|
|
|
|
KETIKA KORUPTOR JADI PANGLIMA
(Sebuah Tinjauan Kasus BLBI)
Mata Kuliah : PENGENDALIAN MANAJEMEN
Dosen : Dr. H. NURUDIN
SIRAJ, M. Si
Oleh :
D I
N O T O
NIM : 12008019
PROGRAM PASCA SARJANA
KONSENTRASI MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI “CIREBON”
CIREBON
2008
|
|
|
|
|
DAFTAR ISI
|
||||||||||||||
|
|
|
||||||||||||
|
|
Halaman
|
||||||||||||
KATA PENGANTAR
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||
DAFTAR ISI
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||
DAFTAR TABEL
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||
DAFTAR LAMPIRAN
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||
BAB I
|
PENDAHULUAN
|
|
|
|||||||||||
|
1.1.
|
Latar Belakang
|
|
|
||||||||||
|
1.2.
|
Masalah
|
|
|
||||||||||
|
1.3.
|
Tujuan Penulisan
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||
BAB II
|
MATERI DAN METODE
|
|
|
|||||||||||
|
2.1.
|
Materi
|
|
|
||||||||||
|
2.1.1.
|
Korupsi dan Si Korup
|
|
|
||||||||||
|
2.1.2.
|
Kasus BLBI yang Sulit
Berakhir
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||
BAB III
|
PEMBAHASAN
|
|
|
|||||||||||
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||
BAB IV
|
PENUTUP
|
|
|
|||||||||||
|
4.1.
|
Kesimpulan
|
|
|
||||||||||
|
4.2.
|
Saran
|
|
|
||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||
DAFTAR PUSTAKA
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|||||||||||
LAMPIRAN
|
|
|
||||||||||||
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah subhana wa ta’ala, karena hanya berkat rahmat dan
karunia-Nya sajalah penulis dapat neyelesaikan amanah yang dipercayakan tepat
pada waktunya.
Karya
tulis berjudul “Ketika Koruptor Jadi Panglima” ini merupakan salah satu tugas akhir
semester Mata Kuliah Pengendalian Manajemen dibawah
bimbingan Bapak Dr. H. Nurudin Siraj, MA, M. Si. Oleh karena itu penulis pun tidak lupa
menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada beliau.
Kepada
rekan-rekan Angkatan Pertama dan para pengelola Program Pasca Sarjana STIE
Cirebon, tak lupa disampaikan salam hangat atas segala suasana ruang kuliah
yang tidak pernah dingin namun juga tidak pernah kelewat panas alis selalu
hangat-hangat saja.
Peluk
cium tentu hanya untuk isteri tercinta dan anak-anak yang selalu mengerti akan
adanya kesibukan baru yang banyak menyita waktu.
Indramayu,
1 Agustus 2008
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tindakan korupsi merupakan salah satu
penyakit yang selama ini menggerogoti Bangsa Indonesia. Bukan berarti di negara lain tidak terjadi
tetapi tidak separah negeri yang kita cintai ini. Bahkan hasil penelitian terakhir menunjukkan
bahwa bangsa yang dilahirkan atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa ini merupakan
negara terkorup se-jagat raya.
Berbagai kasus korupsi yang saat ini
marak terkorek menunjukkan bahwa tindakan ini sudah bukan lagi monopoli
tingkatan pelaksana di lapangan tetapi merabhan juga semua tatanan yang ada di
negeri ini. Tidak terkecuali anggota
Dewan yang Terhormat dan aparat penegak hukum.
Tragedi penangkapan seorang jaksa yang
paling bertanggungjawab atas penyelesaian kasus korupsi BLBI akhir-akhir ini
menimbulkan tanda tanya besar, apakah korupsi itu harus diberantas atau dibuat
bernas. Ironisnya, sekalipun sudah dalam
tahanan yang saling berjauhan Sang Jaksa masih bisa atur strategi dengan para
kliennya.
Lebih mengherankan lagi, adalah bahwa
pelaku tindak pidana korupsi yang sangat merugikan negara itu ternyata bisa
berlenggang nikmat di Negeri Singa.
Bahkan dengan leluasa menjalankan roda perputaran uangnya, yang tidak
lain sebagian adalah harta negara kita.
Segala bentuk permasalahan di negeri
tempat kelahiran Sang Pialang, cukup dengan tunjuk jari sudah ada yang
menyelesaikan. Tidak mengherankan,
karena para pembantunya selalu patuh dan taat pada titah Sang Panglima.
1.2.
Masalah
Tindakan korupsi, khususnya dana BLBI
yang sampai sekarang tidak pernah ada tanda-tanda akan berhasil diselesaikan
ini menjadi tandatanya besar.
Permasalahannya adalah, mengapa hal ini terjadi dan bahkan diharuskan
tetap terjadi.
1.3.
Tujuan Penulisan
Tulisan ini dibuat untuk mencoba
mengkaitkan antara kejadian korupsi di negeri ini, khususnya dana BLBI dengan
materi Kuliah Pengendalian Manajeman.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Korupsi dan Si
Korup
Tindakan korupsi merupakan salah satu
penyakit yang selama ini menggerogoti Bangsa Indonesia. Bukan berarti di negara lain tidak terjadi
tetapi tidak separah negeri yang kita cintai ini. Bahkan hasil penelitian terakhir menunjukkan
bahwa bangsa yang dilahirkan atas dasar Ketuhanan yang Maha Esa ini merupakan
negara terkorup se-jagat raya.
Hal ini tidak mengherankan karena
salah satu tindakan kejahatan yang sangat besar nilai rupiahnya pun tidak
terlihat oleh hukum, apalagi korupsi kecil-kecilan yang berserak dalam ceceran
ribuan pulau.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,
korupsi berarti perbuatan buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dll). Sedangkan “korup” berarti
busuk, buruk, suka menerima uang sogok (menggunakan kekuasaan untuk kepentingan
sendiri), dsb.
Secara sepintas, berdasarkan
pengertian di atas maka korupsi merupakan suatu tindakan yang hanya dapat
dilaksanakan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan tertentu. Kekuasaan inilah yang dijadikan alat untuk
melaksanakan tindakan korupsi.
Tidak mengherankan kalau pada akhirnya
korupsi hanya ditudingkan kepada pihak-pihak yang mempunyai kuasa. Salah satu kekuasaan itu adalah
menyalahgunakan amanat yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan pribadi
dan golongan tertentu.
Tidak mengherankan kalau beberapa
pihak yang terkena atau setidaknya harus berpikir dua kali atau sekian kali
lebih pintar akibat diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang terbit seperempat abad setelah
Indonesia merdeka, adalah para pejabat dan para anteknya saja.
Seiring berjalannya waktu, ternyata
korupsi bukan saja menjadi “hak” para penguasa.
Pintar menyiasati berbagai aturan yang berlaku bukan saja keahlian para
pejabat, tetapi sudah menjadi hak azazi seluruh anak bangsa. Tidak mengherankan kalau pada akhirnya,
bangsa yang kaya raya ini dinobatkan sbagai bangsa terkorup di dunia.
Disadari atau tidak, saat ini korupsi
menjadi telah bagian yang tidak terpisahkan dari sisi kehidupan. Bahkan bukan tidak mungkin kalau kehidupan
ini pun dihidupi oleh hasil tindakan korupsi itu.
Perolehan trophy atas prestasi terkorup ini bukan tercapai akibat tidak
adanya upaya untuk membangun bangsa menjadi lebih baik. Sadar akan adanya berbagai penyimpangan baik
selama pemerintahan Sukarno ataupun awal pemerintahannya, pemerintahan Soeharto
mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Sudah bisa diduga bahwa berbagai cara
ditempuh untuk menjadi lebih pintar daripada aturan yang berlaku sehingga
berlakunya undang-undang itupun tetap seiring-sejalan dengan terus
berlangsungnya tindak pidana korupsi yang harus diberantasnya. Bahkan ada kecenderungan lebih baik dalam
kuantitas yang diraup lebih besar dan kualitas tindakan yang lebih halus
sehingga sering tak kentara sampai di-tak-kentaran di mata penegak hukum.
Seperti biasa, berbagai pihak mulai sadar bahwa
kebobrokan mental yang sudah sekian lama mencengkeram perlu segera dibuka dan
diatasi sedini mungkin. Berbagai resep
dikemukakan, mulai dari segi penegakan hukum sampai nilai spiritual. Namun hasilnya, seperti biasa, semua lenyap
begitu saja.
Pada masa kejayaan Orde Baru, upaya penjagalan
koruptor sering sekedar opini atau bahkan menjadi anekdot yang
menggelikan. Apalagi masih sangat
sedikit yang berani mengungkapkannya sebagai konsumsi publik sekalipun. Maklum, korupsi identik dengan pemerintahan
khususnya pegawai negeri. Jaring korupsi
meniti mulai dari jajaran tukang sapu dan pengibas debu, barisan birokrasi
terendah sampai puncak eselonering. Pada
akhirnya menuju ke pusat pemerintahan, Istana Negara. Saat itu, kalau ada pegawai negeri yang tidak
ikut menikmati manisnya korupsi adalah oknum.
Namun kekuatan pusat kekuasaan menyebabkan mereka aman-aman saja.
Lima tahun kemudian, sorotan terhadap korupsi semakin
gencar. Seperti bisa diduga, para kroco
mulai dikambing-hitamkan. Lagi-lagi
pihak teratas tetap aman dan kembali terlena dalam persembunyiannya di balik
kursi jabatan. Lupa bahwa ketika Pak
Balok menyantap rel keretaapi maka Sang Jenderal Kancil pun pasti dapat cemilan
baja. Tidak juga ingat kalau pada
akhirnya para bawahan tidak akan tinggal diam, terutama setelah tahu penderitaan disihir menjadi
kambing-hitam.
Pada tahun 1997,
krisis ekonomi membuat pucuk pimpinan mulai digoyang. Korupsi menjadi isyu sentral terdepan dengan
mengajak kedua saudara kandungnya, kolusi dan nepotisme. Mahasiswa dan LSM yang dari semula menjadikan
korupsi sebagai wacana mulai berani merubahnya menjadi pencongkel. Tidak tanggung-tanggung, pada akhirnya
penguasa Orde Baru yang tiga puluhan tahun bercokol di Istana Negara harus rela
pergi dengan tidak terhormat.
Lenyapnya kekuasaan Orde Baru ternyata tidak identik
dengan hilangnya kasus korupsi. Krisis
kepercayaan terhadap penguasa malah berbuah berbagai krisis yang lain. Krisis ekonomi pun makin menjepit di bawah
timbunan krisis baru yang menguntit.
Penderitaan masyarakat diiklankan dan masuk bursa
saham. Bank Dunia pun dengan senang hati
melegonya dengan harga murah meriah.
Kemudian lahir berbagai program dengan tujuan yang amat mulia untuk
dikatakan produk manusia, namanya Jaring Pengaman Sosial (JPS) atawa
dalam bahasa nenek moyang mereka Social Safety Net (SSN). Saku dan kantong mulai tertolong. Penduduk miskin dapat tetesan sebagai
haknya. LSM dan mahasiswa yang dulu nyeruduk
dan vokal memperoleh bagian sebagai Tenaga Pendamping atau Konsultan Manajemen
atau Tenaga Ahli atau sebutan intelek lainnya.
Ekonomi membaik dalam batas diantara dua tanda kutip (ditulis : “Ekonomi
Membaik”).
Pertanyaan yang masih terus menggelayut adalah,
“Sudahkah korupsi berakhir ?”
Ternyata tidak, Indonesia makin kokoh pada posisinya
sebagai negara terkorup. Melebihi India,
dan di atas negara paling korup yang lain.
Teratas dalam kuanitas dan jauh meningkat dari sisi kualitas. Para penggusur penguasa lama yang dinilainya
korup pun turut menikmati renyahnya kue korupsi. Sedangkan mantan pejabat yang kelewat korup
menjadi sangat aman setelah menutupi celanya dengan taburan ang paw
berdalih uang saku dari hasil korupsi yang baru.
Korupsi bukan
lagi milik pegawai negeri, tetapi juga masyarakat luas termasuk komponen
mahasiswa sekalipun. Mereka bisa tertawa
berbahak-bahak setelah aktif atau mendirikan LSM dengan kegiatan utama mesam-mesem.
Namun demikian, upaya peneriakan korupsi terus
berlanjut. Banyak maling yang teriak
maling, lebih banyak lagi yang menjerit karena tidak kebagian. Hasilnya tidak terlalu mengecewakan, sampai
tahun 2002 ini beberapa dedengkot koruptor mulai dicongkel. Bukan hanya karena status kepegawai-negerian
mereka, pengusaha dan politisi yang sering andil juga mulai diciduk. Koruptor kelas kakap lain, kasak-kusuk
menghindari giliran.
Hasilnya tidak tanggung-tanggung, setelah mengitari
rumitnya rimba raya, akhirnya rakit kayu gelondongan yang membawa Menteri
Kehutanan Bagian Lapangan Haji Muhammad Bob Hassan terombang-ambing arus ganas
Laut Selatan sebelum nyangsang (terdampar) di Pulau Nusa Kambangan. Dalam kasus yang lain, kepiawaian Abdul
Gaffur main Tarzan-tarzanan bergelayutan dari satu akar beringin ke lain
pohon pun pernah nyangkut di Rumah Tahanan.
Sementara Rahardi Ramelan pun tidak mau sendirian menghitung hari di
balik jeruji.
Makin jelas harapan bahwa segala jenis korupsi akan
berakhir tahun 2007 nanti ! Berbagai
upaya sudah dirintis, Undang-undang Anti Korupsi digelindingkan. Pemberantasan korupsi akan makin cepat
membuahkan hasil. Jangankan korupsi yang
bernilai milyaran rupiah, lima tahun yang akan datang korupsi waktu pun akan
segera sirna dari negeri ini.
Pada tahun 2007, generasi muda dan sebagian besar
masyarakat Nusantara adalah mereka para alumni pendidikan dasar dengan guru
yang berperan ganda sebagai penjaja Lembaran Kerja Siswa (LKS). Tamat SLTP dan SLTA dengan sukses berkat staf
pengajar memberikan les dan bimbingan tes.
Di perguruan tinggi favorit mereka belajar dari para intelektual yang
kemana-mana menjual nama almamaternya.
Lingkungan masyarakat tempat mereka habiskan waktu terbanyak pun
mengajarkan untuk terbiasa menyabet secepat mungkin setiap peluang
mendapatkan dana tanpa harus berpikir penggunaannya, apalagi tanggungjawab
pengembalian.
Sementara birokrasi jalan di tempat atau berjalan
mundur ke belakang dari masa lalu, sehingga bahan bacaan wajib di sekolah saja
merupakan keluaran para penerbit yang sanggup menembus lorong gelap
untuk memperoleh stempel “Bacaan Wajib” dari pejabat yang berwenang. Sedangkan media massa baik cetak maupun
elektronik, mengajari mereka untuk korupsi kecil-kecilan dengan cara membiarkan
para modelnya yang sudah berumur mengenakan pakaian yang kekecilan atau bahkan
berpose seperti ketika dilahirkan ibunya.
Kita berada di masa akhir dari pembantaian terhadap
pelaku korupsi? Tidak perlu
undang-undang dan berbagai peraturan yang membatasi. Hakim dan Jaksa tidak akan disibukan lagi
dengan tindak pidana korupsi. Korupsi
secara alami akan lenyap dengan sendirinya, yaitu ketika dilupakan.
Saat itu, kita semua sudah korup ! Na ‘udzu bika min dzalik ….
Ternyata tidak. Angin segar upaya pemberantasan korupsi
kembali menggelegar ketika KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dipimpin oleh
Antasari Azhar. Putera Minang yang
pernah menggiring ke hotel prodeo Walikota Padang dan Anggota DPRD Kota Padang,
para Dewan yang Terhormat di Gedung Bagonjong Propinsi Sumatera Barat dan
pejabat-pejabat penting lainnya ini pun pada akhirnya membuktikan bahwa
keterpilihannya sebagai Ketua KPK bukan merupakan suatu upaya perlindungan
terhadap korupsi di tubuh birokrasi yang selama ini berlangsung.
Lembaga yang baru seumur
jagung itu akhir-akhir ini unjuk gigi, menyeret aparat hukum yang harus dihukum
sampai berani menjerat para anggota Dewan yang Tersesat.
2..2. Kasus BLBI yang Sulit Berakhir
Salah satu ikan paus tindakan
kejahatan di Indonesia yang tidak pernah selesai adalah kasus Bantuan Likuidasi
Bank Indonesia (BLBI). Kucuran dana
segar bernilai ratusan triliun rupiah ini bukan kerugian sekali-selesai tetapi
sudah satu dekade secara nyata menjadi beban tahunan APBN.
Setiap ganti pemerintahan, lilin
penerang selalu dinyalakan. Tanda-tanda
adanya niat untuk mengakhiri tragedi ini selalu muncul, tetapi selalu saja
terhalang berbagai kendala sehingga akhirnya ditutup atau bahkan terlupakan
sebelum akhirnya ada beberapa pihak yang mengigau mengingatkan untuk
memunculkan niat baik lagi. Bukankah
niat baik saja sudah merupakan ibadah?
Dana Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia bermula dari krisis moneter yang melanda Indonesia pada
pertengahan tahun 1997. Ketika itu,
perekonomian nasional mengalami guncangan hebat akibat krisis nilai tukar yang
dialami sejumlah negara di Asia yang kemudian merember ke negara-negara lain
termasuk Indonesia.
Waktu itu pemerintah selalu
menyatakan bahwa fundamental ekonomi nasional cukup kuat. Namun setelah kurs rupiah terdepresiasi cukup
tajam, BI justeru mengubah sistem kurs mata uang dari dari semula menggunakan managed
floating (mengambang terkendali) menjadi free floating (mengambang
bebas).
Dengan demikian, kurs mata
uang tidak lagi dikendalikan BI tetapi diserahkan pada mekanisme pasar. Akibatnya, pergerakan rupiah menjelang akhir
1997 menjadi liar dan cenderung tak terkendali.
Pada saat yang sama, banyak
perbankan yang rekening gironya di BI bersaldo negatif dan tidak bisa ditutup
sebagaimana mestinya. Sejak itu,
kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perbankan di Indonesia semakin
merosot sehingga banyak nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar secara
mendadak di perbankan.
Pemerintah berusaha meredam
keresahan masyarakat itu dengan melikuidasi 16 bank umum swasta nasional pada
tanggal 1 November 1997.
Alih-alih menenangkan
masyarakat, keputusan melikuidasi bank tersebut justeru menambah kepanikan
nasabah. Setelah itu, BI terpaksa
memberikan dana talangan Rp. 23 triliun.
Itulah BLBI yang pertama kali dalam sejarah krisis ekonomi nasional.
Kemudian jajaran Direksi BI
waktu itu mengirim surat kepada Presiden Soeharto yang intinya memberitahukan
rencana BI untuk mengatasi masalah saldo debet yang dialami perbankan nasional
sebagai akibat rush tersebut.
Kutipan surat tersebut
antara lain berbunyi, “Sambil menunggu konsolidasi perbankan dan pulihnya
kepercayaan terhadap perbankan, BI kiranya disetujui akan mengganti saldo debet
tersebut dengan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Khusus, sesuai dengan memo
terlampir.”
Usulan itu disetujui
Presiden Soeharto melalui surat dari Sekretariat Negara berkualifikasi “Rahasia
dan Sangat Rahasia” Nomor R-183/M/sesneg/12/1997 tertanggal 27 Desember 1997.
Dalam surat tersebut antara
lain disebutkan, “Maka dengan ini kami beritahukan bahwa Bapak Presiden
menyetujui saran Direksi BI untuk mengganti saldo debet bank yang ada dengan
harapan sehat-sehat dengan SBPU Khusus sebagaimana dilaporkan dalam surat Sdr.
Gubernur BI.”
Lalu dalam akhir surat itu
ditutup dengan kalimat, “Bapak Presiden menilai langkah tersebut perlu
dilakukan, untuk menjaga agar tidak banyak bank tahun sekarang ini yang
terpaksa tutup dan dinyatakan bangkrut.”
Surat dari Direksi BI dan
surat dari Presiden waktu itu bisa menjadi kunci siapa sebenarnya yang pantas
memikul tanggungjawab terhadap semua yang terjadi dengan kasus BLBI.
Pemerintah dan BI waktu itu
meyakinkan masyarakat bahwa dana BLBI diberikan untuk memulihkan kepercayaan
terhadap dunia perbankan.
Namun kenyataannya,
penyaluran dana BLBI yang menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
mencapai Rp. 144,5 triliun, banyak yang diselewengkan sehingga menjadi beban
anggaran negara.
BPK yang telah menlakukan
audit investigasi atas penyaluran dan penggunaan BLBI menemukan adanya
kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan bank, kelemahan manajemen penyaluran
BLBI, penyimpangan dalam penggunaan BLBI, serta potensi kerugian negara akibat
penyaluran dan penyimpangan dana BLBI.
Berdasarkan hasil audit
investigasi, BPK menilai kekeliruan BI dalam memberikan BLBI adalah pada saat
BI tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang rekening gironya di BI
bersaldo negatif.
BI pada saat itu tidak
berani melakukan stop kliring karena khawatir terjadi efek domino. Kekhawatiran ini merupakan teori yang belum
pernah teruji kebenarannya. Permasalahan
itu menjadi besar karena sejak awal BI tidak tegas dalam menerapkan sanksi stop
kliring. Sikap BI ini dimanfaatkan oleh
bankir nakal sehingga sejumlah bank terus bersaldo debet.
Selain itu Direksi BI
pernah membuat keputusan yang kurang berhati-hati, yaitu tak akan melakukan
stop kliring meski mengetahui overdraft suatu bank sudah semakin membesar
melebihi nilai asetnya.
Salah satu keputusan yang
akhirnya menjadi bumerang adalah keputusan BI pada pertengahan tahun 1997 yang
menyatakan bahwa bank-bank yang bersaldo debet rekeningnya di BI diperbolehkan
untuk tetap ikut kliring, melakukan penarikan tunai, melakukan tranfer dana ke
cabang-cabang sampai kondisi pasar uang mereda.
Keputusan itu tidak
menyebut jangka waktu dan maksimal bagi suatu bank untuk overdraft. Keputusan ini nampaknya bocor di kalngan
bankir yang nakal hingga mereka beramai-ramai untuk melakukan overdraft bahkan
sampai melebihi aset bank yang bersangkutan.
Terkait dengan penyaluran
BLBI, pada hakekatnya dana ini disalurkan BI untuk menanggulangi bank-bank
yangmengalami kesulitan likuiditas akibat di-rush oleh nasabahnya.
Namun karena penyaluran
BLBI itu dilakukan melalui mekanisme kliring, maka BI sesungguhnya tidak
mengetahui apakah benar dana BLBI dibunakan sepenuhnya untuk menanggulangi
rush, dan bukan digunakan untuk kepentingan grup pemilik bank.
Lembaga kliring yang semula
hanya sebagai media tukar-menukar warkat dalam rangka memperlancar sistem
pembayaran dan lalu-lintas giral berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi
bank-bank yang mengalaimi kesulitan likuiditas.
Pemberian BLBI tak terlepas
dari program penjaminan kewajiban bank umum sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998.
Namun, pada prakteknya
program penjaminan yang sudah dicanangkan pemerintah sejak 26 Januari 1998,
yang diikuti dengan pembantukan Badan Penyehatan Perbanknan Nasional (BPPN),
ternyata tidak dimanfaatkan oleh BI dan BPPN.
Dalam salah satu
kesimpulannya BPK menyatakan, penyebab membengkaknya BLBI adalah karena BI dan
BPPN tidak segera melaksanakan program penjaminan secara konsisten.
Dari hasil audit investigasi
BPK diketahui, dana disalurkan sebesar Rp. 144,5 triliun (posisi per-29 Januari
1999). BPK menemukan penyimpangan,
kelemahan sistem, dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara
sebegsar Rp. 138,4 triliun atau 95,7 prosen dari total dana BLBI yang
disalurkan.
Sampai saat ini upaya
penyelesaian BLBI belum menunjukkan hasil memadai. Upayang penyelesaian BLBI sudah mencapai satu
dasa warsa dan melibatkan 5 (lima) presiden.
Mulai dari zaman Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri
hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Tuntutan untu mengusut
kasus BLBI selalu muncul mewarnai pergantian pemerintahan hingga penggantian
Jaksa Agung baru. Namun, tindaklanjut
pengungkapan kasus itu tak ada kemajuan yang berarti.
Masalahnya terletak pada
komitmen dari para pemimpin pemerintahan dan pimpinan politik serta keseriusan
aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti kasus itu.
Jika tidak ada komitmen dan
keseriusan, yang muncul adalah sekedar move-move politik saja dan tak menyentuk
kepentingan hukum dan rakyat.
2.3.
Koruptor itu
Sang Panglima
Sulit dipercaya kalau pelaku yang
merugikan neraga triliyunan rupiah ini sekarang masih aman-aman saja di negeri
tetangga. Bahkan beliau kembali sibuk
mengembangkan uangnya dengan membuka berbagai usaha baru di sana. Tidak adakah kekuatan hukum yang mampu
menjeratnya?
Jika ditarik garis merah, kepergian
Sjamsul Nursalim ke luar negeri saat kasusnya sedang ditangani adalah untuk
berobat. Sama sekali bukan untuk
ekspansi usaha.
Sebagai bagian dari negara yang
menjunjung tinggi hukum tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan. Namun demikian penghormatan terhadap hak
warga negara dan bahkan kedaulatan negara lain merupakan kewajban yang harus
dijunjung tinggi. Tidak adanya
perjanjian ekstradisi dengan Singapura menyebabkan interpol tidak bisa begitu
saja bertindak.
Faktor eksternal tersebut ternyata
hanya isapan jempol belaka, yang menina-bobokan masyarakat bangsa Indonesia
dengan dongeng dari Negeri Singa.
Kejadian akhir-akhir ini menunjukkan banyaknya intrik dari pihak-pihak
tertentu yang menjadikan kasus Sjamsul Nursalim sebagai ATM berjalan.
Sang Taipan tidak perlu datang kembali
ke negeri kelahirannya, segala permasalahan cukup dengan tunjuk jari dapat
diselesaikan. Banyak para punggawa di
negeri ini yang selalu siap sedia membantu.
Mulai para pembantu rumahtangganya dulu, sampai pembantu untuk bidang
tertentu.
Termasuk kategori terakhir adalah para
pembantu yang melepaskan beliau dari jerat hukum. Mereka bukan saja para ahli hukum tetapi juga
mereka yang seharusnya menjadi penegak hukum.
Tidak mengherankan apabila pergantian
kepeminpinan negara sering tidak berkorelasi positif dengan upaya mengembalikan
aset triliunan rupiah ini kepada negara.
Padahal sebelumnya, ikon korupsi merupakan salah satu materi kampanya
kepemeimpinan mereka.
Kasus penangkapan Urip Tri Gunawan
yang tidak lain adalah ketua jaksa yang menangani kasus BLBI merupakan bukti
nyata bahwa sesuatu telah terjadi di negeri berlandaskan hukum ini. Suap menyuap dengan Artalita Suryani yang
berlangsung ternyata hanya tragedi kecil.
Sudah menjadi kebiasaan Sang Jaksa
dengan para rekannya menjadikan kasus ini sebagai peluang mendapatkan dana
segar alias ATM Berjalan. Cukup dengan
password “838455” (baca : BEBASS) maka berapa pun uang yang dibutuhkan akan
segera cair.
Urip Tri Gunawan hanyalah orang
terakhir yang ketiban sial, bukan hanya terancam harus mengakhiri karir
mulusnya di Gedung Bundar tetapi juga untuk sementara mengakhiri tragedi ATM
Berjalan. Jauh-jauh hari sebelum dia
hadir di kantor pusat tentu kejadian ini selalu saja berlangsung.
Pelajaran berharga dapat dipetik dari
duet Urip-Artalita ini adalah bahwa mereka adalah para abdi dalem yang dengan
sedalam-dalamnya patuh dan taat pada Sang Panglima. Artalita dengan tulus menerima kesalahan ini
sebagai kebodohan pribadi yang tidak melibatkan Sjamsul Nursalim, demikian juga
Urip tetap menjaga rahasia tentang hubungannya yang sudah lama dengan Sang
Panglima. Tentu saja hal ini berkaitan
erat dengan rupiah dan dollar yang sudah digelontorkan kepada mereka.
Kesetiaan Artalita yang tidak
diragukan tidak perlu dibahas lebih lanjut, tetapi kepiawaiaannya mengelabui
petugas ketika dalam penjara menimbulkan tanda tanya baru. Akankah ini menunjukkan bahwa tindakan
suap-menyuap terus berlangsung dari balik terali besi?
Aturannya para tahanan tidak
diperbolehkan menyimpan hand-pone di sel tetapi Artalita dan Urip dapat
berkomunikasi dengan leluasa. Mengatur
strategi dan penyatuan pola pengelabuan hukum mejadi agenda utama.
Ternyata dollar dan rupiah demikian
erat bekerjasama sehingga melunturkan setiap detak nadi siapa saja, termasuk
penegak hukum yang tiba-tiba menjadi tidak lupa dengan aturan hukum.
2.4.
Pola Kepemimpinan Sang Panglima
Dari uraian di atas sangat jelas
terlihat bahwa melenggangnya Sjamsul Nursalim dengan bebas saat ini tidak
terlepas dari kepiawaian beliau menjadi Panglima. Tidak mengherankan kalau yang bersangkutan
termasuk salah satu Taipan yang sukses di negeri ini di era Orde Baru dulu.
Ketika banyak anak bangsa ini membutuhkan
sesuatu yang lebih maka Sang Naga memberikan kelebihan yang dimilikinya. Transaksi ini terjadi sebagai akibat saling
membutuhkan dan masing-masing pihak saling mempunyai kekurangan dan kelebihan
serta kesadaran akan adanya manfaat lebih apabila mereka bekerjasama.
Sjamsul Nursalim punya uang, Urip
punya kekuatan hukum, Artalita punya kelebihan lain tentunya. Disamping itu meing-masing mempunyai
kekurangan, sehingga kelebihan segara bertukan dengan kekurangan dan
seterusnya. Satu-satunya kekurangan yang
tidak bisa mereka transaksikan adalah kekurang-hati-hatian.
Mereka dipersatukan dalam lingkup kasus
BLBI, dimana kesemua pihak diuntungkan secara materi. Sjamsul Nursalim menggondol banyak rupiah,
Artalita pun dapat membuka peluang berusaha serta Urip dan kawan-kawan bisa
dengan mudah jalan-jalan dan berbelanja gratis di Singapura.
Akankah kerjasama diantara mereka
terjadi tanpa tragedi BLBI? Mungkin
saja, tetapi sangat kecil probabilitasnya.
Bahkan mungkin saja kasus ini merupakan akhir dari kerjasama yang sangat
erat diantara mereka.
Dari uraian di atas maka sangat jelas
pola kepemimpinan yang diterapkan adalah transaksional, dimana terjadi :
a. Pertukaran pelayanan
b. Mendasarkan pada upah
c. Insidentil
2.4. Mengendalikan Sang Panglima
Perang terhadap korupsi yang menjadi
salah satu agenda penting Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan tantangan
bagi para aparat penegak hukum untuk mengendalikan Sang Panglima.
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Mahkamah Agung sebagai pilar utama penegakan hukum seharusnya bisa menjadi
panutan. Namun demikian, kejadian
pelanggaran hukum di negeri ini justeru dimulai dari mereka yang semestinya
mengendalikan makin maraknya kasus pelanggaran hukum.
Oleh karena itu pengendalian terhadap
Sang Paglima tidak akan membuahkan hasil apabila di lingkungan internal para
penegak hukum terjadi pengeroposan kepercayaan terhadap hukum yang diusungnya.
Sudah saatnya para aparat penegak
hukum menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam hal ini adalah agenda presiden
tentangpemberantasan korupsi dan juga kemelekan masyarakat Indonesia akan
peraturan dan perundang-undangan serta hukum.
Kondisi saat ini sungguh sangat berbeda dengan zaman Orde Baru dimana
semua akan aman-aman saja di balik senyum the Smiling General.
Ketidakberubahan akan mendapatkan
reaksi keras dari masyarakat yang bukan hanya berani mengemukakan pendapat
tetapi juga semua itu sudah ada wadah dan salurannya.
Kecanggihan teknologi informasi juga
sudah semestinya menjadi tantangan tersendiri bagi pada arata penegak hukum
untuk menguasainya dengan baik. Apabila
mereka tenggelam dalam suasana gap-tek (gagap teknologi) maka para pelanggar
hukum siap menembak mereka dengan peluru modern bernama teknologi.
Selain itu, kesalahan aparat penegak hukum
yang sudah berakumulasi sudah saatnya diakhiri.
Mafia pengadilan di Mahkamah Agung, mafia di Gedung Bundang, sindikat di
Kepolisian perlahan tapi pasti harus berakhir.
Paling tidak berkurang sedikit demi sedikit secara konsisten.
Rantai akumulasi kesalahan masa lalu
harus diputus. Bila hal ini tidak segera
diakhiri maka akan semakin menjadi-jadi karena meningkatnya hasrat untuk hidup
berlebih dan kecanggihan teknologi akan bersimbiosa untuk melumpuhkan aturan
hukum yang berlaku.
Kompleksitas organisasi yang cenderung
memberi peluang terhadap terjadinya tindak pidana korupsi perlu disederhanakan
tanpa mengurangi kualitas pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. Demikian juga aturan berbelit-belit yang
dibuat secara lisan oleh pengambil kebijaksanaan perlu di-real-kan.
Terakhir, tindakan pengendalian Sang
Panglma akan sangat menghemat keuangan negara.
Bukankah selama ini beliau yang menanggung biaya ekstra para jaksa? Mungkin saja, tetapi seberapa pun besarnya
uang yang dikeluarkan untuk mengamankan kasusnya, uang yang dibawa kabur beliau
jauh lebih besar lagi jumlahnya!
2.5. Pengendalian BLBI Menrutu Teori Sun Tzu
Dua setengah abad yang lalu, Sun Tzu
mengajarkan tentang strategi memenangkan pertempuran. Beberapa hal yang menjadi bahasan dalam buku
yang disusunnya adalah :
a. Buatlah Rencana
b. Seandainya harus berperang
c. Taktik dan Tenaga
d. Titik-titik kuat dan Lemah
e. Manuver
f. Menguasai Medan Perang
g. Mengatasi situasi
h. Memanfaatkan mata-mata
Dalam hal pembahasan tentang korupsi,
khususnya BLBI, menurut ke-delapan bab ajaran Sun Tzu akan diuraikan lebih
lanjut. Namun sebelumnya perlu
digambarkan bahwa BLBI dikucurkan pemerintah tidak lain adalah dalam rangka
perang terhadap pihak-pihak tertentu yang menguasai mata uang kita. Mereka bukan hanya orang luar negeri yang
tetapi juga beberapa diantaranya adalah anak bangsa yang lahir dan besar di
tanah air kita.
Beberapa catatan penting yang
menyebabkan dana triliyunan rupiah ini menjadi beban negara berkepanjangan ini
antara lain :
a. Peluncuran dana yang tidak sedikit ini tanpa
perencanaan yang jelas, serba tergesa-gesa dan bukan tidak mungkin beberapa
pihak mempunyai rencana untuk mengambil keuntungan pribadi dan golongannya.
Padahal,
seperti diingatkan Sun Tzu, “Semakin banyak perencanaan akan memberi lebih
banyak peluang untuk menang, sementara semakin sedikit perencanaan, semakin
kecil pula peluang untuk menang. Lalu,
bagaimana apabila tanpa perencanaan sama sekali ?”
Kasus BLBI yang tidak pernah berujung sekarang ini
adalah salah satu manifestasi dari kealpaan pemerintah akhir Orde Baru akan
pentingnya perencanaan. Padahal, Sun Tzu
juga mengingatkan bahwa, “Menyusun rencana yang baik sudah sama dengan
memenangkan separuh pertempuran.”
Perencanaan yang tidak jelas ini diperparah oleh
lemahnya metode dan disiplin yang diterapkan.
Metode pengucuran BLBI sebagaimana di bahas pada Bab II sungguh
menguntungkan para pemilik bank yang pada umumnya adalah merangkap sebagai
pemilik berbagai perusahaan yang menjadi nasabah penghutang aset perbankan yang
didirikannya itu.
Sudah dapat diduga, karena nasabah terbesar adalah
pemilik bank itu sendiri maka pihak yang paling banyak hutangnya di bank
tersebut adalah mereka sendiri. BLBI
yang meluncur tiba-tiba adalah ibarat hujan duit langsung turun dari
surga. “Adalah suatu kebodohan luar
biasa apabila tidak langsung menikmatinya !”
Sebuah prinsip yang cepat menular dari satu penerima kepada yang
lainnya. Ataukah hal seperti ini memang
sudah menjadi suatu sifat dasar yang melekat pada diri mereka ?
Yang jelas, perbuatan mereka tercermin dari disiplin
pembayaran utang yang diabaikan.
Beberapa diantaranya menunjukkan sikap disiplin dengan menyerahkan aset
yang dimiliki kepada negara. Namun lagi-lagi,
hal ini justeru menjadi bagian yang membuka jati diri mereka sebenarnya bahwa
mereka jauh dari disiplin yang benar dan bertanggungjawab. Kebanyakan dari mereka hanya menyerahkan aset
yang sama sekali jauh dari nilai nominal yang seharusnya dibayarkan.
Di sisi lain, disiplin para pemegang kekuasaan untuk
mengembalikan aset yang dibobol para debitor pun sering berubah menjadi
kemakluman tingkat tinggi. Suatu bentuk
kemahfuman yang setara dengan tingginya nilai uang yang disisipkan kepada para
petugas !
Korupsi ! ATM
Berjalan ! Dan beberapa istilah lainnya
yang ditujukan kepada ketidak-disiplinan para penegak hukum yang semestinya
menjadi pihak yang membantu penyelesaian kasus yang merugikan rakyat banyak
ini.
b. Dalam menghadapi situasi yang tidak diinginkan, yaitu
peperangan, Sun Tzu mengingatkan, “Jika anda terlibat pertempuran, sementara
belum melihat kemenangan, pasukan anda akan menurun staminanya. Mengepung kota hanya menghamburkan
tenaga. Dan seandainya persenjataan anda
lemah pula, semangat dan kekuatan akan cepat terkuras. Akan muncul sosok lain yang mencuri kekuasaan. Tak seorangpun yang dapat menghindari
konsekuensi ini.”
Sungguh tragis apa yang digambarkan Sun Tzu 2.500
tahun yang lalu. Benar-benar menjadi
sebuah kenangan pahit dalam perjalanan bangsa yang merdeka melalui deraian
darah dan air mata.
Perlu diingat bahwa saat itu, bangsa Indonesia sudah
dikepung oleh suasana global yang sebenarnya diciptakan untuk menjebloskan
bangsa kita yang sempat menakutkan perekonomian dua negara adidaya serta para
anteknya. Yang terdekat adalah
Singapura, dan di sanalah mata uang rupiah yang dikemas dalam kontainer
terkumpul siap digoreng.
Karena rupiah yang beredar di negara ini sudah sangat
sedikit dibandingkan milik Soros dan kawan-kawan, maka melemahnya segala bentuk
perekonomian negara. Hal ini diperparah
oleh ulah penerima BLBI yang juga melarikan rupiah yang diterimanya keluar
negeri, tujuan utama lagi-lagi Singapura !
Kucuran BLBI tidak lain adalah upaya perang terhadap
ketidakpercayaan masyarakat kepada perbankan yang sudah tidak lagi memiliki
rupiah. Namun perlawanan ini
dilaksanakan tanpa mengatahui potensi diri apalagi musuh yang selama ini selalu
berdiri di balik berbagai organisasi internasional berlagak dewa penolong.
Saran Sun Tzu, “Jika anda mengenal musuh dan diri
sendiri, anda tak perlu khawatir pada hasil 100 pertempuran. Jika anda mengenal diri sendiri tanpa
mengenal musuh, anda mungkin memenangkan pertempuran juga tetapi anda pun akan
turut menderita. Jika anda tidak mengenal
musuh dan diri sendiri, maka anda akan kalah dalam tiap-tiap pertempuran.”
Posisi pemerintah saat peluncuran BLBI sungguh
memprihatinkan, bukan hanya tidak memahami kekuatan musuh dengan
ber-kontainer-kontainer rupiahnya tetapi juga peredaran rupiah di dalam negeri
sudah tidak dapat dijamin kelancarannya.
Seperti sudah diduga, tanpa mengenal diri sendiri
apalagi musuh maka kekalahanlah yang akan didapat. Dan kekalahan ini harus dibayar mahal dengan
kesengsaraan rakyat.
Tidak mengherankan apabila ketika kucuran dana yang
indah menjadi masalah maka sumberdaya pemerintah menjadi lemah tak
berdaya. Dan seperti diramalkan Sun Tzu,
penggantian kekuasaan akhirnya tidak bisa dihindarkan.
c. Kata Sun Tzu, “Pada zaman dahulu pejuang berpengalaman
pertama-tama selalu menempatkan dirinya pada posisi kemungkinan kalah, dan
menunggu kesempatan mengalahkan musuhnya.
Dengan demikian dia dapat mengamankan dirinya dari kekalahan, meskipun
belum pasti sanggup menaklukkan lawannya.”
Bahasa yang sederhana, sikap seorang pejuang yang
perpengalaman selalu rendah hati.
Saat itu pimpinan puncak negara ini adalah seorang
pejuang yang sangat berpengalaman. Ahli
strategi militer yang sepanjang kekuasaanya selalu dielu-elukan. Namun seorang pemimpin yang baik bukanlah
mercusuar yang tidak tersentuh tetapi merupakan bagian organisasi yang
menyalurkan aspirasi terbaik.
Tidak mengherankan dengan keyakinan penuh akan
memenangkan situasi perekonomian yang makin ambruk, tanpa tedeng aling-aling,
akhirnya terpuruk dan kandas.
Keangkuhan yang diterapkan mendapat tantangan dari
dalam dan luar negeri. Suntikan dana
segar kepada perbankan menyebabkan masyarakat semakin hanyut dalam suasana
“rush” sehingga beramai-ramai menarik dananya dari bank. Disisi lain rupiah yang sudah dimiliki
Singapura pun siap digoreng sesuai kebutuhan pemiliknya.
Kebijakan yang sama sekali bertolak belakang dengan
keahlian Bapak Pembangunan ini mungkin merupakan pertanda bahwa sudah saatnya
tampuk kepemimpinan bergeser kepada yang geberasi penerus. Sebagaimana diingatkan Sun Tzu, “Rambut yang
sudah memutih dan mulai rontok tidak lagi mencerminkan kekuatan mantap. Menatap mathari tidak sama dengan bermata
tajam. Kemampuan mendengar bunyi gemuruh
tidak membuktikan kepekaan telinga.”
d. Bagi Sun Tzu, “Mengendalikan pasukan besar pada
prinsipnya sama saja dengan mengatur beberapa orang, sebaba ini tidak lain
hanyalah menjawab pertanyaan bagaimana membagi tenaga sejumlah personil.”
Tentu keadaaanya menjadi lain ketika mereka yang
diberi kepercayaan ternyata berkhianat seperti pada kasus BLBI ini. Sebagai akibatnya, bukan hanya permasalahan
segelintir orang itu saja yang tidak selesai tetapi juga berakibat pada
kesengsaraan masyarakat secara luas.
Taktik langsung dalam penanggulangan krisis
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan berakibat langsung pula terhadap
kelangsungan kepemimpinan penguasa Orde Baru tersebut.
e. BLBI diluncurkan ketika Presiden Soeharto sedang
melaksanakan kunjungan yang relatif panjang di luar negeri. Hal ini sungguh merugikan, mengingat
keberadaan presiden tidak pernah tergantikan.
Selama beberapa kali pergantian Wakil Presiden dalam kekuasaaanya,
mereka tidak lain adalah pelengkap penderita semata. Itulah sebabnya keberadaan presiden di luar
negeri saat itu menjadi titik lemah yang sangat berpotensi untuk dikalahkan
oleh musuh, seperti diingatkan Sun Tzu, “Siapa saja yang datang terlebih dahulu
di medan pertempuran dan menunggu kedatangan musuhnya akan berada dalam kondisi
lebih siap dan segar untuk menhadapi perkelahian. Sebaliknya, mereka yang datang belakangan ke
kancah perang akan bertindak tergesa-gesa, kelelahan dan kehabisan tenaga
sebelum pertarungan dimulai.”
Bangsa Indonesia saat itu memang sudah sangat
terlambat dalam memperbaiki citra perbankan.
Tidak mengherankan kalau akhirnya upaya yang dilaksanakan secara
tergesa-gesa inipun akhirnya hanya menguras kepercayaan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sun Tzu menggambarkan 5 (lima) kesalahan fatal yang
biasa dilakukan seorang pemimpin perang, yaitu :
i)
Gegabah, sehingga
membawa kehancuran
ii)
Takut, sehingga
mudah ditawan musuh
iii)
Terburu nafsu,
karena digoda penghianat
iv)
Gila hormat,
sehingga mendatangkan aib
v)
Cemas berlebihan
terhadap prajurit-prajurit
f. Perang gaya tempo doeloe mamaksa pasukan, baik dalam
posisi menyerang maupun bertahan, senantiasa bergerak melalui darat
(kadang-kadang lau, tetapi sangat jarang).
Agar efisien dan efektif pergerakan pasukan perlu mengikuti kondisi
geografis medan perang.
Oleh sebab itu, Sun Tzu juga memasukkan serta membahas
pengetahuan geografis dalam bukunya.
Bahkan Sun Tzu tidak lupa mengingatkan agar kita juga panda-pandai
membaca tanda-tanda alam.
Perang ternyata bukan hanya menghadapi pasukan musuh,
melainkan juga sekaligus harus pandai menjinakkan alam atau membaca serta
memanfaatkan fenomena demi keuntungan pergerakan pasukan kita.
“Seorang pemimpin yang terampil akan menyerang
sasaran-sasaran sehingga lawannya tidak tahu apa yang harus dipertahankannya,
dan sigap bertahan sehingga lawan tidak tahu target mana yang harus
diserangnya,” Tulis Sun Tzu mengenai sikap menyerang atau bertahan.
“Taktik-taktik militer seumpama air, yaitu mengalir
secara alamiah dari tempat yang tinggi bergegas-gegas ke arah tempat yang lebih
rendah di bawahnya. Dalam peperangan,
seranglah pihak yang lebih lemah posisinya, tetapi hindari menyerbu pasukan
yang berada pada posisi kuat.”
g. Sun Tzu membagi lapangan perang menjadi 6 (enam)
macam, yaitu :
i)
Lapangan yang
mudah didekati, yaitu lapangan yang mudah dijelajahi oleh kedua belah pihak.
ii)
Lapangan kusut
merupakan lapangan yang dapat ditinggalkan tetapi sulit diduduki kembali.
iii)
Lapangan yang
mudah berubah merupakan kedudukan dimana kita dapat melancarkan operasi ke
segala arah.
Sun Tzu mengingatkan, ambilah langkah
sebijaksananya. Jangan terpancing bila
lawan menyodorkan umpan.
iv)
Celah sempit,
untuk posisi seperti ini Sun Tzu mengingatkan, seandainya lawan terlebih dahulu
menduduki suatu celah sempit, jangan mengejarnya. Tunggulah sampai pertahanannya atas celah
sempit itu melemah, baru diserang.
v)
Lapangan
bergunung, diingatkan Sun Tzu, “Apabila di lapangan bergunung dudukilah tempat
yang tinggi dan mempunyai pandangan luas.
Pukulah musuh pada saat mereka memanjat naik. Andaikata musuh memiliki posisi bagus dan
tinggi, jangan membuntutinya, melainkan mundurlah untuk menggodanya turun.
vi)
Lapangan yang
jauh dari musuh, seandainya anda dan lawn terpisahkan pada jarak yang cukup
jauh dan kekuatan kedua belah pihak relatif seimbang, jangan merangsang suatu
pertempuran, karena kan merugikan anda.
Sun Tzu juga mengingatkan akan adanya beberapa
kemungkinan yang dapat timbul dari dalam.
Katanya, “Suatu pasukan dapat dihadapkan kepada 6 (enam) macam bencana
yang tidak disebabkan oleh alam, tetapi tetap merupakan tanggungjawab pemimpin
pasukan mewaspadainya, yaitu :
i)
Pelarian atau
disersi dari pasukan terjadi apabila prajurit merasa gentar dihadapkan pada
lawan yang berkekuatan 10 kali lipat
ii)
Tidak patuh,
ketidakpatuhan terjadi karena pemimpin lemah atau tidak cakap memimpin pasukan
iii)
Lumpuh, jika
prajurit-prajurit sangat kuat sementara perwiranya lemah maka terjadilah
kelumpuhan pasukan
iv)
Hancur, kehancuran terjadi dalam pasukan yang
perwira-perwiranya mengambil inisiatif karena dendam kesumat tanpa menunggu
aba-aba panglimanya
v)
Kacau, pemimpin
yang tidak tegas dalam memberi perintah dan tidak mampu menyusun hierarki
organisasi serta tidak memberikan tugas rutin baik kepada perwira atau
prajuritnya, menimbulkan kekacauan dalam pasukan
vi)
Kocar-kacir,
keadaan kocar-kacir dapat terjadi lantaran panglima pasukan tidak sanggup
memprediksi kekuatan lawan dan akibatnya membiarkan pasukan yang lemah
berhadapan dengan pasukan musuh yang lebih kuat.
h. Untuk mengatahui tentang teknik pertempuran, jumlah
kekuatan pasukan musuh serta posisi-posisinya, hanya dapat dilakukan dengan
menyaksikannya, bukan menduga-duga !
Kata Sun Tzu, “Kirimlah mata-mata !”
Sun Tzu membagi mata-mata menjadi 5 jenis :
i)
Mata-mata
setempat, yaitu dengan mepekerjakan penduduk setempat menjadi mata-mata
ii)
Mata-mata
terbalik, merupakan komponen pasukan lawan yang dijadikan mata-mata
iii)
Mata-mata
penyusup, merupakan mata-mata lawan yang tertangkap kemudian dimanfaatkan
kebmali untuk kepentingan pihak yang menangkap
iv)
Mata-mata
terhukum, orang yang dibiarkan melakukan segala sesuatunya terang-terang demi
pengelabuan dan mereka ini kemudian dillaporkan oleh mata-mata kita kepada
musuh
v)
Mata-mata mujur,
yaitu orang yang akhirnya membawa berita kepada tuannya dengan selamat.
Hanya pemimpin yang berkualitaS yang menyadari arti penting mata-mata. Oleh karena itu mereka dapat dibayar dengan
mahal dengan hadiah besar dan gaji menarik sebab pekerjaan yang dilakukannya
penuh dengan resiko dan sangat rahasia.
Imbalan kepada mata-mata ini menjadi terdengar sangat
lumrah mengingat peringatan Sun Tzu, “Jika suatu rahasia kecil sekalipun
dibocorkan oleh seorang mata-mata sebelum waktunya, dia harus dibunuh
bersama-sama dengan orang yang mendengarnya!”
BAB III
P E N U T U P
3.1.
Kesimpulan
Kasus BLBI yang sampai saat ini belum
jelas penyelesaiannya merupakan pelajaran berharga tentang praktek korupsi di
Indonesia yang sudah demikian melembaga.
Lembaga hukum yang korup menjadi sangat lemah di bawah kendali pemimpin
transaksional yang membutuhkan pembelaannya.
3.2.
Saran
Diperlukan langkah berani untuk
memutus rantai korupsi dan ironisnya gebrakan ini harus dimulai dari lembaga
hukum itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
As-Suwaidan, T. M dan Basyarahil, F. U. Godin, S.
2007. Mencetak Pemimpin : Tips
Melahirkan Orang Sukses & Mulia.
Khalifa. Jakarta.
Ho, A.
2008. The New Inspiration. KISS Publishing. Jakarta.
Lopa, B.
2001. Kejahatan Korupsi dan
Penegakan Hukum. Penerbit Buku
Kompas. Jakarta.
Seng, A. W.
2007. Rahasia Bisnis Orang
China. Hikmah. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar