|
|
|
|
BUAYA
KERJA DAN
KERJA
BUAYA
(Telah
terhadap Budaya Kerja dan Strategi Mengelola Kinerja)
TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER
Mata
Kuliah : BUDAYA
ORGANISASI
Dosen
: Dr.
H. AGUS ALWAFIER BY, MM
Oleh :
D
I N O
T O
NIM : 12008019
Dikumpul : 20
Juni 2009
PROGRAM PASCA SARJANA
KONSENTRASI MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI “CIREBON”
CIREBON
2009
|
|
|
|
|
“Kita adalah apa yang
kita kerjakan berulang-ulang.
Karena itu, keunggulan
bukanlah seuatu perbuatan,
Melainkan sebuah kebiasaan.”
(Aristotle)
“De milde natuun en de geringe behoeften, aankleding,
goede om die door harde arbeid in de zomer en door economiseren
door te komen, hebben ongungstig gewerkt op de economische
zin en in sterke mate het karakter der mensen beinvloed.”
(Gonggrijp, 1949)
“it’s not the BIG that eat the SMALL ...
it”s the FAST that eat the SLOW.”
(Jennings &
Haughton, 2004)
KATA PENGANTAR
Hanya kehadirat Allah subhana wa ta’ala rasa syukur ini
terpanjatkan, karena hanya berkat rahmat dan karunia-Nya sajalah Penulis dapat
neyelesaikan amanah yang dipercayakan tepat pada waktunya.
Karya tulis berjudul “Buaya Kerja
dan Kerja Buaya, Telaah terhadap Budaya Kerja dan Strategi Mengelola Kinerja”
ini merupakan
Tugas Ujian Tengah
Semester Mata Kuliah Budaya Organisasi dibawah asuhan Bapak Dr. H. Agus
Alwafier By, MM. Oleh karena itu Penulis
pun tidak lupa menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada beliau.
Kepada rekan-rekan Angkatan Pertama
dan para pengelola Program Pasca
Sarjana STIE Cirebon, tidak lupa disampaikan salam hangat atas segala suasana
ruang kuliah yang tidak pernah dingin namun juga tidak pernah kelewat panas
alias selalu hangat-hangat saja.
Peluk cium tentu hanya untuk isteri
tercinta dan anak-anak yang selalu mengerti akan adanya kesibukan baru yang
banyak menyita waktu.
Indramayu,
5 Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|||||||||||||||||||
|
|
Halaman
|
|||||||||||||||||||
KATA PENGANTAR
|
.........................................................................
|
i
|
|||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||
DAFTAR ISI
|
..........................................................................................
|
ii
|
|||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||
BAB I
|
PENDAHULUAN
|
............................................................
|
1
|
||||||||||||||||||
|
1.1.
|
Latar Belakang
|
.........................................................
|
1
|
|||||||||||||||||
|
1.2.
|
Masalah
|
..................................................................
|
1
|
|||||||||||||||||
|
1.3.
|
Tujuan Penulisan
|
.....................................................
|
2
|
|||||||||||||||||
|
1.4.
|
Sistematika Penulisan
|
...............................................
|
2
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||
BAB II
|
MATERI DANMETODE
|
..................................................
|
4
|
||||||||||||||||||
|
2.1.
|
Materi
|
.......................................................................
|
4
|
|||||||||||||||||
|
2.2.
|
Metode
|
....................................................................
|
4
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|||||||||||||||||
BAB III
|
PEMBAHASAN
|
..................................................................
|
5
|
||||||||||||||||||
|
3.1.
|
Buaya Kerja
|
..................................................
|
5
|
|||||||||||||||||
|
3.2.
|
Persoalan Budaya Kerja di Indonesia
|
....................
|
10
|
|||||||||||||||||
|
3.3.
|
Pengaruh Etos Kerja dalam Pelatihan Perusahaan
|
..
|
16
|
|||||||||||||||||
|
3.4.
|
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Budaya Kerja di
|
|
||||||||||||||||||
|
|
Instansi Tertentu
|
.....................................................
|
22
|
|||||||||||||||||
|
3.5.
|
Hubungan Pimpinan dan
Karyawan dalam
|
|
||||||||||||||||||
|
|
Peningkatan Budaya Kerja
|
......................................
|
26
|
|||||||||||||||||
|
3.6.
|
Kerja Buaya
|
..............................................................
|
32
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||
BAB IV
|
PENUTUP
|
.....................................................................
|
34
|
||||||||||||||||||
|
4.1.
|
Kesimpulan
|
..............................................................
|
34
|
|||||||||||||||||
|
4.2.
|
Saran
|
.......................................................................
|
34
|
|||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||
DAFTAR PUSTAKA
|
..........................................................................
|
35
|
|||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Sekalipun
manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna namun dalam hidup
dan kehidupannya tidak pernah dapat terlepas dari makhluk lainnya, baik makhluk
hidup maupun benda mati di alam ini.
Sifat ketergantungan terhadap lingkungan ini menunjukkan bahwa tidak ada
yang lebih sempurna selain Pemilik Segala Kesempurnaan itu sendiri.
Selain itu
sifat ketergantungan terhadap lingkungan juga telah membentuk perilaku manusia
itu sendiri. Bahkan para ahli
berpendapat bahwa kekuatan pengaruh lingkungan mencapai 80 prosen,, yang
berarti bahwa faktor keturunan hanya berpengaruh 20 prosen saja.
Lingkungan
juga yang membentuk berbagai budaya yang berlaku di masyarakatnya, salah
satunya adalah budaya kerja. Perbedaan
lingkungan satu dan lain negara telah menyebabkan perbedaan budaya kerja di
setiap negara. Pengaruh lingkungan yang
mengglobal juga yang akhirnya menuntut satu dan lain negara saling pengaruh
mempengaruhi budaya kerjanya.
Budaya kerja
bangsa Indonesia yang dilahirkan di negeri subur makmur ini misalnya harus
disesuaikan dengan tuntutan zaman, baik akibat masuknya berbagai pihak asing
atau dalam rangka mengejar berbagai ketinggalan. Sifat-sifat yang membelenggu selama puluhan
abad ternyata sering tidak cocok dalam menghadapi berbagai tantangan zaman yang
terlalu terbuka ini.
Namun demikian
tidak semua budaya negeri ini jelek, beberapa diantaranya justeru masih
diperlukan untuk membendung pengauh negatif yang tak terkendali.
1.2.
Masalah
Alam
memanjakan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup layak tanpa harus kerja
keras. Berbagai kehidupan seperti
sandang, pangan dan papan tersedia seakan tiada habisnya. Hal ini telah terakumulasi dalam sebuah
budaya kerja yang relatif tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman yang menuntut
segala sesuatu harus didapat dengan kerja keras.
Perubahan ini
disikapi dengan berbagai cara, ada yang tetap menyerahkan pada alam sebagaimana
nenek moyang. Sebagian langsung
menanggapi tantangan ini dengan kerja yang luar biasa, tanpa mengenal lelah,
lupa waktu dan lingkungan sekitarnya sekalipun.
Kebanyakan ada dalam rentang menuruti budaya nenek moyang dan workholic
dengan kadar yang berbeda satu dengan yang lain, tergantung pada lingkungan
yang menuntut dan menuntun kehidupan mereka.
1.3.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan
Karya Tulis ini adalah mencoba untuk menganalisa budaya kerja di Indonesia dan
berbagai sikap yang diperlukan untuk perbaikannya di masa yang akan datang.
Mereka yang
masih puas hidup dengan warisan masa lalu dalam tulisan ini digolongkan sebagai
orang-orang yang meniru Kerja Buaya, bermalas-malas, jalan tertatih-tatih
sambil mengintai mangsa dan gesit menerkam apabila ada kesempatan. Sedangkan para Buaya Kerja merupakan
orang-orang yang membiarkan kerja kerasnya melahap habis segala kesenangan
keduawiannya lainnya.
1.4.
Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan makalah ini sedapat mungkin mendekati format ilmiah, yaitu :
1.
Kata Pengantar menjelaskan dasar dan beberapa hantaran
kata yang berkaitan erat dengan penulisan karya tulis ini.
2.
Bab I Pendahuluan mengemukakan tentang latar belakang,
masalah dan tujuan penulisan dikaitkan dengan judul yang dipilih, serta
sistematika penulisan karya tulis itu sendiri.
3.
Bab II Materi dan Metode menjelaskan tentang materi
yang menjadi bahasan dan metode penulisannya.
4.
Bab III Pembahasan menguraikan tentang 4 (empat) materi
budaya kerja, yaitu persoalan budaya kerja di Indonesia, pengaruh etos kerja
dalam pelatihan perusahaan, faktor-faktor yang mempengaruhi budaya kerja di
instansi tertentu dan hubungan pimpinan dan karyawan dalam meningkatkan budaya
kerja.
5.
Bab IV Penutup merupakan kesimpulan dari uraian
sebelumnya saran untuk perbaikan selanjutnya.
6.
Daftar Pustaka memaparkan sumber tulisan yang dikutip
pada penulisan makalah tulis ini.
BAB II
MATERI DAN METODE
2.1.Materi
Bahan
acuan dalam menelaah berbagai permasalahn budaya kerja ini adalah materi kuliah
Budaya Organisasi yang ditulis
Dr. H. Agus Alwafier By, MM pada Bab “Budaya Kerja dan Strategi Mengelola
Kinerja”. Sementara pembandingnya adalah
berbagai buku tentang yang berkaitan dengan Budaya Kerja pada umumnya
sebagaimana tertera pada Daftar Pustaka.
2.2.Metode
Kerangka pikir
dari materi utama dikomplasi dengan berbagai sumber lainnya sehingga akhirnya
dapat menjadi satu tulisan yang menjawab semua persoalan yang menjadi pokok
bahasan ini, yaitu :
1.
Pengaruh Persoalan budaya kerja di Indonsia
2.
Pengaruh etos kerja dalam pelatihan perusahaan
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi budaya kerja di
instansi tertentu
4.
Hubungan pimpinan dan karyawan dalam peningkatan budaya
kerja
BAB III
PEMBAHASAN
Sebagai
bagian dari sebuah budaya maka budaya kerja di Indonesia pun terbentuk oleh
proses interaksi manusia dengan alam lingkungannya yang berlangsung secara
terus menerus. Oleh karena itu segala
hal yang terjadi pada manusia, baik antar manusia, manusia dengan alam ataupun
benturan alam dengan alma telah mengakumulasi dalam satu budaya Indonesia. Salah satunya adalah budaya kerja masyarakat
Indonesia.
Budaya
kerja masyarakat Indonesia menjadi sekarang sering menjadi sorotan karena
sebagian dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Kebiasaan meremehkan dan memaklumkan dalam
segala hal telah berakumulasi sedemikian besar dan kuat sehingga sering lebih
banyak mudhorotnya daripada manfaatnya.
Tetapi
tidak semua masyarakat Indonesia demikian, kalau dikelompokkan dapat dibagi
menjadi tiga golongan, yang santai dan lunglai dalam bekerja ibarat Kerja
Buaya, yang sedang-sedang saja sesaui dengan kebutuhan dan tuntutan pekerjaan
dan golongan Buaya Kerja yang tak kenal waktu dan ruang lagi selain kerja dan
terus bekerja.
3.1.
Buaya Kerja
Sebutan umum
di masyarakat adalah workholic, kerja telah menjadi racun yang memabukan
sehingga yang bersangkutan lupa daratan.
Lupa dengan kehidupan nyata yang seharusnya dijalani dan dinikmati. Hidup bagi mereka semata-mata hanyalah untuk
menyelesaikan tumpukan pekerjaan tidak pernah ada habisnya. Bahkan waktu untuk menikmati imbalan kerja
kerasnya pun seakan sudah tidak ada lagi.
Para Buaya
Kerja ini semula hanya di beberapa negara saja, sebut saja misalnya
Jepang. Pengabdian kepada bangsa
merupakan budaya yang sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan berdasarkan
kepercayaan masyarakat Jepang yang sudah melekat ribuan tahun lamanya. Shinto mengajarkan bahwa pengabdian adalah
segalanya, termasuk untuk kemajuan bangsa dan negara.
Keyakinan
terhadap Tuhan menyebabkan banyak tentara Jepang menghunuskan samurainya ketika
harga dirinya tidak dapat dipertahankan, termasuk apabila gagal dalam
menjalankan perintah atasan. Budaya ini
juga berlaku di kalangan sipil, pada saat pembangunan Exxor II di Balongan
Indramayu misalnya, seorang ekspatriat Jepang mengakhiri hidupnya hanya karena
merasa gagal dalam membuat konstruksi tanki minyak. Banyak kejadian lainnya juga harus diakhiri
dengan harakiri sebagai rasa tanggungjawab terakhir membela harga diri bangsa
dan kepercayaan kepada Tuhan.
Ketika
berbagai bangsa masuk ke Indonesia, baik diiringi dengan investasi ataupun
sekedar ekspatriatnya saja, maka perubahan menuju kinerja yang dikehendaki oleh
mereka pun terjadi. Sangat masuk akal,
sebab kalau tidak mengikuti jalan pikiran dan kebiasaan kerja mereka tentu saja
target yang diharapkan tidak akan tercapai.
Sanksi yang paling dekat untuk diterima misalnya penurunan gajih sampai
pemecatan. Tentu tidak ada pilihan bagi
pekerja kecuali untuk mengikuti apa yang dikehendaki oleh pimpinannya.
Tidak semua
orang kuat dalam menyesuaikan diri dengan kerja keras yang luar biasa, bahkan
sampai melupakan keluarga. Untuk yang
satu ini, bagi ekspatriat tentu suatu keharusan, karena mereka umumnya datang
ke Indonesia tidak beserta keluarganya.
Bagi mereka waktu adalah kerja semata.
Tetapi tidak
sedikit yang secara cepat dapat menyesuaikan dengan kinerja mereka atau bahkan
lebih gila kerja. Kegilaan ini bukan
sesuatu yang negatif saja, mungkin rasa cinta yang tinggi kepada pekerjaan yang
digeluti inlah yang menyebabkan mereka melupakan segala ruang dan waktu seperti
masyarakat umumnya. Kerja keras luar
biasa ini juga bisa jadi merupakan wujud kecintaan kepada pembangunan bangsa
dan negaranya.
Bisa dilihat
di malam hari, gedung pencakar langit di Jakarta masih tetap menyala sampai
angka jam didinding menembus nol. Di
dalamnya masih banyak orang-orang yang sibuk dengan berbagi kegiatan. Hanya sedikit diantara mereka adalah
ekspatriat, sebagian adalah anak bangsa yang berusaha mengabdikan kecintaannya
kepada pekerjaan untuk kemajuan negaranya.
Kebiasaan
kerja keras bukan tidak menunjukkan hasil, salah satunya adalah Mardahana
misalnya. Anak muda kelahiran Klaten
Jawa Tengah ini dalam usia yang relatif muda telah duduk si pucuk kepemimpinan
perusahaan asing. Beliau memegang
jabatan yang sangat bergengsi, Direktur untuk Asia Pasific pada Du Pont
Incorporation. Sungguh sangat sedikit
kesempatan untuk bisa mencapai possisi puncak tersebut mengingat persaingan
bukan hanya diperebutkan oleh pekerja yang berkewarganegaraan Bangsa Asia dan
Pasific tetapi juga Eropah dan Amerika.
Sebuah perusahaan
pertelevisian nasional terbesar di negeri ini, Trans Incorporation, adalah
salah satu perusahaan yang dipimpin pemuda lajang yang begitu berhasil
menerapkan ilmu yang diperolehnya dari Amerika.
Di usia muda, Sang CEO menjadi sumber inspirasi bagi rekan
se-kewarganegaraannya untuk kerjakeras dalam mencapai tujuan. Mempersembahkan yang terbaik untuk bangsa dan
negara.
Beberapa
pekerja lokal Indonesia lainnya berhasil menjadi penguasa tertinggi perusahaan
ketika berhasil mempelajari sistem kerja sudah menyesuaikan dengan keinerja
ekspatriat. Banyak juga yang gagal di
tengah jalan akibat menelan bulat-bulat budaya mereka tanpa menyeleksinya
terlebih dahulu.
Perlu
digambarkan disini bahwa tidak semua pelajaran dari ekspatriat sesuai dengan
budaya Indonesia, itu sudah jelas. Tidak
sedikit dari perilaku ekspatriat juga ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan
dirinya sendiri sebagai manusia.
Kebiasaan
minum shake di akhir pekan di Jepang misalnya berubah menjadi budaya menenggak
minuman keras untuk melupakan berbagai kepenatan dan kecapaian seminggu
bekerja. Di Jepang sendiri, kebiasaan
mabuk berjamaah ini sudah menjadi budaya.
Tetapi satu hal yang sangat sulit dijalankan di Indonesia adalah
kemabukan mereka adalah kemabukan yang bertanggungjawab. Pada sekumpulan orang yang berpesta shake,
beberapa diantaranya hanya menenggak satu-dua sloki sekedar penghormatan. Oleh karena itu, ketika acara mabuk berjamaah
terjadi maka apapun yang terjadi kepada mereka adalah tanggungjawab rekannya
yang tidak mabuk. Demikian juga
penegakan hukum yang keras membuat mereka tidak pernah khawatir terhadap
keamanan diri sekalipun mabuk dalam kesendirian.
Buaya Kerja,
sekalipun sebutannya adalah buaya tetapi tetap sebagai manusia. Keperluan bersosialisasi dan menikmati hasil
kerja tetap ada dalam angan sadar mereka.
Keinginan mengejawantahkannya inilah yang sering dilupakan dengan
berbagai kegiatan lain yang juga memabukan.
Minuman keras, atau bahkan narkotika.
Kebiasaan
buruk ekspatiat ditiru total oleh pengikut lokal dengan menghabiskan malam di
diskotik dan berbagai tempat menghibur diri lainnya. Sebagian kecil menyendiri di rumah,
menyuntikan bahan kimia tertentu ke dalam tubuh sehingga bisa melupakan segala
kegiatan di kantor yang pada Sabtu dan Minggu kosong melompong.
Sebuah
kejadian yang lumrah saat ini di Jakarta misalnya, ketika pada Jum’at malam
sepasang suami isteri ekspatriat melupakan malam kebersamaan dalam
ketidaksadaran. Mabuk dan tak sadarkan
diri sampai akhirnya lonceng berdengatang mendekati sore akhir pekan. Kepenatan dan kelelahan terlupakan tetapi
badan terasa sangat sakit dan kesakita.
Saat itulah mereka sudah waktunya bertukar darah. Cuci darah, membuang semua darah yang
tercemar dan menggantikannya dengan darah baru yang jauh lebih segar. Kejadian ini menjadi rutinitas sebelum
memasuki kesibukan kerja dalam seminggu yang memabukkan.
Oleh karena
itu, workholic pada dasarnya adalah baik.
Asalkan dengan tujuan yang jelas serta masih bisa menyadarkan pecandunya
bahwa dirinya adalah manusia yang diciptakan Tuhan sebagai penikmat alam
beserta isinya.
Kebiasaan
ekspatriat tidak semuanya jelek tetapi harus secara hati-hati karena banyak
diantara kelakuannya bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri sekalipun,
termasuk kesehatan misalnya.
Worcholic
dapat berarti mabuk kerja, boleh saja melupakan segalanya saat bekerja tetapi
tidak boleh melupakan segalanya termasuk menikmati hasil kerja sebagaimana
mestinya. Dengan kata lain, jadilah
Buaya Kerja tetapi masihtetapi sebagai manusia.
3.2.
Persoalan
Budaya Kerja di Indonesia
Hakekat
kehidupan manusia menurut ahli antropologi F. R. Kluckhon dan ahli sosiologi F.
L. Strodtbeck dalam buku Variations ini Value Orientation (1961) sebagaimana
dikutip Koentjaraningrat (1969) berpangkal pada 5 (lima) masalah pokok dalam
kehidupan manusia yang universil dan yang berada dalam semua kebudayaan dimana
pun saja di dunia, sebagai mana tertera pada tebel berikut :
Tabel 1. Kerangka Kluckhon mengenai Lima Masalah Hidup
yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia
NO.
|
MASALAH HIDUP
|
ORIENTASI NILAI BUDAYA
|
||
1.
|
Hakekat dan sifat hidup
|
Hidup itu buruk
|
Hidup itu buruk
|
Hidup itu buruk, tetapi harus diperbaiki
|
2.
|
Hakekat karya
|
Karya itu untuk hidup
|
Karya itu untuk kedudukan
|
Karya untuk menambah karya
|
3.
|
Hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu
|
Masa lalu
|
Masa kini
|
Masa depan
|
4.
|
Hakekat hubungan manusia dengan alam
|
Tunduk terhadap alam
|
Mencari keselarasan dengan alam
|
Menguasai alam
|
5.
|
Hakekat hubungan manusia dengan manusia
|
Memandang ke tokoh-tokoh atasan
|
Mementingan rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa
gotong-royong)
|
Mementingkan rasa tak tergantung kepada sesamanya (berjiwa
individualis)
|
Bangsa
Indonesia merupakan komunitas besar yang sangat beruntung, paling tidak iklim
tropis merupakan karunia yang sangat luar biasa. Tanah subur makmur dengan iklim yang sesuai
telah menyediakan segala kebutuhan begitu mereka dilahirkan.
Tanpa kerja
keras alam menyediakan berbagai bahan makanan, sampahnya pun dibuang dan segera
dilahap oleh mikroba dan menguraikannya menjadi bahan yang diperlukan oleh
tumbuhan. Siklus kehidupan sedemikian
memanjakan masyarakat yang tinggal, hidup dimanja alam.
Gonggriip,
seorang Antropolog berkebangsaan Belanda pernah mengatakan :
“De milde natuun en de geringe behoeften,
aankleding, goede om die door harde arbeid in de zomer en door economiseren door
te komen, hebben ongungstig gewerkt op de economische zin en in sterke mate het
karakter der mensen beinvloed.”
Memang, iklim
dan keadaan alam di negeri dua musim telah memanjakan penghuninya untuk tidak
pernah berjuang keras dalam menghadapi kehidupan. Pergantian iklim tidak perlu dihadapi sebagai
ancaman karena tidak akan membunuh secara langsung. Demikian juga alam menyediakan segalanya dan
dengan sangatt mudah semua dapat dinikmati.
Pengaruh iklim
secara langsung berkaitan dengan kegiatan cuaca sehinga kehidupan masyarakat
petani Indonesia tidak pernah terlepas dari kemiskinan dan
keterbelakangan. Banyak pengaruh lain
yang diakibatkan oleh kemanjaan iklim yang memabukan ini, salah satunya budaya
kerja.
Berbeda sekali
dengan keadaan masyarakat yang hidup di negara empat iklim. Perubahan iklim merupakan ancaman yang
mematikan bila tidak disiasati sengan seksama.
Pemikiran dan kerja keras dilatih untuk menghadapi satu tantangan iklim
ke iklim yang lain. Demikian juga
kondisi alam sangat menyesuaikan, tidak selalu subur tetapi ada saat gersang
dan tanpa kehidupan. Bahkan tidak
sedikit kehidupan yang semula ada menjadi tiada dengan perubahan akibat campur
tangan manusia yang makin banyak dalam
mempertahankan kehidupannya.
Kesuburmakmuran
bangsa ini telah menjadi landasan munculnya budaya kerja di Indonesia yang
khas. Budaya kerja ini menjadi sorotan
ketika hubungan antar bangsa semakin dekat sehingga satu dengan yang lain bisa saling
mengoreksi.
Budaya kerja
yang sudah sangat melekat ini juga disadari menjadi faktor menjadi penghambat
kemajuan Bangsa Indonesia itu sendiri.
David McCelland berpendapat bahwa budaya kerja tersebut diantaranya
adalah motivasi kerja untuk berprestasi yang sangat rendah. Senada dengan pendapat Everett Hagen yang
mengatakan bahwa masyarakat bangsa Indonesia dan negara berkembang lainnya
tidak memiliki jiwa kreatif dan inovatif.
Pendapat senada juga sebenarnya pernah dikamukakan Koentjaraningrat,
bahkan salah satu sifat lainnya adalah tidak bertanggungjawab.
Dikaitkan
dengan EQ dan ESQ yang ternyata lebih berperan dibandingkan dengan kecerdasan
otak (IQ), Mangkunegaran menguraikan bahwa sebagian besar masyarakat bangsa
Indonesia memiliki kecerdasan emosi (EQ) yang kurang baik, seperti sifat iri
dan dengki, benci, sakit hati, dendam, minder, mudah depresi, mudah marah,
tidak suka orang lain (bawahan, rekan kerja, atasan) lebih sukses, saling
menjatuhkan kawan sekerja dan memfitnah rekan sendiri.
Sesungguhnya
pendapat di atas bukan semata-mata berkaitan dengan EQ tetapi juga pengalaman
spiritual yang masih sangat rendah.
Tentu saja pendapat ini banyak yang menolak mengingat kebanyakan
masyarakat Indonesia secara kasat mata sangat religius.
Sejak kecil
anak-anak dididik ilmu keagamaan baik di rumah maupun secara khusus di
pesantren dan lembaga keagamaan lainnya.
Kehidupan agamis sudah menjadi sebuah budaya dan pada kehidupan nyata
budaya beragama itu seakan terpisah dari kehidupan nyata.
Perkembangan pembangunan
yang lebih menekankan kepada hasil secara ekonomi telah melupakan sifat dasar
yang menjadi budaya masyarakatnya.
Perbaikan ekonomi yang tidak diringi dengan penyesuaian budaya telah
memperparah jurang keduanya. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi seharusnya diiringi dengan perubahan budaya kerja tetapi
hal ini tidak terjadi, bahkan gap diantara keduanya makin timpang. Tuntutan kehidupan berbasis kapitalis telah
menyeret masyarakat kedalam jurang kehidupan yang membelah jauh kehidupan
duniawi dengan ukhrowi.
Budaya kerja
yang demikian telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Termasuk di dalamnya budaya kerja di kalangan
birokrat.
Budaya kerja
masyarakat yang sejalan dengan keramahan alam juga terjadi dalam urusan
birokrasi. Kemudahan mendapatkan sesuatu
dari alam sekitar menjadi alasan tumbuhnya berbagai kasus pelanggaran. Budaya ini tumbuh bersubur dan selalu
berakumulasi menjadi lebih besar dan semakin besar sampai akhirnya
menghancurkan bangsa Indonesia itu sendiri.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa sesungguhnya apapun kejelekan birokrasi bukan semata-mata
salah dari para birokrat. Masyarakat
yang serba ingin mudah dan mahfum dengan segala kesalahan asalkan dihapus
dengan sedikit imbalan menjadi simbiosis mutualisma. Korupsi dan Kolusi pun terjadi sedemikian
mengakar.
Disisi lain,
budaya masyarakat Indonesia juga yang menggiring pada birokrat dan dunia usaha
ke arah Nepotisme. Hidup dalam
lingkungan keluarga sendiri di manapun berada tentu akan lebih tenang. Perasaan pun tidak enak apabila lebih
mementingkan orang lain darpada keluarga sendiri.
Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme sesungguhnya bukanlah hal baru. Para founding
fathers telah menggariskan aturan agar budaya apapun yang tumbuh setelah
Indonesia merdeka tidak terlepas dari akar budaya baiknya. Rangkaian pemikiran mereka sudah sangat
melekat di otak setiap warga negara, yaitu Pancasila.
Namun
demikian, bagi masyarakat Indonesia dengan budaya aslinya yang tidak bisa
mengejar ketinggalan tuntutan kehidupan modern, jangankan hukum yang dibuat
manusia, hukum Tuhan pun dilahapnya dengan bersilat lidah saja.
Oleh karena
itu, perbaikan budaya kerja di Indonesia harus dimulai dari perbaikan
pendidikan. Pendidikan bukan semata-mata
teori tetapi juga aplikasinya dalam menghadapi kehidupan nyata.
3.3.
Pengaruh
Etos Kerja dalam Pelatihan Perusahaan
Etos kerja
yang sudah terbentuk sedemikian lama dalam masyarakat Indonesia, baik dalam
birokrasi ataupun bidang usaha swasta sudah sekalipun kelihatan sangat
memprihatinkan. Tetapi tidak demikianlah
yang sebenarnya.
Pada dasarnya
masyarakat Indonesia merupakan bangsa pembelajar, terus menerus belajar, bahkan
sering lupa dengan hasil belajar.
Khususnya dalam mengaplikasikan hasil belajarnya tersebut.
Tidak sedikit
mereka yang sudah mendapat berbagai pelatihan telah mengubah budaya kerjanya
sehingga mengikuti pola kebiasaan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan beberapa diantara mereka melebihi
standar internasional sehingga etos kerjanya diakui dunia.
Para workholic
berkebangsaan Indonesia bukan hanya berkarir di negeri tempat
kelahirannya. Banyak negara menjadi
tempat hidup anak bangsa bekerja keras mengabdikan waktu, tenaga dan
keahliannya. Beberapa diantaranya bahkan
sampai terlalu cinta dengan tanah air barunya sehingga mengubah
kewarganegaraannya.
Sebenarnya
workholic bukanlah suatu keharusan, bekerja sesuai dengan waktu yang ditetapkan
dengan kedisiplinan penuh tanggungjawab.
Asalkan sudah menjadi suatu kebiasaan bahkan membudaya.
Tujuh
kebiasaan yang harus dimiliki agar manusia Indonesia dapat menyesuaikan dengan
perkembangan dunia saat ini nemurut Stephen R. Covey adalah sebagai berikut :
1.
Jadilah pro-aktif
2.
Mulai dengan akhir dalam pikiran
3.
Dahulukan yang utama
4.
Berpikir Menang/Menang
5.
Berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti
6.
Wujudkan sinergi
7.
Asahlah gergaji
Tujuh
kebiasaan tersebut adalah kebiasaan efektivitas karena didasarkan atas prinsip,
dapat memberi hasil jangka panjang yang menguntungkan secara maksimum serta
menjadi dasar dari karakter seseorang, menciptakan pusat dari peta yang benar
yang memberi kekuatan dari mana seorang individu dapat memecahkan masalah,
memaksimumkan peluang, terus menerus belajar dan memadukan prinsip-prinsip lain
dalam spiral pertumbuhan meningkat secara efektif.
Untuk mencapai
ketujuh kebiasaan positif tersebut diperlukan berbagai upaya, salah satunya
adalah pelatihan. Pelatihan dimaksudkan
untuk memoles perilaku yang dibawa dan dipengaruhi oleh lingkungan selama ini
sehingga menjadi pribadi unggul. Adapun
aplikasi dari hasil pelatihan bukan hanya tergantung kepada pribadi yang
bersangkutan semata tetapi juga tergantung kepada lingkungan tempatnya kembali
bekerja.
Banyak hasil
pelatihan ternyata tidak dapat diaplikasikan akibat lingkungan tempat bekerja
tidak dapat menerima pembaharuan. Oleh
karena itu tidak sedikit peserta pelatihan yang semula berharap banyak dapat
mengamalkan hasil pelatihannya menjadi frustasi dan kembali ke etos kerja lama
atau bahkan lebih parah dari sebelumnya karena makin mengetahui banyaknya
pelanggaran yang selalu dimaklumkan.
Tidak jarang
yang berani melakukan terobosan setelah mendapat banyak pelatihan. Mereka menjadi agen pembaharu dengan mental
baja menembus berbagai tantangan lingkungan.
Kekuatan dalam berprinsip hidup menjadikan mereka sebagai pribadi-pribadi
yang unggul dalam pembaharuan.
Ciri-ciri pribadi-pribadi
unggul dalam pembaharuan menurut Rheinald Kasali adalah sebagai berikut :
a.
Tokoh-tokoh besar (the greatest) yang menciptakan
pembaharuan ternyata memiliki karakter-karakter tertentu, yang disebut Change
DNA.
b.
Mereka memiliki kadar OCEAN yang tinggi dan memiliki
pola pikir yang berbeda dengan rata-rata manajer biasa, yang hanya menjaga
sistem dan aturan-aturan yang ada.
Mereka bahkan dengan berani melanggar aturan-aturan yang ada dan
belakangan terbukti aturan-aturannyalah yang benar dan menjadi standar
baru. Orang-orang lama menjegal mereka
dengan mengatakan tak bermoral karena melanggara aturan.
c.
Menurut catatan DNA, setiap tetes darah manusia
menyimpan catatan sejarah dan perilaku manusia.
Change DNA mencerminkan apakah kita siap berubah atau tidak.
d.
DNA memang tidak bisa dirubah, tetapi manusia dengan
Change DNA yang tinggi sekalipun bisa menjadi kerdil, kalau terbelenggu oleh
pikiran-pikiran yang tidak sehat, aturan-aturan bodoh, dan organisasi yang
desainnya tidak sempurna.
e.
Ukur dan periksalah kembali Change DNA yang ada di
tempat anda, periksa apa sebab Change DNA yang tinggi yang bisa memberi
kontribusi yang besar bagi keuntungan perusahaan, kecepatan merespons
perubahan, konsep-konsep yang hebat dan penjualan tinggi.
f.
Lakukan reorientasi OCEAN dan desain kembali organisasi
anda.
Sementara bagi
insan yang bergerak di dunia usaha maka ajaran mencapai SPEED sebagimana yang
diajarkan oleh Jason Jennings dan Laurence Haughton akan mengantarnya menjadi
yang tercepat untuk mencapai kesuksesan besar-dengan kecepatan yang memusingkan
lawan, yaitu :
1.
Berpikir CEPAT dengan mengantisipasi dan menyadari tren
2.
Membuat keputusan CEPAT dengan menerapkan aturan-aturan
dan meninjau kembali strategi-strategi yang ada
3.
Berada di pasar dengan CEPAT dengan mengeksploitasi
keunggulan-keunggulan dan melembagakan inovasi
4.
CEPAT dalam bertindak namun tetap fleksibel dan dekan
dengan pelanggan.
Sekali
lagi, untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang sesuai dengan perkembangan
zaman maka diperlukan suatu upaya mengubah pola pikir dan pola tindak, sehingga
keadaan yang semula penuh dengan keterbatasan menjadi bermotivasi kuat untuk
mencapai tujuan.
Beberapa
komponen yang harus ada dalam setiap pelatihan agar dapat mencapai tujuan yang
diharapkan antara lain :
a.
Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus
jelas dan dapat diukur
b.
Para pelatih harus ahlinya yang berkualifikasi memadai
(profesional)
c.
Materi pelatihan harus disesuaikan dngan tingkat
kemampuan peserta
d.
Peserta harus memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Keempat
komponen tersebut perlu diperhatikan mengingat tujuan dari pelatihan adalah :
1.
Meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi
2.
Meningkatkan produktivitas kerja
3.
Meningkatkan kualitas kerja
4.
Meningkatkan ketepatan perencanaan sumber daya manusia
5.
Meningkatkan sikap moral dan semangat kerja
6.
Meningkatkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi
secara maksimal
7.
Menghindarkan keusangan
8.
Mengembangkan perkembangan pribadi
Dengan
demikian, untuk menuju budaya kerja yang baru diperlukan upaya yang serius
dalam melaksanakan pelatihan yang sesuai dengan iklim kerja di masing-masing
tempat, tidak menyamaratakan keadaan.
Sebab
apabila hal ini terjadi maka palatihan hanya akan menjadi upacara saklar untuk
mencapai tujuan tertentu, khusunya dalam mengejar kepentingan pribadi
semata. Salah satu contohnya adalah
pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim) untuk pejabat
eselon IV, III dan II yang dilaksanakan Departemen Dalam Negeri. Kegiatan tersebut seakan hanya menjadi acara
rutin yang harus dilaksanakan setelah seseorang duduk di suatu jabatan sesuai
dengan eseloneringnya.
Beberapa
orang mengadu nasib tidak mengikuti aturan, menerobos paradigma yang berlaku
saat ini, duduk dulu baru dididik (duk-dik).
Mereka melakukannya karena banyak ahli dari Badan Pendidikan dan
Pelatihan membenarkannya. Dididik dulu
baru duduk (dik-duk) bagi mereka adalah keharusan sebagai upaya untuk
menghindari dilantiknya para pejabat yang tidak layak duduk pada jabatan
tertentu.
Penganut
paradigma dik-duk banyak yang frustasi karena hasil pendidikan ternyata tidak
sesuai dengan harapan. Jabatan adalah
kepercayaan yang masih terus menjauhi mereka sekalipun dalam pendidikan
penjenjangan prestasinya diakui.
Sementara itu, rasa frustasi pun sudah sedemikian menjadi agenda rutin
bagi pejabat yang baru pulang pendidikan dan pelatihan. Lingkungan kerja masih tetap seperti dahulu
bahkan terkesan menolak dengan ide-ide baru hasil pelatihan.
Frustasi
berkepanjangan telan menjadikan Diklatpim berbagai eselon sebagai agenda rutin
yang harus dilaksanakan. Soal hasil,
tidak perlu dipikirkan karena kepercayaan pimpinan yang berkuasa merupakan
faktor penentu keberhasilan dalam berkarya.
3.4.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Budaya Kerja di Instansi Tertentu
Pakar
antropologi Charles Darwin menarik kesimpulan bahwa, “Bukan yang terkuat maupun
yang paling cerdas dari spesies yang ada tetap hidup; namun spesies yang paling
mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan.”
Apa yang
dikatakan Darwin ratusan tahun yang lalu ternyata bukan hanya berlaku dalam
ilmu yang digelutinya tetapi berlaku di seluruh pola kehidupan makhluk,
termasuk di dalamnya dalam budaya kerja di manapun berada. Kekuatan fisik dan mental bukanlah faktor
penentu keberhasilan. Kepandaian dan
kecerdasan pun tidak akan banyak membantu.
Kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan kerjalah yang paling menentukan
segalanya.
Mereka yang
mampu menyesuaikan dengan lingkungan kerja akan menjadi penghuni abadi yang
bukan hanya meneruskan budaya kerja perusahaan tetapi juga membentuk budaya
kerja baru sesuai dengan kepentingan pribadi.
Oleh karena itu, kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan tidak selalu
dipandang positif, berbagai pihak menganggapnya sangat negatif, paling tidak
akan menjadi tumpukan positif klise yang pada suatu saat akan meledak seperti
bom waktu.
Dalam dunia
usaha maka budaya kerja tidak muncul begitu saja tetapi terbentuk oleh banyak
hal yang menentukan, yaitu :
a.
Lingkungan usaha, lingkungan di tempat perusahaan itu
beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut
untuk mencapai keberhasilan.
b.
Nilai-nilai yang merupakan konsep dasar dan keyakinan
suatu organisasi.
c.
Panutan atau keteladanan, orang-orang yang menjadi
panutan atau teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya.
d.
Upacara-upacara (rites dan ritual), acara-acara rutin
yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan kepada
karyawannya.
e.
Network, jaringan komunikasi informal di dalam
perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai budaya kerja
perusahaan.
Sementara itu
di bidang birokrasi Pemerintahan di Indonesia selalu bercermin pada apa yang
dilakukan di Amerika Serikat. Terlepas
dari porsi besar-kecilnya kemampuan meniru ini tetapi birokrasi yang saat ini
dianggap benar adalah :
1)
Pemerintahan katalis, yang lebih bertugas mengarahkan
daripada mengayuh
2)
Pemerintahan milik masyarakat, yang memberi wewenang
ketimbang melayani
3)
Pemerintahan yang kompetitif, yang menyuntikkan
persaingan ke dalam pemberian pelayanan
4)
Pemerintahan yang digerakan oleh misi, bukan lagi
pemerintahan yang digerakkan oleh peraturan
5)
Pemerintahan yang berorientasi hasil, yang dapat
membiayai dengan hasil, bukan menghabiskan masukan
6)
Pemerintahan yang berorientasi pelanggan, memenuhi
kebutuhan pelanggan bukan birokrasi
7)
Pemerintahan wirausaha yang dapat menghasilkan daripada
membelanjakan
8)
Pemerintahan antisipatif yang lebih mencegah daripada
mengobati
9)
Pemerintahan desentralisasi yang lebih memberikan
kepercayaan kepada di bawah daripada dikelola secara terpusat
10)
Pemerintahan berorientasi pasar yang mendongkrak
perubahan melalui pasar
Sesungguhnya
kesepuluh prinsip pemerintahan yang berorientasi kepada pelayanan ini sangat
sulit diterapkan di Indonesia yang sepanjang pemerintahan Orde Lama, Orde Baru
dan bahkan reformasi jauh panggang dari api terhadap kunci utama keberhasilan
mewirausahakan pemerintahan, yaitu partisipasi masyarakat. Pada tiga zaman pemerintahan tersebut
partispasi masyarakat hanya sekedar bumbu penyedap jalannya pemerintahan
demokrasi. Hanya tercantum pada
aturan-aturan yang berlaku tetapi tidak pernah diterapkan secara benar.
Selain itu
budaya kerja pun dipengaruhi beberapa faktor-faktor lainnya, yaitu :
a.
Penghargaan terhadap SDM
b.
Integritas
c.
Profesionalisme
d.
Keteladanan
Urutan di atas
tidak akan sama pada satu unit kerja dengan yang lainnya. Pada kasus Bank BRI sebagaimana diteliti
Direktur Utamanya misalnya, faktor keteladanan pengaruhnya hanya dominan pada
etos kerja tetapi tidak dominan terhadap
keselarasan dengan nasabah, kemampuan menangani masalah-masalah nasabah,
kepuasan nasabah, karyawan yang bermutu dan mampu diberdayakan serta
peningkatan mutu, jasa dan proses.
Pada kasus
Bank BRI faktor keteladanan dianggap tidak dominan, tetapi di berbagai
kehidupan lainnya keteladanan merupakan faktor utama yang menentukan
terbentuknya budaya kerja. Hal ini
sesuai dengan prinsip hidup bangsa Indonesia yang menghargai sosok bukan
semata-mata karena umur tetapi juga ditentukan oleh status sosial seperti
pangkat dan kedudukan.
Karyawan BRI
tidak perlu meneladani Direktur Utamanya dalam melayani nasabah, karena memang
tidak pernah terjadi. Tetapi mereka akan
sangat meneladani pola kerja pimpinan dalam menghargai sumber daya manusia,
berintegritas tinggi dan profesional dalam mengerjakan tugasnya.
Dengan
demikian sesungguhnya faktor keteladanan menjadi faktor penentu, karena
keteladanan yang diperoleh bukan harus langsung dari pimpinan yang mengerjakan
sendiri pekerjaan yang terlalu teknis tatapi dalam bidang lainnya sesuai denga
tugas pokok dan fungsi mereka masing-masing.
3.5.
Hubungan
Pimpinan dan Karyawan dalam Peningkatan Budaya Kerja
Adegium lama
mengatakan, “Ikan busuknya dari kepala.”
Maknanya sungguh mengena, bahwa baik-buruknya keseluruhan isi dari
setiap organisasi tergantung kepada pimpinannya. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya hubungan
antara pimpinan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Seorang
pimpinan tidaklah dapat melaksanakan tugasnya sendirian, kerjasama dengan para
karyawan adalah kunci sukses yang sebenar-benarnya. Kesuksesan seorang pimpinan hanya akan
tercapai apabila yang bersangkutan telah menempuh sukses mengelola karyawannya
sebagai sebuah tim yang tangguh.
Teori
kepemimpinan mencatat sepuluh dimensi kepemimpinan, yaitu :
a.
Seni menciptakan kesesuaian paham
b.
Upaya persuasi bukan paksaan
c.
Cermin kepribadian
d.
Tindakan mengarahkan bukan membelokan
e.
Merupakan agen perubahan dan kreativitas
f.
Merupakan hubungan kekuasaan
g.
Merupakan sarana pencapaian tujuan
h.
Kepemimpinan merupakan perwujudan proses sosial
i.
Pembeda anatara kebenaran dan kesalahan
j.
Inisiasi jabatan yang terstruktur
Betapa berat
tugas seorang pemimpin sehingga mereka harus dapat berperan dengan :
a.
Mengikuti panutan jiwa
b.
Mengikuti kepercayaan pikiran
c.
Mengikuti kepercayaan tubuh
d.
Mengikuti kepercayaan hati
Wujud
kepemimpinannya adalah sebagai berikut :
a.
Kepribadian/personality, merupakan cermin karena
pemimpin membawa gerbong sehingga sangat menentukan integritas yang dibawanya
b.
Kemampuan/ability, merupakan modal dasar seorang
pemimpin
c.
Kesanggupan/capability,
Ketiganya
harus terwujud dalam k]satu kesatuan diri seorang pemimpin. Oleh karena itu pemimpin yang hanya mempunyai
kepribadian dan kemampuan akan gagal dalam melaksanakan tugasnya.
Selain itu
seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat berikut :
a.
Jujur
b.
Kerjasama
c.
Mempunyai pandangan ke depan (visioner)
d.
Tanggungjawab
e.
Disiplin
f.
Adil (kepada diri sendiri, pegawai, dll)
g.
Peduli
Pemimpin juga
harus mampu mengendalikan perilaku manusia yang dipimpinnya, sehingga perlu
memiliki :
a.
Ilmu pengetahuan karena hanya dengan mindset seseorang
dapat mengatur suatu sistem
b.
Perilaku kepemimpinan yang melahirkan pengalaman,
membawa kepada belajar yang memungkinkan adanya pengetahuan yang berperan dalam
penentuan perilaku.
Karena
sesungguhnya perilaku manusia ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :
a.
Gen
b.
Lingkungan
c.
Choice/pilihan
Pikiran
menghasilkan sikap dan sikap seorang pemimpin akan menentukan tingkat
kepercayaan orang terhadapnya.
Terdapat tiga
jenis sikap hubungan pemimpinan dan bawahan yang terjadi di Indonesia selama
ini :
a.
Patroklin, keputusan diambil berdasarkan faktor
keturunan, merupakan kejahatan organisasi dan terbukti menyebabkan bangsa ini
kolaps
b.
Ewuh pakewuh, tidak mau mengkritik, secara
perlahan-lahan menceburkan pemimpin ke dalam jurang yang makin dalam
c.
Behaviourisme, orang-orang yang mendukung pada saat
akan berakhir suatu kepemimpinan agar aman dan bisa menusuk dari belakang orang
yang membesarkan dan mendudukkan akan ditinggalkan untuk kepentingan
personal.
Ketiganya
demikian melekat di masyarakat Indonesia karena selama menikmati kemerdekaan,
bangsa ini diperintah oleh para presiden yang menganut pola tersebut. Bahkan pada saat Orge Baru berkuasa, ketiga
pola dipaksakan untuk dijadikan jargon terbaik baik oleh pemimpin ataupun para
penjilatnya karena keduanya sangat sulit dibedakan
Bahkan
sedemikian dekatnya sehingga sudah menjadi budaya kepemimpinan yang selalu
harus dimahfumkan. Budaya kepemimpinan
ini pun telah melekat dalam budaya kerja yang dibentuknya.
Hal ini sesuai
dengan pendapat para ahli bahwa budaya kerja dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu :
a.
Faktor individual yang terdiri dari :
1)
Kemampuan dan keahlian
2)
Latar belakang
3)
Demografi
b.
Faktor psikologis yang terdiri dari :
1)
Persepsi
2)
Attitude
3)
Personality
4)
Pembelajaran
5)
Motivasi
c.
Faktor organisasi yang terdiri dari :
1)
Sumberdaya
2)
Kepemimpinan
3)
Penghargaan
4)
Struktur
5)
Job design
Ketiga faktor
tersebut sangat ertat dengan pola kepemimpinan yang diterapkan di setiap
organisasi. Sayangnya tidak semua pola
kepemimpinan ternyata sesuai dengan perkembangan zaman yang makin mengglobal
dan juga perkembangan masyarakatnya.
Berbicara
tentang pemimpin dan perubahan, terdapat dua macam tipe pemimpin yaitu Manajer
Proaktif (pemimpin perubahan) dan Manajer Reaktif (manajer biasa) dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Manajer Reaktif bercirikan :
1)
Selalu bergerak reaktif, yaitu tergantung (influrnced
by) pada kejadian-kejadian yang muncul dari luar.
2)
Umumnya tidak siap (unprepared for change) dengan
adanya perubahan dan bereaksi terhadap perubahan itu (reacts to change).
3)
Cenderung terbelenggu oleh masa lalu, khususnya rasa
takut terhadap hari esok.
4)
Mempunyai persepsi yang negatif dan agak trauma
terhadap perubahan, cenderung menolaknya.
5)
Tidak tinggal dalam realitas dan membiarkan orang lain
menghadapi perubahan. Selalu memiliki
dan mencari alasan (excuses) serta menyalahkan orang lain (put blame on others)
dan lingkungan. Yang penting aman (save)
biarpun merugikan lembaga.
b.
Sementara Manajer Proaktif bercirikan :
1)
Sebisa mungkin selalu ingin membentuk dan mempengaruhi
lingkungan di mana ia berada.
2)
Mencari perubahan (seeks change), bahkan mengambil
inisiatif untuk melakukan pembaharuan yang menimbulkan dampak perubahan.
3)
Percaya bahwa cara terbaik meramalkan hari esok adalah
dengan menciptakannya sendiri.
4)
Sadar betul bahwa apa yang relevan di masa lalu belum
tentu cocok dipakai untuk hari ini, dan apa yang relevan sekarang belum tentu
cocok untuk masa depan.
5)
Hidup dalam realitas dan mempunyai persepsi bahwa
perubahan adalah fakta kehidupan yang tidak bisa dihindarkan, sedangkan
status-quo hanya akan menggiring kita pada kegagalan. Juga menyadari bahwa perubahan adalah
mengubah cara berpikir daripada sekadar mengganti sesuatu yang lama dengan
hal-hal yang baru.
Tidak ada yang
buruk diantara keduanya tetapi zaman lebih menghendaki pemimpin yang menyukai
perubahan karena zaman pada dasarnya adalah perubahan itu sendiri. Oleh karena itu apabila tidak mau
mengikutiperubahan maka zaman akan menggilasnya menjadi masa lalu yang tidak
berharga sama sekali.
3.6.
Kerja Buaya
Seekor buaya
merangkak pelan, tengok kiri dan kanan mencurigakan dan menyantap mangsanya
yang sedang lalai. Mungkin itulah
gambaran budaya kerja masyarakat kita pada umumnya. Bekerja santai, alon-alon asal kelakon
ataupun menganut faham mangan ora mangan asal kumpul ataupun “pokoke” dan harus
tercapai apapun caranya sedemikian sudah melekat.
Diakui atau
tidak, demikianlah masyarakat Indonesia telah membentuk dirinya sebagai
pengejawantahan dari reaksi terhadap alam dan lingkungan yang sangat
ramah. Korupsi, kolusi dan nepotisme
adalah bagian yang tidak terpisahkan. Sebenarnya ketiganya tidak selalu buruk,
tetapi keterbatasan pendidikan masyarakat membuat kemudhorotannya yang lebih
dipilih.
Korupsi,
kolusi dan nepotisme ada di setiap negara, bahkan Singapura yang merupakan
negara terbersih menurut penilaian pihak trnnasparansi sekalipun masyarakatnya
melakukan hal yang sama. Tetapi kadar
dan caranya yang lebih berdasarkan kaidah keilmuan dan hukum yang berlaku
sehingga pelanggarannya menjadi tampak indah di mata internasional sekalipun.
Kerja Buaya
telah mendorong perilaku masyarakat menjadi anti terhadap perubahan, sensitif
dengan alternatif baru dan berbagai anggapan negatif terhadap perbaikan. Keadaan ini diperparah oleh sikap kepala batu
yang tidak dapat menerima hal baru, tetap cinta pada status quo sekalipin tanpa
alasan yang jelas.
Ada juga yang
menyalahkan kolonial Belanda yang lebih dari tiga abad membentuk budaya kerja
yang tertatih-tatih ini. Sesungguhnya
mereka bukan membentuk budaya baru tetapi mengakumulasi berbagai hasil
penelitian para antropolog dan sosiolog sehingga akhirnya menjadi mampat dan
tidak dapat diganggu gugat, suatu budaya Kerja Buaya.
Sungguh tidak
selayaknya Kerja Buaya diterapkan dalam kehidupan manusia di era yang
menghendaki cara kerja cepat, sehat dan tepat ini. Oleh karena itu berbagai perubahan harus
dilakukan, cara terbaik adalah dimulai dari indiveidu masing-masing. Kesadaran bersama ini tak akan tercapai tanpa
komando yang jels dan terarah. Budaya
Indonesia sendirilah yang dapat mengatasinya, salah satunya adalah kebiasaan menghargai
yang lebih “tua” baik dari segi umur ataupun pangkat dan jabatan.
Budaya hidup
meneladani keteladanan adalah kebiasaan yang dapat mengangkat etos kerja
masyarakat Indonesia secara keseluruhan sehingga tidak lagi terperangkap dalam
Kerja Buaya.
BAB IV
P E N U T U P
4.1.
Kesimpulan
Selama ribuan
tahun masyarakat Indonesia dimanjakan oleh alam. Segala kebutuhannya dapat terpenuhi tanpa
harus bekerja keras sekalipin. Hal ini
ternyata berpengaruh juga terhadap budaya kerja yang terbentuk, cenderung
santai dan tidak bertanggungjawab.
Namun hal ini
bukan nilai mati, dengan berbagai pelatihan etos kerja mereka bisa berubah
mengikuti perkembangan zaman. Bahkan
beberapa diantaranya bukan sekedar menyamai kemampuan ekspatriat, tetapi bahkan
melebihi mereka. Tetapi tiak sedikit
yang frustasi, tetapi berada pada pola kinerja lama atau bahkan lebih buruk
lagi.
Mereka yang
berhasil tidak harus menjadi workholic, kerja mati-matian tanpa ingat ruang dan
waktu. Mereka adalah para Buaya
Kerja. Sementara yang lain tetap pada
pola lama, bekerja gontai sambil mengintai kelengahan laan dan rekan, mereka
mengikuti Kerja Buaya.
4.2.
Saran
Diperlukan
pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan setiap institusi atau bahkan departemen
agar pelatihan benar-benar bermanfaat untuk diterapkan..
DAFTAR PUSTAKA
Cohen, W. A. 2008. A Class with Drucker (Pelajaran Berharga dari
Guru Manajemen #1 Dunia, alih bahasa : Bazry
S). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Covey, S. R. 1997. The 7 Habbitas of Highly Effective People (7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, alih
bahasa : Budijanto). Binarupa Aksara. Jakarta.
Djatmiko, Y. H. 2004. Perilaku
Organisasi. Alfabeta. Yogyakarta.
Drucker, P. F. Dan Maciariello, J. A.
2008. The Daily Drucker. (Terjemahan : Srihandrini, N. R.). Elex Media Komputindo. Jakarta.
Habsari, A. R. 2008. Terobosan Kepemimpinan, Panduan Palatihan
Kepemimpinan. MedPress. Yogyakarta.
Ibrahim, A. 2008. Pokok-pokok Administrasi Publik dan
Implementasinya. Refika Aditama. Bandung.
Jennings, J. dan Haughton,
L. it's not the BIG that eat the SMALL,
it’s the FAST that eat the SLOW (Bagaimana Memanfaatkan Kecepatan sebagai Alat
Bersaing dalam Dunia Bisnis, alih bahasa : Widjanarko, E). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Johnston, R and Hesselbein, F (Editors). 2005.
On Leading Change (Terjemahan :
Kadaroesman, M). Media Elex
Komputindo. Jakarta.
Johnston, R and Hesselbein, F (Editors). 2005.
On Mission and Leadership (Terjemahan :
Shandrini, N. R.). Media Elex
Komputindo. Jakarta.
Kasali, R. 2007. Re-Code Your Change DNA, Membebaskan
Belenggu-Belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam
Pembaharuan. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1969. Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan
Ekonomi di Indonesia. Bhratara. Djakarta.
Mangkunegara, A.P. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Refika Aditama. Bandung.
Mangkunegara, A.P. 2007. Evaluasi Kinerja SDM. Refika Aditama. Bandung.
Moeljono, Dj. 2004. Reinvensi BUMN, Empat Strategi Membangun BUMN
Kelas Dunia. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Moeljono, Dj. 2006. Lead!
Galang Gagas Tantangan SDM, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Moeljono, Dj. 2006. Budaya Korporat dan Keunggulan
Korporasi. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Osborn, D dan Gaebler, T. 2005. Reinventing Government, How the Entepreneurial
Spirit is Transforming the Public Sector (Terjemahan : Rosyid, A) Penerbit PPM.
Jakarta.
Sinungan, M. 2008. Produktivitas, Apa dan Bagaimana. Bumi Aksara.
Jakarta.
Stauffer, D. 2009. Innovative Leadership. (Terjemahan :
Sihandrini, N. R). Bhuana Ilmu
Populer. Jakarta.
Sumodiningrat, G dan Dwidjowijoto, R. N. 2005.
Membangun Indonesia Emas, Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju
Negara-negara yang Unggul dalam Persaingan Global. Media Elex Komputindo. Jakarta.
Suseno, Dj dan Suyatna, H.
2006. Quo Vadis Petani
Indonesia! Terhempasnya Anak Bangsa dari
Sektor Pertanian. Aditya Media. Yogyakarta.
Rai, M et. al. 2004. The State of Panchayats (Terjemahan : Suprayitno, K). Yayasan Kendi. Yogyakarta.
Thoha, M. 2009. Kepemimpinan dalam Manajemen. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Tika, M. P. 2008. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja
Perusahaan. Bina Aksara. Jakarta.
Waringin, T. D. 2005. Financial Revolution. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Waringin, T. D. 2008. Marketing Revolution. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar