MANAJEMEN
KWALONAN
Ada
yang bilang, “Teori tidak sama dengan praktek!”. Banyak
yang menyangsikan ketidakakuran keduanya dengan bukti-bukti yang dijumpai dalam
kehidupan. Tidak terbatas jumlah argumen
yang membela anekdot ini.
Tetapi tidak semua setuju dengan
pendapat tersebut. Bagi sebagian orang, hanya
kebelum-menyambungan keduanya sajalah yang menyebabkan teori tidak sama dengan
praktek. “Bahkah, teori dilahirkan
sebagai kesimpulan dari berbagai praktek yang sudah diterapkan berulang-ulang
sehingga mencapai satu kesamaan yang kontinyu.”
Terlepas
dari kedua anggapan di atas, maka judul yang menjadi tulisan kali ini tentu
merupakan barang asing. Tidak pernah
dipelajari dalam teori di sekolah manajemen manapun dan tidak akan terdengar
diterapkan oleh manager manapun!
Benarkah
argumen terakhir di atas? Lebih mudah
menguraikan manajemen kwalonan (kwalonan = beribu/bapak tiri) dan
berbagai pengaruhnya ini lewat sebuah cerita sederhana.
Dalam
perjalanan pulang dari lawatan ke Kota Pahlawan, dari gerbong eksekutif
terlihat pemandangan indah tak terlupakan.
Kami terlibat pembicaraan seru seputar birokrasi. Teman sekursi panjang itu dengan bangga
menceritakan tentang kepemilikan kendaraan canggih di bagian tempat tugasnya.
“Kami sekarang mempunyai
ambulan yang sangat canggih!”
“O, ya.
Luar biasa tentunya.”
Dia
pun bercerita banyak tentang ambulan yang luar biasa hebat peralatannya
sehingga bagi sebuah kota berukuran sedang tempatnya bertugas, moda tersebut masih
merupakan benda tercanggih.
“Lebih
canggih daripada ambulans yang dimiliki Rumahsakit dan jajaran Dinas Kesehatan
Kota kami!” Lanjutnya dengan bangga.
Berbagai
keunggulan diceritakan mengundang decak kagum.
Cerita keistimewaan ini juga yang menyebabkan dua kursi di depan sengaja
dibalikkan sehingga kami berempat terlibat obrolan yang semakin seru. Obrolan tentang kecanggihan alat penanganan
bencana yang diberikan oleh Menko Kesra kepada beberapa Kabupaten/Kota.
“Kendaraan
bantuan seluruhnya ada dua, dua-duanya sangat canggih.”
Ketika
decak kagum hampir mengeringkan kerongkongan, saya pun nyeletuk tentang merek
dan warna kedua kendaraan. Lengkap
dengan ciri-ciri fisik lainnya.
“Lho,
kok Anda tahu?”
“Saya
tentu jauh lebih tahu soal ini, termasuk mengapa kendaraan ini lebih canggih
daripada ambulan rumahsakit manapun.”
Tanpa
tedeng aling-aling, ambulan itu dianggap sangat canggih karena tidak semua
peralatan dapat dimengerti oleh dokter manapun.
Termasuk para doktor spesialis sekalipun.
“Hah
???” Mereka hampir serempak terperangah.
“Kecuali
...”
“Kecuali
apa?” Sela mereka.
“Kecuali
dokter spesialis hewan!”
“Hah
???” Lagi-lagi mereka keheranan.
Tentu
saja peralatan yang ada di ambulan Elf ataupun Ford double cabin tidak semuanya
dimengerti dengan baik oleh para dokter karena perlengkapan tersebut tidak lain
adalah peralatan kedokteran hewan.
Memang beberapa diantaranya sama, tetapi tidak sedikit yang sepesifik.
Salah satu diantaranya,
spuit otomatis. Alat suntik dengan
bentuk mendekati pistol ini bisa saja tidak asing bagi seorang dokter. Tetapi apakah dokter manusia akan
menggunakannya? Tentu saja tidak, satu
jarum suntik hanya untuk satu orang agar tidak terjadi penularan penyakit atau
alasan lainnya.
Jadi spuit
otomatis yang oleh tenaga terampil ini bisa digunakan untuk menyuntik 3.000-an
(tiga ribuan) ekor ayam per-jam, tentu tidak akan digunakan seorang dokter
menyuntik pasien. Dalam imunisasi massal
sekalipun.
“Lantas,
mengapa ini terjadi?”
Saya hanya
menceritakan apa yang disampaikan seorang staf ahli Menko Kesra, yang juga
galau tentang pemanfaatan mobil itu di daerah yang beraneka ragam.
“Ada
kabupaten di luar jawa yang membongkar habis ambulans dan menyulapnya menjadi
kendaraan operasional Satpol PP!”
Kami
tertawa bersama. Memang sangat
menggelikan, tetapi itu sudah menjadi kewenangan daerah yang diberi
kendaraan. Apalagi peruntukkanya
mengambang.
Staf
ahli itu menjelaskan bahwa kedua kendaraan tersebut pada awalnya adalah
merupakan usulan dari Departemen Pertanian untuk operasional penanganan Avian
Inluenza atau flu burung pada unggas.
Karena Menko Kesra adalah koordinator dari Tim Koordinasi Pencegahan dan
Penanganan Flu Burung dan Pandemi Influenza, maka anggaran Departemen Pertanian
ini pun akhirnya merupakan bagian yang dikoordinir oleh Menko Kesra.
Singkat
cerita, pengadaan kendaraan operasional flu burung pun berjalan lancar. Kendala mulai menghadang ketika kendaraan
akan didistribusikan. Seorang dokter
hewan yang menjadi pejabat di Departemen Kesehatan berargumen sangat
meyakinkan.
“Bapak Menko Kesra yang
terhormat, seperti Bapak tahu bahwa Departemen Pertanian mempunyai seorang bapak. Bapak kandungnya bernama Menko Ekuin. Dengan demikian maka bapak Departemen Pertanian bukanlah Bapak
Menko Kesra.” Kata-kata pembukaan ini
tentu saja hanya rekaan penulis yang mencoba menerjemahkan bahasa tingkat
tinggi menjadi bahsa rakyat yang mudah dicerna.
“Dengan kata
lain, Menko Kesra mempunyai banyak anak, salah satunya Departemen Kesehatan
tetapi bukan Departemen Pertanian. Oleh
karena itu, kalau Bapak tidak mengakui kami sebagai anak kandung, maka kami
adalah anak yatim yang tak berbapak!”
Lagi-lagi kata-reka ini dibuat hanya untuk meyakinkan.
“Sekarang,
Bapak Menko Kesra mau sayang pada anak kandung atau anak orang lain?”
Kalimat
terakhir inilah yang menjadi skak-ster bagi pengambil kebijakan, yang pada
akhirnya mengambil jalan tengah. Agar
penggunaan kendaraan ini (tidak disebut sebagai kendaraan operasional khusus Avian Influenza/flu burung),
diserahkanlah kepada Bupati/Walikota.
Cap yang terpampang di kendaraan sungguh berbeda dengan maksud awal,
tetapi menjadi kendaraan bantuan Menko Kesra untuk penanggulangan bencana di
daerah.
Akibat
ketidakjelasan penggunaan, apalagi riwayat dan asal-usulnya, maka berbagai
daerah menyikapinya dengan memanfaatkannya kedua kendaraan baru itu sesuai
dengan kepentingan masing-masing. Ada
yang di Posko Bencana Alam, rumahsakit, Puskesmas, dan lain-lain termasuk yang
diceritakan di atas, jadi kendaraan operasional Satpol PP!!!
Cerita di atas tentu akan sangat
memudahkan kita memahami manajemen kwalonan,
sebuah praktek manajemen yang membedakan fungsi dan peran serta hak dan
kewajiban anggota tim sebagaimana anak kandung dan anak tiri.
Keduanya tentu sangat berbeda. Istilahnya, seperti bumi dan langit. Dalam hukum manajemen kwalonan, “Tidak pernah ada perbuatan dan perkataan anak tiri yang
benar, sebaliknya anak kandung tidak pernah dan akan pernah melakukan
kesalahan.”
Sekali
lagi, tidak ada teori kwalonan di
sekolah manajemen manapun dibahas.
Tetapi, dimana-mana praktek seperti ini sangat sering saja terjadi. Mulai dari dalam rumahtangga, pergaulan
bahkan lingkungan kantor yang semestinya dihiasi cara berpikir profesional
sekalipun.
Dampak
yang ditimbulkan sudah sangat jelas, sesuatu yang jelas menjadi tidak jelas,
kabur bahkan hancur. Praktek tingkat
tinggi di atas adalah salah satu bukti, kendaraan operasional yang sudah tentu anggaran
dan peruntukannya saja pada akhirnya menjadi tidak jelas penggunaan bakunya,
apalagi yang sudah abu-abu dari awal bisa-bisa tinggalah jadi abu!
Hidup memang penuh dengan pilihan, dua
diantaranya yang sangat dekat dengan keseharian kita. Dua alternatif yang sangat ekstrim yaitu manajemen
kwalonan untuk memudahkan tujuan mempertahankan status quo secara instant atau
memperlakukan anggota tim sebagai individu yang mempunyai hak dan kewajiban
secara proporsional untuk mencapai tujuan bersama.
Sebuah
pilihan dapat dengan sangat mudah ditentukan tetapi akan teramat sulit untuk
diterapkan secara secara konsekuen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar