka UNICEF Perwakilan Bandung membuat sebuah program untuk menjawab sebuah pertanyaan klasik, “Bagaimana masyarakat bisa mengatasi masalah Flu Burung secara mandiri ?”
Titik tolak dari rencana kegiatan tersebut adalah bahwa sesungguhnya masyarakat Kabupaten Indramayu yang masih berperilaku hidup sederhana dan berusaha sampingan beternak unggas dengan sederhana pula, merupakan gudang penyebaran penyakit Flu Burung.  Bahkan pengamat WHO (World Health Organization) pernah mengatakan bahwa Flu Burung akan menyebar ke seluruh dunia dari Indamayu.
Untuk bisa menserasikan kehidupan bersama unggas ini maka diperlukan solusi tertentu.  Pengalaman menunjukkan bahwa obat mujarab yang diinstruksikan secara langsung sering tidak tepat atau bahkan menimbulkan masalah baru.  Oleh karena itu diperlukan upaya pemecahan masalah yang berasal dari masyarakat itu sendiri.
Dengan melibatkan secara langsung para anggota masyarakat maka diharapkan dapat menghasilkan rencana tindak untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada dengan kegiatan yang disesuaikan dengan potensi yang tersedia di desa yang bersangkutan.  Untuk terlaksananya kegiatan ini diperlukan metode perencanaan partisipatif yang diterapkan secara benar dan partisipasi peserta yang berasal dari semua unsur yang ada di masyarakat.  Dalam kegiatan bertajuk, “Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung” mereka diberdayakan untuk bisa menghasilkan rencana “dari, oleh dan untuk” mereka sendiri.

Pelaksanaan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Penceahan dan Penanganan Flu Burung
Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung dilaksanakan selama 4 (empat) hari berturut-turut.  Kegiatan berlangsung dari pagi sampai sore setiap harinya, jadwal pastinya ditentukan berdasarkan kesepakatan para peserta tetapi umumnya mulai dari jam 08.00 dan pulang menjelang maghrib.
Sebagai peserta adalah anggota masyarakat dari berbagai unsur yang ada, mulai Pamong Desa, Ketua RT, Ketua RW, BPD, LMD, PKK, Posyandu, Bidan Desa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda dan unsur lainnya.  Jika ada maka unsur minoritas sangat diharapkan kehadirannya.  Jumlah dibatasi 45 orang di setiap desanya dan dibagi dalam 5 (lima) kelompok.
Peserta diberi bekal tentang Flu Burung pada Unggas dan Flu Burung pada Manusia oleh narasumber dari Kabupaten Indramayu.  Pada kesempatan yang sama, Camat memberikan materi tentang Pemberdayaan Masyarakat.  Setelah itu peserta diajak untuk mengenang tentang berbagai kegiatan yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan flu burung.  Dengan bekal ilmu baru yang didapatkannya mereka juga mendiskusikan tentang kegiatan yang ingin untuk dilakukan di masa yang akan datang dalam pencegahan dan penanganan flu burung di desanya.
Pada hari kedua, peserta mendikusikan tentang berbagai permasalahan yang ada di lingkungannya, sebab dan akibatnya.  Mereka pun memikirkan alternatif pemecahan masalahnya sehingga diharapkan Flu Burung dapat dicegah penyebarannya.  Seperti sebelumnya, format sederhana memudahkan mereka menuangkan pemikirannya pada flipchart yang mepresentasikannya untuk mendapatkan tanggapan dari peserta lain.
Pada hari ketiga mereka difasilitasi untuk menjabarkan alternatif pemecahan masalah yang dipikirkan sebelumnya menjadi berbagai kegiatan yang nyata, lengkap dengan pemeran dan juga waktu pelaksanaannya.  Rencana kegiatan dibuat mingguan selama 3 (tiga) bulan ke depan.  Setelah semua kelompok menampilkannya di forum maka berbekal berbagai perbaikan dari semua kelompok sebuah Tim Kecil mendapatkan tugas merumuskannya menjadi Rencana Aksi Desa.
Penyusunan Rencana Aksi Desa dilaksanakan pada hari keempat, draft-nya dipresentasikan kepada semua peserta untuk mendapatkan tanggapan sebelum akhirnya ditetapkan sebagai Rencana Aksi Desa yang harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan bersama.
Kegiatan lokakarya dilaksanakan sepenuhnya dengan cara membangkitkan kesadaran peserta akan berbagai permasalahan dan cara mengatasinya secara mandiri, dengan melibatkan segenap masyarakat dan memanfaatkan potensi yang ada di desanya.  Fasilitator sama sekali tidak diperkenankan memaksakan atau bahkan mengarahkan pada suatu kepentingan tertentu. 
Untuk menghindari kejenuhan maka diselingi dengan berbagai permainan yang merangsang mereka untuk terlibat dan juga berpikir kritis dengan batas norma yang berlaku di masyarakat.  Praktis dalam waktu pelaksanaan selama 4 (empat) hari penuh, hampir tidak pernah ada peserta yang kehilangan konsentrasi seperti mengantuk atau bahkan meninggalkan tempat sebelum waktu yang disepakati bersama.  Mereka berpacu untuk terlibat sepenuhnya dalam memikirkan masa depan masyarakat desa pada umumnya.
            Jika dikerjakan di balik meja maka kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari tersebut akan dapat selesai dalam hitungan jam saja.  Namun pelaksanaannya belum tentu tepat untuk masyarakat setempat, bukan tidak mungkin bahkan dapat menimbulkan maslah baru yang lebih kompleks.
            Banyaknya waktu yang dikorbankan sesungguhnya tidaklah terlalu berarti dibandingkan dengan produk yang dihasilkan, sebuah rencana “dari, oleh dan untuk” masyarakat desa itu sendiri.






BAB III
METODE PENELITIAN


3.1.      Desain Penelitian
            Penelitian didesain dengan jenis penelitian yang dilakukan adalah survey, sedangkan metode riset yang dipakai yaitu deskriptif analitis.  Metode survey deskriptif adalah suatu metode penelitian yang mengambil sample dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data  (Sukmanala, 2008:316), dan kemudian diolah dengan statistik dan menggunakan pendekatan kuantitatif.
Data dan informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner, hasilnya akan dipaparkan secara deskriptif.  Pada akhir penelitian akan dianalisis untuk menguji hipotesis yang diajukan pada awal penelitian ini.
Metode penelitian survey merupakan upaya pengamatan untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang jelas terhadap suatu masalah tertentu dalam suatu penelitian.  Penelitian dilakukan secara meluas dan berusaha mencari hasil yang segera dapat dipergunakan untuk suatu tindakan yang sifatnya deskriptif yaitu melukiskan hal-hal yang mengandung fakta-fakta, klasifikasi dan pengukuran.  Fakta yang diukur fungsinya untuk merumuskan dan melukiskan apa yang terjadi (Sukmanala, 2008:316).
Jika ditinjau dari hadirnya variabel dan saat terjadinya, maka penelitian yang dilakukan dengan menjelaskan atau menggambarkan variabel masa lalu dan sekarang (sedang terjadi) adalah penelitian deskriptif (to describe = menggambarkan atau membeberkan)  (Arikunto dalam Sukmanala, 2008:317). 
Dengan demikian maka metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.  Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Sukmanala, 2008:317).
Dari gambaran di atas maka penulis menarik kesimpulan bahwa metode survey deskriptif cocok digunakan dalam penelitian ini, karena sesuai dengan maksud penelitian, yaitu menganalisa lebih lanjut tentang keunggulan komparatif metode perencanaan yang diterapkan dan partisipasi peserta terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan dengan studi kasus pelaksanaan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di Kabupaten Indramayu yang dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Indramayu dengan UNICEF pada tahun 2006 – 2008.

3.2.      Populasi dan Teknik Pengamblan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek dan subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2002 dalam Sukmanala, 2008:317).  Populasi berkenaan dengan data, bukan orang atau bendanya.  Populasi adalah totalits semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif dari karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap.  Jadi populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti (Sukmanala, 2008:318).
Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah peserta Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di Kabupaten Indramayu yang dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Indramayu dengan UNICEF pada tahun 20006 – 2008 dengan total populasi sebanyak 45 orang/desa X 31 desa = 1.395 orang.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa populasi penelitian ini kompleksitasnya sangat tinggi baik dari status sosial-ekonomi ataupun latar belakang pendidikannya.  Fleksibilitas yang tinggi menyebabkan komposisi peserta antara satu desa dengan desa lainnya sering berbeda.
Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya distorsi hasil penelitian maka pengambilan sampel dikerjakan dengan teknik penelitian Simple Random Sampling.  Teknik pengambilan sampel dari anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata (tingkatan) dalam kelompok populasi tersebut.
Untuk menentukan jumlah sampel digunakan rumus dari Taro Yamane sebagai berikut :

n  =  N / (Nd2 + 1)


Dimana :
n          =  Jumlah sampel
N         =  Jumlah populasi
d          =  Presisi yang ditetapkan (0,1)

Oleh karena itu dengan jumlah populasi sebanyak 1.395 orang maka dapat sampel untuk penelitian ini sebanyak 93 orang yang diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :

n  =  N / (Nd2 + 1)
n  =  1.395 / (1.395 (0,1)2 + 1)
n  =  1.395 / (1.395 (0,01) + 1)
n  =  1.395 / (13,95 + 1)
n  =  1.395 / (14,95)
n  =  93,331

Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa jumlah sampel pada setiap desa adalah sebanyak 3 orang yang diperoleh dari perhitungan menurut rumusan alokasi proporsional dari Sugiyono (1999) dalam Sukmanala, 2008:109 sebagai berikut :


ni  =  (Ni / N) n


Dimana :
ni         =  Jumlah sampel menurut stratum
n          =  Jumlah sampel seluruhnya
Ni        =  Jumlah populasi menurut stratum
N         =  Jumlah populasi seluruhnya


Perhitungannya adalah sebagai berikut :
ni  =  (Ni / N) n
ni  =  (45 / 1.395) 93
ni  =  (0,0967742) 93
ni  =  3

Dengan demikian maka jumlah sampel dari masing-masing desa dalam penelitian ini adalah sebanyak 3 (tiga) orang.  Untuk mengambil sampel penelitian secara acak dari populsi peserta sebanyak 45 orang di setiap desanya maka dilakukan semacam pengundian.  Angka 1 – 45 yang menunjukkan nomor urut peserta sesuai dengan Daftar Hadir dikocok sedemikian rupa dan dikeluarkan sebanyak 3 (tiga) buah.  Nomr-nomor yang keluar itulah yang nantinya dijadikan sampel.  Pengundian dilakukan di setiap desa sehingga nomor  urut peserta yang keluar berbeda satu desa dengan yang lainnya.
Komposisi sampel dari masing-masing desa adalah sebagai  berikut :


Tabel 2.  Jumlah Sampel Penelitian dari Masing-masing Desa

NO.

D E S A

KECAMATAN
JUMLAH SAMPEL
1.
Cipedang
Bongas
3
2.
Pekandanganjaya
Indramayu
3
3.
Kalianyar
Krangkeng
3
4.
Brondong
Pasekan
3
5.
Rambatanwetan
Sindang
3
6.
Kongsijaya
Widasari
3
7.
Pengauban
Lelea
3
8.
Sukasari
Arahan
3
9.
Bugis
Anjatan
3
10.
Patrolbaru
Patrol
3
11.
Wirapanjunan
Kandanghaur
3
12.
Sumbon
Kroya
3
13.
Karangasem
Terisi
3
14.
Eretanwetan
Kandanghaur
3
15.
Sukra
Sukra
3
16.
Mekarjati
Haurgeulis
3
17.
Sudimampirkidul
Balongan
3
18.
Panyingkirankidul
Cantigi
3
19.
Rambatankulon
Lohbener
3
20.
Benda
Karangampel
3
21.
Jayalaksana
Kedokanbunder
3
22.
Lombang
Juntinyuat
3
23.
Jatibarangbaru
Jatibarang
3
24.
Jengkok
Kertasemaya
3
25.
Slemanlor
Sliyeg
3
26.
Malangsari
Bangodua
3
27.
Cikedung
Cikedung
3
28.
Sukamulya
Tukdana
3
29.
Krimun
Losarang
3
30.
Sanca
Gantar
3
31.
Gabuskulon
Gabuswetan
3
J U M L A H

93


3.3.      Instrumen (Alat Pengumpul Data)
Alat ukur penelitian ini berbentuk angket dengan tingkat pengukuran ordinal.  Kategori jawaban terdiri atas 5 (lima) tingkatan yang untuk kepentingan analisis kuantitatif dijadikan angka, yaitu  :


1.    SS
=   Sangat Setuju
2.    S
=   Setuju
3.    CS
=   Cukup Setuju
4.    TS
=   Tidak Setuju
5.    STS
=   Sangat Tidak Setuju



3.4.      Teknik Analisis Data
Didalam mengolah data yang telah diperoleh, teknik analisis yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis statistik, yaitu dari data-data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan koefisien korelasi dan koefisien determinan serta uji hipotesis dengan menggunakan uji :
a. Uji Validitas
Menurut Sony Sumarno ( 2004 : 291 ) menyatakan bahwa “Sebuah instrument dikatakan valid jika mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat”.
pearson atau product moment dengan rumus :
                              n (å x. y) – (å x å y)
r     =
                        Ö [ n . å x2 – (å x)2][ n . å y2 – (å y)2]
Dimana  :
r    =    nilai korelasi (uji perbandingan dengan tabel kritik nilai r)
n    =    Jumlah responded
x    =    Skor nilai jawaban responden per pertanyaan
y    =    Total skor nilai jawaban seluruh pertanyaan satu responden
Untuk mempermudah pengujian terhadap validitas dan realibilitas ini, peneliti menggunakan SPSS 15

b. Uji Reliabilitas
Sebagaimana dikemukan oleh Husein Umar (2003 : 194), Realibilitas  adalah suatu angket indeks yang menunjukan konsistensi suatu alat pengukran di dalam mengukur gejala yang sama. Di dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik pengukuran realibilitas menurut Husein Umar (2003 : 2007) yaitu untuk mencari realibilitas instrumen yang skornya bukan 0 – 1, tetapi  mmerupakkan rentangan antara beberapa nilai, misalnya 0-10 atau 0-100 atau bentuk skala 1-3. 1-5 atau 1-7 dan seterusnya dapat menggunakan rumus Crombach’s Alpha yaitu :


 





Dimana  :
r11        =  Reliabilitas instrumen
k        =  Banyaknya butir pertanyaan
s t 2     = varians total
å s b  =  Jumlah varians butir
Jumlah varians butir dicari dahulu dengan cara mencari nilai varian tiapbutir, kemudian jumlah seperti yang dipaparkan berikut ini.

                       ( å x ) 2
            å x 2      12        
s   =
                        n
 
Rumus varians yang digunakan  :








 
         
           

c. Uji Normalisasi

            Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi, variabel pengganggu memiliki distribusi normal. Sebagaimana diketahui bahwa uji t dan uji f mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sample kecil.
            Metode yang digunakan dalam melakukan uji normalitas adalah metode Jarque Berra ( JB ) adapun rumus yang dipakai sebagai formulanya sebagai berikut :
           
            JB        =     n     . S2  . +  . ( K – 3 )2 .
                                        6                24

d. Uji Heterokedastisitas
            Uji hetoroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam metode regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas, karena dalam hal tersebut akan menghimpun data yang mewakili berbagai ukuran baik kecil, sedang maupun besar.
            Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan uji LM test, membandingkan R2 x N, dengan nilai table Chi Square 9,2 ( £= 1%, df = 2 = 9,2 ). Jika R2 x N > dan table Che Square 9,2 maka terjadi heteroskedastisitas.  Sebaliknya jika R2 x N < dan table chi square 9,2 berarti menerima hipotesis homoskedastisitas sehingga dapat dilanjutkan. ( Setiaji, 2004 : 22)

e. Uji Multikolinieritas

Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variable bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independent / bebas. Jika variabel bebas saling berkorelasi, maka variabel-variabel tersebut tidak orthogonal.

f. Uji Autokorelasi

            Autokorelasi adalah adanya korelasi antara data pada suatu waktu tertentu dengan nilai data tersebut pada waktu satu periode sebelumnya atau lebih pada data runtut waktu / time series. Uji autokorelasi bertujuan untuk mengujio apakah dalam model regresi linear adalah korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t – 1 ( periode sebelumnya ). Jika terjadi korelasi maka ada problem autokorelasi.
            Untuk menguji autokorelasi dalam model regresi menggunakan metode Durbin  - Watson ( DW test ) dengan hipotesis :
Ho       : tidak ada autokorelasi ( p = 0 )
H1       : ada autokorelasi ( p ≠ 0 )



g. Regresi Sederhana
           
Y = a + bx1 +  …..kxk
 
Dalam penelitian ini secara umum, data hasil variabel Y dipengaruhi oleh satu variabel bebasnya dengan simbol X1 atau X2 . Maka dalam melakukan uji analisis regresi berganda ; dengan rumus umum sebagai berikut  :


Koefisien-koefisien a,b, ... k dapat dicari dengan berbagai cara, misalnya dengan cara kuadrat maupun matrik. Untuk lebih efektif dalam perhitungan, penellitian menggunakan alat bantu komputer berupa paket  software dengan program SPSS 11.5.

h. Regresi Berganda
Y = a + bx1 + bx2 + …..kxk
 
Dalam penelitian ini secara umum, data hasil variabel Y dipengaruhi oleh variabel-variabel bebasnya dengan simbol X1 dan X2 . Maka dalam melakukan uji analisis regresi berganda ; dengan rumus umum sebagai berikut  :


Sumber : Husein Umar (2003 : 307)

Koefisien-koefisien a,b,c ... k dapat dicari dengan berbagai cara, misalnya dengan cara kuadrat maupun matrik. Untuk lebih efektif dalam perhitungan, penellitian menggunakan alat bantu komputer berupa paket  software dengan program SPSS 15.
Sebagaimana dikemukan oleh Husein Umar (2003 : 126), bahwa  :
” SPSS merupakan program peranti lunak yang dapat membuat survei (desain kuesioner) melalui SPPSS data entry builder, mengumpulkan data melalui internet atau internet dengan SPSS data entry, enterprises server, memasukan data yang diperoleh melalui data entry station, dan SPSS  untuk menganalisis data yang diperoleh”.


3.5.      Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil perhitungan statistik, untuk mengetahui tingkat signifikasi dan tidaknya setidaknya harus berdasarkan tiga kriteria                ketepatan :
a.      Uji Parsial dan T-test
      T-test ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing variabel independen (X1 dan X2) secara individual (parsial) terhadap variabel dependen (Y). t-test digunakan sebagai pengujian terhadap uji hipotesa atas keberartian masing – masing koefisien regresil dengan rumus sebagai berikut :
                             to =      bi
                                       σ2 C ii
     
     
      denga kriteria apabila hasil uji  thitung lebih besar dari ttabel,  Ho ditolak.
b. Uji simultan dengan F-test ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bersama-sama variabel independen (X1 dan X2) terhadap variabel dependen (Y). F-test digunakan sebagai pengujian terhadap uji hipotesa atas keberartian model regresi dengan rumus sebagai berikut :
                                    Fo =     MSR
                                                                MSE
      dengan kriteria apabila hasil uji Fhitung lebih besar dari Ftabel, maka  Ho ditolak

Dimana  :
r11        =  Reliabilitas instrumen
k        =  Banyaknya butir pertanyaan
s t 2     = varians total
å s b  =  Jumlah varians butir
Jumlah varians butir dicari dahulu dengan cara mencari nilai varian tiapbutir, kemudian jumlah seperti yang dipaparkan berikut ini.
Rumus varians yang digunakan  :


                       ( å x ) 2
            å x 2      12        
s   =
                        n
 
 
         
 





3.6.      Deskripsi Operasional Variabel
Secara operasional variabel perlu didefinisikan dengan tujuan untuk menjelaskan makna variabel penelitian.  Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberikan petunjuk bagaimana variabel itu diukur.  Variabel penelitian terdiri dari dua variabel yaitu duavariabel bebas dan satu variabel terikat, yaitu :
a.             Perencanaan (X1)
b.            Partisipasi (X2)
c.             Upaya Pemberdayaan Sumber Daya di Pedesaan (Y)

Deskripsi sebagai gambaran dari desain penelitian untuk mengetahui perspektif atau suatu kerangka acuan dan memandang suatu teori yang diajukan dalam penelitian melalui pendugaan pengujian hipotesis dan untuk mengetahui ada tidakna pengaruh antara variabel perencanaan dan partisipasi terhadap upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan.
Hubungan antar variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :













 


                                                            rX1Y
Y
 
                                            R x1x2 Y


 
 
X2
 
                                                        rX2 Y


Keterangan :
X1        =  Perencanaan (variabel bebas)
X2        =  Partisipasi (variabel bebas)
Y         =  Upaya pemberdayaan sumber daya manusia di pedesaan (variabel terikat)
                                                             

























DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S.  2000.  Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek.  Rineka Cipta.  Jakarta.

Asngari, P. S.  2001.  Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumber Daya Manusia Pengelola Agribisnis.  Orasi Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi.  Fakultas Peternakan.  Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Awang, S. A. et. al.  2008.  Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).  Pusat Kajian Hutan Rakyat Universitas Gadjah Mada.  Yogyakarta.

Bahua, Mohamad Ikbal.  2008.  Metode Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan Masyarakat.  www.ikbalkreatif.blogspot.com.   

Bateman, T. S.  Dan Snell, S. A.  2009.  Kepemimpinan dan Kolaborasi dalam Dunia yang Kompetitif.  Salemba Empat.  Jakarta.   

Biro Pusat Statistik Kabupaten Indramayu.  2008.  Indramayu Dalam Angka Tahun 2007.  Biro Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Indramayu.  Indramayu. 

Bringin, B.  2001.  Metodologi Penelitian Sosial, Format-format Kuantitatif dan Kualitatif.  Airlangga University Press.  Surabaya.

Huraerah, A.  2008.  Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat, Model dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Humaniora.  Bandung. 

Hikmat, R. H. 2001.  Strategi Pemberdayaan Masyarakat.  Humaniora Utama Press.  Bandung.

Khairuddin.  1992.  Pembangunan Masyarakat, Tinjauan Aspek : Sosiologi, Ekonomi dan Perencanaan.  Liberty.  Yogyakarta.

Ndraha, T.  1990.  Membangun Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas.  Rineka Cipta.  Jakarta.

Nitisemito, A. S.  1996.  Manajemen Sumber Daya Manuisia.  PT Ghalia Indonesia.  Jakarta.

Prasojo, E.  2003.  Pola dan Mekanisme Pemberdayaan Masyarakat di DKI Jakarta.  Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial dan Politik (PKSPSP) FISIP UI.  Jakarta.

Slamet, M.  2003.  Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan.  IPB Press.  Bogor.

Soegijoko dan Kusbiantoro.  1997.  Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia.  Pustaka Pelajar.  Yogyakarta.

Sukmanala, S.  2008.  Metode dan Teknik Penulisan Karya Ilmiah (Tesis dan Disertasi).  PT Intermedia Personalia Utama.  Jakarta.

Sumodiningrat, G.  1999.  Pemberdayaan Masyarakat dan JPS.  PT Gramedia.  Jakarta.

Supriatna, T.  2000.  Strategi Pembangunan dan Kemiskinan.  Rineka Cipta.  Jakarta.

Suprijanto.  2007.  Pendidikan Orang Dewasa, Dari Teori Hingga Aplikasi.  PT Bumi Aksara.  Jakarta.

UNICEF Perwakilan Bandung.  2007.  Model Pencegahan dan Penanganan Flu Burung melalui Upaya Pemberdayaan Masyarakat.  Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan UNICEF.  Bandung.

Vredenbergt.  1978.  Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat.  Gramedia.  Jakarta.