Sebuah Kenangan untuk Bapak Steve Aswin (UNICEF-Jabar)
Sangat sulit
dimengerti bahwa ketika saya kembali untuk pertama kalinya untuk bertugas di
tempat kelahiran, ternyata terlalu banyak kejanggalan. Berbagai sarana yang mahal seperti fasilitas
air bersih dan beberapa sarana vital lainnya terbengkalai sampai tidak pernah
dipakai, karena memang lokasinya jauh dari hunian masyarakat. Sarana perhubungan seperti jalan misalnya,
kampung halaman saya tetap terisolir seperti sewaktu saya kecil dulu. Keadaan ini diperparah dengan minimnya
pengusaha yang mau berkorban kendaraan di jalan yang tidak layak untuk dilalui.
BAPEDA
merupakan tempat saya bertugas untuk pertama kali, sungguh beruntung karena di
instansi inilah segala perencanaan pembangunan digodog. Di instansi yang semula saya bayangkan
sebagai gudang para pemikir ini sesuatu terungkap dengan gamblang sebagai
pengalaman pertama.
Pada waktu itu
awal peralihan perencanaan anggaran dari sistem lama ke peraturan yang
baru. Banyak perubahan, tetapi itulah
yang menyebabkan saya sangat tertantang.
Singkat cerita, saya membuatkan semua RKA di Bidang Ekonomi. Tiba-tiba Sekretaris Panitia Anggaran
memanggil para calon Pimpinan Pelaksana (Pinlak), tetapi karena mereka sedang
keluar, saya pun mewakili.
“Apa sich
jabatan kamu ?” Tanyanya tiba-tiba,
begitu saya memasuki ruang beliau. “Kamu golongan berapa?” Lanjutnya tanpa memberi kesempatan untuk menjawab.
Sungguh dua
pertanyaan yang menurut saya hanya patut ditanyakan para kolonial kepada pribumi
pemilik negeri ini ratusan tahun yang lalu!
Aneh saja, di zaman merdeka masih ada pejabat yang masih
mempermasalahkan golongan dan jabatan untuk sekedar menanyakan apakah RKA yang
harus dibuat sudah selesai atau belum.
Ternyata hal
itu bukanlah satu-satunya pengalaman pahit, beberapa pejabat pun masih
mempermasalahkan status sosial seakan merupakan penentu segalanya. Saya hanya berpikir, kalau kepada sesama
birokrat saja mereka memandang sebelah mata, apalagi kepada masyarakat umum
yang harus dilayaninya ?
Semakin lama
saya di BAPEDA, makin banyak kejanggalan yang terjadi. Perencanaan Partisipatif sebagaimana
diharapkan untuk dapat menjaring aspirasi masyarakat hanyalah teori
belaka. Metode ini tertulis di berbagai
aturan dan petunjuk pelaksanaan tetapi tidak pernah direalisasikan.
Tidak
mengherankan kalau hasil penjaringan aspirasi di tingkat kecamatan yang telah
direkap dalam bentuk buku tebal pun hanya menjadi penghias lemari. Hal ini tidak lain karena perencanaan
masyarakat tidak sesuai dengan rencana kegiatan dari Dinas/Instansi terkait
yang telah dilengkapi berbagai dokumen pendukungnya. Hasil penjaringan aspirasi akhirnya tertumpuk
tebal penuh dengan jaring laba-laba.
Pengalaman
semakin pahit ketika bertugas di kecamatan, baru saja datang memenuhi SK Bupati
sudah ditagih SPJ berbagai dana yang turun ke desa. Hutang SPJ ternyata bukan kali pertama tetapi
menjadi agenda rutin, salah satu sebabnya adalah karena para Sekretaris Desa
yang semestinya membantu Kepala Desa membuat SPJ, tidak pernah bisa
melaksanakan tugasnya. Alasannya sangat
masuk akal, tidak pernah tahu-menahu soal kegiatan yang dilaksanakan dengan
dana tersebut. Apalagi soal dananya,
rahasia Kepala Desa.
Memang
mengejutkan, siapapun tidak tahun menahu soal kegiatan yang langsung ditangani
pihak desa. Lebih-lebih masyarakat yang
memang sudah sering menjadi korban pembangunan.
Bahkan ada yang lebih parah, beberapa Kepala Desa memang sudah
menjaminkan dana dari APBD itu untuk mendapatkan hutang pribadi di BPR
kecamatan.
MUSRENBANGDES juga
sangat sulit dilaksanakan, kepercayaan yang rendah kepada Kepala Desa
menyebabkan masyarakat enggan menghadiri undangannya. Apalagi perencanaan secara partisipatif,
tidak pernah terjadi. Kebanyakan masyarakat
yang hadir pun tidak lagi mau berpendapat karena sudah bosan akan rencana dan
rencana yang tidak pernah ada wujudnya, sementara para perangkat desa relatif
arogan. Arena penyusunan rencana lebih
sering menjadi tempat curhat dan adu mulut antara pendukung dan penentang
Kepala Desa. Hasilnya akhirnya dapat
diduga, hanya pendapat Kaur Pembangunan di desa semata.
Semakin gamblanglah jawaban atas berbagai
kejanggalan pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu
terjadi. Semenjak perencanaan, kehadiran
masyarakat cuma untuk tandatangan absen saja.
Soal aspirasi sudah diwakili oleh orang-orang tertentu. Tetapi bukan rahasia lagi kalau sudah menjadi
alasan klasik, bahwa pembangunan yang gagal adalah akibat dari partisipasi
masyarakat yang kurang.
Tentu saja
sebagai orang baru saya sempat bertanya lebih jauh, mengapa hal ini bisa
terjadi di salah satu kabupaten suatu propinsi paling dekat dengan pusat
kekuasaan ? Bukankan Jawa Barat sebagai
penopang ibukota negara dalam visi dan misinya ingin menjadi daerah terdepan
dan termaju ?
Pertanyaan itu
sebenarnya sudah terjawab jauh-jauh hari, karena pada tahun 2000 saya mendapat
pendidikan Perencanaan Pembangunan Nasional selama 7 (tujuh) bulan di
Universitas Indonesia. Salah satu materi
kursus yang diselenggarakan BAPPENAS itu adalah tentang perencanaan
partisipatif. Alhamdulillah, dosen yang
mengajar tidak bisa memenuhi 8 sesi yang menjadi kewajibannya karena untuk
materi itu para peserta tidak lagi memerlukan dosen, pengajar atau guru. Dalam hal perencanaan partisipatif kami hanya
memerlukan seorang fasilitator yang bisa menuntun peserta nantinya menerapkan
metode ini dengan baik dan benar.
Dua pelatihan
perencanaan partisipatif berikutnya pun sangat mengecewakan. Pelatihan Perencanaan Partisipatif Bidang
Pertanian Bagi Petugas yang dilaksanakan Balai Latihan Penyuluh Pertanian di
Lembang dilaksanakan selama lima hari. Sebenarnya,
dari judulnya saja sudah dapat diduga bahwa pelatihan ini adalah
partisipatif. Betul juga, tidak ada yang
mengaku sebagai pelatih, dosen atau guru.
Semua menyebut dirinya fasilitator.
Seakan seperti
koor, semua berucap di awal perkenalan, “Nanti kami para fasilitator hanya
menghantar peserta mencapai tujuan. Jadi
bapak/ibu lah yang aktif.”
Alhamdulillah, mereka pun berhasil mengajarkan teori partisipatif tanpa
memberi kesempatan kepada kami untuk berpartisipasi.
Pelatihan
Perencanaan Bidang Kesehatan Secara Partisipatif pun pernah saya ikuti di
Bapelkes Salaman – Magelang. Pelatihan
ini menjadi sangat menarik bagi saya secara pribadi, sehingga selama sepuluh
hari sangat serius. Mungkin karena
terlalu serius, akhirnya saya tidak menemukan sedikitpun metode partisipatif
dilakukan. Full satu arah, sekalipun
seperti pelatihan sebelumnya mereka menyebut diri sebagai fasilitator. Bukan guru apalagi dosen, tetapi yang
berlangsung adalah kuliah semata.
Sungguh saya
sempat frustasi dengan tiga pengalaman yang mengerikan itu. Bagaimana suatu perencanaan pembangunan
sesuai dengan aspirasi masyarakat sementara para calon fasilitatornya saja
hanya mendapatkan teori perencanaan partisipatif dengan sangat dangkal ? Saya yakin mereka yang hanya mendapatkan
pelatihan-pelatihan seperti di atas tidak dapat menggiring masyarakat untuk
berpartisipasi, bahkan untuk mengungkapkan pendapat yang selama dipendamnya
sekalipun.
Beruntunglah
sekalipun saya sudah tidak tercatat lagi sebagai karyawan BAPEDA, pada tahun
2005 saya mendapat kesepatan mengikuti TOT Perencanaan Partisipatif Bidang
Kimpraswil, dasar dan lanjutan. Dalam dua kali pelatihan para calon pelatih
itulah saya mendapatkan kesan terindah.
Bukan hanya siap menjadi fasilitator tetapi juga seperti tujuan
pelatihan itu, yakin bisa melatih fasilitator.
Keberuntungan
memang sedang menempel di badan, tidak berapa lama peluang untuk menerapkan
hasil pelatihan pun terwujud. Sebuah
rencana besar bernama Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan
dan Penanganan Flu Burung terbuka untuk dilaksanakan di Indramayu. Di balik seremnya kata ‘Lokakarya’ terdapat
tantangan ‘Pemberdayaan Masyarakat’ yang sangat menarik. Dua kata/suku kata itu selama ini seakan jauh
satu sama lain. Tentu diperlukan
keseriusan tersendiri baik dalam perencanaan dan pelaksanaan, apalagi
pertanggungjawabannya.
Tetapi semua
itu seakan menjadi mudah ketika bertemu dengan tim dari UNICEF Perwakilan
Bandung. Kekompakan tim saja sudah
menjadi inspirasi bagi saya untuk berbuat hal yang sama, kerja tim, bukan
sendiri dalam kepusingan. Penjelasan
yang terbuka dan gamblang serta satu bahasa dengan tanpa menutup terjadinya
perbedaan pendapat adalah suatu pelajaran yang sangat berharga. Penampilan sederhana, low profile tanpa
menghilangkan kesan serius dan kerja keras merupakan paduan serasi yang selama
ini sungguh sulit ditemui.
Itulah
sebabnya perencanaan lokakarya pun menjadi sangat mudah dan cepat
terealisasi. Akhir tahun 2006 adalah
genderang awal perencanaan partisipatif diterapkan dalam menyusun Rencana Aksi
Desa (RAD) dalam rangka Pencegahan dan Penanganan Flu Burung. Beruntunglah saya tidak sendiri, selain
rekan-rekan dari BAPEDA yang sudah terlatih melaksanakan metode partisipatif
juga beberapa teman dari Dinas Pertanian dan Peternakan pun pernah mengikuti
pelatihan serupa yang dilaksanakan lembaga bergengsi seperti FAO.
Bukan sombong
kalau saya berpendapat bahwa pada saat pertama kali lokakarya pun kami sudah
bisa jalan penuh. Tetapi sungguh
pengalaman dari rekan fasilitator UNICEF adalah sesuatu yang sangat
berharga. Perpaduan keduanya menjadikan
tim pelaksana lokakarya menjadi sangat siap mengantar peserta untuk
menghasilkan produk intelek dari masyarakat awam yang merupakan kelas yang
selama ini selalu dilupakan.
Kalau
pelajaran tak langsung saja sudah sedemikian bermanfaat, maka dugaan sementara
bahwa pelajaran langsungnya tentu akan jauh lebih mengena. Namun, pertemuan terasa sangatlah sulit. Beruntunglah pada lokakarya di desa yang
kedua, Pak Steve Aswin berkenan hadir.
Kesahajaan yang sudah tergambar dari para anggota tim sebelumnya
benar-benar gamblang dan jelas. Anggapan
adanya kesan angker yang menjadi modal utama seorang pemimpin sama sekali tidak
nyata.
Pertemuan
pertama di lokasi lokakarya sungguh amat berkesan, semua seakan menjadi mudah
dibuatnya. Suara beratnya membuat
rangkaian keruwetan di awal melangkah menjadi kecil dan akhirnya lenyap secara
bertahap. Bahkan di kepala segera muncul
berbagai rencana baru untuk semakin memanfaatkan metode perencanaan
partisiparif ini untuk program pencegahan dan penanganan flu burung yang lebih
luas.
Sungguh di
luar dugaan, bahasa yang digunakan sedemikian mengena dan menyentuh segala
lapisan. Gaya dan bahasanya membuat
lawan bicara terkesima. Saya yakin,
satu-satunya pendengar yang tidak mengerti kata-katanya adalah orang yang tidak
dapat mendengar. Kebetulan tidak satupun
diantara kami yang demikian. Seorang
Pimpinan Perwakilan lembaga dunia yang berperilaku sebagaimana masyarakat biasa
dan bicara dengan bahasa membumi adalah suatu kelainan di antara masyarakat
yang masih mengagungkan status sosial sebagai kebanggaan.
Pelajaran
penting juga dipetik oleh para peserta lokakarya, selain bangkitnya semangat
untuk bersama-sama mencegah dan menangani flu burung sebagaimana umumnya, satu
hal yang paling penting adalah pelajaran kepribadian. Setinggi apapun jabatan, sebesar apapun
penghargaan dan status sosial yang dimiliki, sekaya apapun kita, sesungguhnya
kita tidak dapat hidup dalam kesendirian.
Kebersamaan adalah kunci kenyamanan hidup, dan kenyamanan itu tercipta
ketika kita menjadi bagian dari sesama.
Untuk menjadi bagian dari sesama maka diperlukan empati yang tinggi, sanggup
menerima dan mau memberi dengan kerelaan hati.
Kerendahan
hati telah membuai perasaan peserta untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah dalam kebersamaan. Tidak ada yang
lebih pandai, karena di balik kepandaiannya masih tersisa hal-hal yang tidak
diketahui. Tidak ada juga yang bodoh
karena dibalik ketidaktahuannya terdapat banyak pengalaman yang tidak dimiliki
orang lain. Tidak ada yang lebih kaya,
karena diantara harta kekayaannya ada hak si kurang empunya. Tidak ada yang miskin karena sesungguhnya
mereka diberi karunia yang tidak akan dimiliki mereka yang berharta. Empati yang tinggi mengantar semua peserta
menghasilkan rencana sekelas hasil para intelektual, dari, oleh dan untuk
mereka dan masyarakat desanya.
Tim UNICEF Perwakilan
Bandung lengkap dengan pemimpinnya menjadi insiprasi tersendiri bagi pengelola
dan peserta lokakarya. Kepercayaan
kemandirian yang diberikan adalah sesuatu yang membanggakan namun kehadirannya secara pribadi tentu selalu
diharapkan, karena tidak pernah meninggalkan kesan ketergantungan.
Lokakarya dan
lokakarya serta terus lokakarya, tanpa terasa sudah di 31 desa kami menyulap
kata yang menyeramkan itu menjadi kegiatan yang mengasyikan tanpa mengurangi
kualitas hasil yang diharapkan. Bahkan
pengetahuan dan keterampilan mencegah dan menangani flu burung pun merambah ke
sekolah. Para guru menularkan apa yang
didapat dalam gaya dan bahasa sebagaimana kami menuntun mereka, tidak sekedar
komunikasi satu arah sebagaimana biasa dilakukan. Anak-anak pun menyampaikannya kepada anggota
keluarga, termasuk ibu dan bapaknya.
Lokakarya,
lokakarya dan lokakarya. PKK dan ibu-ibu
adalah target empuk berikutnya.
Pengetahuan dan keterampilan ditularkan dengan cara yang enak dilakukan,
dari mulut ke mulut. Juga acara resmi yang
dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, desa dan
tingkatan di bawahnya.
Lokakarya
dengan metode perencanaan partisipatif yang semula saya anggap tidak akan bisa
terlaksana di Indramayu, ternyata sedemikian sederhana dan mudah
dilaksanakan. Mungkin perlu dana
tambahan, waktu yang lebih longgar dan yang paling penting adalah kemumpunian
fasilitator yang menghantar jalannya kegiatan.
Faktor yang terakhir tadi tidak terlepas dari keteladanan yang dilakukan
oleh seorang pimpinan.
Kalau metode
perencanaan partisipatif ini juga diterapkan pada perencanaan pembangunan yang
lain, tentu berbagai kejanggalan pelaksanaan pembangunan dapat sedikit demi
sedikit berkurang. Kegiatan pembangunan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat dihindarkan. Pemanfaatan dana pembangunan oleh pribadi
atau golongan bisa dikoreksi oleh masyarakat sebagai kelanjutan dari perilaku
transparansi.
Kalau metode
perencanaan partisipatif ini diterapkan di Indramayu, suatu harapan pembangunan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan tercapai. Tanpa pemborosan anggaran, sedikit mungkin
kebocoran, dan yang paling penting adalah keterlibatan masyarakat dalam
mempertanggungjawabkan.
Kalau metode
perencanaan partisipatif berjalan sebagaimana mestinya, masyarakat Bhumi
Wiralodra akan bangkit dari ketidakberdayaan untuk membela diri sebagai pihak
yang selalu disalahkan kalau terjadi kegagalan pembangunan. Tidak berlaku lagi alasan klasik birokrat,
“Partisipasi masyarakat rendah !”
Kalau
perencanaan partisipatif sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat maka
tidak perlu lagi seorang pejabat menganggap diri paling hebat, karena
sehebat-hebatnya beliau tetap saja hanya seorang abdi masyarakat. Diantara masyarakat, status sosial tidak lagi
menjadi pembeda untuk dipertentangkan, tetapi merupakan faktor yang saling
lengkap-melengkapi untuk mencapai tujuan hidup bersama.
Kalau
perencanaan partisipatif akan diterapkan sebagaimana mestinya maka yang
diperlukan pertama kali adalah adanya kemampuan para birokrat untuk
memberdayakan dirinya sendiri. Dengan
bekal itu, masyarakat akan yakin bahwa yang disampaikan adalah bukan sekedar
teori. Jalinan kepercayaan diantara
keduanya merupakan langkah awal munculnya minat untuk ikut berdaya. Ini merupakan bagian tersulit, berbagai
pelatihan calon fasilitator bukan hanya tidak selalu menghasilkan peserta yang
mampu memberdayakan masyarakat tetapi juga sering mendapat pelajaran
partisipatif dari mereka yang tidak bisa menjadi fasilitator.
Kalau metode
perencanaan partisipatif diterapkan sebagaimana berbagai peraturan dan perundang-undangan
mengenai perencanaan pembangunan yang berlaku, maka kami akan mengenang gelegar
guruh-mu, Sang Guru.
Kalau metode
perencanaan partisipatif telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Indramayu
yang membanggakan, tentu guruh-mu akan menggelegar ke senatero penjuru. Menggelegar tanpa ada yang mampu
menghentikan, menembus batas berbagai benteng yang selama ini dibuat untuk
membatasi masyarakat mengetahui bahwa dirinya adalah makhluk yang sangat
berdaya.
Terimakasih
Pak Steve Aswin, selamat menikmati kehidupan selanjutnya dengan penuh
kesenangan dan kebahagiaan. Amien.
Partisipasi membuat suasana serius menjadi senyuman.
.
Suasana alot dan ngotot, tetapi tak akan jadi adu otot.
Senyum kemenangan setelah menemukan solusi terbaik !
Salah satu Rencana Aksi Desa yang dihasilkan.
Ibu-ibu PKK adalah sasaran yang tepat berikutnya ....
Semua harus berpendapat dan mesti memperhatikan pendapat
orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar