Jumat, 22 Agustus 2014

Ketika Koruptor Jadi Panglima







KETIKA KORUPTOR JADI PANGLIMA
(Sebuah Tinjauan Kasus BLBI)


Mata Kuliah :  PENGENDALIAN MANAJEMEN
Dosen :  Dr. H. NURUDIN SIRAJ, M. Si


Oleh :
D  I  N  O  T  O
NIM : 12008019


PROGRAM PASCA SARJANA
KONSENTRASI MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI “CIREBON”
CIREBON
2008






DAFTAR ISI





Halaman
KATA PENGANTAR






DAFTAR ISI






DAFTAR TABEL






DAFTAR LAMPIRAN






BAB I
PENDAHULUAN



1.1.
Latar Belakang



1.2.
Masalah



1.3.
Tujuan Penulisan







BAB II
MATERI DAN METODE



2.1.
Materi



2.1.1.
Korupsi dan Si Korup



2.1.2.
Kasus BLBI yang Sulit Berakhir






BAB III
PEMBAHASAN











BAB IV
PENUTUP



4.1.
Kesimpulan



4.2.
Saran






DAFTAR PUSTAKA






LAMPIRAN




















KATA PENGANTAR
        
          Puji syukur kehadirat Allah subhana wa ta’ala, karena hanya berkat rahmat dan karunia-Nya sajalah penulis dapat neyelesaikan amanah yang dipercayakan tepat pada waktunya.
          Karya tulis berjudul “Ketika Koruptor Jadi Panglima”                              ini merupakan salah satu tugas akhir semester                                                  Mata Kuliah Pengendalian Manajemen dibawah bimbingan                                                 Bapak Dr. H. Nurudin Siraj, MA, M. Si.  Oleh karena itu penulis pun tidak lupa menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada beliau.
          Kepada rekan-rekan Angkatan Pertama dan para pengelola Program Pasca Sarjana STIE Cirebon, tak lupa disampaikan salam hangat atas segala suasana ruang kuliah yang tidak pernah dingin namun juga tidak pernah kelewat panas alis selalu hangat-hangat saja.
          Peluk cium tentu hanya untuk isteri tercinta dan anak-anak yang selalu mengerti akan adanya kesibukan baru yang banyak menyita waktu.

                                                                   Indramayu, 1 Agustus 2008
         
                                                                  
                                      Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.         Latar Belakang
          Tindakan korupsi merupakan salah satu penyakit yang selama ini menggerogoti Bangsa Indonesia.  Bukan berarti di negara lain tidak terjadi tetapi tidak separah negeri yang kita cintai ini.  Bahkan hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa bangsa yang dilahirkan atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa ini merupakan negara terkorup se-jagat raya.
          Berbagai kasus korupsi yang saat ini marak terkorek menunjukkan bahwa tindakan ini sudah bukan lagi monopoli tingkatan pelaksana di lapangan tetapi merabhan juga semua tatanan yang ada di negeri ini.  Tidak terkecuali anggota Dewan yang Terhormat dan aparat penegak hukum.
          Tragedi penangkapan seorang jaksa yang paling bertanggungjawab atas penyelesaian kasus korupsi BLBI akhir-akhir ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah korupsi itu harus diberantas atau dibuat bernas.  Ironisnya, sekalipun sudah dalam tahanan yang saling berjauhan Sang Jaksa masih bisa atur strategi dengan para kliennya. 
          Lebih mengherankan lagi, adalah bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang sangat merugikan negara itu ternyata bisa berlenggang nikmat di Negeri Singa.  Bahkan dengan leluasa menjalankan roda perputaran uangnya, yang tidak lain sebagian adalah harta negara kita. 
          Segala bentuk permasalahan di negeri tempat kelahiran Sang Pialang, cukup dengan tunjuk jari sudah ada yang menyelesaikan.  Tidak mengherankan, karena para pembantunya selalu patuh dan taat pada titah Sang Panglima. 

1.2.         Masalah
          Tindakan korupsi, khususnya dana BLBI yang sampai sekarang tidak pernah ada tanda-tanda akan berhasil diselesaikan ini menjadi tandatanya besar.  Permasalahannya adalah, mengapa hal ini terjadi dan bahkan diharuskan tetap terjadi.



1.3.         Tujuan Penulisan
          Tulisan ini dibuat untuk mencoba mengkaitkan antara kejadian korupsi di negeri ini, khususnya dana BLBI dengan materi Kuliah Pengendalian Manajeman.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.          Korupsi dan Si Korup
          Tindakan korupsi merupakan salah satu penyakit yang selama ini menggerogoti Bangsa Indonesia.  Bukan berarti di negara lain tidak terjadi tetapi tidak separah negeri yang kita cintai ini.  Bahkan hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa bangsa yang dilahirkan atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa ini merupakan negara terkorup se-jagat raya.
          Hal ini tidak mengherankan karena salah satu tindakan kejahatan yang sangat besar nilai rupiahnya pun tidak terlihat oleh hukum, apalagi korupsi kecil-kecilan yang berserak dalam ceceran ribuan pulau.
          Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi berarti perbuatan buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dll).  Sedangkan “korup” berarti busuk, buruk, suka menerima uang sogok (menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri), dsb.
          Secara sepintas, berdasarkan pengertian di atas maka korupsi merupakan suatu tindakan yang hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan tertentu.  Kekuasaan inilah yang dijadikan alat untuk melaksanakan tindakan korupsi.
          Tidak mengherankan kalau pada akhirnya korupsi hanya ditudingkan kepada pihak-pihak yang mempunyai kuasa.  Salah satu kekuasaan itu adalah menyalahgunakan amanat yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu.
          Tidak mengherankan kalau beberapa pihak yang terkena atau setidaknya harus berpikir dua kali atau sekian kali lebih pintar akibat diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang terbit seperempat abad setelah Indonesia merdeka, adalah para pejabat dan para anteknya saja.
          Seiring berjalannya waktu, ternyata korupsi bukan saja menjadi “hak” para penguasa.  Pintar menyiasati berbagai aturan yang berlaku bukan saja keahlian para pejabat, tetapi sudah menjadi hak azazi seluruh anak bangsa.  Tidak mengherankan kalau pada akhirnya, bangsa yang kaya raya ini dinobatkan sbagai bangsa terkorup di dunia.
          Disadari atau tidak, saat ini korupsi menjadi telah bagian yang tidak terpisahkan dari sisi kehidupan.   Bahkan bukan tidak mungkin kalau kehidupan ini pun dihidupi oleh hasil tindakan korupsi itu. 
            Perolehan trophy atas prestasi terkorup ini bukan tercapai akibat tidak adanya upaya untuk membangun bangsa menjadi lebih baik.  Sadar akan adanya berbagai penyimpangan baik selama pemerintahan Sukarno ataupun awal pemerintahannya, pemerintahan Soeharto mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
          Sudah bisa diduga bahwa berbagai cara ditempuh untuk menjadi lebih pintar daripada aturan yang berlaku sehingga berlakunya undang-undang itupun tetap seiring-sejalan dengan terus berlangsungnya tindak pidana korupsi yang harus diberantasnya.  Bahkan ada kecenderungan lebih baik dalam kuantitas yang diraup lebih besar dan kualitas tindakan yang lebih halus sehingga sering tak kentara sampai di-tak-kentaran di mata penegak hukum.
Seperti biasa, berbagai pihak mulai sadar bahwa kebobrokan mental yang sudah sekian lama mencengkeram perlu segera dibuka dan diatasi sedini mungkin.  Berbagai resep dikemukakan, mulai dari segi penegakan hukum sampai nilai spiritual.  Namun hasilnya, seperti biasa, semua lenyap begitu saja.
Pada masa kejayaan Orde Baru, upaya penjagalan koruptor sering sekedar opini atau bahkan menjadi anekdot yang menggelikan.  Apalagi masih sangat sedikit yang berani mengungkapkannya sebagai konsumsi publik sekalipun.  Maklum, korupsi identik dengan pemerintahan khususnya pegawai negeri.  Jaring korupsi meniti mulai dari jajaran tukang sapu dan pengibas debu, barisan birokrasi terendah sampai puncak eselonering.  Pada akhirnya menuju ke pusat pemerintahan, Istana Negara.  Saat itu, kalau ada pegawai negeri yang tidak ikut menikmati manisnya korupsi adalah oknum.  Namun kekuatan pusat kekuasaan menyebabkan mereka aman-aman saja.
Lima tahun kemudian, sorotan terhadap korupsi semakin gencar.  Seperti bisa diduga, para kroco mulai dikambing-hitamkan.  Lagi-lagi pihak teratas tetap aman dan kembali terlena dalam persembunyiannya di balik kursi jabatan.  Lupa bahwa ketika Pak Balok menyantap rel keretaapi maka Sang Jenderal Kancil pun pasti dapat cemilan baja.  Tidak juga ingat kalau pada akhirnya para bawahan tidak akan tinggal diam, terutama  setelah tahu penderitaan disihir menjadi kambing-hitam.
Pada tahun 1997,  krisis ekonomi membuat pucuk pimpinan mulai digoyang.  Korupsi menjadi isyu sentral terdepan dengan mengajak kedua saudara kandungnya, kolusi dan nepotisme.  Mahasiswa dan LSM yang dari semula menjadikan korupsi sebagai wacana mulai berani merubahnya menjadi pencongkel.  Tidak tanggung-tanggung, pada akhirnya penguasa Orde Baru yang tiga puluhan tahun bercokol di Istana Negara harus rela pergi dengan tidak terhormat.
Lenyapnya kekuasaan Orde Baru ternyata tidak identik dengan hilangnya kasus korupsi.  Krisis kepercayaan terhadap penguasa malah berbuah berbagai krisis yang lain.  Krisis ekonomi pun makin menjepit di bawah timbunan krisis baru yang menguntit.
Penderitaan masyarakat diiklankan dan masuk bursa saham.  Bank Dunia pun dengan senang hati melegonya dengan harga murah meriah.  Kemudian lahir berbagai program dengan tujuan yang amat mulia untuk dikatakan produk manusia, namanya Jaring Pengaman Sosial (JPS) atawa dalam bahasa nenek moyang mereka Social Safety Net (SSN).  Saku dan kantong mulai tertolong.  Penduduk miskin dapat tetesan sebagai haknya.  LSM dan mahasiswa yang dulu nyeruduk dan vokal memperoleh bagian sebagai Tenaga Pendamping atau Konsultan Manajemen atau Tenaga Ahli atau sebutan intelek lainnya.  Ekonomi membaik dalam batas diantara dua tanda kutip (ditulis : “Ekonomi Membaik”).
Pertanyaan yang masih terus menggelayut adalah, “Sudahkah korupsi berakhir ?”
Ternyata tidak, Indonesia makin kokoh pada posisinya sebagai negara terkorup.  Melebihi India, dan di atas negara paling korup yang lain.  Teratas dalam kuanitas dan jauh meningkat dari sisi kualitas.  Para penggusur penguasa lama yang dinilainya korup pun turut menikmati renyahnya kue korupsi.  Sedangkan mantan pejabat yang kelewat korup menjadi sangat aman setelah menutupi celanya dengan taburan ang paw berdalih uang saku dari hasil korupsi yang baru.
  Korupsi bukan lagi milik pegawai negeri, tetapi juga masyarakat luas termasuk komponen mahasiswa sekalipun.  Mereka bisa tertawa berbahak-bahak setelah aktif atau mendirikan LSM dengan kegiatan utama mesam-mesem.
Namun demikian, upaya peneriakan korupsi terus berlanjut.  Banyak maling yang teriak maling, lebih banyak lagi yang menjerit karena tidak kebagian.  Hasilnya tidak terlalu mengecewakan, sampai tahun 2002 ini beberapa dedengkot koruptor mulai dicongkel.  Bukan hanya karena status kepegawai-negerian mereka, pengusaha dan politisi yang sering andil juga mulai diciduk.  Koruptor kelas kakap lain, kasak-kusuk menghindari giliran.
Hasilnya tidak tanggung-tanggung, setelah mengitari rumitnya rimba raya, akhirnya rakit kayu gelondongan yang membawa Menteri Kehutanan Bagian Lapangan Haji Muhammad Bob Hassan terombang-ambing arus ganas Laut Selatan sebelum nyangsang (terdampar) di Pulau Nusa Kambangan.  Dalam kasus yang lain, kepiawaian Abdul Gaffur main Tarzan-tarzanan bergelayutan dari satu akar beringin ke lain pohon pun pernah nyangkut di Rumah Tahanan.  Sementara Rahardi Ramelan pun tidak mau sendirian menghitung hari di balik jeruji.
Makin jelas harapan bahwa segala jenis korupsi akan berakhir tahun 2007 nanti !  Berbagai upaya sudah dirintis, Undang-undang Anti Korupsi digelindingkan.  Pemberantasan korupsi akan makin cepat membuahkan hasil.  Jangankan korupsi yang bernilai milyaran rupiah, lima tahun yang akan datang korupsi waktu pun akan segera sirna dari negeri ini.
Pada tahun 2007, generasi muda dan sebagian besar masyarakat Nusantara adalah mereka para alumni pendidikan dasar dengan guru yang berperan ganda sebagai penjaja Lembaran Kerja Siswa (LKS).  Tamat SLTP dan SLTA dengan sukses berkat staf pengajar memberikan les dan bimbingan tes.  Di perguruan tinggi favorit mereka belajar dari para intelektual yang kemana-mana menjual nama almamaternya.  Lingkungan masyarakat tempat mereka habiskan waktu terbanyak pun mengajarkan untuk terbiasa menyabet secepat mungkin setiap peluang mendapatkan dana tanpa harus berpikir penggunaannya, apalagi tanggungjawab pengembalian. 
Sementara birokrasi jalan di tempat atau berjalan mundur ke belakang dari masa lalu, sehingga bahan bacaan wajib di sekolah saja merupakan keluaran para penerbit yang sanggup menembus lorong gelap untuk memperoleh stempel “Bacaan Wajib” dari pejabat yang berwenang.  Sedangkan media massa baik cetak maupun elektronik, mengajari mereka untuk korupsi kecil-kecilan dengan cara membiarkan para modelnya yang sudah berumur mengenakan pakaian yang kekecilan atau bahkan berpose seperti ketika dilahirkan ibunya.
Kita berada di masa akhir dari pembantaian terhadap pelaku korupsi?  Tidak perlu undang-undang dan berbagai peraturan yang membatasi.  Hakim dan Jaksa tidak akan disibukan lagi dengan tindak pidana korupsi.  Korupsi secara alami akan lenyap dengan sendirinya, yaitu ketika dilupakan.
Saat itu, kita semua sudah korup !     Na ‘udzu bika min dzalik ….
Ternyata tidak.  Angin segar upaya pemberantasan korupsi kembali menggelegar ketika KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dipimpin oleh Antasari Azhar.  Putera Minang yang pernah menggiring ke hotel prodeo Walikota Padang dan Anggota DPRD Kota Padang, para Dewan yang Terhormat di Gedung Bagonjong Propinsi Sumatera Barat dan pejabat-pejabat penting lainnya ini pun pada akhirnya membuktikan bahwa keterpilihannya sebagai Ketua KPK bukan merupakan suatu upaya perlindungan terhadap korupsi di tubuh birokrasi yang selama ini berlangsung.
Lembaga yang baru seumur jagung itu akhir-akhir ini unjuk gigi, menyeret aparat hukum yang harus dihukum sampai berani menjerat para anggota Dewan yang Tersesat.

2..2. Kasus BLBI yang Sulit Berakhir
          Salah satu ikan paus tindakan kejahatan di Indonesia yang tidak pernah selesai adalah kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI).  Kucuran dana segar bernilai ratusan triliun rupiah ini bukan kerugian sekali-selesai tetapi sudah satu dekade secara nyata menjadi beban tahunan APBN.
          Setiap ganti pemerintahan, lilin penerang selalu dinyalakan.  Tanda-tanda adanya niat untuk mengakhiri tragedi ini selalu muncul, tetapi selalu saja terhalang berbagai kendala sehingga akhirnya ditutup atau bahkan terlupakan sebelum akhirnya ada beberapa pihak yang mengigau mengingatkan untuk memunculkan niat baik lagi.  Bukankah niat baik saja sudah merupakan ibadah?
Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia bermula dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997.  Ketika itu, perekonomian nasional mengalami guncangan hebat akibat krisis nilai tukar yang dialami sejumlah negara di Asia yang kemudian merember ke negara-negara lain termasuk Indonesia.
Waktu itu pemerintah selalu menyatakan bahwa fundamental ekonomi nasional cukup kuat.  Namun setelah kurs rupiah terdepresiasi cukup tajam, BI justeru mengubah sistem kurs mata uang dari dari semula menggunakan managed floating (mengambang terkendali) menjadi free floating (mengambang bebas).
Dengan demikian, kurs mata uang tidak lagi dikendalikan BI tetapi diserahkan pada mekanisme pasar.  Akibatnya, pergerakan rupiah menjelang akhir 1997 menjadi liar dan cenderung tak terkendali.
Pada saat yang sama, banyak perbankan yang rekening gironya di BI bersaldo negatif dan tidak bisa ditutup sebagaimana mestinya.  Sejak itu, kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan di Indonesia semakin merosot sehingga banyak nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar secara mendadak di perbankan.
Pemerintah berusaha meredam keresahan masyarakat itu dengan melikuidasi 16 bank umum swasta nasional pada tanggal 1 November 1997.
Alih-alih menenangkan masyarakat, keputusan melikuidasi bank tersebut justeru menambah kepanikan nasabah.  Setelah itu, BI terpaksa memberikan dana talangan Rp. 23 triliun.  Itulah BLBI yang pertama kali dalam sejarah krisis ekonomi nasional.
Kemudian jajaran Direksi BI waktu itu mengirim surat kepada Presiden Soeharto yang intinya memberitahukan rencana BI untuk mengatasi masalah saldo debet yang dialami perbankan nasional sebagai akibat rush tersebut.
Kutipan surat tersebut antara lain berbunyi, “Sambil menunggu konsolidasi perbankan dan pulihnya kepercayaan terhadap perbankan, BI kiranya disetujui akan mengganti saldo debet tersebut dengan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Khusus, sesuai dengan memo terlampir.”
Usulan itu disetujui Presiden Soeharto melalui surat dari Sekretariat Negara berkualifikasi “Rahasia dan Sangat Rahasia” Nomor R-183/M/sesneg/12/1997 tertanggal 27 Desember 1997.
Dalam surat tersebut antara lain disebutkan, “Maka dengan ini kami beritahukan bahwa Bapak Presiden menyetujui saran Direksi BI untuk mengganti saldo debet bank yang ada dengan harapan sehat-sehat dengan SBPU Khusus sebagaimana dilaporkan dalam surat Sdr. Gubernur BI.”
Lalu dalam akhir surat itu ditutup dengan kalimat, “Bapak Presiden menilai langkah tersebut perlu dilakukan, untuk menjaga agar tidak banyak bank tahun sekarang ini yang terpaksa tutup dan dinyatakan bangkrut.”
Surat dari Direksi BI dan surat dari Presiden waktu itu bisa menjadi kunci siapa sebenarnya yang pantas memikul tanggungjawab terhadap semua yang terjadi dengan kasus BLBI.
Pemerintah dan BI waktu itu meyakinkan masyarakat bahwa dana BLBI diberikan untuk memulihkan kepercayaan terhadap dunia perbankan.
Namun kenyataannya, penyaluran dana BLBI yang menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencapai Rp. 144,5 triliun, banyak yang diselewengkan sehingga menjadi beban anggaran negara.
BPK yang telah menlakukan audit investigasi atas penyaluran dan penggunaan BLBI menemukan adanya kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank, kelemahan manajemen penyaluran BLBI, penyimpangan dalam penggunaan BLBI, serta potensi kerugian negara akibat penyaluran dan penyimpangan dana BLBI.
Berdasarkan hasil audit investigasi, BPK menilai kekeliruan BI dalam memberikan BLBI adalah pada saat BI tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang rekening gironya di BI bersaldo negatif.
BI pada saat itu tidak berani melakukan stop kliring karena khawatir terjadi efek domino.  Kekhawatiran ini merupakan teori yang belum pernah teruji kebenarannya.  Permasalahan itu menjadi besar karena sejak awal BI tidak tegas dalam menerapkan sanksi stop kliring.  Sikap BI ini dimanfaatkan oleh bankir nakal sehingga sejumlah bank terus bersaldo debet.
Selain itu Direksi BI pernah membuat keputusan yang kurang berhati-hati, yaitu tak akan melakukan stop kliring meski mengetahui overdraft suatu bank sudah semakin membesar melebihi nilai asetnya.
Salah satu keputusan yang akhirnya menjadi bumerang adalah keputusan BI pada pertengahan tahun 1997 yang menyatakan bahwa bank-bank yang bersaldo debet rekeningnya di BI diperbolehkan untuk tetap ikut kliring, melakukan penarikan tunai, melakukan tranfer dana ke cabang-cabang sampai kondisi pasar uang mereda.
Keputusan itu tidak menyebut jangka waktu dan maksimal bagi suatu bank untuk overdraft.  Keputusan ini nampaknya bocor di kalngan bankir yang nakal hingga mereka beramai-ramai untuk melakukan overdraft bahkan sampai melebihi aset bank yang bersangkutan.
Terkait dengan penyaluran BLBI, pada hakekatnya dana ini disalurkan BI untuk menanggulangi bank-bank yangmengalami kesulitan likuiditas akibat di-rush oleh nasabahnya.
Namun karena penyaluran BLBI itu dilakukan melalui mekanisme kliring, maka BI sesungguhnya tidak mengetahui apakah benar dana BLBI dibunakan sepenuhnya untuk menanggulangi rush, dan bukan digunakan untuk kepentingan grup pemilik bank.
Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar-menukar warkat dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalu-lintas giral berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalaimi kesulitan likuiditas.
Pemberian BLBI tak terlepas dari program penjaminan kewajiban bank umum sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998.
Namun, pada prakteknya program penjaminan yang sudah dicanangkan pemerintah sejak 26 Januari 1998, yang diikuti dengan pembantukan Badan Penyehatan Perbanknan Nasional (BPPN), ternyata tidak dimanfaatkan oleh BI dan BPPN.
Dalam salah satu kesimpulannya BPK menyatakan, penyebab membengkaknya BLBI adalah karena BI dan BPPN tidak segera melaksanakan program penjaminan secara konsisten.
Dari hasil audit investigasi BPK diketahui, dana disalurkan sebesar Rp. 144,5 triliun (posisi per-29 Januari 1999).  BPK menemukan penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebegsar Rp. 138,4 triliun atau 95,7 prosen dari total dana BLBI yang disalurkan.
Sampai saat ini upaya penyelesaian BLBI belum menunjukkan hasil memadai.  Upayang penyelesaian BLBI sudah mencapai satu dasa warsa dan melibatkan 5 (lima) presiden.  Mulai dari zaman Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Tuntutan untu mengusut kasus BLBI selalu muncul mewarnai pergantian pemerintahan hingga penggantian Jaksa Agung baru.  Namun, tindaklanjut pengungkapan kasus itu tak ada kemajuan yang berarti.
Masalahnya terletak pada komitmen dari para pemimpin pemerintahan dan pimpinan politik serta keseriusan aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus itu.
Jika tidak ada komitmen dan keseriusan, yang muncul adalah sekedar move-move politik saja dan tak menyentuk kepentingan hukum dan rakyat.


2.3.          Koruptor itu Sang Panglima
          Sulit dipercaya kalau pelaku yang merugikan neraga triliyunan rupiah ini sekarang masih aman-aman saja di negeri tetangga.  Bahkan beliau kembali sibuk mengembangkan uangnya dengan membuka berbagai usaha baru di sana.  Tidak adakah kekuatan hukum yang mampu menjeratnya?
          Jika ditarik garis merah, kepergian Sjamsul Nursalim ke luar negeri saat kasusnya sedang ditangani adalah untuk berobat.  Sama sekali bukan untuk ekspansi usaha.
          Sebagai bagian dari negara yang menjunjung tinggi hukum tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan.  Namun demikian penghormatan terhadap hak warga negara dan bahkan kedaulatan negara lain merupakan kewajban yang harus dijunjung tinggi.  Tidak adanya perjanjian ekstradisi dengan Singapura menyebabkan interpol tidak bisa begitu saja bertindak.
          Faktor eksternal tersebut ternyata hanya isapan jempol belaka, yang menina-bobokan masyarakat bangsa Indonesia dengan dongeng dari Negeri Singa.  Kejadian akhir-akhir ini menunjukkan banyaknya intrik dari pihak-pihak tertentu yang menjadikan kasus Sjamsul Nursalim sebagai ATM berjalan.
          Sang Taipan tidak perlu datang kembali ke negeri kelahirannya, segala permasalahan cukup dengan tunjuk jari dapat diselesaikan.  Banyak para punggawa di negeri ini yang selalu siap sedia membantu.  Mulai para pembantu rumahtangganya dulu, sampai pembantu untuk bidang tertentu. 
          Termasuk kategori terakhir adalah para pembantu yang melepaskan beliau dari jerat hukum.  Mereka bukan saja para ahli hukum tetapi juga mereka yang seharusnya menjadi penegak hukum.
          Tidak mengherankan apabila pergantian kepeminpinan negara sering tidak berkorelasi positif dengan upaya mengembalikan aset triliunan rupiah ini kepada negara.  Padahal sebelumnya, ikon korupsi merupakan salah satu materi kampanya kepemeimpinan mereka.
          Kasus penangkapan Urip Tri Gunawan yang tidak lain adalah ketua jaksa yang menangani kasus BLBI merupakan bukti nyata bahwa sesuatu telah terjadi di negeri berlandaskan hukum ini.  Suap menyuap dengan Artalita Suryani yang berlangsung ternyata hanya tragedi kecil.
          Sudah menjadi kebiasaan Sang Jaksa dengan para rekannya menjadikan kasus ini sebagai peluang mendapatkan dana segar alias ATM Berjalan.  Cukup dengan password “838455” (baca : BEBASS) maka berapa pun uang yang dibutuhkan akan segera cair.
          Urip Tri Gunawan hanyalah orang terakhir yang ketiban sial, bukan hanya terancam harus mengakhiri karir mulusnya di Gedung Bundar tetapi juga untuk sementara mengakhiri tragedi ATM Berjalan.  Jauh-jauh hari sebelum dia hadir di kantor pusat tentu kejadian ini selalu saja berlangsung.
          Pelajaran berharga dapat dipetik dari duet Urip-Artalita ini adalah bahwa mereka adalah para abdi dalem yang dengan sedalam-dalamnya patuh dan taat pada Sang Panglima.  Artalita dengan tulus menerima kesalahan ini sebagai kebodohan pribadi yang tidak melibatkan Sjamsul Nursalim, demikian juga Urip tetap menjaga rahasia tentang hubungannya yang sudah lama dengan Sang Panglima.  Tentu saja hal ini berkaitan erat dengan rupiah dan dollar yang sudah digelontorkan kepada mereka.
          Kesetiaan Artalita yang tidak diragukan tidak perlu dibahas lebih lanjut, tetapi kepiawaiaannya mengelabui petugas ketika dalam penjara menimbulkan tanda tanya baru.  Akankah ini menunjukkan bahwa tindakan suap-menyuap terus berlangsung dari balik terali besi?
          Aturannya para tahanan tidak diperbolehkan menyimpan hand-pone di sel tetapi Artalita dan Urip dapat berkomunikasi dengan leluasa.  Mengatur strategi dan penyatuan pola pengelabuan hukum mejadi agenda utama.
          Ternyata dollar dan rupiah demikian erat bekerjasama sehingga melunturkan setiap detak nadi siapa saja, termasuk penegak hukum yang tiba-tiba menjadi tidak lupa dengan aturan hukum.

2.4.         Pola Kepemimpinan Sang Panglima
          Dari uraian di atas sangat jelas terlihat bahwa melenggangnya Sjamsul Nursalim dengan bebas saat ini tidak terlepas dari kepiawaian beliau menjadi Panglima.  Tidak mengherankan kalau yang bersangkutan termasuk salah satu Taipan yang sukses di negeri ini di era Orde Baru dulu.
          Ketika banyak anak bangsa ini membutuhkan sesuatu yang lebih maka Sang Naga memberikan kelebihan yang dimilikinya.  Transaksi ini terjadi sebagai akibat saling membutuhkan dan masing-masing pihak saling mempunyai kekurangan dan kelebihan serta kesadaran akan adanya manfaat lebih apabila mereka bekerjasama.
          Sjamsul Nursalim punya uang, Urip punya kekuatan hukum, Artalita punya kelebihan lain tentunya.  Disamping itu meing-masing mempunyai kekurangan, sehingga kelebihan segara bertukan dengan kekurangan dan seterusnya.  Satu-satunya kekurangan yang tidak bisa mereka transaksikan adalah kekurang-hati-hatian.
          Mereka dipersatukan dalam lingkup kasus BLBI, dimana kesemua pihak diuntungkan secara materi.  Sjamsul Nursalim menggondol banyak rupiah, Artalita pun dapat membuka peluang berusaha serta Urip dan kawan-kawan bisa dengan mudah jalan-jalan dan berbelanja gratis di Singapura.
          Akankah kerjasama diantara mereka terjadi tanpa tragedi BLBI?  Mungkin saja, tetapi sangat kecil probabilitasnya.  Bahkan mungkin saja kasus ini merupakan akhir dari kerjasama yang sangat erat diantara mereka.
          Dari uraian di atas maka sangat jelas pola kepemimpinan yang diterapkan adalah transaksional, dimana terjadi :

a.     Pertukaran pelayanan
b.     Mendasarkan pada upah
c.      Insidentil

2.4. Mengendalikan Sang Panglima
          Perang terhadap korupsi yang menjadi salah satu agenda penting Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum untuk mengendalikan Sang Panglima. 
          Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Mahkamah Agung sebagai pilar utama penegakan hukum seharusnya bisa menjadi panutan.  Namun demikian, kejadian pelanggaran hukum di negeri ini justeru dimulai dari mereka yang semestinya mengendalikan makin maraknya kasus pelanggaran hukum.
          Oleh karena itu pengendalian terhadap Sang Paglima tidak akan membuahkan hasil apabila di lingkungan internal para penegak hukum terjadi pengeroposan kepercayaan terhadap hukum yang diusungnya.
          Sudah saatnya para aparat penegak hukum menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam hal ini adalah agenda presiden tentangpemberantasan korupsi dan juga kemelekan masyarakat Indonesia akan peraturan dan perundang-undangan serta hukum.  Kondisi saat ini sungguh sangat berbeda dengan zaman Orde Baru dimana semua akan aman-aman saja di balik senyum the Smiling General.
          Ketidakberubahan akan mendapatkan reaksi keras dari masyarakat yang bukan hanya berani mengemukakan pendapat tetapi juga semua itu sudah ada wadah dan salurannya. 
          Kecanggihan teknologi informasi juga sudah semestinya menjadi tantangan tersendiri bagi pada arata penegak hukum untuk menguasainya dengan baik.  Apabila mereka tenggelam dalam suasana gap-tek (gagap teknologi) maka para pelanggar hukum siap menembak mereka dengan peluru modern bernama teknologi.
          Selain itu, kesalahan aparat penegak hukum yang sudah berakumulasi sudah saatnya diakhiri.  Mafia pengadilan di Mahkamah Agung, mafia di Gedung Bundang, sindikat di Kepolisian perlahan tapi pasti harus berakhir.  Paling tidak berkurang sedikit demi sedikit secara konsisten. 
          Rantai akumulasi kesalahan masa lalu harus diputus.  Bila hal ini tidak segera diakhiri maka akan semakin menjadi-jadi karena meningkatnya hasrat untuk hidup berlebih dan kecanggihan teknologi akan bersimbiosa untuk melumpuhkan aturan hukum yang berlaku. 
          Kompleksitas organisasi yang cenderung memberi peluang terhadap terjadinya tindak pidana korupsi perlu disederhanakan tanpa mengurangi kualitas pelayanan yang dibutuhkan masyarakat.  Demikian juga aturan berbelit-belit yang dibuat secara lisan oleh pengambil kebijaksanaan perlu di-real-kan.
          Terakhir, tindakan pengendalian Sang Panglma akan sangat menghemat keuangan negara.  Bukankah selama ini beliau yang menanggung biaya ekstra para jaksa?  Mungkin saja, tetapi seberapa pun besarnya uang yang dikeluarkan untuk mengamankan kasusnya, uang yang dibawa kabur beliau jauh lebih besar lagi jumlahnya!
         
2.5. Pengendalian BLBI Menrutu Teori Sun Tzu
          Dua setengah abad yang lalu, Sun Tzu mengajarkan tentang strategi memenangkan pertempuran.  Beberapa hal yang menjadi bahasan dalam buku yang disusunnya adalah :
a.     Buatlah Rencana
b.     Seandainya harus berperang
c.      Taktik dan Tenaga
d.     Titik-titik kuat dan Lemah
e.      Manuver
f.       Menguasai Medan Perang
g.     Mengatasi situasi
h.     Memanfaatkan mata-mata

          Dalam hal pembahasan tentang korupsi, khususnya BLBI, menurut ke-delapan bab ajaran Sun Tzu akan diuraikan lebih lanjut.  Namun sebelumnya perlu digambarkan bahwa BLBI dikucurkan pemerintah tidak lain adalah dalam rangka perang terhadap pihak-pihak tertentu yang menguasai mata uang kita.  Mereka bukan hanya orang luar negeri yang tetapi juga beberapa diantaranya adalah anak bangsa yang lahir dan besar di tanah air kita. 
          Beberapa catatan penting yang menyebabkan dana triliyunan rupiah ini menjadi beban negara berkepanjangan ini antara lain :
a.     Peluncuran dana yang tidak sedikit ini tanpa perencanaan yang jelas, serba tergesa-gesa dan bukan tidak mungkin beberapa pihak mempunyai rencana untuk mengambil keuntungan pribadi dan golongannya.
     Padahal, seperti diingatkan Sun Tzu, “Semakin banyak perencanaan akan memberi lebih banyak peluang untuk menang, sementara semakin sedikit perencanaan, semakin kecil pula peluang untuk menang.  Lalu, bagaimana apabila tanpa perencanaan sama sekali ?”
Kasus BLBI yang tidak pernah berujung sekarang ini adalah salah satu manifestasi dari kealpaan pemerintah akhir Orde Baru akan pentingnya perencanaan.  Padahal, Sun Tzu juga mengingatkan bahwa, “Menyusun rencana yang baik sudah sama dengan memenangkan separuh pertempuran.”
Perencanaan yang tidak jelas ini diperparah oleh lemahnya metode dan disiplin yang diterapkan.  Metode pengucuran BLBI sebagaimana di bahas pada Bab II sungguh menguntungkan para pemilik bank yang pada umumnya adalah merangkap sebagai pemilik berbagai perusahaan yang menjadi nasabah penghutang aset perbankan yang didirikannya itu. 
Sudah dapat diduga, karena nasabah terbesar adalah pemilik bank itu sendiri maka pihak yang paling banyak hutangnya di bank tersebut adalah mereka sendiri.  BLBI yang meluncur tiba-tiba adalah ibarat hujan duit langsung turun dari surga.  “Adalah suatu kebodohan luar biasa apabila tidak langsung menikmatinya !”   Sebuah prinsip yang cepat menular dari satu penerima kepada yang lainnya.  Ataukah hal seperti ini memang sudah menjadi suatu sifat dasar yang melekat pada diri mereka ?
Yang jelas, perbuatan mereka tercermin dari disiplin pembayaran utang yang diabaikan.  Beberapa diantaranya menunjukkan sikap disiplin dengan menyerahkan aset yang dimiliki kepada negara.  Namun lagi-lagi, hal ini justeru menjadi bagian yang membuka jati diri mereka sebenarnya bahwa mereka jauh dari disiplin yang benar dan bertanggungjawab.  Kebanyakan dari mereka hanya menyerahkan aset yang sama sekali jauh dari nilai nominal yang seharusnya dibayarkan.
Di sisi lain, disiplin para pemegang kekuasaan untuk mengembalikan aset yang dibobol para debitor pun sering berubah menjadi kemakluman tingkat tinggi.  Suatu bentuk kemahfuman yang setara dengan tingginya nilai uang yang disisipkan kepada para petugas !
Korupsi !  ATM Berjalan !  Dan beberapa istilah lainnya yang ditujukan kepada ketidak-disiplinan para penegak hukum yang semestinya menjadi pihak yang membantu penyelesaian kasus yang merugikan rakyat banyak ini.
b.     Dalam menghadapi situasi yang tidak diinginkan, yaitu peperangan, Sun Tzu mengingatkan, “Jika anda terlibat pertempuran, sementara belum melihat kemenangan, pasukan anda akan menurun staminanya.  Mengepung kota hanya menghamburkan tenaga.  Dan seandainya persenjataan anda lemah pula, semangat dan kekuatan akan cepat terkuras.  Akan muncul sosok lain yang mencuri kekuasaan.  Tak seorangpun yang dapat menghindari konsekuensi ini.”
Sungguh tragis apa yang digambarkan Sun Tzu 2.500 tahun yang lalu.  Benar-benar menjadi sebuah kenangan pahit dalam perjalanan bangsa yang merdeka melalui deraian darah dan air mata.
Perlu diingat bahwa saat itu, bangsa Indonesia sudah dikepung oleh suasana global yang sebenarnya diciptakan untuk menjebloskan bangsa kita yang sempat menakutkan perekonomian dua negara adidaya serta para anteknya.  Yang terdekat adalah Singapura, dan di sanalah mata uang rupiah yang dikemas dalam kontainer terkumpul siap digoreng.
Karena rupiah yang beredar di negara ini sudah sangat sedikit dibandingkan milik Soros dan kawan-kawan, maka melemahnya segala bentuk perekonomian negara.  Hal ini diperparah oleh ulah penerima BLBI yang juga melarikan rupiah yang diterimanya keluar negeri, tujuan utama lagi-lagi Singapura !
Kucuran BLBI tidak lain adalah upaya perang terhadap ketidakpercayaan masyarakat kepada perbankan yang sudah tidak lagi memiliki rupiah.  Namun perlawanan ini dilaksanakan tanpa mengatahui potensi diri apalagi musuh yang selama ini selalu berdiri di balik berbagai organisasi internasional berlagak dewa penolong.
Saran Sun Tzu, “Jika anda mengenal musuh dan diri sendiri, anda tak perlu khawatir pada hasil 100 pertempuran.  Jika anda mengenal diri sendiri tanpa mengenal musuh, anda mungkin memenangkan pertempuran juga tetapi anda pun akan turut menderita.  Jika anda tidak mengenal musuh dan diri sendiri, maka anda akan kalah dalam tiap-tiap pertempuran.”
Posisi pemerintah saat peluncuran BLBI sungguh memprihatinkan, bukan hanya tidak memahami kekuatan musuh dengan ber-kontainer-kontainer rupiahnya tetapi juga peredaran rupiah di dalam negeri sudah tidak dapat dijamin kelancarannya. 
Seperti sudah diduga, tanpa mengenal diri sendiri apalagi musuh maka kekalahanlah yang akan didapat.  Dan kekalahan ini harus dibayar mahal dengan kesengsaraan rakyat.
Tidak mengherankan apabila ketika kucuran dana yang indah menjadi masalah maka sumberdaya pemerintah menjadi lemah tak berdaya.  Dan seperti diramalkan Sun Tzu, penggantian kekuasaan akhirnya tidak bisa dihindarkan.
c.      Kata Sun Tzu, “Pada zaman dahulu pejuang berpengalaman pertama-tama selalu menempatkan dirinya pada posisi kemungkinan kalah, dan menunggu kesempatan mengalahkan musuhnya.  Dengan demikian dia dapat mengamankan dirinya dari kekalahan, meskipun belum pasti sanggup menaklukkan lawannya.”
Bahasa yang sederhana, sikap seorang pejuang yang perpengalaman selalu rendah hati. 
Saat itu pimpinan puncak negara ini adalah seorang pejuang yang sangat berpengalaman.  Ahli strategi militer yang sepanjang kekuasaanya selalu dielu-elukan.  Namun seorang pemimpin yang baik bukanlah mercusuar yang tidak tersentuh tetapi merupakan bagian organisasi yang menyalurkan aspirasi terbaik.
Tidak mengherankan dengan keyakinan penuh akan memenangkan situasi perekonomian yang makin ambruk, tanpa tedeng aling-aling, akhirnya terpuruk dan kandas.
Keangkuhan yang diterapkan mendapat tantangan dari dalam dan luar negeri.  Suntikan dana segar kepada perbankan menyebabkan masyarakat semakin hanyut dalam suasana “rush” sehingga beramai-ramai menarik dananya dari bank.  Disisi lain rupiah yang sudah dimiliki Singapura pun siap digoreng sesuai kebutuhan pemiliknya.
Kebijakan yang sama sekali bertolak belakang dengan keahlian Bapak Pembangunan ini mungkin merupakan pertanda bahwa sudah saatnya tampuk kepemimpinan bergeser kepada yang geberasi penerus.  Sebagaimana diingatkan Sun Tzu, “Rambut yang sudah memutih dan mulai rontok tidak lagi mencerminkan kekuatan mantap.  Menatap mathari tidak sama dengan bermata tajam.  Kemampuan mendengar bunyi gemuruh tidak membuktikan kepekaan telinga.”
d.     Bagi Sun Tzu, “Mengendalikan pasukan besar pada prinsipnya sama saja dengan mengatur beberapa orang, sebaba ini tidak lain hanyalah menjawab pertanyaan bagaimana membagi tenaga sejumlah personil.”
Tentu keadaaanya menjadi lain ketika mereka yang diberi kepercayaan ternyata berkhianat seperti pada kasus BLBI ini.  Sebagai akibatnya, bukan hanya permasalahan segelintir orang itu saja yang tidak selesai tetapi juga berakibat pada kesengsaraan masyarakat secara luas.
Taktik langsung dalam penanggulangan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan berakibat langsung pula terhadap kelangsungan kepemimpinan penguasa Orde Baru tersebut.
e.      BLBI diluncurkan ketika Presiden Soeharto sedang melaksanakan kunjungan yang relatif panjang di luar negeri.  Hal ini sungguh merugikan, mengingat keberadaan presiden tidak pernah tergantikan.  Selama beberapa kali pergantian Wakil Presiden dalam kekuasaaanya, mereka tidak lain adalah pelengkap penderita semata.  Itulah sebabnya keberadaan presiden di luar negeri saat itu menjadi titik lemah yang sangat berpotensi untuk dikalahkan oleh musuh, seperti diingatkan Sun Tzu, “Siapa saja yang datang terlebih dahulu di medan pertempuran dan menunggu kedatangan musuhnya akan berada dalam kondisi lebih siap dan segar untuk menhadapi perkelahian.  Sebaliknya, mereka yang datang belakangan ke kancah perang akan bertindak tergesa-gesa, kelelahan dan kehabisan tenaga sebelum pertarungan dimulai.”
Bangsa Indonesia saat itu memang sudah sangat terlambat dalam memperbaiki citra perbankan.  Tidak mengherankan kalau akhirnya upaya yang dilaksanakan secara tergesa-gesa inipun akhirnya hanya menguras kepercayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sun Tzu menggambarkan 5 (lima) kesalahan fatal yang biasa dilakukan seorang pemimpin perang, yaitu :
i)                   Gegabah, sehingga membawa kehancuran
ii)                Takut, sehingga mudah ditawan musuh
iii)              Terburu nafsu, karena digoda penghianat
iv)              Gila hormat, sehingga mendatangkan aib
v)                Cemas berlebihan terhadap prajurit-prajurit

f.       Perang gaya tempo doeloe mamaksa pasukan, baik dalam posisi menyerang maupun bertahan, senantiasa bergerak melalui darat (kadang-kadang lau, tetapi sangat jarang).  Agar efisien dan efektif pergerakan pasukan perlu mengikuti kondisi geografis medan perang.
Oleh sebab itu, Sun Tzu juga memasukkan serta membahas pengetahuan geografis dalam bukunya.  Bahkan Sun Tzu tidak lupa mengingatkan agar kita juga panda-pandai membaca tanda-tanda alam.
Perang ternyata bukan hanya menghadapi pasukan musuh, melainkan juga sekaligus harus pandai menjinakkan alam atau membaca serta memanfaatkan fenomena demi keuntungan pergerakan pasukan kita.
“Seorang pemimpin yang terampil akan menyerang sasaran-sasaran sehingga lawannya tidak tahu apa yang harus dipertahankannya, dan sigap bertahan sehingga lawan tidak tahu target mana yang harus diserangnya,” Tulis Sun Tzu mengenai sikap menyerang atau bertahan.
“Taktik-taktik militer seumpama air, yaitu mengalir secara alamiah dari tempat yang tinggi bergegas-gegas ke arah tempat yang lebih rendah di bawahnya.  Dalam peperangan, seranglah pihak yang lebih lemah posisinya, tetapi hindari menyerbu pasukan yang berada pada posisi kuat.”

g.     Sun Tzu membagi lapangan perang menjadi 6 (enam) macam, yaitu :
i)                   Lapangan yang mudah didekati, yaitu lapangan yang mudah dijelajahi oleh kedua belah pihak.
ii)                Lapangan kusut merupakan lapangan yang dapat ditinggalkan tetapi sulit diduduki kembali.
iii)              Lapangan yang mudah berubah merupakan kedudukan dimana kita dapat melancarkan operasi ke segala arah.
Sun Tzu mengingatkan, ambilah langkah sebijaksananya.  Jangan terpancing bila lawan  menyodorkan umpan.
iv)              Celah sempit, untuk posisi seperti ini Sun Tzu mengingatkan, seandainya lawan terlebih dahulu menduduki suatu celah sempit, jangan mengejarnya.  Tunggulah sampai pertahanannya atas celah sempit itu melemah, baru diserang.
v)                Lapangan bergunung, diingatkan Sun Tzu, “Apabila di lapangan bergunung dudukilah tempat yang tinggi dan mempunyai pandangan luas.  Pukulah musuh pada saat mereka memanjat naik.  Andaikata musuh memiliki posisi bagus dan tinggi, jangan membuntutinya, melainkan mundurlah untuk menggodanya turun.
vi)              Lapangan yang jauh dari musuh, seandainya anda dan lawn terpisahkan pada jarak yang cukup jauh dan kekuatan kedua belah pihak relatif seimbang, jangan merangsang suatu pertempuran, karena kan merugikan anda.
Sun Tzu juga mengingatkan akan adanya beberapa kemungkinan yang dapat timbul dari dalam.  Katanya, “Suatu pasukan dapat dihadapkan kepada 6 (enam) macam bencana yang tidak disebabkan oleh alam, tetapi tetap merupakan tanggungjawab pemimpin pasukan mewaspadainya, yaitu :
i)                   Pelarian atau disersi dari pasukan terjadi apabila prajurit merasa gentar dihadapkan pada lawan yang berkekuatan 10 kali lipat
ii)                Tidak patuh, ketidakpatuhan terjadi karena pemimpin lemah atau tidak cakap memimpin pasukan
iii)              Lumpuh, jika prajurit-prajurit sangat kuat sementara perwiranya lemah maka terjadilah kelumpuhan pasukan
iv)               Hancur, kehancuran terjadi dalam pasukan yang perwira-perwiranya mengambil inisiatif karena dendam kesumat tanpa menunggu aba-aba panglimanya
v)                Kacau, pemimpin yang tidak tegas dalam memberi perintah dan tidak mampu menyusun hierarki organisasi serta tidak memberikan tugas rutin baik kepada perwira atau prajuritnya, menimbulkan kekacauan dalam pasukan
vi)              Kocar-kacir, keadaan kocar-kacir dapat terjadi lantaran panglima pasukan tidak sanggup memprediksi kekuatan lawan dan akibatnya membiarkan pasukan yang lemah berhadapan dengan pasukan musuh yang lebih kuat.
h.     Untuk mengatahui tentang teknik pertempuran, jumlah kekuatan pasukan musuh serta posisi-posisinya, hanya dapat dilakukan dengan menyaksikannya, bukan menduga-duga !  Kata Sun Tzu, “Kirimlah mata-mata !”
Sun Tzu membagi mata-mata menjadi 5 jenis :
i)                   Mata-mata setempat, yaitu dengan mepekerjakan penduduk setempat menjadi mata-mata
ii)                Mata-mata terbalik, merupakan komponen pasukan lawan yang dijadikan mata-mata
iii)              Mata-mata penyusup, merupakan mata-mata lawan yang tertangkap kemudian dimanfaatkan kebmali untuk kepentingan pihak yang menangkap
iv)              Mata-mata terhukum, orang yang dibiarkan melakukan segala sesuatunya terang-terang demi pengelabuan dan mereka ini kemudian dillaporkan oleh mata-mata kita kepada musuh
v)                Mata-mata mujur, yaitu orang yang akhirnya membawa berita kepada tuannya dengan selamat.
Hanya pemimpin yang berkualitaS yang menyadari arti penting mata-mata.  Oleh karena itu mereka dapat dibayar dengan mahal dengan hadiah besar dan gaji menarik sebab pekerjaan yang dilakukannya penuh dengan resiko dan sangat rahasia.
Imbalan kepada mata-mata ini menjadi terdengar sangat lumrah mengingat peringatan Sun Tzu, “Jika suatu rahasia kecil sekalipun dibocorkan oleh seorang mata-mata sebelum waktunya, dia harus dibunuh bersama-sama dengan orang yang mendengarnya!”



BAB III
P E N U T U P

3.1.         Kesimpulan
          Kasus BLBI yang sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya merupakan pelajaran berharga tentang praktek korupsi di Indonesia yang sudah demikian melembaga.  Lembaga hukum yang korup menjadi sangat lemah di bawah kendali pemimpin transaksional yang membutuhkan pembelaannya. 
  
3.2.         Saran
          Diperlukan langkah berani untuk memutus rantai korupsi dan ironisnya gebrakan ini harus dimulai dari lembaga hukum itu sendiri.





DAFTAR PUSTAKA

As-Suwaidan, T. M dan Basyarahil, F. U.  Godin, S.  2007.  Mencetak Pemimpin : Tips Melahirkan Orang Sukses & Mulia.  Khalifa.  Jakarta.
Ho, A.  2008.  The New Inspiration.  KISS Publishing.  Jakarta.
Lopa, B.  2001.  Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum.  Penerbit Buku Kompas.  Jakarta.
Seng, A. W.  2007.  Rahasia Bisnis Orang China.  Hikmah.  Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar