Minggu, 24 Agustus 2014

Buaya Kerja vs Kerja Buaya







BUAYA KERJA DAN
KERJA BUAYA
(Telah terhadap Budaya Kerja dan Strategi Mengelola Kinerja)

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

Mata Kuliah :  BUDAYA ORGANISASI
Dosen :  Dr. H. AGUS ALWAFIER BY, MM


                                                                                           
Oleh :
D  I  N  O  T  O
NIM : 12008019

Dikumpul : 20 Juni 2009

PROGRAM PASCA SARJANA
KONSENTRASI MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI “CIREBON”
CIREBON
2009










“Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang.
Karena itu, keunggulan bukanlah seuatu perbuatan,
Melainkan sebuah kebiasaan.”

(Aristotle)









“De milde natuun en de geringe behoeften, aankleding,
goede om die door harde arbeid in de zomer en door economiseren
door te komen, hebben ongungstig gewerkt op de economische
zin en in sterke mate het karakter der mensen beinvloed.”

(Gonggrijp, 1949)









“it’s not the BIG that eat the SMALL ...
it”s the FAST that eat the SLOW.”

(Jennings & Haughton, 2004)

KATA PENGANTAR

            Hanya kehadirat Allah subhana wa ta’ala rasa syukur ini terpanjatkan, karena hanya berkat rahmat dan karunia-Nya sajalah Penulis dapat neyelesaikan amanah yang dipercayakan tepat pada waktunya.
            Karya tulis berjudul “Buaya Kerja dan Kerja Buaya, Telaah terhadap Budaya Kerja dan Strategi Mengelola Kinerja” ini merupakan                                        Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Budaya Organisasi dibawah asuhan                              Bapak Dr. H. Agus Alwafier By, MM.  Oleh karena itu Penulis pun tidak lupa menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada beliau.
            Kepada rekan-rekan Angkatan Pertama dan para pengelola Program         Pasca Sarjana STIE Cirebon, tidak lupa disampaikan salam hangat atas segala suasana ruang kuliah yang tidak pernah dingin namun juga tidak pernah kelewat panas alias selalu hangat-hangat saja.
            Peluk cium tentu hanya untuk isteri tercinta dan anak-anak yang selalu mengerti akan adanya kesibukan baru yang banyak menyita waktu.

                                                                                    Indramayu, 5 Mei 2009
           
                                                                                   
                                                Penulis


DAFTAR ISI





Halaman
KATA PENGANTAR
.........................................................................
i




DAFTAR ISI
..........................................................................................
ii




BAB I
PENDAHULUAN
............................................................
1

1.1.
Latar Belakang
.........................................................
1

1.2.
Masalah
..................................................................
1

1.3.
Tujuan Penulisan
.....................................................
2

1.4.
Sistematika Penulisan
...............................................
2





BAB II
MATERI DANMETODE
..................................................
4

2.1.
Materi
.......................................................................
4

2.2.
Metode
....................................................................
4





BAB III
PEMBAHASAN
..................................................................
5

3.1.
Buaya Kerja
..................................................
5

3.2.
Persoalan Budaya Kerja di Indonesia
....................
10

3.3.
Pengaruh Etos Kerja dalam Pelatihan Perusahaan
..
16

3.4.
Faktor-faktor  yang  Mempengaruhi  Budaya  Kerja di



Instansi Tertentu
.....................................................
22

3.5.
Hubungan    Pimpinan      dan      Karyawan      dalam



Peningkatan Budaya Kerja
......................................
26

3.6.
Kerja Buaya
..............................................................
32




BAB IV
PENUTUP
.....................................................................
34

4.1.
Kesimpulan
..............................................................
34

4.2.
Saran
.......................................................................
34




DAFTAR PUSTAKA
..........................................................................
35


































BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Sekalipun manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna namun dalam hidup dan kehidupannya tidak pernah dapat terlepas dari makhluk lainnya, baik makhluk hidup maupun benda mati di alam ini.  Sifat ketergantungan terhadap lingkungan ini menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih sempurna selain Pemilik Segala Kesempurnaan itu sendiri.
Selain itu sifat ketergantungan terhadap lingkungan juga telah membentuk perilaku manusia itu sendiri.  Bahkan para ahli berpendapat bahwa kekuatan pengaruh lingkungan mencapai 80 prosen,, yang berarti bahwa faktor keturunan hanya berpengaruh 20 prosen saja.
Lingkungan juga yang membentuk berbagai budaya yang berlaku di masyarakatnya, salah satunya adalah budaya kerja.  Perbedaan lingkungan satu dan lain negara telah menyebabkan perbedaan budaya kerja di setiap negara.  Pengaruh lingkungan yang mengglobal juga yang akhirnya menuntut satu dan lain negara saling pengaruh mempengaruhi budaya kerjanya.
Budaya kerja bangsa Indonesia yang dilahirkan di negeri subur makmur ini misalnya harus disesuaikan dengan tuntutan zaman, baik akibat masuknya berbagai pihak asing atau dalam rangka mengejar berbagai ketinggalan.  Sifat-sifat yang membelenggu selama puluhan abad ternyata sering tidak cocok dalam menghadapi berbagai tantangan zaman yang terlalu terbuka ini.
Namun demikian tidak semua budaya negeri ini jelek, beberapa diantaranya justeru masih diperlukan untuk membendung pengauh negatif yang tak terkendali.

1.2.            Masalah
Alam memanjakan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup layak tanpa harus kerja keras.  Berbagai kehidupan seperti sandang, pangan dan papan tersedia seakan tiada habisnya.  Hal ini telah terakumulasi dalam sebuah budaya kerja yang relatif tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman yang menuntut segala sesuatu harus didapat dengan kerja keras.
Perubahan ini disikapi dengan berbagai cara, ada yang tetap menyerahkan pada alam sebagaimana nenek moyang.  Sebagian langsung menanggapi tantangan ini dengan kerja yang luar biasa, tanpa mengenal lelah, lupa waktu dan lingkungan sekitarnya sekalipun.  Kebanyakan ada dalam rentang menuruti budaya nenek moyang dan workholic dengan kadar yang berbeda satu dengan yang lain, tergantung pada lingkungan yang menuntut dan menuntun kehidupan mereka.

1.3.            Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Karya Tulis ini adalah mencoba untuk menganalisa budaya kerja di Indonesia dan berbagai sikap yang diperlukan untuk perbaikannya di masa yang akan datang.
Mereka yang masih puas hidup dengan warisan masa lalu dalam tulisan ini digolongkan sebagai orang-orang yang meniru Kerja Buaya, bermalas-malas, jalan tertatih-tatih sambil mengintai mangsa dan gesit menerkam apabila ada kesempatan.  Sedangkan para Buaya Kerja merupakan orang-orang yang membiarkan kerja kerasnya melahap habis segala kesenangan keduawiannya lainnya.
 
1.4.            Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini sedapat mungkin mendekati format ilmiah, yaitu :
1.                  Kata Pengantar menjelaskan dasar dan beberapa hantaran kata yang berkaitan erat dengan penulisan karya tulis ini.
2.                  Bab I Pendahuluan mengemukakan tentang latar belakang, masalah dan tujuan penulisan dikaitkan dengan judul yang dipilih, serta sistematika penulisan karya tulis itu sendiri.
3.                  Bab II Materi dan Metode menjelaskan tentang materi yang menjadi bahasan dan metode penulisannya.
4.                  Bab III Pembahasan menguraikan tentang 4 (empat) materi budaya kerja, yaitu persoalan budaya kerja di Indonesia, pengaruh etos kerja dalam pelatihan perusahaan, faktor-faktor yang mempengaruhi budaya kerja di instansi tertentu dan hubungan pimpinan dan karyawan dalam meningkatkan budaya kerja.
5.                  Bab IV Penutup merupakan kesimpulan dari uraian sebelumnya saran untuk perbaikan selanjutnya.
6.                  Daftar Pustaka memaparkan sumber tulisan yang dikutip pada penulisan makalah tulis ini.

BAB II
MATERI DAN METODE

2.1.Materi
            Bahan acuan dalam menelaah berbagai permasalahn budaya kerja ini adalah materi kuliah Budaya  Organisasi  yang  ditulis Dr. H. Agus Alwafier By, MM pada Bab “Budaya Kerja dan Strategi Mengelola Kinerja”.  Sementara pembandingnya adalah berbagai buku tentang yang berkaitan dengan Budaya Kerja pada umumnya sebagaimana tertera pada Daftar Pustaka.

2.2.Metode
            Kerangka pikir dari materi utama dikomplasi dengan berbagai sumber lainnya sehingga akhirnya dapat menjadi satu tulisan yang menjawab semua persoalan yang menjadi pokok bahasan ini, yaitu :
1.                  Pengaruh Persoalan budaya kerja di Indonsia
2.                  Pengaruh etos kerja dalam pelatihan perusahaan
3.                  Faktor-faktor yang mempengaruhi budaya kerja di instansi tertentu
4.                  Hubungan pimpinan dan karyawan dalam peningkatan budaya kerja

BAB III
PEMBAHASAN

            Sebagai bagian dari sebuah budaya maka budaya kerja di Indonesia pun terbentuk oleh proses interaksi manusia dengan alam lingkungannya yang berlangsung secara terus menerus.  Oleh karena itu segala hal yang terjadi pada manusia, baik antar manusia, manusia dengan alam ataupun benturan alam dengan alma telah mengakumulasi dalam satu budaya Indonesia.  Salah satunya adalah budaya kerja masyarakat Indonesia.
            Budaya kerja masyarakat Indonesia menjadi sekarang sering menjadi sorotan karena sebagian dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.  Kebiasaan meremehkan dan memaklumkan dalam segala hal telah berakumulasi sedemikian besar dan kuat sehingga sering lebih banyak mudhorotnya daripada manfaatnya.
            Tetapi tidak semua masyarakat Indonesia demikian, kalau dikelompokkan dapat dibagi menjadi tiga golongan, yang santai dan lunglai dalam bekerja ibarat Kerja Buaya, yang sedang-sedang saja sesaui dengan kebutuhan dan tuntutan pekerjaan dan golongan Buaya Kerja yang tak kenal waktu dan ruang lagi selain kerja dan terus bekerja. 
           
3.1.            Buaya Kerja
Sebutan umum di masyarakat adalah workholic, kerja telah menjadi racun yang memabukan sehingga yang bersangkutan lupa daratan.  Lupa dengan kehidupan nyata yang seharusnya dijalani dan dinikmati.  Hidup bagi mereka semata-mata hanyalah untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan tidak pernah ada habisnya.  Bahkan waktu untuk menikmati imbalan kerja kerasnya pun seakan sudah tidak ada lagi.
Para Buaya Kerja ini semula hanya di beberapa negara saja, sebut saja misalnya Jepang.  Pengabdian kepada bangsa merupakan budaya yang sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan berdasarkan kepercayaan masyarakat Jepang yang sudah melekat ribuan tahun lamanya.  Shinto mengajarkan bahwa pengabdian adalah segalanya, termasuk untuk kemajuan bangsa dan negara. 
Keyakinan terhadap Tuhan menyebabkan banyak tentara Jepang menghunuskan samurainya ketika harga dirinya tidak dapat dipertahankan, termasuk apabila gagal dalam menjalankan perintah atasan.  Budaya ini juga berlaku di kalangan sipil, pada saat pembangunan Exxor II di Balongan Indramayu misalnya, seorang ekspatriat Jepang mengakhiri hidupnya hanya karena merasa gagal dalam membuat konstruksi tanki minyak.  Banyak kejadian lainnya juga harus diakhiri dengan harakiri sebagai rasa tanggungjawab terakhir membela harga diri bangsa dan kepercayaan kepada Tuhan.
Ketika berbagai bangsa masuk ke Indonesia, baik diiringi dengan investasi ataupun sekedar ekspatriatnya saja, maka perubahan menuju kinerja yang dikehendaki oleh mereka pun terjadi.  Sangat masuk akal, sebab kalau tidak mengikuti jalan pikiran dan kebiasaan kerja mereka tentu saja target yang diharapkan tidak akan tercapai.  Sanksi yang paling dekat untuk diterima misalnya penurunan gajih sampai pemecatan.  Tentu tidak ada pilihan bagi pekerja kecuali untuk mengikuti apa yang dikehendaki oleh pimpinannya.
Tidak semua orang kuat dalam menyesuaikan diri dengan kerja keras yang luar biasa, bahkan sampai melupakan keluarga.  Untuk yang satu ini, bagi ekspatriat tentu suatu keharusan, karena mereka umumnya datang ke Indonesia tidak beserta keluarganya.  Bagi mereka waktu adalah kerja semata.
Tetapi tidak sedikit yang secara cepat dapat menyesuaikan dengan kinerja mereka atau bahkan lebih gila kerja.  Kegilaan ini bukan sesuatu yang negatif saja, mungkin rasa cinta yang tinggi kepada pekerjaan yang digeluti inlah yang menyebabkan mereka melupakan segala ruang dan waktu seperti masyarakat umumnya.  Kerja keras luar biasa ini juga bisa jadi merupakan wujud kecintaan kepada pembangunan bangsa dan negaranya.
Bisa dilihat di malam hari, gedung pencakar langit di Jakarta masih tetap menyala sampai angka jam didinding menembus nol.  Di dalamnya masih banyak orang-orang yang sibuk dengan berbagi kegiatan.  Hanya sedikit diantara mereka adalah ekspatriat, sebagian adalah anak bangsa yang berusaha mengabdikan kecintaannya kepada pekerjaan untuk kemajuan negaranya.
Kebiasaan kerja keras bukan tidak menunjukkan hasil, salah satunya adalah Mardahana misalnya.  Anak muda kelahiran Klaten Jawa Tengah ini dalam usia yang relatif muda telah duduk si pucuk kepemimpinan perusahaan asing.  Beliau memegang jabatan yang sangat bergengsi, Direktur untuk Asia Pasific pada Du Pont Incorporation.  Sungguh sangat sedikit kesempatan untuk bisa mencapai possisi puncak tersebut mengingat persaingan bukan hanya diperebutkan oleh pekerja yang berkewarganegaraan Bangsa Asia dan Pasific tetapi juga Eropah dan Amerika.
Sebuah perusahaan pertelevisian nasional terbesar di negeri ini, Trans Incorporation, adalah salah satu perusahaan yang dipimpin pemuda lajang yang begitu berhasil menerapkan ilmu yang diperolehnya dari Amerika.  Di usia muda, Sang CEO menjadi sumber inspirasi bagi rekan se-kewarganegaraannya untuk kerjakeras dalam mencapai tujuan.  Mempersembahkan yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Beberapa pekerja lokal Indonesia lainnya berhasil menjadi penguasa tertinggi perusahaan ketika berhasil mempelajari sistem kerja sudah menyesuaikan dengan keinerja ekspatriat.  Banyak juga yang gagal di tengah jalan akibat menelan bulat-bulat budaya mereka tanpa menyeleksinya terlebih dahulu.
Perlu digambarkan disini bahwa tidak semua pelajaran dari ekspatriat sesuai dengan budaya Indonesia, itu sudah jelas.  Tidak sedikit dari perilaku ekspatriat juga ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan dirinya sendiri sebagai manusia.
Kebiasaan minum shake di akhir pekan di Jepang misalnya berubah menjadi budaya menenggak minuman keras untuk melupakan berbagai kepenatan dan kecapaian seminggu bekerja.  Di Jepang sendiri, kebiasaan mabuk berjamaah ini sudah menjadi budaya.  Tetapi satu hal yang sangat sulit dijalankan di Indonesia adalah kemabukan mereka adalah kemabukan yang bertanggungjawab.  Pada sekumpulan orang yang berpesta shake, beberapa diantaranya hanya menenggak satu-dua sloki sekedar penghormatan.  Oleh karena itu, ketika acara mabuk berjamaah terjadi maka apapun yang terjadi kepada mereka adalah tanggungjawab rekannya yang tidak mabuk.  Demikian juga penegakan hukum yang keras membuat mereka tidak pernah khawatir terhadap keamanan diri sekalipun mabuk dalam kesendirian.
Buaya Kerja, sekalipun sebutannya adalah buaya tetapi tetap sebagai manusia.  Keperluan bersosialisasi dan menikmati hasil kerja tetap ada dalam angan sadar mereka.  Keinginan mengejawantahkannya inilah yang sering dilupakan dengan berbagai kegiatan lain yang juga memabukan.  Minuman keras, atau bahkan narkotika.
Kebiasaan buruk ekspatiat ditiru total oleh pengikut lokal dengan menghabiskan malam di diskotik dan berbagai tempat menghibur diri lainnya.  Sebagian kecil menyendiri di rumah, menyuntikan bahan kimia tertentu ke dalam tubuh sehingga bisa melupakan segala kegiatan di kantor yang pada Sabtu dan Minggu kosong melompong.
Sebuah kejadian yang lumrah saat ini di Jakarta misalnya, ketika pada Jum’at malam sepasang suami isteri ekspatriat melupakan malam kebersamaan dalam ketidaksadaran.  Mabuk dan tak sadarkan diri sampai akhirnya lonceng berdengatang mendekati sore akhir pekan.  Kepenatan dan kelelahan terlupakan tetapi badan terasa sangat sakit dan kesakita.  Saat itulah mereka sudah waktunya bertukar darah.  Cuci darah, membuang semua darah yang tercemar dan menggantikannya dengan darah baru yang jauh lebih segar.  Kejadian ini menjadi rutinitas sebelum memasuki kesibukan kerja dalam seminggu yang memabukkan.
Oleh karena itu, workholic pada dasarnya adalah baik.  Asalkan dengan tujuan yang jelas serta masih bisa menyadarkan pecandunya bahwa dirinya adalah manusia yang diciptakan Tuhan sebagai penikmat alam beserta isinya.
Kebiasaan ekspatriat tidak semuanya jelek tetapi harus secara hati-hati karena banyak diantara kelakuannya bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri sekalipun, termasuk kesehatan misalnya.
Worcholic dapat berarti mabuk kerja, boleh saja melupakan segalanya saat bekerja tetapi tidak boleh melupakan segalanya termasuk menikmati hasil kerja sebagaimana mestinya.  Dengan kata lain, jadilah Buaya Kerja tetapi masihtetapi sebagai manusia.

3.2.            Persoalan Budaya Kerja di Indonesia
Hakekat kehidupan manusia menurut ahli antropologi F. R. Kluckhon dan ahli sosiologi F. L. Strodtbeck dalam buku Variations ini Value Orientation (1961) sebagaimana dikutip Koentjaraningrat (1969) berpangkal pada 5 (lima) masalah pokok dalam kehidupan manusia yang universil dan yang berada dalam semua kebudayaan dimana pun saja di dunia, sebagai mana tertera pada tebel berikut :


Tabel 1.    Kerangka Kluckhon mengenai Lima Masalah Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia

NO.
MASALAH HIDUP
ORIENTASI NILAI BUDAYA
1.
Hakekat dan sifat hidup
Hidup itu buruk
Hidup itu buruk
Hidup itu buruk, tetapi harus diperbaiki
2.
Hakekat karya
Karya itu untuk hidup
Karya itu untuk kedudukan
Karya untuk menambah karya
3.
Hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu
Masa lalu
Masa kini
Masa depan
4.
Hakekat hubungan manusia dengan alam
Tunduk terhadap alam
Mencari keselarasan dengan alam
Menguasai alam
5.
Hakekat hubungan manusia dengan manusia
Memandang ke tokoh-tokoh atasan
Mementingan rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong-royong)
Mementingkan rasa tak tergantung kepada sesamanya (berjiwa individualis)

Bangsa Indonesia merupakan komunitas besar yang sangat beruntung, paling tidak iklim tropis merupakan karunia yang sangat luar biasa.  Tanah subur makmur dengan iklim yang sesuai telah menyediakan segala kebutuhan begitu mereka dilahirkan.
Tanpa kerja keras alam menyediakan berbagai bahan makanan, sampahnya pun dibuang dan segera dilahap oleh mikroba dan menguraikannya menjadi bahan yang diperlukan oleh tumbuhan.  Siklus kehidupan sedemikian memanjakan masyarakat yang tinggal, hidup dimanja alam.


Gonggriip, seorang Antropolog berkebangsaan Belanda pernah mengatakan :

“De milde natuun en de geringe behoeften, aankleding, goede om die door harde arbeid in de zomer en door economiseren door te komen, hebben ongungstig gewerkt op de economische zin en in sterke mate het karakter der mensen beinvloed.”

Memang, iklim dan keadaan alam di negeri dua musim telah memanjakan penghuninya untuk tidak pernah berjuang keras dalam menghadapi kehidupan.  Pergantian iklim tidak perlu dihadapi sebagai ancaman karena tidak akan membunuh secara langsung.  Demikian juga alam menyediakan segalanya dan dengan sangatt mudah semua dapat dinikmati. 
Pengaruh iklim secara langsung berkaitan dengan kegiatan cuaca sehinga kehidupan masyarakat petani Indonesia tidak pernah terlepas dari kemiskinan dan keterbelakangan.  Banyak pengaruh lain yang diakibatkan oleh kemanjaan iklim yang memabukan ini, salah satunya budaya kerja.  
Berbeda sekali dengan keadaan masyarakat yang hidup di negara empat iklim.  Perubahan iklim merupakan ancaman yang mematikan bila tidak disiasati sengan seksama.  Pemikiran dan kerja keras dilatih untuk menghadapi satu tantangan iklim ke iklim yang lain.  Demikian juga kondisi alam sangat menyesuaikan, tidak selalu subur tetapi ada saat gersang dan tanpa kehidupan.  Bahkan tidak sedikit kehidupan yang semula ada menjadi tiada dengan perubahan akibat campur tangan manusia yang makin banyak  dalam mempertahankan kehidupannya.
Kesuburmakmuran bangsa ini telah menjadi landasan munculnya budaya kerja di Indonesia yang khas.  Budaya kerja ini menjadi sorotan ketika hubungan antar bangsa semakin dekat sehingga satu dengan yang lain bisa saling mengoreksi.
Budaya kerja yang sudah sangat melekat ini juga disadari menjadi faktor menjadi penghambat kemajuan Bangsa Indonesia itu sendiri.  David McCelland berpendapat bahwa budaya kerja tersebut diantaranya adalah motivasi kerja untuk berprestasi yang sangat rendah.  Senada dengan pendapat Everett Hagen yang mengatakan bahwa masyarakat bangsa Indonesia dan negara berkembang lainnya tidak memiliki jiwa kreatif dan inovatif.  Pendapat senada juga sebenarnya pernah dikamukakan Koentjaraningrat, bahkan salah satu sifat lainnya adalah tidak bertanggungjawab. 
Dikaitkan dengan EQ dan ESQ yang ternyata lebih berperan dibandingkan dengan kecerdasan otak (IQ), Mangkunegaran menguraikan bahwa sebagian besar masyarakat bangsa Indonesia memiliki kecerdasan emosi (EQ) yang kurang baik, seperti sifat iri dan dengki, benci, sakit hati, dendam, minder, mudah depresi, mudah marah, tidak suka orang lain (bawahan, rekan kerja, atasan) lebih sukses, saling menjatuhkan kawan sekerja dan memfitnah rekan sendiri.
Sesungguhnya pendapat di atas bukan semata-mata berkaitan dengan EQ tetapi juga pengalaman spiritual yang masih sangat rendah.  Tentu saja pendapat ini banyak yang menolak mengingat kebanyakan masyarakat Indonesia secara kasat mata sangat religius. 

Sejak kecil anak-anak dididik ilmu keagamaan baik di rumah maupun secara khusus di pesantren dan lembaga keagamaan lainnya.  Kehidupan agamis sudah menjadi sebuah budaya dan pada kehidupan nyata budaya beragama itu seakan terpisah dari kehidupan nyata.
Perkembangan pembangunan yang lebih menekankan kepada hasil secara ekonomi telah melupakan sifat dasar yang menjadi budaya masyarakatnya.  Perbaikan ekonomi yang tidak diringi dengan penyesuaian budaya telah memperparah jurang keduanya.  Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya diiringi dengan perubahan budaya kerja tetapi hal ini tidak terjadi, bahkan gap diantara keduanya makin timpang.  Tuntutan kehidupan berbasis kapitalis telah menyeret masyarakat kedalam jurang kehidupan yang membelah jauh kehidupan duniawi dengan ukhrowi.
Budaya kerja yang demikian telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.  Termasuk di dalamnya budaya kerja di kalangan birokrat.
Budaya kerja masyarakat yang sejalan dengan keramahan alam juga terjadi dalam urusan birokrasi.  Kemudahan mendapatkan sesuatu dari alam sekitar menjadi alasan tumbuhnya berbagai kasus pelanggaran.  Budaya ini tumbuh bersubur dan selalu berakumulasi menjadi lebih besar dan semakin besar sampai akhirnya menghancurkan bangsa Indonesia itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya apapun kejelekan birokrasi bukan semata-mata salah dari para birokrat.  Masyarakat yang serba ingin mudah dan mahfum dengan segala kesalahan asalkan dihapus dengan sedikit imbalan menjadi simbiosis mutualisma.  Korupsi dan Kolusi pun terjadi sedemikian mengakar.
Disisi lain, budaya masyarakat Indonesia juga yang menggiring pada birokrat dan dunia usaha ke arah Nepotisme.  Hidup dalam lingkungan keluarga sendiri di manapun berada tentu akan lebih tenang.  Perasaan pun tidak enak apabila lebih mementingkan orang lain darpada keluarga sendiri.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sesungguhnya bukanlah hal baru.  Para founding fathers telah menggariskan aturan agar budaya apapun yang tumbuh setelah Indonesia merdeka tidak terlepas dari akar budaya baiknya.  Rangkaian pemikiran mereka sudah sangat melekat di otak setiap warga negara, yaitu Pancasila.
Namun demikian, bagi masyarakat Indonesia dengan budaya aslinya yang tidak bisa mengejar ketinggalan tuntutan kehidupan modern, jangankan hukum yang dibuat manusia, hukum Tuhan pun dilahapnya dengan bersilat lidah saja.
Oleh karena itu, perbaikan budaya kerja di Indonesia harus dimulai dari perbaikan pendidikan.  Pendidikan bukan semata-mata teori tetapi juga aplikasinya dalam menghadapi kehidupan nyata.



3.3.            Pengaruh Etos Kerja dalam Pelatihan Perusahaan
Etos kerja yang sudah terbentuk sedemikian lama dalam masyarakat Indonesia, baik dalam birokrasi ataupun bidang usaha swasta sudah sekalipun kelihatan sangat memprihatinkan.  Tetapi tidak demikianlah yang sebenarnya.
Pada dasarnya masyarakat Indonesia merupakan bangsa pembelajar, terus menerus belajar, bahkan sering lupa dengan hasil belajar.   Khususnya dalam mengaplikasikan hasil belajarnya tersebut.
Tidak sedikit mereka yang sudah mendapat berbagai pelatihan telah mengubah budaya kerjanya sehingga mengikuti pola kebiasaan yang sesuai dengan perkembangan zaman.  Bahkan beberapa diantara mereka melebihi standar internasional sehingga etos kerjanya diakui dunia. 
Para workholic berkebangsaan Indonesia bukan hanya berkarir di negeri tempat kelahirannya.  Banyak negara menjadi tempat hidup anak bangsa bekerja keras mengabdikan waktu, tenaga dan keahliannya.  Beberapa diantaranya bahkan sampai terlalu cinta dengan tanah air barunya sehingga mengubah kewarganegaraannya.
Sebenarnya workholic bukanlah suatu keharusan, bekerja sesuai dengan waktu yang ditetapkan dengan kedisiplinan penuh tanggungjawab.  Asalkan sudah menjadi suatu kebiasaan bahkan membudaya.  
Tujuh kebiasaan yang harus dimiliki agar manusia Indonesia dapat menyesuaikan dengan perkembangan dunia saat ini nemurut Stephen R. Covey adalah sebagai berikut :
1.                  Jadilah pro-aktif
2.                  Mulai dengan akhir dalam pikiran
3.                  Dahulukan yang utama
4.                  Berpikir Menang/Menang
5.                  Berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti
6.                  Wujudkan sinergi
7.                  Asahlah gergaji
Tujuh kebiasaan tersebut adalah kebiasaan efektivitas karena didasarkan atas prinsip, dapat memberi hasil jangka panjang yang menguntungkan secara maksimum serta menjadi dasar dari karakter seseorang, menciptakan pusat dari peta yang benar yang memberi kekuatan dari mana seorang individu dapat memecahkan masalah, memaksimumkan peluang, terus menerus belajar dan memadukan prinsip-prinsip lain dalam spiral pertumbuhan meningkat secara efektif.
Untuk mencapai ketujuh kebiasaan positif tersebut diperlukan berbagai upaya, salah satunya adalah pelatihan.  Pelatihan dimaksudkan untuk memoles perilaku yang dibawa dan dipengaruhi oleh lingkungan selama ini sehingga menjadi pribadi unggul.  Adapun aplikasi dari hasil pelatihan bukan hanya tergantung kepada pribadi yang bersangkutan semata tetapi juga tergantung kepada lingkungan tempatnya kembali bekerja.
Banyak hasil pelatihan ternyata tidak dapat diaplikasikan akibat lingkungan tempat bekerja tidak dapat menerima pembaharuan.  Oleh karena itu tidak sedikit peserta pelatihan yang semula berharap banyak dapat mengamalkan hasil pelatihannya menjadi frustasi dan kembali ke etos kerja lama atau bahkan lebih parah dari sebelumnya karena makin mengetahui banyaknya pelanggaran yang selalu dimaklumkan.
Tidak jarang yang berani melakukan terobosan setelah mendapat banyak pelatihan.  Mereka menjadi agen pembaharu dengan mental baja menembus berbagai tantangan lingkungan.  Kekuatan dalam berprinsip hidup menjadikan mereka sebagai pribadi-pribadi yang unggul dalam pembaharuan.
Ciri-ciri pribadi-pribadi unggul dalam pembaharuan menurut Rheinald Kasali adalah sebagai berikut :
a.                   Tokoh-tokoh besar (the greatest) yang menciptakan pembaharuan ternyata memiliki karakter-karakter tertentu, yang disebut Change DNA.
b.                  Mereka memiliki kadar OCEAN yang tinggi dan memiliki pola pikir yang berbeda dengan rata-rata manajer biasa, yang hanya menjaga sistem dan aturan-aturan yang ada.  Mereka bahkan dengan berani melanggar aturan-aturan yang ada dan belakangan terbukti aturan-aturannyalah yang benar dan menjadi standar baru.  Orang-orang lama menjegal mereka dengan mengatakan tak bermoral karena melanggara aturan.
c.                   Menurut catatan DNA, setiap tetes darah manusia menyimpan catatan sejarah dan perilaku manusia.  Change DNA mencerminkan apakah kita siap berubah atau tidak.
d.                  DNA memang tidak bisa dirubah, tetapi manusia dengan Change DNA yang tinggi sekalipun bisa menjadi kerdil, kalau terbelenggu oleh pikiran-pikiran yang tidak sehat, aturan-aturan bodoh, dan organisasi yang desainnya tidak sempurna.
e.                   Ukur dan periksalah kembali Change DNA yang ada di tempat anda, periksa apa sebab Change DNA yang tinggi yang bisa memberi kontribusi yang besar bagi keuntungan perusahaan, kecepatan merespons perubahan, konsep-konsep yang hebat dan penjualan tinggi.
f.                   Lakukan reorientasi OCEAN dan desain kembali organisasi anda.
Sementara bagi insan yang bergerak di dunia usaha maka ajaran mencapai SPEED sebagimana yang diajarkan oleh Jason Jennings dan Laurence Haughton akan mengantarnya menjadi yang tercepat untuk mencapai kesuksesan besar-dengan kecepatan yang memusingkan lawan, yaitu :
1.                  Berpikir CEPAT dengan mengantisipasi dan menyadari tren
2.                  Membuat keputusan CEPAT dengan menerapkan aturan-aturan dan meninjau kembali strategi-strategi yang ada
3.                  Berada di pasar dengan CEPAT dengan mengeksploitasi keunggulan-keunggulan dan melembagakan inovasi
4.                  CEPAT dalam bertindak namun tetap fleksibel dan dekan dengan pelanggan.
Sekali lagi, untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang sesuai dengan perkembangan zaman maka diperlukan suatu upaya mengubah pola pikir dan pola tindak, sehingga keadaan yang semula penuh dengan keterbatasan menjadi bermotivasi kuat untuk mencapai tujuan. 
Beberapa komponen yang harus ada dalam setiap pelatihan agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan antara lain :
a.                   Tujuan dan sasaran pelatihan dan pengembangan harus jelas dan dapat diukur
b.                  Para pelatih harus ahlinya yang berkualifikasi memadai (profesional)
c.                   Materi pelatihan harus disesuaikan dngan tingkat kemampuan peserta
d.                  Peserta harus memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Keempat komponen tersebut perlu diperhatikan mengingat tujuan dari pelatihan adalah :
1.                  Meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi
2.                  Meningkatkan produktivitas kerja
3.                  Meningkatkan kualitas kerja
4.                  Meningkatkan ketepatan perencanaan sumber daya manusia
5.                  Meningkatkan sikap moral dan semangat kerja
6.                  Meningkatkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi secara maksimal
7.                  Menghindarkan keusangan
8.                  Mengembangkan perkembangan pribadi
Dengan demikian, untuk menuju budaya kerja yang baru diperlukan upaya yang serius dalam melaksanakan pelatihan yang sesuai dengan iklim kerja di masing-masing tempat, tidak menyamaratakan keadaan. 
Sebab apabila hal ini terjadi maka palatihan hanya akan menjadi upacara saklar untuk mencapai tujuan tertentu, khusunya dalam mengejar kepentingan pribadi semata.  Salah satu contohnya adalah pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim) untuk pejabat eselon IV, III dan II yang dilaksanakan Departemen Dalam Negeri.  Kegiatan tersebut seakan hanya menjadi acara rutin yang harus dilaksanakan setelah seseorang duduk di suatu jabatan sesuai dengan eseloneringnya.
Beberapa orang mengadu nasib tidak mengikuti aturan, menerobos paradigma yang berlaku saat ini, duduk dulu baru dididik (duk-dik).  Mereka melakukannya karena banyak ahli dari Badan Pendidikan dan Pelatihan membenarkannya.  Dididik dulu baru duduk (dik-duk) bagi mereka adalah keharusan sebagai upaya untuk menghindari dilantiknya para pejabat yang tidak layak duduk pada jabatan tertentu.
Penganut paradigma dik-duk banyak yang frustasi karena hasil pendidikan ternyata tidak sesuai dengan harapan.  Jabatan adalah kepercayaan yang masih terus menjauhi mereka sekalipun dalam pendidikan penjenjangan prestasinya diakui.  Sementara itu, rasa frustasi pun sudah sedemikian menjadi agenda rutin bagi pejabat yang baru pulang pendidikan dan pelatihan.  Lingkungan kerja masih tetap seperti dahulu bahkan terkesan menolak dengan ide-ide baru hasil pelatihan.
Frustasi berkepanjangan telan menjadikan Diklatpim berbagai eselon sebagai agenda rutin yang harus dilaksanakan.  Soal hasil, tidak perlu dipikirkan karena kepercayaan pimpinan yang berkuasa merupakan faktor penentu keberhasilan dalam berkarya.

3.4.            Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Kerja di Instansi Tertentu
Pakar antropologi Charles Darwin menarik kesimpulan bahwa, “Bukan yang terkuat maupun yang paling cerdas dari spesies yang ada tetap hidup; namun spesies yang paling mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan.”
Apa yang dikatakan Darwin ratusan tahun yang lalu ternyata bukan hanya berlaku dalam ilmu yang digelutinya tetapi berlaku di seluruh pola kehidupan makhluk, termasuk di dalamnya dalam budaya kerja di manapun berada.  Kekuatan fisik dan mental bukanlah faktor penentu keberhasilan.  Kepandaian dan kecerdasan pun tidak akan banyak membantu.  Kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan kerjalah yang paling menentukan segalanya.
Mereka yang mampu menyesuaikan dengan lingkungan kerja akan menjadi penghuni abadi yang bukan hanya meneruskan budaya kerja perusahaan tetapi juga membentuk budaya kerja baru sesuai dengan kepentingan pribadi.  Oleh karena itu, kemampuan menyesuaikan dengan lingkungan tidak selalu dipandang positif, berbagai pihak menganggapnya sangat negatif, paling tidak akan menjadi tumpukan positif klise yang pada suatu saat akan meledak seperti bom waktu.
Dalam dunia usaha maka budaya kerja tidak muncul begitu saja tetapi terbentuk oleh banyak hal yang menentukan, yaitu :
a.                   Lingkungan usaha, lingkungan di tempat perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai keberhasilan.
b.                  Nilai-nilai yang merupakan konsep dasar dan keyakinan suatu organisasi.
c.                   Panutan atau keteladanan, orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya.
d.                  Upacara-upacara (rites dan ritual), acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan kepada karyawannya.
e.                   Network, jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai budaya kerja perusahaan.
Sementara itu di bidang birokrasi Pemerintahan di Indonesia selalu bercermin pada apa yang dilakukan di Amerika Serikat.  Terlepas dari porsi besar-kecilnya kemampuan meniru ini tetapi birokrasi yang saat ini dianggap benar adalah :
1)                  Pemerintahan katalis, yang lebih bertugas mengarahkan daripada mengayuh
2)                  Pemerintahan milik masyarakat, yang memberi wewenang ketimbang melayani
3)                  Pemerintahan yang kompetitif, yang menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan
4)                  Pemerintahan yang digerakan oleh misi, bukan lagi pemerintahan yang digerakkan oleh peraturan
5)                  Pemerintahan yang berorientasi hasil, yang dapat membiayai dengan hasil, bukan menghabiskan masukan
6)                  Pemerintahan yang berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi
7)                  Pemerintahan wirausaha yang dapat menghasilkan daripada membelanjakan
8)                  Pemerintahan antisipatif yang lebih mencegah daripada mengobati
9)                  Pemerintahan desentralisasi yang lebih memberikan kepercayaan kepada di bawah daripada dikelola secara terpusat
10)              Pemerintahan berorientasi pasar yang mendongkrak perubahan melalui pasar
Sesungguhnya kesepuluh prinsip pemerintahan yang berorientasi kepada pelayanan ini sangat sulit diterapkan di Indonesia yang sepanjang pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan bahkan reformasi jauh panggang dari api terhadap kunci utama keberhasilan mewirausahakan pemerintahan, yaitu partisipasi masyarakat.  Pada tiga zaman pemerintahan tersebut partispasi masyarakat hanya sekedar bumbu penyedap jalannya pemerintahan demokrasi.  Hanya tercantum pada aturan-aturan yang berlaku tetapi tidak pernah diterapkan secara benar.
Selain itu budaya kerja pun dipengaruhi beberapa faktor-faktor lainnya, yaitu :
a.                   Penghargaan terhadap SDM
b.                  Integritas
c.                   Profesionalisme
d.                  Keteladanan
Urutan di atas tidak akan sama pada satu unit kerja dengan yang lainnya.   Pada kasus Bank BRI sebagaimana diteliti Direktur Utamanya misalnya, faktor keteladanan pengaruhnya hanya dominan pada etos kerja tetapi tidak  dominan terhadap keselarasan dengan nasabah, kemampuan menangani masalah-masalah nasabah, kepuasan nasabah, karyawan yang bermutu dan mampu diberdayakan serta peningkatan mutu, jasa dan proses.
Pada kasus Bank BRI faktor keteladanan dianggap tidak dominan, tetapi di berbagai kehidupan lainnya keteladanan merupakan faktor utama yang menentukan terbentuknya budaya kerja.  Hal ini sesuai dengan prinsip hidup bangsa Indonesia yang menghargai sosok bukan semata-mata karena umur tetapi juga ditentukan oleh status sosial seperti pangkat dan kedudukan.
Karyawan BRI tidak perlu meneladani Direktur Utamanya dalam melayani nasabah, karena memang tidak pernah terjadi.  Tetapi mereka akan sangat meneladani pola kerja pimpinan dalam menghargai sumber daya manusia, berintegritas tinggi dan profesional dalam mengerjakan tugasnya.
Dengan demikian sesungguhnya faktor keteladanan menjadi faktor penentu, karena keteladanan yang diperoleh bukan harus langsung dari pimpinan yang mengerjakan sendiri pekerjaan yang terlalu teknis tatapi dalam bidang lainnya sesuai denga tugas pokok dan fungsi mereka masing-masing.

3.5.            Hubungan Pimpinan dan Karyawan dalam Peningkatan Budaya Kerja
Adegium lama mengatakan, “Ikan busuknya dari kepala.”  Maknanya sungguh mengena, bahwa baik-buruknya keseluruhan isi dari setiap organisasi tergantung kepada pimpinannya.  Hal ini menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara pimpinan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Seorang pimpinan tidaklah dapat melaksanakan tugasnya sendirian, kerjasama dengan para karyawan adalah kunci sukses yang sebenar-benarnya.  Kesuksesan seorang pimpinan hanya akan tercapai apabila yang bersangkutan telah menempuh sukses mengelola karyawannya sebagai sebuah tim yang tangguh.
Teori kepemimpinan mencatat sepuluh dimensi kepemimpinan, yaitu :
a.                   Seni menciptakan kesesuaian paham
b.                  Upaya persuasi bukan paksaan
c.                   Cermin kepribadian
d.                  Tindakan mengarahkan bukan membelokan
e.                   Merupakan agen perubahan dan kreativitas
f.                   Merupakan hubungan kekuasaan
g.                  Merupakan sarana pencapaian tujuan
h.                  Kepemimpinan merupakan perwujudan proses sosial
i.                    Pembeda anatara kebenaran dan kesalahan
j.                    Inisiasi jabatan yang terstruktur
Betapa berat tugas seorang pemimpin sehingga mereka harus dapat berperan dengan :
a.                   Mengikuti panutan jiwa
b.                  Mengikuti kepercayaan pikiran
c.                   Mengikuti kepercayaan tubuh
d.                  Mengikuti kepercayaan hati
Wujud kepemimpinannya adalah sebagai berikut :
a.                   Kepribadian/personality, merupakan cermin karena pemimpin membawa gerbong sehingga sangat menentukan integritas yang dibawanya
b.                  Kemampuan/ability, merupakan modal dasar seorang pemimpin
c.                   Kesanggupan/capability,
Ketiganya harus terwujud dalam k]satu kesatuan diri seorang pemimpin.  Oleh karena itu pemimpin yang hanya mempunyai kepribadian dan kemampuan akan gagal dalam melaksanakan tugasnya.
Selain itu seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat berikut :
a.                   Jujur
b.                  Kerjasama
c.                   Mempunyai pandangan ke depan (visioner)
d.                  Tanggungjawab
e.                   Disiplin
f.                   Adil (kepada diri sendiri, pegawai, dll)
g.                  Peduli
Pemimpin juga harus mampu mengendalikan perilaku manusia yang dipimpinnya, sehingga perlu memiliki :
a.                   Ilmu pengetahuan karena hanya dengan mindset seseorang dapat mengatur suatu sistem
b.                  Perilaku kepemimpinan yang melahirkan pengalaman, membawa kepada belajar yang memungkinkan adanya pengetahuan yang berperan dalam penentuan perilaku.
Karena sesungguhnya perilaku manusia ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :
a.                   Gen
b.                  Lingkungan
c.                   Choice/pilihan
Pikiran menghasilkan sikap dan sikap seorang pemimpin akan menentukan tingkat kepercayaan orang terhadapnya.
Terdapat tiga jenis sikap hubungan pemimpinan dan bawahan yang terjadi di Indonesia selama ini :
a.                   Patroklin, keputusan diambil berdasarkan faktor keturunan, merupakan kejahatan organisasi dan terbukti menyebabkan bangsa ini kolaps
b.                  Ewuh pakewuh, tidak mau mengkritik, secara perlahan-lahan menceburkan pemimpin ke dalam jurang yang makin dalam
c.                   Behaviourisme, orang-orang yang mendukung pada saat akan berakhir suatu kepemimpinan agar aman dan bisa menusuk dari belakang orang yang membesarkan dan mendudukkan akan ditinggalkan untuk kepentingan personal. 
Ketiganya demikian melekat di masyarakat Indonesia karena selama menikmati kemerdekaan, bangsa ini diperintah oleh para presiden yang menganut pola tersebut.  Bahkan pada saat Orge Baru berkuasa, ketiga pola dipaksakan untuk dijadikan jargon terbaik baik oleh pemimpin ataupun para penjilatnya karena keduanya sangat sulit dibedakan
Bahkan sedemikian dekatnya sehingga sudah menjadi budaya kepemimpinan yang selalu harus dimahfumkan.  Budaya kepemimpinan ini pun telah melekat dalam budaya kerja yang dibentuknya.
Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli bahwa budaya kerja dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
a.                   Faktor individual yang terdiri dari :
1)                  Kemampuan dan keahlian
2)                  Latar belakang
3)                  Demografi
b.                  Faktor psikologis yang terdiri dari :
1)                  Persepsi
2)                  Attitude
3)                  Personality
4)                  Pembelajaran
5)                  Motivasi
c.                   Faktor organisasi yang terdiri dari :
1)                  Sumberdaya
2)                  Kepemimpinan
3)                  Penghargaan
4)                  Struktur
5)                  Job design
Ketiga faktor tersebut sangat ertat dengan pola kepemimpinan yang diterapkan di setiap organisasi.  Sayangnya tidak semua pola kepemimpinan ternyata sesuai dengan perkembangan zaman yang makin mengglobal dan juga perkembangan masyarakatnya.
Berbicara tentang pemimpin dan perubahan, terdapat dua macam tipe pemimpin yaitu Manajer Proaktif (pemimpin perubahan) dan Manajer Reaktif (manajer biasa) dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.                   Manajer Reaktif  bercirikan :
1)                  Selalu bergerak reaktif, yaitu tergantung (influrnced by) pada kejadian-kejadian yang muncul dari luar.
2)                  Umumnya tidak siap (unprepared for change) dengan adanya perubahan dan bereaksi terhadap perubahan itu (reacts to change).
3)                  Cenderung terbelenggu oleh masa lalu, khususnya rasa takut terhadap hari esok.
4)                  Mempunyai persepsi yang negatif dan agak trauma terhadap perubahan, cenderung menolaknya.
5)                  Tidak tinggal dalam realitas dan membiarkan orang lain menghadapi perubahan.  Selalu memiliki dan mencari alasan (excuses) serta menyalahkan orang lain (put blame on others) dan lingkungan.  Yang penting aman (save) biarpun merugikan lembaga.
b.                  Sementara Manajer Proaktif  bercirikan :
1)                  Sebisa mungkin selalu ingin membentuk dan mempengaruhi lingkungan di mana ia berada.
2)                  Mencari perubahan (seeks change), bahkan mengambil inisiatif untuk melakukan pembaharuan yang menimbulkan dampak perubahan.
3)                  Percaya bahwa cara terbaik meramalkan hari esok adalah dengan menciptakannya sendiri.
4)                  Sadar betul bahwa apa yang relevan di masa lalu belum tentu cocok dipakai untuk hari ini, dan apa yang relevan sekarang belum tentu cocok untuk masa depan.
5)                  Hidup dalam realitas dan mempunyai persepsi bahwa perubahan adalah fakta kehidupan yang tidak bisa dihindarkan, sedangkan status-quo hanya akan menggiring kita pada kegagalan.  Juga menyadari bahwa perubahan adalah mengubah cara berpikir daripada sekadar mengganti sesuatu yang lama dengan hal-hal yang baru.
Tidak ada yang buruk diantara keduanya tetapi zaman lebih menghendaki pemimpin yang menyukai perubahan karena zaman pada dasarnya adalah perubahan itu sendiri.  Oleh karena itu apabila tidak mau mengikutiperubahan maka zaman akan menggilasnya menjadi masa lalu yang tidak berharga sama sekali.

3.6.            Kerja Buaya
Seekor buaya merangkak pelan, tengok kiri dan kanan mencurigakan dan menyantap mangsanya yang sedang lalai.  Mungkin itulah gambaran budaya kerja masyarakat kita pada umumnya.  Bekerja santai, alon-alon asal kelakon ataupun menganut faham mangan ora mangan asal kumpul ataupun “pokoke” dan harus tercapai apapun caranya sedemikian sudah melekat.
Diakui atau tidak, demikianlah masyarakat Indonesia telah membentuk dirinya sebagai pengejawantahan dari reaksi terhadap alam dan lingkungan yang sangat ramah.  Korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bagian yang tidak terpisahkan.  Sebenarnya ketiganya tidak selalu buruk, tetapi keterbatasan pendidikan masyarakat membuat kemudhorotannya yang lebih dipilih.
Korupsi, kolusi dan nepotisme ada di setiap negara, bahkan Singapura yang merupakan negara terbersih menurut penilaian pihak trnnasparansi sekalipun masyarakatnya melakukan hal yang sama.  Tetapi kadar dan caranya yang lebih berdasarkan kaidah keilmuan dan hukum yang berlaku sehingga pelanggarannya menjadi tampak indah di mata internasional sekalipun.
Kerja Buaya telah mendorong perilaku masyarakat menjadi anti terhadap perubahan, sensitif dengan alternatif baru dan berbagai anggapan negatif terhadap perbaikan.  Keadaan ini diperparah oleh sikap kepala batu yang tidak dapat menerima hal baru, tetap cinta pada status quo sekalipin tanpa alasan yang jelas.
Ada juga yang menyalahkan kolonial Belanda yang lebih dari tiga abad membentuk budaya kerja yang tertatih-tatih ini.  Sesungguhnya mereka bukan membentuk budaya baru tetapi mengakumulasi berbagai hasil penelitian para antropolog dan sosiolog sehingga akhirnya menjadi mampat dan tidak dapat diganggu gugat, suatu budaya Kerja Buaya.  
Sungguh tidak selayaknya Kerja Buaya diterapkan dalam kehidupan manusia di era yang menghendaki cara kerja cepat, sehat dan tepat ini.  Oleh karena itu berbagai perubahan harus dilakukan, cara terbaik adalah dimulai dari indiveidu masing-masing.  Kesadaran bersama ini tak akan tercapai tanpa komando yang jels dan terarah.  Budaya Indonesia sendirilah yang dapat mengatasinya, salah satunya adalah kebiasaan menghargai yang lebih “tua” baik dari segi umur ataupun pangkat dan jabatan. 
Budaya hidup meneladani keteladanan adalah kebiasaan yang dapat mengangkat etos kerja masyarakat Indonesia secara keseluruhan sehingga tidak lagi terperangkap dalam Kerja Buaya.



BAB IV
P E N U T U P

4.1.            Kesimpulan
Selama ribuan tahun masyarakat Indonesia dimanjakan oleh alam.  Segala kebutuhannya dapat terpenuhi tanpa harus bekerja keras sekalipin.  Hal ini ternyata berpengaruh juga terhadap budaya kerja yang terbentuk, cenderung santai dan tidak bertanggungjawab. 
Namun hal ini bukan nilai mati, dengan berbagai pelatihan etos kerja mereka bisa berubah mengikuti perkembangan zaman.  Bahkan beberapa diantaranya bukan sekedar menyamai kemampuan ekspatriat, tetapi bahkan melebihi mereka.  Tetapi tiak sedikit yang frustasi, tetapi berada pada pola kinerja lama atau bahkan lebih buruk lagi.
Mereka yang berhasil tidak harus menjadi workholic, kerja mati-matian tanpa ingat ruang dan waktu.  Mereka adalah para Buaya Kerja.  Sementara yang lain tetap pada pola lama, bekerja gontai sambil mengintai kelengahan laan dan rekan, mereka mengikuti Kerja Buaya.
  
4.2.            Saran
Diperlukan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan setiap institusi atau bahkan departemen agar pelatihan benar-benar bermanfaat untuk diterapkan..





DAFTAR PUSTAKA

Cohen, W. A.  2008.  A Class with Drucker (Pelajaran Berharga dari Guru Manajemen #1 Dunia, alih bahasa :  Bazry S).  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Covey, S. R.  1997.  The 7 Habbitas of Highly Effective People  (7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, alih bahasa :  Budijanto).  Binarupa Aksara.  Jakarta.

Djatmiko, Y. H. 2004.  Perilaku Organisasi.  Alfabeta.  Yogyakarta.

Drucker, P. F. Dan Maciariello, J. A.  2008.  The Daily Drucker.  (Terjemahan : Srihandrini, N. R.).  Elex Media Komputindo.  Jakarta.

Habsari, A. R.  2008.  Terobosan Kepemimpinan, Panduan Palatihan Kepemimpinan.  MedPress.  Yogyakarta.

Ibrahim, A.  2008.  Pokok-pokok Administrasi Publik dan Implementasinya.  Refika Aditama.  Bandung.

Jennings, J.  dan Haughton, L.  it's not the BIG that eat the SMALL, it’s the FAST that eat the SLOW (Bagaimana Memanfaatkan Kecepatan sebagai Alat Bersaing dalam Dunia Bisnis, alih bahasa : Widjanarko, E).  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Johnston, R and Hesselbein, F (Editors).  2005.  On Leading Change (Terjemahan :  Kadaroesman, M).  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Johnston, R and Hesselbein, F (Editors).  2005.  On Mission and Leadership (Terjemahan :  Shandrini, N. R.).  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Kasali, R.  2007.  Re-Code Your Change DNA, Membebaskan Belenggu-Belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam Pembaharuan.  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Koentjaraningrat.  1969.  Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia.  Bhratara.  Djakarta.

Mangkunegara, A.P.  2006.  Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.  Refika Aditama.  Bandung.

Mangkunegara, A.P.  2007.  Evaluasi Kinerja SDM.  Refika Aditama.  Bandung.

Moeljono, Dj.  2004.  Reinvensi BUMN, Empat Strategi Membangun BUMN Kelas Dunia.  Elex Media Komputindo.  Jakarta.

Moeljono, Dj.  2006.  Lead!  Galang Gagas Tantangan SDM, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.  Elex Media Komputindo.  Jakarta.

Moeljono, Dj.  2006.  Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi.  Elex Media Komputindo.  Jakarta.

Osborn, D dan Gaebler, T.  2005.  Reinventing Government, How the Entepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector (Terjemahan : Rosyid, A)  Penerbit PPM.  Jakarta.

Sinungan, M.  2008.  Produktivitas, Apa dan Bagaimana.  Bumi Aksara.  Jakarta.

Stauffer, D.  2009.  Innovative Leadership.  (Terjemahan :  Sihandrini, N. R).  Bhuana Ilmu Populer.  Jakarta.

Sumodiningrat, G dan Dwidjowijoto, R. N.  2005.  Membangun Indonesia Emas, Model Pembangunan Indonesia Baru Menuju Negara-negara yang Unggul dalam Persaingan Global.  Media Elex Komputindo.  Jakarta.

Suseno, Dj dan Suyatna, H.  2006.  Quo Vadis Petani Indonesia!  Terhempasnya Anak Bangsa dari Sektor Pertanian.  Aditya Media.  Yogyakarta.

Rai, M et. al.  2004.  The State of Panchayats (Terjemahan :  Suprayitno, K).  Yayasan Kendi.  Yogyakarta.

Thoha, M.  2009.  Kepemimpinan dalam Manajemen.  RajaGrafindo Persada.  Jakarta.

Tika, M. P.  2008.  Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan.  Bina Aksara.  Jakarta.

Waringin, T. D.  2005.  Financial Revolution.  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.

Waringin, T. D.  2008.  Marketing Revolution.  Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar