Sebuah
Coretan Buat Bapak Agus Suwandono
Saya pernah tersesat menjadi peserta Pelatihan
Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Primary Health Care (PHC) di Bapelkes
Salaman. Tentu saja tersesat di jalan
yang benar….
Dibilang tersesat karena yang semestinya
hadir pada acara itu bukanlah kami dari Bidang Peternakan. Lebih-lebih saya yang duduk di Seksi
Kesehatan Hewan. Bukankah yang dibahas
sudah pasti soal kesehatan manusia? Oleh
karena itu para peserta lain adalah orang-orang kesehatan dari berbagai pelosok
di negeri ini. Jadilah saya manusia
langka di pelatihan yang berlangsung sekitar seminggu itu.
Saya menganggap diri tersesat, karena pada
pelatihan Fasilitator bergengsi itu, tidak ada satupun narasumber yang
mengaplikasikan pemberdayaan audiens.
Pada proposal jelas-jelas tercantum judul Pelatihan Pemberdayaan
Masyarakat, selain itu disampaikan bahwa 80% kegiatan adalah bottom up. Pada kenyataannya, 100% narasumber tidak mau
disebut guru, penceramah dan sebangsanya yang menunjukkan cirri top down. 100% menyebut diri sebagai fasilitator yang
akan memfasilitasi jalannya kegiatan sehingga permasalahan di lapangan
terungkap dan menjadi bahan diskusi yang hangat untuk diselesaikan bersama. 100% pula mereka menerapkan aksi dosen yang
sibuk mengajar dengan slide yang dibuat sangat menarik. Alias, tidak satupun yang menerapkan
pemberdayaan masyarakat. Bahkan untuk
memilih Ketua Kelas saja ditentukan oleh Panitia.
Ada di jalan yang benar karena memang
Pemberdayaan Masyarakat adalah merupakan suatu hal yang sangat menarik hati
saya. Sewaktu bertugas di Bappeda
Kabupaten Tanah Datar saya duaa kali ikut pelatihan Fasilitator Pemberdayaan
Masyarakat dan juga ikut mengaplikasikannya dalam penyusunan perencanaan
pembangunan. Bahkan pernah menjadi pembicara
Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan.
Ketika saya pindah tugas ke Bappeda
Kabupaten Indramayu pun pernah beberapa kali menikmati pelatihan Pelatih
Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat. Dua
diantaranya diadakan oleh Departemen Kimpraswil. Pelatihan terakhir ini merupakan suatu moment
kenangan atas pelatihan pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya, sama seperti
pelatihan ZOPP waktu di Ranah Minang.
Lebih benar lagi karena pada waktu
selanjutnya saya dan Tim Flu Burung Kabupaten Indramayu mendapat kepercayaan
dari UNICEF untuk mengadakan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Penanggulangan Flu Burung. Tidak
tanggung-tanggung, untuk 31 Desa di Kabupaten Indramayu.
Banyak orang tertegun, bahkan tidak percaya
ketika melihat sebuah rencana kerja untuk menanggulangi flu burung yang dibuat
masyarakat awam. Kualitasnya setara atau
bahkan melebihi produk perencanaan di balik meja.
Ternyata masyarakat desa, mulai dari
penggembala sampai aparat desa, dari yang buta huruf sampai sarjana, anak muda
sampai dengan yang sudah renta, … ternyata akan menjadi luar biasa ketika
diberdayakan dengan baik dan benar.
Menghasilkan produk perencanaan yang sangat aplikatif, sesuai dengan
potensi yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Berproses dari pagi sampai menjelang
maghrib dalam Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Flu
Burung, 40 peserta dari berbagai unsur masyarakat selalu terlibat aktif. Semua aktif berdiskusi seakan berbagai tirai
sosial yang membatasi tidak ada lagi. Peserta
menyadari bahwa diantara kekurangannya terdapat banyak kelebihan dan diantara
kelebihan yang dimiliki orang lain pasti ada kekurangannya.
Itulah sebabnya, selama 3 hari penuh
suasana selalu hidup. Jangan harap ada
yang mengantuk. Apalagi mereka yang
kehadirannya tidak full 4 hari dari pagi sampai sore.
Dari berbagai pengalaman menggeluti
pemberdayaan masyarakat, termasuk berbagai pelatihan yang diikuti dan digelar
untuk para Fasilitator Flu Burung serta mengaplikasikannya di masyarakat, saya
mengetahui bahkan membuat garis maya tentang profesi seseorang dengan latar
belakang pendidikan dan profesinya.
Beberapa kali suasana lokakarya yang selalu
hidup kadang harus diawali dengan materi kuliah untuk mahasiswa Fakultas
Kedokteran. Audiens sepi. Kesempatan tanya-jawab tak pernah ada yang
mengacungkan tangan. Mereka diam bukan
karena serius mendengarkan, apalagi tidak bertanya karena sudah paham dan mengerti. Sangat jarang Kepala Puskesmas yang mampu
membawakan materi tentang Flu Burung pada Manusia dengan bahasa rakyat.
Sebagai sesama Fasilitator pun,
berulangkali kami harus merangkul Fasilitator dari institusi kesehatan,
mengingatkan mereka tentang maksud pemberdayaan masyarakat. Tidak mengharuskan mereka memberikan
paracetamol kalau anaknya panas, tetapi membiarkan mereka mengemukakan betapa
efektifnya perasan daun randu atau berbagai obat alternative sesuai dengan
pengalaman mereka. Menggali informasi
dan potensi setempat untuk mengatasi permasalahan secara mandiri.
Berbagai perjalanan di atas itulah yang
menyebabkab saya menyebut kolega yang satu ini manusia langka. Bapak Agus Suwandono adalah salah satu orang
yang merusak peta maya yang telah lama saya pedomani. Beliau adalah orang dari institusi kesehatan
yang berbeda dari yang sebelumnya saya ketahui.
Bahkan berbeda dengan puluhan narasumber dari Bapelkes Salaman yang
pernah melatih kami menjadi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat sekalipun.
Itulah sebabnya pergaulan yang tidak
seberapa lama diantara kami menjadi pertemuan yang sangat berarti. Teman diskusi yang hidup lintas generasi dan
profesi. Sahabat yang selalu berjabat
erat. Kami bersaudara sangat dekat, sesama
orang yang percaya bahwa setiap manusia akan menjadi sangat luar biasa apabila
diberdayakan.
Selamat menghirup udara kehidupan baru
wahai manusia langka. Semoga Tuhan Yang
Maha Esa selalu melimpahkan berkah dan hidayah bagi Bapak dan keluarga dalam
menjalankan aktivitas kehidupan yang sebenarnya. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar